Huru-Hara Hati [BAB 24-29]

0
0
Deskripsi

24. Telanjur Basah

25. Bibir Saga

26. Kita Belum Selesai

27. Terlalu Posesif

28. Tapi, Masih?

29. Lanjut di Kamar

 

***

Halo para pencinta novel digital! Huru-Hara Hati akhirnya tayang di KaryaKarsa, nih. Bisa kamu baca sampai tamat. Happy reading, yaaa!

Dan, buat yang sudah memiliki novel cetaknya, tidak perlu membeli bab-bab HHH di sini lagi, ya. Karena isinya sama saja. Thankyouuu! 

post-image-675ba74537d6c.png

 

BAB 24: Telanjur Basah

Sparing selesai pukul setengah lima sore. Sebagian penonton tampak membubarkan diri keluar area lapangan. Sementara itu, kedua tim pemain tampak beristirahat di pinggir lapangan, sambil saling mengobrol atau mendengarkan informasi terkait turnamen antar kampus dari Coach Reza, pelatih tim basket FSSR yang juga aktif di tim universitas.

Hagi mengelap wajahnya yang penuh keringat usai membasahi dahaganya. Ia menoleh kiri dan kanan.

“Nyari siapa, sih? Pacar kamu di depan kamu, loh,” celetuk Gendhis sambil bersedekap.

“Nyari cewek cakep—AAA!” Teriakan Hagi di ujung kalimatnya sukses menarik perhatian banyak orang. Baru saja, kekasihnya menjewernya kuat-kuat. “Sakit, Yang.”

“Jangan macem-macem,” ancam Gendhis.

Hagi menyengir. “Ah, biasanya suka kalau aku macem-macemin.”

“Jewer lagi, nih?”

Hagi terbahak sambil menutupi kedua telinganya. “Iya, iya. Ampun.” Ia menangkap tangan Gendhis dan menggenggamnya. “Raras mana, sih? Perasaan tadi ikutan nonton.”

“Tadi disamperin Bhisma, terus pergi berdua ke parkiran. Katanya mau bahas proposal Apresiasi Mahasiswa. Paling nanti nyusul ke kantin. Mas Nino sama Sherly juga udah ke sana duluan.”

Hagi manggut-manggut. “Ted,” panggilnya kemudian, lalu melemparkan satu botol air mineral baru pada Teted. “Kasih ke Saga. Suruh istirahat. Udah kelar, masih main aja.”

Teted mengacungkan jempol di sela-sela kesibukannya melihat-lihat hasil jepretan Jaka. Betapa kerennya dia selama sparing tadi. Namun, kenapa Raras tidak juga terpikat dengan ketampanannya?

“Mas, minum dulu.” Teted menyodorkan botol air mineral pada Saga, tetapi seniornya itu terus melakukan drible dan jump shoot yang sialnya, bola selalu gagal masuk ke ring.

“ARGH!”

Refleks, Teted berjingkat mundur saking kagetnya mendengar Saga berteriak. Dengan takut-takut, ia menarik kembali air mineral yang dia bawa. Ia jadi ragu hendak memberikannya pada Saga.

“M-Mas. Lo ... nggak apa-apa?”

“Sori, sori.” Saga melirik Teted sebentar. Ia berkacak pinggang sambil mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan. Lalu mengambil air mineral dari tangan Teted. “Makasih.”

Teted tersenyum kikuk. Bukan hanya dia yang bingung, tetapi semua orang di pinggir lapangan juga bertanya-tanya memperhatikannya.

Kemudian, Teted mengerjap kaget campur bingung saat Saga tidak meminum air mineralnya, tetapi malah dipakai untuk mengguyur kepalanya.

“Seger, Mas?” Teted cengengesan.

Saga tidak menjawab. Dia masih berkecak pinggang sambil menunduk, menatap sepatunya yang terkena tetesan air dari ujung rambutnya dengan perasaan kacau. Ada apa dengannya? Permainannya hari ini mengecewakan. Tidak semaksimal biasanya. Mengapa fokusnya akhir-akhir ini terganggu sekali?

“Lo kenapa, Bro?” sapa Hagi yang akhirnya menyusul ke tengah lapangan, tempat Saga berdiri.

“Kesel gue.” Saga tidak bohong. Perasaan kesal begitu memenuhinya sampai membuatnya tidak nyaman. Namun, apa yang membuatnya begitu kesal? Tidak biasanya dia kesal tanpa alasan. Apa karena permainannya yang sangat buruk hari ini? Bukankah ini hanya sparing?

“Santai, Mas. Kan cuma sparing. Nggak ada menang kalah.” Teted sempat pergi sebentar tadi, lalu datang lagi menghampiri Saga dengan membawa handuk. Melihat seniornya basah kuyup, ia inisiatif membersihkan sisa-sisa air yang membasahi kepala, wajah, dan leher Saga. “Gue tahu lo paling jago three point, Mas. Tapi kalau gagal teh, juga nggak apa-apa kali.”

“Stop!” Saga tersentak, berulang kali berusaha menjauhkan handuk yang Teted gosok-gosokkan ke wajah dan kepalanya. “Ted, berhenti!”

“Ini lo basah kuyup, Mas. Gue handukin, biar lo nggak masuk angin.”

“Ted, nggak usah. Arghhh.” Saga menahan tangan Teted yang hampir saja menggosok area lehernya. Ia lalu celingukan dengan panik. Raras mana, sih?

“Diem dulu, sih, Mas. Itu leher lo basah banget, ya!”

“Eh, jangan, Ted!”

“TETED! ASTAGA! NOOO!

Mendengar teriakan yang menggema itu, semua orang refleks menoleh. Tampak Raras berlari dengan wajah panik dan kedua tangan terulur ke depan menuju tengah lapangan. Sesampainya di depan Saga, ia menepis tangan Teted dan merebut handuk, lalu mengalungkannya ke leher Saga.

Saking tidak siap dengan serangan Raras, Saga sampai mundur beberapa langkah dan memekik karena nyaris tercekik.

“TETED, LO NGAPAIN?” Raras berdiri panik di depan Saga. Kedua tangannya melingkar ke pinggang laki-laki yang ada di belakangnya. Melindungi Saga mati-matian.

“Sa-santai, Yayang Raras. Galak banget.” Teted tersenyum meringis. “Gue cuma mau bantuin Mas Saga ngelap keringe—”

“NGGAK USAH!” tolak Raras seketika. Tubuhnya semakin merapat pada Saga dan tangannya melingkar lebih erat. “Jangan pegang-pegang Mas Saga!”

Teted mengerjap kebingungan. Ia speechless. Hatinya langsung nyut-nyut melihat Raras begitu merapat dengan Saga. “Itu Mas Saga basa—”

“Nggak. Pokoknya nggak ada yang boleh nyentuh Mas Saga selain gue!” Raras berbalik. Kali ini ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Saga, lalu menoleh dengan tatapan galak ke arah Teted.

Teted hanya bisa melongo. Lalu Jaka datang menepuk bahunya, menghibur sambil tertawa-tawa. Bukan hanya Teted yang bingung, Gendhis pun geleng-geleng melihat tingkah Raras.

“Ras. Lepas nggak?” omel Hagi. Mendadak ia gerah melihat adiknya memeluk Saga di depan matanya.

“Nggak mau!” Raras menggeleng. Pelukannya semakin erat.

Sementara itu, Saga semakin lepas tertawa. Benar-benar memancing emosi Hagi.

“Astaga. Malu, Raras.” Hagi menarik gemas rambut Raras.

“Iiