
- Apartemen Bhisma
- Susu Cokelat
- Dua Bulan Lalu
- Bohong Lagi
- Tidak Baik-Baik Saja
- Dua Dini Hari
***
Halo para pencinta novel digital! Huru-Hara Hati akhirnya tayang di KaryaKarsa, nih. Bisa kamu baca sampai tamat. Happy reading, yaaa!
Dan, buat yang sudah memiliki novel cetaknya, tidak perlu membeli bab-bab HHH di sini lagi, ya. Karena isinya sama saja. Thankyouuu!

BAB 1: Apartemen Bhisma
“Akh, Bhisma! Udah, sakit banget. Aku nggak sanggup lagi.”
Jeritan Raras menggema ke seluruh ruangan, seakan tak mau kalah dengan deru hujan di luar. Pendingin ruangan pun seolah tak berfungsi menambah suhu dingin malam ini, sebab beberapa sudut tubuh Raras justru terasa sangat panas.
“Tahan, Ras.” Bhisma tersenyum menyeringai. Tangan kirinya semakin erat mencekal dan menahan kedua pergelangan tangan Raras agar tidak mengganggu aktivitas tangan kanannya.
“Aaakh! Bhisma, sakiiit!”
Semakin keras dan panjang Raras menjerit, Bhisma semakin merasa puas. Demi apa pun, Bhisma tak bisa berhenti melakukannya saat melihat Raras memejamkan mata sambil terus merintih tak berdaya di bawah sana.
“Udahan, nih? Nggak main lagi?” Bhisma menjawil hidung Raras. Perlahan, perempuan itu membuka mata seiring dengan pergelangan tangannya yang terbebas, tidak lagi Bhisma pegangi erat-erat.
“Iya, udahan. Aku pasti kalah terus kalau main games sama kamu. Pipi sama hidung aku sakit banget!” Raras melepas satu per satu jepitan baju di pipi dan hidungnya. Ketika ia memilih lengan Bhisma untuk memasang jepitan sialan itu, Bhisma malah menyiksa wajahnya. “Aku kan bilang dari awal, jepit di lengan aja.”
Sambil cengengesan, Bhisma membantu menyingkirkan jepitan warna-warni itu dari wajah kekasihnya. Ia mengumpulkannya ke stoples bekas permen, seperti yang biasa Geri dan teman-teman kampusnya lakukan usai bermain kartu bersama di apartemennya. Siapa pun yang kalah, maka ia harus menerima hukuman: wajah, lengan, kaki, bahkan pinggang dijepit dengan jepitan baju.
Jadi, jelas. Jepitan itu bukan milik Bhisma. Agak kurang kerjaan sebetulnya Bhisma menyimpan barang tersebut kalau bukan karena terpaksa Geri menitipkannya di sini.
“Ayo main tebak gambar lagi!” ajak Raras tadi, sekitar sejam yang lalu, usai makan malam bersama dengan Bhisma.
Seperti kesepakatan keduanya, Raras datang pukul 18:30 sepulang latihan menari bersama Kirana Bestari, salah satu UKM tari di Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) Universitas Manggala. Saking sukanya dengan menari, setiap Sabtu siang, Raras juga latihan di Sanggar Rengganis di daerah Jakarta Timur untuk memperdalam keahliannya dalam tarian tradisional.
Sementara itu, Bhisma, selain aktif menjadi mahasiswa tingkat II, ia juga seorang model dan hari ini tidak ada jadwal pemotretan ataupun meeting dengan pihak agensi. Sehingga ia memilih untuk mengosongkan waktu sekalian, demi menantikan kehadiran Raras Gayatri Damayanti, perempuan berambut sebahu yang hampir delapan bulan ini jadi kekasihnya dan begitu ia rindukan.
Malam ini, Bhisma tidak mau ke mana-mana lagi. Hanya ingin berdiam diri di apartemen bersama Raras. Terjebak hujan dan menikmati malam berdua. Sebab, jika tidak di sini, di ruangan tertutup ini, mereka tidak bisa sebebas ini bermesraan.
“Besok-besok, aku nggak mau main tebak gambar lagi, ah. Pasti kamu lagi yang menang.” Jepitan terakhir Raras masukkan ke stoples, lalu ia bawa dan taruh di rak dekat TV. Tempat biasa Bhisma meletakkannya.
Bhisma memeluk Raras dari belakang, seakan tidak ingin berjauh-jauhan dengan perempuan itu. Ia menarik tubuh mungil itu hingga terjerembab bersama di atas kasur. Raras kembali mengomel sambil tertawa-tawa. Bhisma menyembunyikan tawa geli tidak merasa bersalahnya di balik bahu Raras.
“Kangen, Ras.”
Raras mencebik, “Kamu kangen, tapi akunya disiksa pake jepitan baju.”
“Hehehe. Siapa suruh minta main tebak gambar.” Satu kecupan mendarat di pipi kanan Raras.
“Ya iseng aja, tadi nggak sengaja lihat aplikasinya masih ada di hape kamu,” jawab Raras sambil menyandarkan kepalanya di dada kiri Bhisma. Menyentuh lengan Bhisma yang melingkar di perutnya dengan sama erat. Membuat pria itu semakin leluasa mengendusi dan mengecupi bahu hingga lehernya.
“Mau main yang lain nggak?”
“Nggak!” tolak Raras sambil menjauhkan lehernya dari wajah Bhisma. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Bhisma jika ia meladeninya.
Bhisma tertawa-tawa. “Yakin nggak mau?” Ia bergerak mendekat, sementara Raras beringsut mundur menjauhinya.
“Iyaaa.”
Raras menatap Bhisma dengan waspada. Kedua tangannya menahan dada Bhisma sebab punggungnya sudah menempel ke dinding dan tidak bisa menghindar ke mana-mana lagi.
“Kalau cium, boleh?”
Pertanyaan Bhisma terdengar seiring dengan tatapan yang berubah melembut. Seringai usilnya pun memudar berganti senyum manis. Senyum yang paling Raras suka. Senyum yang setiap hari Raras lihat karena mereka berkuliah di satu kelas yang sama sejak maba (mahasiswa baru). Senyum yang akhirnya membuat Raras jatuh cinta dengan seorang Bhisma Januar Nugraha.
“Boleh.”
Raras tidak bisa menolak, tentu saja. Bermesraan dengan Bhisma adalah hal langka yang sulit ia dapatkan selama berpacaran. Mereka memang berstatus pacar dan saling memiliki satu sama lain, tetapi apa daya jika hubungan ini rahasia alias backstreet.
Delapan bulan lalu, Bhisma mengajak Raras berpacaran melalui chat. Saat itu juga, Bhisma meminta kesepakatan Raras agar tidak mempublikasikan hubungan mereka pada teman-teman jurusan maupun fakultas.
Bhisma bilang, orang lain tidak perlu tahu mereka berpacaran. Bhisma juga bilang, ia tidak suka jika orang lain mengetahui hubungan mereka, lalu menjadikannya sebagai bahan candaan layaknya anak SMA baru jadian. Baginya itu sangat kekanak-kanakkan.
Terakhir, Bhisma belum siap jika Rahagi Nareswara, kakak laki-laki Raras sekaligus senior di jurusan, tahu kalau dirinya memacari adik perempuannya.
Awalnya, Raras tidak masalah pacaran backstreet. Namun, sejujurnya ... akhir-akhir ini, Raras mulai tidak nyaman dan sering kali merayu Bhisma agar berhenti merahasiakan hubungan mereka. Sayangnya, Bhisma tetap dengan keputusannya. Bhisma malah balik memohon pada Raras agar lebih sabar menjalani hubungan sembunyi-sembunyi ini.
Hubungan yang selalu membuat Raras seketika menjadi orang asing saat berpapasan dengan Bhisma di kampus. Keahlian Bhisma dalam berakting yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka, membuat Raras terkadang bertepuk tangan bangga sekaligus tersenyum keheranan.
“Bhisma, tangannya.”
Peringatan Raras yang terdengar lemah itu bagai angin lalu bagi Bhisma. Telinganya seperti tuli, sementara tangannya yang tadi masih setia menangkup wajah Raras, kini menyusup perlahan ke balik floral skirt selutut Raras yang tersingkap sebagian, mengusap paha Raras dan sedikit ... meremasnya.
“I love you, Ras,” bisik Bhisma di sela-sela pertemuan bibir mereka. Kemudian, ia memberi jarak.
Degup jantung Bhisma menguat. Selalu seperti itu setiap kali bibir mereka bertemu dan saling menyapa. Juga tatkala ia menatap Raras yang terpejam dengan bibir setengah terbuka. Ada gejolak dalam dirinya meronta nyaris meledak. Hingga tanpa sadar, ia meremas paha Raras lebih kuat.
“Aw, Bhisma!” pekik Raras hingga kedua matanya terbuka dan satu tepukan mendarat di bahu Bhisma. “Sakit.”
Bhisma tersenyum tipis. “Ras?” Tangannya memang mengendurkan remasannya, tetapi tidak benar-benar menjauh dari paha kekasihnya.
“Apa?” Raras menatap Bhisma lekat. Seandainya Bhisma tahu, detak jantungnya selalu berdebar tidak karuan jika mereka berada dalam jarak setipis ini. Apalagi, saat menatap bibir Bhisma yang basah akibat ulahnya. Raras rasanya ingin menyerah.
“Tadi kamu bilang, kamu bakal kasih apa aja yang aku mau sebagai hadiah ulang tahun aku nanti.” Bhisma terdengar serak nyaris berbisik. “Kamu nggak bohong, kan?”
Tadi, saat makan malam sambil nonton film bersama, keduanya membuat janji pertemuan akan merayakan ulang tahun Bhisma bersama-sama, dua minggu lagi. Raras menyuruh Bhisma untuk mengosongkan jadwal apa pun. Jika harus membolos pun Raras rela. Ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Bhisma dari pagi hingga malam—jika bisa.
“Nggak.” Raras tersenyum seraya mengusap pipi Bhisma. “Kamu tahu aku nggak pernah bohong, kan?”
Senyum Bhisma merekah. Satu tangan yang tidak menumpu tubuhnya di atas Raras pun terjulur maju, mendekat dan menyelipkan helaian rambut ke balik telinga Raras. Salah satu gestur Bhisma yang paling Raras suka saat menyentuhnya.
“Kalau aku minta ... itu, gimana?”
Raras mengulum senyum. “Itu apa?” balasnya pura-pura tidak paham. Jelas ia tahu, sangat tahu apa yang Bhisma mau. Yang hingga hari ini, Raras belum pernah wujudkan sama sekali.
Bhisma mengecup bibir Raras lagi. “Perlu aku jelasin?”
Raras tergelak. “Kamu, ih. Kenapa, sih, pengin banget itu?”
“Emangnya kamu nggak pengin?”
Bohong jika Raras tidak ingin. Ia bahkan terkadang hampir lupa diri dan menyerahkan diri jika sedang bercumbu dengan Bhisma. Dan, Raras cukup tahu Bhisma pasti tidak pernah puas dengan making out yang mereka biasa lakukan. Namun, sebisa mungkin, Raras tidak ingin mereka sampai sejauh itu.
Selain karena hubungan mereka masih backstreet, Raras juga belum yakin ingin melakukannya saat-saat sekarang. Terlalu banyak risiko yang harus dipertimbangkan.
“Aku pulang, ya? Kayaknya aku udah kemalaman main di sini. Kamu jadi minta yang aneh-aneh.”
Sontak, Bhisma merengut lagi seperti anak kecil. “Ras ....” Ia menyurukkan wajahnya ke dada Raras.
“Mulai, deh, ah. Ngambek kayak anak tetangga.”
“Biarin.”
“AW! Bhisma!” Lagi-lagi Raras menjerit karena baru saja Bhisma meremas kuat dada kanannya. “Sakit tahu.”
Bhisma malah tertawa-tawa di atas dada Raras. “Kamu nggak boleh bohong, ya, Ras. Dua minggu lagi, aku bakal tagih hadiah ulang tahun yang aku mau.”
Bhisma bergerak bangkit, tetapi tidak benar-benar menjauh. Ia hanya mengangkat wajahnya dari dada Raras, lalu menatap kancing-kancing kemeja Raras dan jarinya bermain-main di sana.
“Kalau minta yang ini sekarang ... boleh, kan?”
Napas Raras kembali tercekat setiap kali mendengar Bhisma meminta satu hal yang baru dua bulan terakhir ini sering mereka lakukan. Sekujur tubuhnya bahkan berhasil meremang begitu saja hanya dengan melihat Bhisma tersenyum miring sambil melepas satu demi satu kancing kemejanya. Raras pun pasrah dan hanya mampu meremas rambut belakang Bhisma saat rasa hangat dan basah itu menyerbunya. Namun, Raras tetap harus bisa menjaga kewarasannya sewaras-warasnya agar mereka tidak terlalu jauh terbawa suasana.
Hingga dering ponsel Raras berbunyi keras, mengagetkan keduanya, dan berhasil membuat Bhisma berhenti bermain-main di dada Raras.
“Ras?” Senyum Bhisma melengkung ke bawah. Ia ingin Raras tahu jika ia sangat-sangat keberatan jika Raras pergi sekarang, saat ia sama sekali belum merasa puas berduaan dengan Raras.
“Mas Hagi nyuruh aku pulang. Aku harus pulang, Bhisma,” sesal Raras sambil buru-buru mengancingi kembali kemejanya, beberapa detik setelah ia menutup telepon dari kakaknya. “Tadi aku izinnya mau ke Gramedia sepulang latihan nari. Nanti Mas Hagi curiga kalau aku jam segini belum pulang.” Tangannya lalu sibuk merapikan rambut. “Kecuali, kalau kamu nggak masalah Mas Hagi tahu aku main ke apartemen kamu.”
Bhisma berdecak. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Gramedia jelas sudah tutup jam segini. Sialnya, ia tidak punya banyak pilihan selain membiarkan Raras pulang.
“Aku nggak nganterin, nggak apa-apa, kan?”
Raras berdiri, mengambil dan memakai tas ranselnya, bersiap pergi. “Nggak apa-apa,” lagian udah biasa. Huh.
Raras kembali menatap Bhisma sebelum benar-benar beranjak ke pintu unit. “Btw, kita beneran nggak bisa ketemu lagi sebelum ulang tahun kamu?”
“Tunggu kabar aku lagi, ya? Kalau ada jadwal kosong, aku pasti hubungin kamu.”
Terkadang, Raras ingin protes mengapa pacarnya sibuk sekali. Ia bahkan ragu Bhisma akan punya waktu luang untuk bertemu dengannya saat libur semester Januari nanti.
Alih-alih beranjak ke pintu, Raras berlari memeluk Bhisma dan meninggalkan satu kecupan di bibir kekasihnya. “I love you.”
“Love you too.” Bhisma tersenyum, jemarinya mengusap lembut puncak kepala Raras. “Kabari aku kalau udah sampe rumah, ya?”
Apartemen Bhisma kembali sunyi saat Raras benar-benar pulang. Bhisma menghela pasrah dan terduduk lesu, sebelum akhirnya meraih ponsel di atas ranjang.
“Halo, Bel? Lo di mana?”
“Di Alfamart. Cewek lo udah balik belum, sih? Lama banget, sumpah.”
“Udah kok.”
“Ya udah, gue ke tempat lo sekarang.”
“Jangan lupa pesanan gue.”
“Iya, tapi cuma satu.”
“Hah? Dikit banget? Kurang dong, Bella.”
“Besok pagi ada UAS, Bhisma. Gue nggak mau kesiangan, ya. Kalau lebih dari satu, lo pasti ngajak gue begadang sampe subuh.”
“Ah, lonya aja yang lemah.”
“Lo yang maniak!”
“Bawel. Buruan ke sini bawa kopi gue!”

BAB 2: Susu Cokelat
Beberapa menit lalu, Raras tiba di rumah mungil bercat biru muda yang sudah 18 bulan ini disewa Hagi untuk mereka tinggali bersama selama kuliah.
Posisi rumah ini tidak terlalu jauh dari kampus, tetapi tetap harus ditempuh naik kendaraan, minimal motor karena cukup melelahkan jika berjalan kaki. Terlebih letaknya cukup dalam dari mulut gang, tetapi lumayan menguntungkan karena jauh dari keramaian jalan besar.
Awal perkuliahan dulu, Hagi tinggal di kosan. Namun, sejak Raras diterima di jurusan yang sama dengannya setahun kemudian, Hagi pikir lebih baik menyewa satu rumah supaya Raras tidak ngekos. Supaya Hagi lebih mudah menjaga—dan memantau—adik perempuannya.
Menurut Hagi, terlalu berbahaya jika Raras tinggal di kosan. Bagaimana jika adiknya sakit? Atau kelaparan karena uang jajannya habis? Atau kemalingan karena lupa mengunci pintu kamar? Atau ... Raras nekat membawa laki-laki menginap karena merasa jauh dari pengawasan orang tua serta kakaknya?
Dulu, Hagi pusing setengah mati memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk itu jika Raras kuliah sambil ngekos.
Hagi tidak peduli jika Raras ngambek berhari-hari waktu itu karena ia melarang adiknya hidup mandiri. Sebagai kakak—meski hanya beda setahun, ia tetap merasa lebih tahu apa yang terbaik untuk adik perempuannya.
Seperti sekarang, Hagi bisa mengiterogasi Raras kenapa bisa pulang selarut ini, padahal sedang pekan UAS. Bukankah lebih baik jika adiknya itu belajar? Bukan malah keluyuran sepulang latihan menari di kampus.
“Gue perhatiin lo suka balik malem akhir-akhir ini, Ras. Lo punya pacar, ya?”
“Hah?”
Raras tadi sedang menunduk, memainkan kukunya dengan perasaan waswas karena saat ia tiba di pekarangan rumah, ada Hagi duduk di teras, menunggunya dengan wajah kecut. Lalu, tanpa sepatah kata untuk menyambut kedatangannya, Hagi langsung masuk rumah dan duduk di ruang makan. Hanya lewat tatapan saja, Raras paham Hagi menyuruhnya ikut duduk di sana karena sebentar lagi, kakak laki-lakinya itu akan marah-marah.
Demi apa pun, Hagi mirip sekali dengan Mama. Meskipun Raras jauh dari rumah, entah mengapa omelan dan cerewetnya Mama seperti mengikutinya karena ditransfer ke jiwa kakak laki-lakinya.
Dan, benar saja. Cerocosan Hagi langsung menyerbu Raras begitu mereka duduk berhadapan. Hagi terlihat begitu kesal sambil berulang kali bertanya, “Ini jam berapa?”, “Lo tahu nggak ini udah malem?”, “Lo dari mana aja sih sampe pulang malem kayak gini?”, dan masih banyak lagi.
Namun, ketika mendengar pertanyaan terakhir Hagi barusan, sontak Raras mendongak, kaget, dan detak jantungnya semakin mengentak-entak sampai ia sesak.
“Kenapa muka lo kaget gitu? Beneran lo punya pacar?” cecar Hagi.
“Ka-kata siapa lo, Mas?” Raras ingin sekali mengangguk, tapi itu sama saja ia cari mati.
Hagi tertawa jengkel. “Anak mana cowok lo?”
Raras ingin menangis sekarang juga rasanya. Bagaimana ini? Dari mana kakaknya tahu ia punya pacar? Raras berani bersumpah, ia tidak pernah bercerita pada siapa pun, sahabatnya sekalipun, jika ia berpacaran dengan Bhisma.
“Apaan, sih, Mas. Nggak ada!” Raras tahu ia sudah banyak berbohong dengan kakaknya selama delapan bulan terakhir.
“Jangan bohong, Ras. Biasanya cewek-cewek kalau udah sering balik malem, pasti karena pacaran.”
“Wah, pantes Gendhis sering balik malem, ya, Gi? Lo ajak pacaran muluuu.”
Celetukan itu terdengar dari ruang depan, tak jauh dari ruang makan. Seorang laki-laki bernama Frianino Ibrahim alias Nino, dengan tangan memegang stik PS dan tatapan fokus ke layar TV itulah yang tadi bicara. Ia teman seangkatan Hagi.
Jadi, sebetulnya Raras tidak hanya berdua dengan Hagi di rumah ini, malam ini. Seperti hari-hari sebelumnya, bahkan sejak dua minggu Raras tinggal di rumah ini, teman-teman Hagi sering datang ke sini untuk melakukan banyak hal. Mulai dari numpang istirahat saat jam kosong, singgah sebelum pulang ke kosan, melanjutkan rapat, mengerjakan tugas, menyulap ruang depan menjadi rental PS, hingga minta makan gratis. Bahkan tidak jarang, mereka menginap saat akhir pekan.
Selain itu, yang datang tidak hanya satu, melainkan lima orang. Dua di antaranya adalah teman seangkatan Raras, yang akhirnya semakin akrab dengan Hagi karena mereka sama-sama aktif di kepengurusan organisasi jurusan.
Apalagi sejak Hagi resmi menjadi ketua organisasi jurusan dan kelima temannya itu menjadi anggotanya sebulan yang lalu, rumah ini lebih mirip basecamp untuk rapat HMJ daripada rumah tinggal.
“Sialan.” Hagi berdecak sambil melirik Nino yang masih asyik main game. Ia menatap Raras lagi. “Jadi anak mana? Kenalin sama gue orangnya. Biar gue kasih tahu, kalau mau ngajak lo pacaran sampe malem, wajib izin dulu sama gue!”
Raras menghela napas frustrasi. “Mas, lo dengar omongan dari mana, sih, gue punya pacar?” Sejujurnya, Raras tidak ingin bertanya begini. Namun, ia gemas dan penasaran. Pasti Hagi baru saja terhasut oleh gosip anak-anak kampus. Bagaimanapun, Raras ini junior di jurusan, pasti tidak luput dari topik obrolan para senior.
Dan, satu lagi. Hagi itu mudah sekali percaya orang lain, apalagi dikompori.
“Tuh, Teted yang bilang katanya lo punya cowok!” Hagi menunjuk Teddy Sutrisna, yang lebih sering dipanggil Teted, dengan dagunya.
Sontak, Raras memelotot seraya menoleh ke arah Teted, cowok berambut mangkok dan berkacamata yang duduk di sofa. Baru saja, Raras menemukan teman sekelasnya itu menyengir karena kedapatan melakukan hobi aneh bin menyebalkan di mata Raras. Teted senang sekali memotretnya diam-diam dengan kamera pocket yang sering ia bawa ke mana-mana.
“Teted!” kesal Raras, tapi juga waswas. Masa iya Teted tahu dirinya punya pacar? Bisa tamat riwayatnya malam ini jika rahasianya terbongkar karena Teted tahu Raras pacaran dengan Bhisma.
“Kunaon (kenapa), Yayang Raras?” balas Teted dengan semringah dan sekali lagi memotret Raras.
Raras mengabaikan panggilan sayang Teted yang menggelikan itu, yang sialnya sudah Teted lakukan sejak semester 2. Sampai-sampai banyak orang bilang Raras adalah calon istri idaman Teted. Gila kali.
“Lo ngomong apaan sama Mas Hagi? Kata siapa gue punya pacar?” desis Raras.
Teted mengangkat kedua alisnya. “Loh, jadi lo nggak punya pacar?”
“Nggak!” Bhisma, aku nggak salah kan bilang gini? Sumpah, Bhisma. Kamu tetap pacar terbaik aku, batin Raras frustrasi. “Jangan ngada-ngada lo, ya!”
“Wah, syukurlah. Kalau gitu, gue masih bisa jadi pacar lo, kan?” Teted menaik-turunkan alisnya dengan senyum lebar percaya diri.
“TETED!” murka Raras. Hampir saja sendok di meja makan melayang ke arah Teted kalau Hagi tidak menahannya.
“Udah.” Hagi mengambil sendok dari tangan Raras. Ia sadar sudah salah karena terlalu cepat percaya ucapan Teted daripada adiknya sendiri. Terkadang, ia pun kesal menghadapi rasa cemas yang berlebihan terhadap adiknya. “Ya udah, gue percaya kalau lo jomlo.”
Diam-diam, Raras menghela napas lega. Baru kali ini ia senang dianggap jomlo. Setidaknya, interogasi ini berakhir juga.
“Loh, Ras? Udah sampe?”
Suara berat itu datangnya dari arah teras belakang. Hagi maupun Raras menoleh, mendapati Saga datang dari teras belakang sambil membawa gitar.
Banyu Aji Sagara, salah satu teman kampus yang paling dekat dengan Hagi. Saking dekat dan akrab, Hagi sering kali menitipkan rumah pada Saga jika harus keluar untuk antar-jemput kekasihnya atau keperluan lain.
Waktu masih maba, Saga sering diajak Hagi pulang ke Bogor. Dari situlah Raras mengenal laki-laki pendiam ini. Mereka pun semakin akrab, bahkan Raras menganggap Saga seperti kakak laki-laki keduanya sejak berkuliah dan tinggal di rumah ini.
“Sori, tadi gue nyuruh lo cariin komik di Gramed sampe balik malem.”
“Ya?” Raras mengerjap bingung saat Saga tiba-tiba duduk di sebelahnya, menyenggol-nyenggol kakinya, sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya. Hingga akhirnya, Raras paham dengan kode itu. “Oh, itu .... I-iya, Mas. Komik yang lo pesan ..., ternyata sold out di Gramed.”
Saga tersenyum tipis, lalu beralih pada Hagi. “Sori, Gi. Tadi gue nitip komik karena tahu Raras ke Gramed. Kebetulan, edisinya lagi langka, jadi agak susah nyarinya. Raras jadi balik malem.”
Hagi menyipitkan mata sepanjang mendengar alasan Saga, sahabatnya.
“Tadi Mas Saga nawarin jemput gue juga, tapi gue yang nolak. Makanya gue balik naik ojek.” Raras menambahi.
Hagi semakin menyipitkan mata menatap Raras. Namun, ketika ia melihat wajah lelah Raras, ia langsung menghela pasrah. “Mending lo masuk kamar, deh, Ras.” Hagi berdiri, lalu melangkah ke ruang depan yang ramai dengan teman-temannya.
“Mas Hagi, gue minta maaf,” rengek Raras penuh penyesalan.
“Masuk, atau gue aduin ke Mama?”
Raras menghela napas. Kakaknya kalau ngambek memang tidak asyik dan menyebalkan. Belum lagi sifat suka mengadunya itu sungguh sangat-sangat meresahkan Raras.
“Gue ke kamar dulu, Mas,” pamit Raras pada Saga. Tanpa menghiraukan anggukan Saga, ia melangkah lesu menuju kamarnya.
**
Tangan Raras berhenti menggosokkan handuk ke rambut setengah basah usai keramas. Ia terduduk lesu di meja belajar, masih sedih karena Hagi marah. Namun, ia tidak punya pilihan, apalagi sampai membongkar hubungannya dengan Bhisma.
Raras tahu risikonya. Menjalani hubungan dengan Bhisma memang tidak mudah. Ada banyak hal yang harus ia korbankan demi menyenangkan hatinya, juga kekasihnya. Salah satunya pulang malam sampai kena marah kakaknya.
Lamunan Raras buyar saat ia tersentak mendengar pintu kamar diketuk dari luar. Raras bangkit dan membukanya, lalu mendapati Saga berdiri di hadapannya.
“Susu cokelat, buat lo.”
Pandangan Raras menurun pada gelas dalam genggaman Saga yang disodorkan untuknya. Namun, tidak buru-buru menerimanya.
“Ambil, Ras. Hagi yang bikin susu buat lo.”
“Ya?” Hah? Nggak salah, nih? Bukannya Mas Hagi lagi ngambek?
Saga lelah menunggu, jadi ia memilih untuk melangkah masuk dan meletakkan segelas susu titipan Hagi di meja belajar. “Hagi nggak marah sama lo, Ras. Dia cuma cemas nungguin lo nggak pulang-pulang, tapi gengsi buat bilang.”
Raras berdecak dan tersenyum sinis. Ya, seharusnya ia tahu jika Hagi tidak benar-benar marah padanya. “Apa, sih, susahnya bilang dia khawatir sama gue? Jadi nggak perlu marah-marah, gitu.” Bikin mood anjlok tahu nggak? Heran, punya kakak satu, tapi hobinya ngomel mulu.
“Ya lo tahu Hagi, lah. Gengsinya gede. Makanya gue disuruh bawain susu ini buat lo. Dia takut lo belum makan dan lupa minum susu sebelum tidur.”
Meski masih sebal, tapi hati Raras menghangat diperhatikan sedemikian baik oleh kakaknya. Ia meraih gelas itu lalu meminum isinya hingga tersisa setengah. Kebiasaannya sebelum tidur dan susu cokelat memang ampuh untuk membuat tidur lebih nyenyak.
“Thanks, Mas. Udah jadi perantara Mas Hagi, lagi.” Semoga Saga tidak bosan menjadi penengah dua bersaudara seperti Raras dan Hagi kalau sedang marahan seperti ini.
“Hm.”
“Thanks juga, buat yang tadi.” Raras menambahi. “Udah bantuin gue bikinin alasan kenapa gue balik malem.”
Saga menghela napas. “Lo cewek, Ras. Bisa nggak jangan keseringan balik malem?”
Raras cuma menyengir sambil pura-pura sibuk menghabiskan susu cokelatnya.
“Terlepas lo punya pacar atau nggak, tapi tolong usahain jangan keseringan balik malem. Kalau emang terpaksa banget, lo bisa telepon gue, nanti gue jemput.”
“Nggak mau, ah. Ngerepotin orang banget.”
“Senggaknya Hagi lebih tenang dan nggak rewel kalau tahu lo balik sama gue.”
Raras mengecurutkan bibir, tampak berpikir. Ia lebih memilih tidak mau ambil risiko jika sampai Bhisma tahu ia pulang naik motor dengan cowok lain. Naik ojek memang sudah paling tepat untuknya bepergian ke mana-mana. Toh, jarak dari apartemen Bhisma ke rumah tidak terlalu jauh dan menguras ongkos kalau naik ojek.
“Dari jam tujuh, Hagi udah gelisah nunggu lo pulang. Nyatanya, dia bilang lo malah main ke Gramed. Jam sembilan lo nggak pulang juga, Hagi mondar-mandir nggak jelas keluar masuk rumah nungguin lo, Ras. Nggak kasihan lo sama kakak lo?”
Raras tertawa geli. “Dia aja panikan banget. Gue kan udah gede, Mas.”
“Iya, tapi lo cewek, Raras. Lebih bahaya kalau ke mana-mana sendirian, apalagi sampai malem. Lo mau kejambret lagi kayak waktu itu?”
Sekitar enam bulan lalu, Raras menjadi korban kriminalitas alias penjambretan saat naik motor malam-malam bersama Hagi. Beruntung, mereka tidak sampai jatuh ke jalan karena tas selempang Raras digunting oleh penjambret, lalu dibawa kabur. Sampai hari ini, Raras masih merinding mengingat kejadian itu.
“Lo naik motor sama Hagi aja masih kejambret, apalagi sendirian?” Saga bersuara lagi. “It's okay kalau lo minta jemput sama gue karena nggak mau dijemput Hagi, Ras. Gue nggak merasa direpotin sama sekali.”
Senyum tipis Raras menghiasi wajahnya. Sejujurnya, ia ingin omelan Saga segera berakhir. Ya, bagi Raras, Saga juga sedang memarahinya. Hanya saja dengan cara yang lebih halus, menasihatinya. Tidak dengan tatapan permusuhan seperti Hagi.
Namun, meskipun begitu, Raras berterima kasih dan senang karena Saga selalu memperlakukannya seperti adik sendiri. “Thanks, Mas. Next time, gue hubungin lo kalau kepepet, ya.”
Saga mengangguk, lalu berbalik hendak keluar, tapi tidak jadi. “Lo udah makan?”
“Udah, kok.”
“Kalau lapar lagi, bilang aja. Nanti gue panasin makanan.”
“Lo masak, Mas?” Suara Raras membuat Saga yang sudah membuka pintu kamar lebih lebar, berhenti dan menoleh lagi.
“Berkat dana cuma-cuma dari Gilang, gue tadi bikin carbonara buat anak-anak. Gue sisain buat lo di kulkas.”
“Wah! Mau! Sekarang aja makannya, gimana?” semringah Raras, lalu keluar kamar lebih dulu. Saga lekas mengekorinya dengan senyum tipis menuju dapur.
“Lo sama anak-anak nginep, Mas?”
“Lo mau gue nginep?” tanya Saga balik sambil memanasi carbonara untuk Raras yang berdiri di sebelahnya.
Tatapan Raras beralih sebentar ke ruang depan yang ramai dengan suara ribut Nino mengomentari permainan PS-nya. Teman Hagi satu itu memang sangat suka main PS sampai lupa waktu, sampai tidak butuh punya pacar. Berbanding terbalik dengan seorang Gilang Atmaja yang lebih hobi baca buku, tapi setiap dua-tiga bulan sekali selalu punya gandengan baru.
“Sebenernya gue lebih suka rumah ini tanpa kalian, sih. Lebih tenang.”
Raras melirik lagi ke ruang depan, Hagi tampak asyik menjadi lawan main Nino. Tak jauh dari sana, Teted juga terlihat antusias bercerita tentang banyak hal pada Jaka Adiwilaga, teman seangkatan sekaligus satu kosan dengan Teted dan suka sekali tenggelam dalam sketsa-sketsa lukisannya.
Ada yang lucu dari Teted dan Jaka. Dua cowok itu sama-sama asli Bandung, sudah lebih dari setahun tinggal di Jakarta dan cukup beradaptasi dengan gaya bahasa lo-gue, tapi tetap saja masih tidak lepas dengan logat Sunda yang kental. Tidak jarang, orang sering tertawa geli jika mendengar mereka bicara.
“Tapi untuk malam ini, gue lebih pengin lo nginep, sih, Mas,” tambah Raras. Ia menoleh pada Saga. Memperhatikan bagaimana luwesnya laki-laki itu sibuk dengan peralatan masak.
Dibanding yang lain, Saga memang lebih pintar masak. Selain itu, ia juga suka main musik, bahkan ssesekali menghabiskan malam minggunya menjadi penyanyi kafe. Ada kebiasaan aneh Saga yang Raras hafal, yaitu tidur nyenyak di antara kebisingan teman-temannya. Dan, satu hal yang paling Raras suka dari Saga dibanding teman-teman Hagi yang lain: Saga selalu membereskan rumah usai dibuat kacau oleh Nino dan Teted.
“Mas Hagi pasti masih nggak mau ngobrol sama gue. Jadi, tolong temenin dia. Kasihan kalau hobi ngobrolnya tertahan karena berantem sama gue, Mas.”
Saga tertawa kecil sambil menuang mi berkuah putih dengan taburan keju itu di piring kosong. “Oke, gue nginep kalau gitu.”
“Kaos-kaos lo yang ditinggal di sini juga udah gue laundry, kok. Ada di lemari Mas Hagi.”
Saga mengangguk lagi, lalu membawa makan malam Raras ke meja makan. Di belakangnya, Raras mengekor sambil bertepuk tangan kecil. Tampak tidak sabar ingin menyantap makan malamnya.
“Makasih, ya, Mas.” Raras melahap spageti buatan Saga yang rasanya selalu enak dan pas di lidahnya.
“Kalau kurang, nanti gue bikinin lagi.”
Raras tidak sanggup bicara lagi. Mulutnya penuh dan terus mengunyah. Jadi, ia hanya bisa mengacungkan jempol dengan tangan kiri karena tangan kanannya sibuk menggulung mi.
Sementara itu, Saga baru saja mengambil gitar yang tadi ia letakkan di dekat ruang makan, lalu ia taruh kembali. Sebab, ada hal yang lebih menarik untuk ia lakukan sekarang dibanding melanjutkan main gitar di teras belakang.
“Katanya lo udah gede, tapi makan masih kayak bocah.”
Raras mematung seketika, saat dengan jelas merasakan sentuhan ibu jari Saga yang mengusap kedua sudut bibirnya tanpa tisu atau apa pun. Mendadak, spageti di mulut Raras sulit sekali ditelan. Sebab entah bagaimana, deru napasnya memberat seiring detak jantungnya yang berdegup keras.
Tanpa bisa dicegah, Raras menyemburkan isi mulutnya persis di depan wajah Saga.

BAB 3: Dua Bulan Lalu
Tidak ada yang paling menyenangkan selain pekan UAS berakhir di jam 10 pagi. Senyum Raras mengembang lebar begitu keluar dari gedung F, tempatnya menyelesaikan UAS Aksara Daerah sebagai penutup masa perkuliahan semester 3.
Raras bahkan bisa mencium aroma liburan semester selama Januari nanti yang akan ia isi dengan bangun siang karena semalaman begadang sambil chatingan sama pacar.
Berhubung Raras termasuk dalam golongan sepuluh orang terakhir yang menyelesaikan soal ujian, ia terpaksa melenggang ke Kanvas sendirian dengan setengah berlari.
Kanvas itu sebutan dari kantinnya anak Fakultas Sastra dan Seni Rupa, salah satu kantin yang cukup terkenal di Universitas Manggala karena bangunannya yang estetik dan tidak biasa: tiang-tiangnya terbuat dari bambu dan atapnya mengerucut tertutup jerami. Sekitar kantin dikelilingi oleh pepohonan dan rumput luas, menambah kesan teduh, juga tersedia banyak kursi dan meja berpayung.
Banyak mahasiswa—bahkan dari fakultas lain—makan atau nongkrong di Kanvas karena suasananya yang terasa alami, mirip di pedesaan alih-alih kampus tempat menuntut ilmu.
Mungkin itulah sebabnya banyak pula mahasiswa yang lebih suka berlama-lama ngadem di Kanvas daripada masuk kelas.
“Ras!” Panggilan itu membuat Raras melihat eksistensi Gendhis Hapsari, sahabatnya yang duduk sambil melambaikan tangan dengan senyum ceria di area depan stan aneka jus.
Gendhis tidak sendirian, melainkan bersama Sherly Adellia, sahabat Raras satu lagi. Mereka dipertemukan saat maba dan tanpa sadar keakraban membawa mereka untuk selalu bertiga ke mana-mana. Di kelas duduknya berdekatan bertiga, ada tugas kelompok selalu bertiga, ke toilet pun kadang bareng bertiga.
Bagi Raras, berteman dengan Gendhis dan Sherly memang seasyik itu. Hingga akhirnya, mereka pun sepakat bergabung menjadi anggota sekbid HMJ saat ada open recuritment bulan lalu. Raras memilih menjadi anggota sekbid Kesenian, Gendhis bagian dari sekbid Humas mengurus mading dan media sosial jurusan, lalu Sherly di sekbid Kewirausahaan.
“Parah, gue ditinggal.” Raras duduk di sebelah Gendhis, berhadapan dengan Sherly.
“Lo lama banget ngerjain gituan doang, Ras,” timpal Sherly.
“Tahu, deh, yang jago baca pegon sama hanacaraka,” cebik Raras sambil menyandarkan kepala, bermanja-manja di bahu Gendhis yang tertawa-tawa sambil menyeruput jus alpukat.
Sebagai sesama mahasiswa non-native atau bukan asli orang Jawa, Raras terkadang iri melihat kepintaran Sherly yang lebih mudah dan cepat paham mempelajari mata kuliah Aksara Daerah yang terdiri dari aksara Jawa, Sunda, dan pegon. Padahal, seharusnya Raras yang lebih paham dari Sherly karena lebih dulu tahu bahwa akan mempelajari mata kuliah tersebut saat Hagi membawa beberapa buku tugasnya ke rumah.
Dasarnya Raras yang malas belajar. Sudah diberi kesempatan lebih dulu mengetahui kisi-kisi mata kuliah di semester depan, tetapi dia lebih suka bermalas-malasan dan ... pacaran. Padahal, dulu ia memutuskan masuk jurusan Sastra Daerah pun karena melihat Hagi kuliah di sana dan tampak menyenangkan.
Selain belajar tentang sastra dan kebudayaan, Raras paling suka kalau ada kunjungan ke daerah-daerah. Seperti tahun lalu saat libur semester satu, angkatannya bersama beberapa dosen berkunjung ke Keraton Solo dan menjadi tamu di UNS untuk bertukar pikiran dengan sesama mahasiswa jurusan Sastra Daerah.
Dengar-dengar, akan ada kunjungan atau studi wisata lagi di semester 4 nanti dan Raras tidak sabar menantikan hari itu tiba. Kapan lagi, kan, bisa jalan-jalan bareng Bhisma? Ya walaupun mereka tetap tidak bisa sebebas itu menunjukkan eksistensi hubungan mereka, setidaknya Raras bisa berjalan bersisian dengan Bhisma dalam suasana perjalanan menyenangkan.
“Nih, udah gue beliin es Milo favorit lo.” Gendhis menggeser cup berisi susu cokelat dingin kesukaan Raras.
“Ah, baik banget, siiih. Makasih, calon kakak ipaaar.” Satu kecupan gemas dari Raras pun mendarat di pipi kiri dan kanan Gendhis. “Sering-sering, ya. Biar restu dari gue selalu ngalir buat lo sama Mas Hagi. Haha.”
“Jijik banget!” celetuk Sherly, sedangkan Gendhis hanya tertawa-tawa dan Raras menikmati es Milo-nya.
“Tapi tadi bisa, kan, ngerjainnya soal ujiannya, Ras?” tanya Gendhis bak menjalani peran sebagai kakak ipar yang perhatian.
“Bisa, sih. Walau agak lama mikirnya. Untung semester depan nggak ada matkul Aksara Daerah lagi,” timpal Raras sambil mengaduk-aduk minumannya.
Gendhis tertawa geli. “Emang nggak ada, tapi matkul Filologi bakal mempertemukan kita dengan naskah beraksara Jawa yang sebenarnya, Ras.”
Benar juga kata Gendhis. Raras jadi teringat dengan layar laptop Hagi yang menyala dan menampilkan huruf-huruf keriting aksara Jawa yang betul-betul ditulis dengan tangan dalam naskah kuno. Hagi memang pernah cerita kalau kelas Filologi selama satu semester itu banyak jam kosongnya, tapi tugasnya menerjemahkan naskah-naskah lama yang berisi aksara Jawa untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik naskah tersebut.
Sontak, Raras melengkungkan senyum ke bawah, meraungkan suara tangis yang dibuat-buat tanpa air mata. Salah satu drama Raras yang paling membuat Sherly mual.
Kuliah Sastra Daerah memang tidak semudah kelihatannya.
“Hari ini angkatan kita rapat sama HMJ di mana jadinya, Dhis?”
Pertanyaan Sherly membuat Raras baru ingat kalau ada rapat jurusan bersama HMJ untuk membahas agenda event tahunan jurusan yang kebetulan menjadi giliran tanggung jawab angkatan Raras. Secara otomatis membuatnya gelisah karena sering kali, lamanya rapat tidak bisa ditentukan. Itu berarti rencana kencan Raras akan sedikit bergeser dari jam yang sudah disepakati dengan Bhisma semalam.
Seperti semester lalu, sudah jadi kebiasaan dan kesepakatan bersama, Raras dan Bhisma akan berkencan begitu UAS rampung sebagai self reward.
“Mas Hagi bilang kemungkinan jadinya rapat jam 2. Soalnya angkatan dia masih ada UAS sampai jam 1,” terang Gendhis.
Bahu Raras langsung merosot lesu. Bagaimana ia bisa lupa jika hari ini kumpul rapat jurusan? Bhisma juga sepertinya lupa—atau mungkin tidak tahu—jika ada rapat jurusan siang ini sampai-sampai semalam mengajaknya kencan jam 11 siang. Rencananya, mereka mau nonton di Pondok Indah Mall yang jaraknya—sangat amat—cukup jauh dari kampus.
Buru-buru Raras mengambil ponsel hendak mengirim chat pada Bhisma perihal jadwal rapat. Namun, saat sedang sibuk mengetik pesan, suara Sherly mengalihkan perhatiannya.
“Menurut kalian, Bhisma sama Bella pacaran nggak?”
Refleks, Raras mengangkat wajah lalu menemukan pandangan kedua sahabatnya menuju ke arah sisi timur Kanvas. Dekat stan bakso & mi ayam, Bhisma tampak duduk berkumpul bersama beberapa mahasiswa dari jurusan Sastra Prancis, Jerman, dan Belanda.
Katakanlah, Bhisma itu punya kelebihan untuk mudah bergaul dengan siapa saja. Namun, sayangnya hal itu malah membuatnya terlihat lebih sering main dan akrab dengan mahasiswa jurusan lain daripada jurusan sendiri. Mungkin karena mereka sesama anak Jakarta—gaul yang level kehidupannya di kalangan orang berada—dan sebagian masih teman satu SMA dengan Bhisma. Bella, contohnya.
Raras memang tidak pernah berkenalan secara langsung dengan Bella, tapi ia cukup tahu lewat cerita Bhisma bahwa perempuan berambut sepunggung dan bertubuh sempurna—karena Bella juga model di agensi yang sama seperti Bhisma—bernama lengkap Bella Ariska Hutama itu anak Sastra Perancis dan sahabat Bhisma sejak SMP.
Jadi, jika Sherly membuka topik untuk menggosip apakah Bhisma dan Bella berpacaran, Raras akan dengan lantang menjawab tidak.
Gila kali. Bhisma cowok gue, woy! gerutu Raras dalam hati.
“Menurut gue, mereka cuma sahabatan!” tukas Raras sambil kembali mengetik pesan untuk Bhisma yang belum selesai. Tidak peduli Bhisma sedang ngobrol apa di ujung sana dengan teman-temannya. Ia hanya ingin pesannya segera Bhisma terima.
“Tapi gosip yang beredar, kan katanya mereka pacaran, Ras,” timpal Gendhis.
Sherly menjentikkan jari. “Nah, gue sih merasa gosip itu beneran.”
Bhisma cowok gue, Sherly! teriak Raras lagi dalam hati seraya menatap sengit Sherly, yang tentu saja tidak dipahami maksudnya oleh Sherly sama sekali.
Sherly mencondongkan tubuh ke arah Raras dan Gendhis. Posisi sempurna saat sedang bergosip. “Mana ada sahabatan, tapi duduknya dempet-dempetan kayak orang pacaran gitu.”
Gara-gara Sherly mengedikkan dagu ke arah Bhisma, Raras dan Gendhis jadi ikut melirik ke sana. Sontak, mata Raras melebar dan hatinya seperti diremat-remat melihat Bella tertawa-tawa sambil melingkarkan lengannya memeluk lengan Bhisma.
Segera, Raras mengalihkan pandangan. Menatap tasnya di atas meja dengan deru napas memburu. Selalu seperti ini saat lagi-lagi mendapati Bhisma tengah bersama Bella di kampus, yang sialnya selalu berujung ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menunjukkan rasa cemburunya. Ia hanya bisa memendam sambil terus membisikkan kalimat positif bahwa Bhisma cuma sahabatan dengan Bella.
Berhubung Bhisma dan Bella sahabatan sejak lama, bahkan jauh sebelum Bhisma mengenal Raras, jadi Raras tidak boleh cemburu buta dan harus menghargai persahabatan mereka, bukan? Namun, kenapa balasan yang datang tidak setara dengan pengorbanan Raras dan yang terjadi justru hampir satu fakultas tahunya Bhisma dan Bella punya hubungan khusus alias pacaran?
“Entah gimana, ya. Gue kok nggak percaya gitu waktu Bhisma cerita sama gue kalau dia sama Bella cuma sahabatan doang dari SMP.” Ocehan Sherly membuyarkan lamunan Raras.
“Loh, emangnya Bhisma pernah cerita sama lo, Sher?” tanya Gendhis dan sukses membuat Raras ikut penasaran mendengar jawabannya.
“Pernah. Jadi, gue tuh pernah semacam pedekate gitu sama Bhisma.” Sherly tampak tertawa bangga sebentar atas pengakuannya. Ia sih merasanya seperti itu. “Kita sempat jalan bareng juga.”
“HAH? KAPAN?”
“Ras! Astaga!” Gendhis mengomel sambil menjambak sedikit rambut Raras karena telinganya sakit mendengar Raras berteriak histeris. Hal itu juga membuat beberapa penghuni Kanvas menoleh ke meja mereka.
Raras berdeham sebentar untuk menetralkan ekspresinya. Bisa-bisanya ia keceplosan panik seperti itu. Ia melirik ke tempat duduk Bhisma dan tatapan mereka sempat bertemu sekilas. Satu hal yang Raras lihat setelah itu adalah Bhisma mencoba menjauhkan lengannya dari tangan Bella.
“Biasa aja dong! Lo naksir Bhisma apa gimana, sih? Histeris amat tahu gue pedekate sama dia,” celetuk Sherly sambil mencipratkan ujung sedotan es teh manisnya ke wajah Raras.
Memang, di antara mereka bertiga, Sherly cukup agresif dalam perihal asmara. Ia lebih suka mendekati cowok duluan daripada ia yang didekati. Namun, Sherly juga cepat ilfeel, meskipun cowok itu goodlooking. Hampir setiap bulan, Sherly selalu menceritakan cowok yang berbeda pada Raras dan Gendhis.
Itulah mengapa Raras cukup kaget saat Sherly bercerita pernah jalan bareng dengan Bhisma.
“Kapan lo pedekate sama Bhisma?” tanya Raras. Ia tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Ya sekitar dua bulan lalu, lah.”
Raras melongo. Dua bulan lalu? Artinya Bhisma jalan sama Sherly saat pacaran dengannya. Bhisma kok nggak cerita?
“Kok gue nggak tahu?” protes Raras, lalu menoleh pada Gendhis. “Lo tahu, Dhis?”
Gendhis menggeleng. “Kok tumben, Sher, lo nggak cerita sama kita-kita?”
Dalam hati, Raras cukup lega Gendhis mewakilkan pertanyaannya.
“Gue nggak sempet cerita sama kalian karena emang pedekatenya nggak lama juga,” ungkap Sherly. “Gue sama Bhisma cuma sempat jalan dan nonton dua kali.”
Jalan dan nonton? Dua kali? Raras benar-benar speechless rasanya.
“Waktu itu, gue pernah tanya sama Bhisma, hubungan dia sama Bella itu gimana. Soalnya kelihatan dekat banget, kan. Secara buang-buang waktu juga kalau ternyata gue pedekate sama cowok orang.”
Ya emang dia cowok orang! Cowok gue! timpal Raras dalam hati.
“Dan, Bhisma jawabnya gitu. Cuma sahabatan. Bullshit nggak, sih?”
Nggak! Mereka emang sahabatan! Suara hati Raras terus menjerit.
Sherly semakin berapi-api. “Lagi pula, sekarang gini, deh. Lo berdua pernah nggak lihat Bhisma jalan bareng atau sedeket itu sama cewek ... selain sama Bella? Hayo?”
SAMA GUEEE, SHERLYYY! batin Raras tak tertahankan lagi.
“Iya juga, ya. Bhisma juga jarang keliatan gabung sama angkatan kita, sih.” Gendhis mengiakan.
Seakan belum ingin mengakhiri gosip ini, Sherly melanjutkan, “Awalnya gue emang tertarik sama Bhisma karena ..., ya dia ganteng, model, bodinya bagus. Gue yakin perutnya pasti kayak roti sobek.”
Melihat Sherly membicarakan Bhisma dengan senyum mendamba dan tatapan menerawang yang berbinar, ingin sekali Raras membalik meja kantin sekarang juga.
“Tapi gue ilfeel lama-lama sama Bhisma. Orangnya nggak asyik diajak ngobrol, kayak jaga jarak banget sama gue. Sok misterius. Bikin gue makin yakin kalau Bhisma emang pacaran sama Bella.”
BHISMA PACARAN SAMA GUEEEE! ASTAGAAAA!
“Aw! Ras! Lo ngapain, sih?” pekik Gendhis yang terlonjak karena kaget tiba-tiba lengannya diremas kuat-kuat oleh Raras.
“Eh, sori-sori. Gue gemes sama lengan lo, hehe.” Raras cengengesan sambil meremas-remas lengan gemuk Gendhis dengan lebih lembut.
“Nggak adiknya, nggak kakaknya, kenapa sih hobi banget ngeremes-remes lengan gue! Sakit tahu!” keluh Gendhis seraya mengusap-usap lengannya.
“Yakin cuma lengan, tuh, yang diremes-remes Mas Hagi, Dhis?” ledek Sherly.
“Heh! Mulut lo, ya!” omel Gendhis.
Saat Sherly dan Gendhis berdebat, pikiran Raras malah semrawut sendirian. Hatinya belum rampung cemburu, kini ditambah gelisah dengan praduga-praduga Sherly yang sialannya membuatnya memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak ia pikirkan.
Raras menghela napas. Mencoba menenangkan diri. Sejauh ini, Raras selalu percaya Bhisma. Bhisma itu kekasihnya dan Bella hanya sahabat Bhisma.
Lalu, soal Sherly yang sempat jalan bareng Bhisma, akan Raras coba tanyakan pada Bhisma nanti. Bisa saja, Sherly yang terlalu pede menganggap pertemuannya dengan Bhisma sebagai proses pendekatan, bukan? Padahal, Bhisma biasa saja karena sadar diri tidak mungkin nekat menjalin hubungan dengan teman pacarnya sendiri.
Saat segala pikiran itu berkecamuk dalam kepalanya, ponsel Raras bergetar menampilkan satu notifikasi pesan dari Bhisma. Saat itu juga, Raras baru sadar kalau pesan yang tadi ia ketik untuk Bhisma, belum sempat terkirim.
Bhisma Januar Nugraha
Ras, aku harus otw ke agensi. Mendadak ada panggilan buat syuting iklan.
Jangan marah, ya? Kita nonton lain hari. Oke, Sayang?
Raras lemas. Apalagi saat ia menoleh ke tempat duduk Bhisma, kekasihnya—serta Bella—sudah tidak ada di sana.

BAB 4: Bohong Lagi
Seingat Raras, ini hari Sabtu. Terlebih, ini Sabtu di minggu pertama liburan semester. Ia punya jadwal bangun siang sekitar pukul sebelas, sebelum pintu kamarnya terbuka, lalu suara cempreng Gendhis menyeruak ke dalam kamar dan mimpi indah Raras berubah kusut.
“Raraaas, banguuun!” Gendhis berseru di samping ranjang Raras. “Omaygat, Ras. Kebo banget, sih. Udah siang, Ras. Bangun, yuk? Lo nggak laper apa?”
“Apa, sih, Dhis?” rengek Raras sambil mengusap wajahnya dengan malas. Ia berguling ke kiri, memunggungi Gendhis seraya mengeratkan pelukan pada guling kesayangannya.
“Eh, kok malah lanjut tidur, sih?” protes Gendhis sambil menarik Raras agar berbalik lagi ke arahnya.
Raras pun pasrah. Sambil masih memejam dan kembali memeluk guling, ia berdecak. “Gue masih ngantuk, Dhis. Lo ngerusuh aja, sih, pagi-pagi,” rengeknya.
“Pagi? Hellooo. Ini udah siang, jam setengah 11.”
“Dan lo udah bangunin gue setengah jam lebih cepat dari seharusnya, Dhis.”
Gendhis memutar bola matanya malas. “Ih, harusnya lo bersyukur gue bangunin biar nggak telat latihan nari.”
“Jadwal latihan nari gue masih jam 1 nanti, ya, kalau lo lupa,” timpal Raras.
Gendhis tertawa. “Ya siap-siap dua jam sebelumnya, kan, nggak apa-apa. Belum lagi, perjalanan dari sini ke Taman Mini kan lumayan, Ras. Daripada lo telat terus dihukum sama pelatih lo, hayo?”
“Auk ah, Dhis.” Raras menutup wajahnya dengan guling. Sungguh, Gendhis terlalu dalam menghayati peran sebagai kakak ipar pagi ini.
“Ih, bangun, Raaas.” Gendhis menyingkirkan guling dari wajah Raras, lalu menowel-nowel pipi Raras. “Pasti lo abis begadang nonton film deh semalem, makanya kurang tidur.”
Gerutuan Gendhis tidak ditanggapi lagi oleh Raras. Terlebih, Gendhis salah tebak karena semalam Raras begadang demi menunggu kabar Bhisma.
Sejak di kantin saat hari terakhir UAS seminggu lalu, Raras belum bertemu Bhisma lagi. Sempat hampir bertemu tiga hari lalu, sebelum akhirnya Bhisma kembali membatalkannya secara sepihak karena harus segera terbang ke Bali untuk lanjut syuting video klip.
Sepertinya, pihak agensi tahu jika Bhisma sudah libur kuliah. Sehingga jadwal pemotretan dan syuting bisa dilakukan lebih sering dan leluasa. Sialnya, Bhisma jadi sangat-sangat sibuk dan rencana-rencana kencan bersama Raras selalu kena imbas.
Hingga akhirnya, semalam, dengan rasa kantuk yang tak tertahankan lagi, Raras mengangkat telepon Bhisma. Suara laki-laki itu terdengar sangat lelah, sekaligus frustrasi karena begitu merindukan Raras. Dan, kalimat terakhir yang Raras dengar sebelum akhirnya ketiduran dan Bhisma memutus sambungan adalah seandainya bisa, Bhisma ingin memeluk Raras semalaman agar lelahnya bisa diusir pergi.
Setidaknya, semalam, tidur Raras bisa sedikit tenang karena bisa mendengar kalimat rindu yang sama dari Bhisma. Bahwa seminggu ini, Raras tidak merindu sendirian.
“Ras, Ras,” panggil Gendhis usai melirik pintu kamar Raras yang sedikit terbuka. Sehingga suara-suara ramai dari luar samar-samar terdengar, membuat Gendhis menoleh pada Raras karena teringat sesuatu.
“Hm?” jawab Raras sambil masih berusaha menyambungkan diri pada mimpi yang tadi sempat terhenti. Andai Gendhis tahu ia hampir berciuman dengan seseorang ... yang ia yakini pasti Bhisma, walaupun samar-samar. Sebab, gila saja jika sampai Raras mimpi bermesraan dengan cowok lain.
“Udah berapa kali gue bilang, jangan lupa kunci pintu kamar kalau tidur, Ras.”
“Oh? Iya.”
Melihat adik pacarnya masih memejam dan menanggapinya dengan asal-asalan, Gendhis gemas dan menggoyang-goyangkan lengan Raras. “Gue serius, Ras. Gue tuh berharap tadi pintu kamar lo bakal gue gedor-gedor karena lo kunci. Eh, ternyata nggak. Lo inget nggak, sih, rumah lo sering kedatengan banyak cowok? Sering nginep pula kayak mahasiswa nggak punya kosan. Ini untung, ya, gue yang masuk. Kalau misal itu cowok-cowok yang masuk gimana? Bahaya, Ras.”
Demi Tuhan, haruskah Raras mengawali harinya dengan mendengar pacar kakaknya mencerocos panjang lebar seperti ini?
“Dhis,” Raras mengernyit menatap Gendhis, “lama-lama ... lo ketularan bawelnya Mas Hagi, deh.”
“Ih, Raras. Gue serius!”
“Iya, Dhis, iyaaa. Gue inget kok kalau mereka cowok, dan gue cewek sendiri di rumah ini.” Raras berangsur duduk. “Besok, gue bakal kunci pintu kamar biar lo nggak ngerusuh masuk kamar gue pagi-pagi!”
“Siang, Raras!”
“Terserah.” Raras menjulurkan lidah pada Gendhis yang merengut sebal. Kemudian tak sengaja memperhatikan penampilan Gendhis pagi—menjelang siang—ini. “Lo baru balik joging sama Mas Hagi?”
Gendhis mengangguk. “Mas Hagi beliin lo sarapan, tuh. Bangun, gih. Makan dulu. Nanti lo mati kalau nggak makan, Ras.”
Raras tertawa sumbang. “Dhis, lo udah bosen pacaran sama kakak gue, ya?” tanyanya seraya tersenyum miring.
“Hahaha. Ampuuun, calon adik ipar. Sensi banget, sih, ah. Lagi PMS, ya?” Gendhis buru-buru memeluk Raras sampai mereka terjungkal berdua di atas ranjang. Bisa dikatakan, Gendhis lebih mirip memiting Raras daripada memeluk.
“Engap, Gendhiiis!”
Tawa Gendhis pun kian mereda. Pelukannya sedikit terurai, lalu ia berbaring telentang dan membiarkan Raras memeluknya seperti guling dengan mata yang kembali terpejam. “Ras, nanti lo balik latihan nari di sanggar jam berapa?”
“Kayak biasanya. Jam 3 sore paling. Kenapa?”
“Baliknya lo ke kampus, kan? Sherly nggak dateng soalnya. Katanya mau kopdaran gitu sama cowok di Kokas.”
Raras mengernyit. “Eh, ke kampus ngapain? Mau ada rapat, ya?”
Mengingat rapat jurusan seminggu lalu belum menghasilkan susunan panitia acara karena tidak semua mahasiswa angkatannya bisa hadir, rencananya akan dilakukan perundingan lagi karena acara akan dilaksanakan sekitar akhir Februari. Mungkin lewat grup chat, sebab banyak mahasiswa yang pulang ke daerah masing-masing saat libur semester.
“Nggak, bukan rapat.” Gendhis menjawab. “Nonton Mas Hagi latihan basket. Kalau nggak salah, anak FH ngajak sparing dua minggu lagi.”
Lebih tepatnya, tidak hanya Hagi, tetapi juga Saga dan Teted. Mereka bertiga tergabung dalam anggota tim basket fakultas. Biasanya, jika ada latihan atau pertandingan, teman-teman sejurusan akan hadir menonton sebagai bentuk dukungan. Terkhusus Gendhis, ia layaknya manajer pribadi Hagi yang setia menyiapkan segala kebutuhan kekasihnya seperti air minum dan handuk kecil.
“Umm, gue nggak bisa dateng kayaknya.” Raras berharap Gendhis tidak menanyakan alasannya.
“Lo ada acara?”
“Gue ...,” mau ketemu Bhisma, ”ada janji ketemuan sama temen SMA gitu. Udah lama nggak ketemu soalnya.”
Subuh tadi saat Raras terbangun dan sebelum ketiduran lagi, ia sempat membaca pesan Bhisma.
Bhisma Januar Nugraha
Kita nonton di Tamini sepulang kamu latihan nari. Langsung ketemu di sana, ya :*
Sepertinya, Raras nanti tidak akan fokus menonton film di bioksop karena terlalu sibuk memeluk lengan Bhisma saking rindunya. Ia bahkan tidak ingin lagi meributkan soal Bhisma yang diam-diam jalan bareng dengan Sherly saking tak ingin merusak suasana.
Dan, mungkin, malam ini Raras akan membuat Hagi marah lagi karena rencananya, ia akan kembali pulang larut malam.
**
Tidak selera melihat bubur yang Hagi beli untuk sarapan, akhirnya Raras memilih makan mi instan. Saat ia menikmati brunch tadi, suasana ruang depan masih ramai dengan suara Teted yang mengobrol dengan Nino, sedangkan Jaka di kamar mandi, dan Gilang yang pamit pulang duluan karena mau ketemuan sama pacar baru.
Sudah tiga hari ini, mereka menginap di rumah Raras dalam rangka menikmati liburan semester dengan main PS sampai pagi.
“Gue balik ke kosan dulu, Ras. Jangan lupa kunci pintu rumah!” pamit Nino.
“Oh iya, Mas. Hati-hati.” Raras mengedarkan pandangan, merasa tertegun karena mendapati ruang depan cukup rapi saat Nino pulang. Lalu, omong-omong, di mana kakaknya?
“Yayang Raras, nanti teh jangan lupa nonton gue latihan basket. Oke?”
Raras meringis ngeri menanggapi seruan Teted sebelum akhirnya laki-laki itu mengedipkan sebelah mata dan melempar kecupan dari jauh saat pamit pulang. Sontak, Raras mengibas udara di depan wajahnya seolah-olah menepis semua kecupan-kecupan yang dilayangkan Teted.
“Balik dulu, Ras.”
“Eh, eh, Jak!” panggil Raras saat Jaka baru saja berpamitan dan hendak keluar rumah. Sambil sibuk mengikat tali sneaker-nya di ruang makan, ia bertanya, “Lo nggak pengin ngajuin diri jadi ketua panitia buat acara bulan depan?”
“Nggak. Katanya Teted mau ngajuin diri, tuh.”
“Hah? Serius? Teted banget?”
Jaka tersenyum tipis. “Gue bantuin dekor aja nanti. Bye, Ras.”
Raras mengangguk-angguk membiarkan Jaka pulang. Biasanya, cowok itu akan pulang naik motor bareng Teted karena mereka teman sekamar di kosan. Lalu, Nino? Cowok itu cukup jalan kaki karena kosannya hanya beberapa meter dari rumah Raras.
Selesai dengan sepatu, Raras menggendong tas ransel berisi air minum, baju ganti, dan perlengkapan menarinya di punggung. Sambil melangkah keluar, ia celingukan mencari Hagi yang sepertinya memang tidak ada di rumah. Padahal, Raras ingin pamit pada kakaknya.
“Udah siap?”
Raras tersentak begitu mendengar suara dari kursi teras, persis di sebelah kirinya yang sedang mengunci pintu rumah. Saga tengah duduk sambil memetik gitar. “Lah, Mas Saga masih di sini? Kirain udah balik.”
“Ayo, gue anterin.” Saga bangkit, tidak menaggapi ucapan Raras. “Hagi lagi nganter Gendhis pulang.”
“Oh, tapi ... gue ....” Raras bimbang, tapi kemudian tersenyum tipis. Ia merasa geli sekaligus miris. Kenapa Saga harus selalu repot-repot menawarinya tumpangan, padahal Raras punya pacar? Kenapa bukan pacarnya saja yang mengantarnya latihan menari?
“Lo punya pacar, Ras?”
“Hah?” Sontak, jantung Raras langsung belingsatan mendengarnya. Lamunannya pun buyar. “Ke-kenapa tiba-tiba nanya gitu?” Dan, kenapa juga ia harus gugup terbata-bata begini?
“Punya nggak?” desak Saga.
Raras berdeham sebentar. Tangannya meremat tali ransel kuat-kuat. “Ng ... gak.” Bohong lagi, bohong terus. Kapan ya gue bisa jujur soal Bhisma sama orang-orang?
“Nah, nggak punya, kan? Kalau gitu, nggak usah bingung kalau mau gue anterin. Nggak bakal ada yang marah juga.”
Raras mendengkus karena terkadang, ucapan Saga itu terdengar menyebalkan. “Nyebelin lo, Mas.”
“Emang. Abis lo lama jawabnya.” Saga tertawa kecil, sedangkan Raras merengut sebal memperhatikannya masuk rumah untuk meletakkan gitar di sofa, lalu kembali keluar dan mengantar gadis itu ke sanggar. “Nanti sore mau dijemput sekalian nggak?”
“Nggak!”

BAB 5: Tidak Baik-Baik Saja
Film sudah mulai sejak satu jam yang lalu, tetapi Raras masih duduk di depan studio 4 sambil menatap sendu dua tiket yang dibelinya begitu sampai bioskop.
Tadi, Raras berharap inisiatifnya ini tidak akan membuat Bhisma repot mengantre membeli tiket lagi begitu cowok itu tiba di bioskop. Raras juga sudah membeli minuman dan popcorn karamel ukuran large untuk dinikmati berdua Bhisma.
Lalu, di mana Bhisma sekarang? Kenapa laki-laki itu belum juga datang?
Entah sudah berapa kali Raras menghubungi Bhisma, tetapi teleponnya tidak juga mendapat jawaban. Chat-nya pun tidak kunjung terbalas.
Apa jangan-jangan Bhisma ada panggilan mendadak dari agensi lagi? Bukankah laki-laki itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya di Bali?
Raras memang tidak tahu kapan Bhisma sampai di Jakarta, tetapi membaca pesan ajakan nonton subuh tadi, cukup membuat Raras paham jika hari ini Bhisma sudah pulang.
Namun, lama-kelamaan perasaan Raras jadi tidak enak. Takut Bhisma sedang tidak baik-baik saja. Terlebih kekasihnya itu memang sibuk sekali akhir-akhir ini. Mungkin-mungkin saja jika Bhisma jatuh sakit, kan?
Dengan perasaan cemas bercampur gelisah, Raras kembali menghubungi Bhisma. Ia tidak peduli lagi pada tiket yang telanjur ia beli, atau sudah sejauh mana ia tertinggal untuk menonton film, atau popcorn di sisi kanan tubuhnya yang masih penuh, atau minuman bersoda favorit Bhisma yang belum sempat tersentuh sama sekali dan es batunya mulai mencair.
“Halo?”
Raras hampir saja memekik kegirangan saking senangnya begitu mendengar Bhisma menjawab teleponnya. “Halo, Bhisma.”
“Ya, Ras?”
Raras sedikit mengernyit saat suara Bhisma terdengar mirip orang yang baru bangun tidur. Jangan bilang .... “Bhisma, kamu ... di mana?” Demi apa pun, jantung Raras berdebar hebat saat melontarkan pertanyaan ini.
“Di apartemen, Ras.” Lalu terdengar Bhisma menguap lebar di seberang sana, sedangkan Raras semakin menahan napas tidak mengerti dengan penjelasan Bhisma. ”Kamu neleponin aku dari tadi, ya? Sori, aku baru bangun. Aku—astaga! Ras?”
Raras tersenyum tipis kemudian begitu mendengar Bhisma tersentak sendiri di tengah kalimatnya yang belum selesai. Saat itu juga, ada rasa nyeri yang mampir di sudut hatinya. Tanpa sadar, sebelah tangannya yang tidak memegang ponsel begitu kuat mencengkeram pinggiran kursi.
“Baru ingat sesuatu?” tanya Raras sambil menunduk menatap tiket bioskop di atas pangkuannya. Yang kemudian ia remas kuat-kuat dengan tangan kiri.
Sekuat rasa sesak yang semakin lama semakin menekan dadanya.
“Ras, sori banget, banget, banget. Astaga .... Aku lupa banget kita mau nonton hari ini.” Bhisma terdengar menghela napas sebentar. ”Aku baru sampe apartemen subuh tadi, Ras. Selesai chat kamu, aku ketiduran. Aku .... argh, shit.”
Raras menggigit bibirnya sepanjang mendengar penjelasan Bhisma dan ia cukup menerima dengan baik bahwa sepertinya Bhisma merasa sangat bersalah padanya.
Mau bagaimana lagi. Semesta tampaknya memang belum merestui mereka untuk saling melepas rindu.
“Kamu pasti marah sama aku,” imbuh Bhisma dengan suara penuh penyesalan. ”Maaf, ya, Sayang?”
“Ya udah, nggak apa-apa.” Sebisa mungkin, Raras menormalkan nada bicaranya. Bhisma tidak boleh mendengar getar suaranya karena hatinya terhimpit sesak. “Kamu pasti capek banget sampai baru bangun sore ini.”
“Kamu marah?”
Raras diam. Sebab ia sendiri bingung bagaimana menjabarkan perasaannya saat ini. Rasanya seperti campur aduk. Siapa yang tidak kesal karena batal bertemu setelah lama menunggu? Namun, bukankah seharusnya Raras sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini? Terlebih, ini bukan kali pertama ia kecewa.
“Nggak. Kamu lanjut istirahat lagi aja, Bhisma.” Raras menghela napas sebentar secara perlahan di antara bibir yang bergetar sambil mendongak. “Aku tutup teleponnya, ya.”
“Ras?”
“Ya?”
“Kamu nggak kangen aku?”
“Kangen.”
“Kalau gitu, ke apartemenku, ya? Aku pengin peluk kamu.”
**
Sepanjang perjalanan meninggalkan bioskop tadi, Raras banyak melamun. Sangat berbahaya sebetulnya karena ia pulang naik ojek online. Beberapa kali, ia hampir terjengkang karena tidak sempat berpegangan atau mengatur kesiapan saat tiba-tiba driver menambah kecepatan.
Ada yang mengusik pikiran Raras sampai-sampai ia tidak begitu tertarik dengan sekitar. Sampai-sampai ia tidak menanggapi driver ojol yang basa-basi mengajaknya berbincang supaya tidak bosan. Sampai-sampai ia tidak peduli jika ongkos yang ia berikan pada driver ojol tadi terlalu banyak dan belum sempat ia terima kembaliannya.
Raras hanya ingin duduk, merenungi satu hal agar ia yakin kalau pendengarannya masih normal. Sejujurnya ia tidak ingin memikirkan ini terus-menerus. Namun, suara lembut perempuan yang tidak sengaja terdengar di ujung sambungan telepon usai Bhisma berpamitan, berhasil mengacak-acak fokus Raras.
“Bhisma, ayo bangun. Makan dulu, baru nanti lanjut lagi—” Begitu yang terdengar, lalu telepon terputus dan meninggalkan Raras yang mematung dengan beribu tanda tanya dalam kepalanya.
Namun, pertanyaan yang paling mengusik pikirannya adalah, itu suara siapa? Jika telepon tidak keburu terputus, kira-kira Bhisma mau lanjut apa?
Dan, Raras tidak bisa menemukan jawaban saat pertanyaan lain terdengar bising berputar-putar membisikinya. Kenapa bisa ada perempuan di apartemen Bhisma? Bukankah selama ini hanya Raras yang tahu password apartemen Bhisma?
Sebetulnya, mudah saja jika Raras ingin tahu siapa perempuan yang ada di apartemen Bhisma. Ia hanya perlu terus melangkah dan berdiri di depan apartemen kekasihnya, lalu menekan digit-digit password yang sudah ia hafal, yang selalu ia buka tanpa perlu permisi dengan pemiliknya lagi saking sudah terbiasa mendapat izin.
Namun, Raras hanya terdiam, menatap kosong sepatunya sendiri. Membiarkan segala pertanyaan terus menjejal isi kepalanya hingga membuatnya merasa lelah.
“Akh!” pekik Raras sambil mengusap keningnya yang baru saja terbentur bola basket. Benar-benar sukses membuatnya tersadar kalau melamun di pinggir lapangan bukanlah ide yang bagus.
Raras mendongak, mendapati Saga yang berdiri menjulang sambil memegangi bola basket di hadapannya. Ia mengernyit. Jangan bilang, barusan Saga sengaja membenturkan bola basket yang keras itu ke jidatnya?
“Sakit nggak, Ras?”
Pertanyaan macam apa itu? Raras mencebik sebal. “Sakit, lah.”
Sambil masih mengusap keningnya, tatapan Raras mengedar ke sekeliling lapangan basket di sisi barat daya fakultasnya. Suasana cukup ramai. Banyak beberapa teman sejurusan yang duduk menonton di bangku semen bertingkat di pinggir lapangan. Sama sepertinya.
Tak jauh dari sisi kanan Raras pun ada Gendhis yang tengah menemani Hagi istirahat. Teted dan Nino juga ada.
Akan tetapi, Raras baru sadar, kalau sejak ia tiba di pinggir lapangan, ia tidak duduk bergabung bersama yang lain dan tenggelam dengan lamunannya sendiri. Ia bahkan tidak benar-benar memperhatikan Hagi, Saga, Teted, dan beberapa anggota lain yang sedang berlatih.
Sekilas, Raras teringat tadi Gendhis sempat histeris kebingungan menyambut kedatangannya. Jangankan Gendhis. Raras pun bingung mengapa akhirnya ia memilih mampir ke sini daripada terus ke apartemen Bhisma.
Tuk!
“Akhhh! Mas, lo ngapain, sih?” ketus Raras sambil kembali mendongak dan memegangi keningnya.
“Lo ke sini cuma mau numpang bengong, Ras?” Saga mendribel bola basketnya. “Mending lo pulang daripada ngerepotin orang gara-gara lo kesurupan.”
Mengingat lapangan basket dikelilingi banyak pohon besar dan tua. Tidak jarang, banyak pengalaman beberapa mahasiswa yang diganggu di sekitar sini karena masih beraktivitas saat magrib.
“Resek lo, Mas!” Namun, Raras telanjur sebal dengan tingkah Saga. Ia ingin menangkis bola basket yang dimainkan Saga, tetapi tidak berhasil. Saga lebih dulu menangkap dan kembali membenturkan bola itu ke keningnya. “Astagaaa! Sakit, Mas!”
“Masa, sih?”
Sekali lagi, dengan tekanan yang Saga yakini tidak akan membuat kepala orang amnesia, ia memantulkan bola bakset itu ke kening Raras sambil tertawa kecil.
“Mas Nyunyu!”
“Heh! Gue udah sering bilang, jangan manggil gue kayak gitu!” protes Saga.
“Bodo,” cibir Raras. Dengan ekspresi menyebalkan dan kepala bergoyang ke kiri dan kanan, ia lanjut meledek Saga. “Mas Nyu-nyu-nyu-nyuuuuu.”
Tuk!
“Mas, kok lo resek banget, sih? Curang, ih, pake bola!” kesal Raras sambil berdiri mengentakkan kaki. Siap mengejar Saga yang melangkah mundur ke tengah lapangan.
Berhubung latihan sudah selesai dan lapangan kosong tidak terpakai, Saga dengan leluasa berlari ke sana kemari saat Raras mengejarnya, sebisa mungkin berhasil menghindar agar Raras tidak bisa menangkapnya.
Lalu ketika Raras mulai lelah dan menyerah, Saga akan kembali mendaratkan bola basket di kening adik sahabatnya itu. Semata-mata hanya agar rengekan manja Raras terdengar menggema memenuhi ruang-ruang kosong lapangan.
Dan, Saga tidak peduli, jika belum sempat beristirahat seperti yang lain dan malah kembali bermain basket, satu lawan satu dengan Raras. Toh, ini bukan benar-benar permainan karena Raras tidak bisa main basket.
Saga juga tidak peduli jika permainan itu lebih banyak diisi dengan jeritan Raras yang merengek minta diberi bola, atau Raras yang mengeluh lelah karena selalu gagal melempar bola ke ring, atau Raras yang memekik bahagia saat Saga menggendong gadis itu tinggi-tinggi di bahunya agar bisa berkali-kali memasukkan bola ke ring.
Terpenting, Saga tidak melihat wajah murung itu muncul lagi.
**
Tidak terasa, langit yang tadi masih berwarna jingga, perlahan berubah gelap. Satu per satu orang mulai meninggalkan lapangan basket dan sepakat akan latihan bersama lagi, beberapa hari lagi.
Di sebelah Hagi, dengan tatapan fokus ke lapangan, Nino berdecak seraya mendengkus geli. “Modus banget Saga sama adek lo, Gi ..., Gi. Bisaan banget ngajak main basket biar bisa dipeluk-peluk Raras, segala ditinggi-tinggiin bolanya pula. Ck.”
“Mas Nino ngiri apa cemburu, nih? Hehehe,” ledek Gendhis sambil tertawa-tawa. Buru-buru ia berlindung di balik bahu Hagi, takut Nino marah. Pasalnya, seniornya yang satu itu cukup sensitif perihal cewek.
Nino tertawa hambar. “Kurang kerjaan amat. Mending gue main game.”
Nino berdiri, lalu mencolek bahu Teted yang masih duduk selonjoran sambil asyik memotret Raras bermain basket dengan Saga di lapangan. “Ayo, balik, Ted. Ke rumah Hagi. Main PS lagi.”
“Siap atuh, Mas!” sahut Teted, lalu buru-buru mencangklong tasnya menyusul Nino.
“Nah, pas banget Bos Gilang baru sampe.” Nino berlari menghampiri Gilang yang baru tiba, lalu merangkul dan memutar balik teman sekelasnya itu untuk kembali ke parkiran. “Langsung ke rumah Hagi aja. Latihannya udah kelar, Lang. Lo pacarannya kelamaan, sih. Mana kunci mobil lo? Biar gue yang nyetir.”
Gilang hanya geleng-geleng sambil menyerahkan kunci mobilnya pada Nino. Ia melirik sebentar ke arah Hagi, lalu melambaikan tangan tanda pamit setelah Hagi menyuruhnya pergi duluan.
Hagi masih ingin duduk di pinggir lapangan sebentar lagi. Menikmati senja yang menggelap sambil tersenyum memandangi adik perempuannya melompat-lompat berusaha menggapai bola di tangan Saga. Yang akhirnya berujung dengan Saga memberikan bola itu pada Raras, lalu berdiri di belakang Raras, meraih kedua pinggang Raras dan mendorong gadis itu tinggi-tinggi agar berhasil memasukkan bola ke ring.
Lalu, tawa bahagia Raras tercetak jelas, menularkan rasa tenang, juga senyum yang semakin melebar di wajah Hagi.
Alih-alih kesal melihat adiknya diusili Saga—yang kata Nino itu modusnya Saga, Hagi justru ingin berterima kasih. Setidaknya, Saga tidak hanya berhasil menghibur Raras, tapi juga mengusir cemas yang sempat mengacaukan konsentrasi Hagi saat bermain basket tadi.
Saat Hagi melihat Raras tiba di lapangan dengan wajah murung dan ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja.
“Mas Nyu, gendong lagiiii!”
“Besok lagi, Ras. Ayo balik, udah gelap, nih. Nanti wewe gombelnya minta ikutan main basket, Ras!”
Raras berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Saga yang berjalan meninggalkan lapangan. Menyusul Hagi dan Gendhis yang berada beberapa langkah di depan mereka.
“Mas Nyunyu nggak asyik, ah!”
“Jangan panggil kayak gitu bisa nggak?”
“Mas ... Nyu-nyu-nyu-nyuuuu?”
“Ras.” Saga berhenti melangkah.
“Iya, Mas Nyu?”
“RAS!”
“KYAAA! AMPUUUN. HAHAHA. MAS HAGIIIII! TOLOOONG!”
“Magrib, Raras. Jangan teriak-teriak. Saga, berhenti ngejar-ngejar adek gueee!”

BAB 6: Dua Dini Hari
Jika bukan karena layar TV yang masih menyala, mungkin ruang depan akan terasa sangat gelap. Meski layar TV menampilkan tulisan game over karena Teted ketiduran, Raras tidak berminat untuk melanjutkannya atau ... mematikan TV sekalian.
Semua orang terlelap dengan posisi masing-masing; Nino terlelap di sofa yang bagian bawahnya menjadi sandaran duduk Raras saat ini, Teted dan Jaka berbaring bersebelahan beberapa langkah di sisi kanan Raras, Gilang memilih pulang pukul 12 malam tadi, dan Hagi tampak nyenyak di samping kiri Raras sambil memeluk guling.
Sementara itu, Raras duduk termenung di antara keremangan cahaya dari layar TV, memandangi roomchat-nya bersama Bhisma. Ada beberapa pesan dari Bhisma sejak pukul 8 malam tadi, yang hanya Raras baca dan tidak berminat untuk dibalas sama sekali. Hingga detik ini.
Bhisma Januar Nugraha
Ras. Kamu baik-baik saja?
Bhisma Januar Nugraha
Masih pusing? Udah makan belum? Minum obat? Mau aku beliin sesuatu?
Bhisma Januar Nugraha
Udah tidur, ya? :”)
Yaudah gapapa. Sleep well, Sayang. Get well soon, ya :*
Biasanya pesan-pesan manis mengandung banyak perhatian itu akan membuat Raras tidak berhenti tersenyum sepanjang malam. Jantungnya akan berdetak keras dan gelitik butterflies effect akan membuatnya kesulitan untuk terlelap. Namun, malam ini tidak.
Raras hanya bisa menatap pesan-pesan itu dengan sudut hati yang ... sakit. Seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuknya tanpa henti. Dan, Raras sungguh kebingungan mengapa ia harus sekecewa ini hanya karena Bhisma ketiduran dan tidak datang nonton bersamanya.
Atau, hal lain yang mengusik Raras tadi yang membuatnya enggan membalas pesan-pesan Bhisma?
Membuat Raras lebih memilih untuk berbohong, mengatakan bahwa ia kelelahan jadi kurang enak badan agar bisa punya alasan tidak datang ke apartemen Bhisma tadi sore.
Raras hanya belum siap jika ia benar-benar datang tadi, yang ia dapat justru rasa kecewa yang lebih hebat.
Air mata Raras tanpa sengaja menetes di pipi kiri. Buru-buru Raras mengusapnya. Jangan sampai air matanya berakhir jatuh di telapak tangan Hagi yang meski memeluk guling, tapi tetap tersampir di atas pangkuannya.
Malam ini, kakak laki-laki Raras sedikit menyebalkan. Sifat manjanya kumat. Entah mengapa Hagi tiba-tiba merengek pada Raras, meminta untuk diusap-usap kepalanya sebelum tidur. Hagi memang punya kebiasaan seperti itu sejak kecil, tetapi mulai berkurang dan bisa teratasi saat laki-laki itu kuliah dan jauh dari rumah, jauh dari Mama. Dan, kebiasaan itu akan muncul sesekali jika Hagi benar-benar kelelahan, tetapi sulit untuk terlelap.
Sejak Raras ikut tinggal di rumah ini karena kuliah, Hagi sering merepotkannya seperti ini di saat-saat tertentu. Seperti saat Hagi sakit, atau stres karena tugas kuliah, atau kecapekan dengan kegiatan kampus, atau ... ya, bertengkar dengan Gendhis.
Sejujurnya, dibanding Raras, Hagi ini hatinya lebih ... lemah. Berantem sedikit dengan Gendhis, galaunya sangat-sangat merepotkan Raras.
Raras tersentak saat tiba-tiba mendengar pintu rumah diketuk. Ia menoleh dengan perasaan waswas. Pasalnya, ini sudah pukul dua dini hari. Waktunya orang berenang dalam mimpi, bukan datang bertamu.
Sialnya, Raras belum sempat membangunkan Hagi atau Nino saat kenop pintu bergerak ditarik dari luar, lalu jantung Raras hampir mencelus begitu pintu terbuka dan sosok tinggi Saga muncul terlihat.
“Astagaaa,” gumam Raras sambil mengurut dada. Duh, jantung gue. Rasanya ia ingin menangis saking takutnya.
“Pintu sengaja belum dikunci karena tahu gue mau ke sini ... atau emang pada lupa buat ngunci?” tanya Saga sambil mengunci pintu rumah.
“Lupa kayaknya,” jawab Raras sekenanya sambil kembali menatap layar TV. Ia masih sibuk mengurus detak jantungnya yang nge-beat box karena ia pikir akan melihat sosok Mbak Kunti tadi.
Pun Raras tidak peduli mau apa Saga malam-malam begini datang ke rumahnya. Padahal, Saga baru pulang mengisi live music di kafe. Tadinya, Raras pikir Saga akan pulang ke kosannya malam ini. Apa laki-laki itu tidak lelah dan mengantuk? Lihat, Hagi dan teman-temannya saja bahkan sudah tepar sejak sejam lalu. Padahal, mereka sama-sama habis main basket bareng tadi sore.
Namun, terserahlah. Raras tidak mau pusing-pusing memikirkan sahabat kakaknya itu. Suara gemericik air di kamar mandi, cukup menjadi jawaban mungkin Saga ke sini mau numpang cuci kaki, cuci tangan, mandi, dan ... menginap seperti yang lain.
Akan tetapi, haruskah laki-laki itu mandi jam segini? Bukankah katanya tidak baik mandi malam-malam? Apalagi jika perut kosong. Apa Saga sudah makan?
Sekali lagi, Raras menggeleng tidak mau peduli. Buat apa? Bukan urusannya. Toh, Saga sudah dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri. Masih ada banyak hal yang harus Raras urus dan pikirkan. Bhisma, misalnya.
Terlebih, hubungan Raras dengan Bhisma yang akhir-akhir ini ... terasa lebih menekan kuat perasaannya dengan kecewa dan curiga yang berlebih.
Masalahnya, kenapa Raras harus curiga pada Bhisma, jika selama ini ia selalu bisa mengatasi semua itu dengan terus percaya bahwa Bhisma tidak patut dicurigai?
Raras pusing. Kepalanya sakit.
Dan, Raras ... tersentak saat tiba-tiba sebuah selimut tersampir menutupi seluruh kaki hingga pangkuannya. Begitu ia menoleh, Saga duduk di sebelah kanannya, melindungi diri di balik selimut yang sama dengannya. Wajah laki-laki itu agak basah, sepertinya tidak dikeringkan dengan baik hingga tetes-tetes air masih terlihat di sekitar dahi dan ujung-ujung poninya.
“Ini udah jam dua, hampir setengah tiga pagi. Kenapa belum tidur?”
Selain pertanyaan Saga, Raras cukup terkejut dengan ujung-ujung jemari kaki Saga yang dingin tak sengaja bergesekan dengan punggung kakinya.
Raras berdeham sebentar, menggeser sedikit kakinya agar berjarak dengan Saga. “Nggak bisa tidur,” ia menunjuk Hagi di sebelah kiri, lalu mengusap sebentar kepala kakaknya, “dan Mas Hagi tumbenan lagi kumat, minta diusap-usap sebelum tidur.”
“Ck.” Saga tertawa kecil dengan nada mengejek. “Dulu, waktu lo belum kuliah, Hagi sering minta tolong sama gue.”
Gantian, Raras tertawa. Padahal, curhatan semacam itu sudah berulang kali Saga ceritakan padanya. “Semoga Gendhis sadar kalau pacar yang dia bangga-banggain ini tuh punya kebiasaan aneh sebelum tidur.”
“Emangnya Gendhis nggak tahu?”
Raras mengernyit. “Harusnya sih nggak tahu, ya, Mas. Kecuali ... Gendhis pernah nemenin Mas Hagi tidur malem-malem. Iya nggak, sih?” Kerutan di dahinya jadi semakin dalam.
Saga mengerjap sebentar. “Kan, bisa aja Gendhis tahu lewat Hagi yang cerita, tanpa harus membuktikannya lewat ... tidur bareng?”
Kali ini, Raras yang mengerjap. “Iya juga, ya ....” Tawanya pun terdengar hambar dan kikuk. Kemudian ia menunduk, merutuki diri mengapa bisa-bisanya berpikir sampai sejauh itu.
Ah, sial. Apa karena suara perempuan di apartemen Bhisma tadi sore?
Benar-benar. Kepala Raras pusing sekali jika teringat dan kepikiran lagi soal itu.
“Dari tadi sore, lo murung banget. Beban hidup lo lagi banyak, Ras?”
Sontak, Raras berdecak dan menoleh. “Ngeselin lo, Mas. Lagian, siapa juga yang murung. Nggak, tuh.” Kemudian tatapannya beralih lagi menatap layar TV yang belum berubah.
“Kalaupun iya juga nggak apa-apa. Jadi manusia emang nggak bisa selamanya bahagia. Murung karena hidup lo lagi nggak baik-baik saja, bukan hal memalukan buat diakui kok.”
Raras mengangguk-angguk, pelan dan samar. Matanya menatap kosong ujung kakinya yang tertutup selimut. “Gue ... baik-baik aja.”
Entah sejak kapan, Raras jadi sering berbohong. Bahkan untuk dirinya sendiri. Jelas ia sedang kecewa, tapi tetap kukuh menganggap hidupnya berjalan dengan baik seperti biasanya.
“Seringnya, orang akan bilang gitu kalau lagi ada masalah.”
Geregetan, Raras menonjok lengan Saga sampai laki-laki itu tertawa kecil dan mengusap lengannya. “Lo baru balik dari kafe jam segini, Mas? Gue pikir lo pulang ke kosan malem ini.”
“Tadi gue udah balik ke kosan, tapi AC kamar mati. Jadi, daripada kepanasan, mending gue ke sini.” Saga merentangkan tangan ke atas, sedikit meregangkan otot-ototnya yang lelah, lalu meggerakkan kepala ke kiri dan kanan. “Pas banget, kamar Hagi kosong, nggak ada yang pake.”
Lagi, Raras menanggapinya dengan anggukan.
“Untung gue ke sini. Kalau nggak, rumah pasti nggak dikunci sampai pagi.”
Raras tersenyum tipis. “Emang cuma lo yang paling inget sama hal-hal sepele kayak gitu, setelah Mas Hagi. Mungkin karena tadi Mas Hagi lagi ngantuk banget, jadi kelupaan ngunci pintu.”
“Ya udah, lo tidur, gih.”
Raras bergumam mengiakan, tetapi tubuhnya enggan beranjak. Tadi, ia memang ingin duduk sendirian, menyepi. Namun, saat Saga hadir, ia justru merasa seperti Hagi yang ingin ditemani sebelum lelap memerangkapnya sampai pagi.
Haruskah Raras bercerita pada Saga? Namun, jika ia bercerita, apa hal itu menjamin ketenangan? Sepertinya, tidak juga.
Lagi, kepala Raras pusing. Kini hatinya ikutan nyeri saat pikiran-pikiran negatif soal Bhisma datang menjejali kepalanya lagi.
“Mau cerita sesuatu, Ras?” tanya Saga saat melihat gadis di sebelahnya memegangi kepala dengan dua tangan, lalu meremas pelan rambutnya ke belakang.
“Nggak.”
Saat itu juga Saga heran. Ia merasa yakin Raras tidak baik-baik saja saat gadis itu mengusap pipinya karena satu tetes air mata mengalir di sana, tetapi Raras tetap tidak ingin membagi masalahnya dengannya. Sejak kapan adik perempuan Hagi yang ia kenal begitu ceria, jadi seterpuruk ini menyimpan masalahnya sendirian?
“Lo yakin?” Telunjuk Saga bergerak perlahan untuk mengusap singkat air mata Raras yang menetes lagi. “Kalau sekiranya berat banget, lo bisa bagi ke gue.”
Raras menggeleng lalu menarik napas dalam-dalam di antara bibir yang bergetar.
“Ras.”
“Hm?”
“Lihat gue.”
Raras menoleh dan tatapannya bertemu dengan wajah Saga yang tegas, tetapi teduh.
“Lo boleh simpen masalah lo, Ras. Tuhan selalu tahu seberapa berat beban yang bakal ditaruh di ... pundak lo.” Saga menunjuk bahu kanan Raras, lalu perlahan mengusapnya lembut. “Tapi kalau lo masih nggak kuat juga buat nahan beban itu sendirian, lo punya Hagi, lo punya Gendhis, lo punya mereka.”
Tatapan Raras mengikuti pergerakan tangan Saga yang menujuk keberadaan Teted, Jaka, lalu Nino, dan berakhir di dada Saga sendiri.
“Dan, lo punya gue,” imbuh Saga sambil menatap lurus Raras. Mengunci tatapan Raras agar gadis itu hanya melihat dirinya satu-satunya di antara penerangan yang minim.
Raras hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.
“Setidaknya, dengan lo cerita dan membagi masalah lo, mereka-mereka yang numpang tidur di sini bisa lebih berguna jadi manusia.”
Kali ini, Raras tertawa pelan, yang disusul dengan senyum tipis Saga sebagai balasan. Lalu, Raras bergerak ke kanan, menggeser tubuhnya agar lebih merapat dengan Saga. Usai melingkarkan tangan memeluk lengan Saga, kepalanya jatuh dengan baik-baik saja di pundak kiri Saga.
Rasanya nyaman.
“Gue ...,” pacaran sama Bhisma, Mas, ”baik-baik saja, Mas,” dan gue ... butuh Bhisma sekarang.
Dan, seharusnya Raras sadar sebelum akhirnya mendaratkan kepalanya di bahu Saga, bahwa sejak dulu, Saga punya bahu yang nyaman. Sangat nyaman. Bahkan, terlalu nyaman. Hingga akhirnya, kini Raras menyesal karena kenyamanan itu justru membuat tangisnya tumpah dan Raras harus mati-matian menahan agar isaknya jangan sampai ikut pecah.
“Nangis aja,” entah sejak kapan tangan Saga menyambut dan merengkuh bahu ringkih Raras, yang kini menepuk-nepuk pelan berusaha memberi ketenangan, “jangan ditahan. Biar lega.”
Sementara itu, Raras menggeleng sambil sibuk mengusap pipinya yang basah, yang kian lama semakin terbenam bersembunyi di bahu Saga. “Nanti Mas Hagi bangun,” adunya dengan suara berbisik yang begitu sedih.
Saga tersenyum tipis. Sangat tipis. Lalu keduanya pun saling bersitatap saat ia bertanya, “Mau gue temenin ... di kamar?”
***
Huru-Hara Hati BAB 1-34 bisa dibaca gratis, sama seperti di Wattpad, ya :)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
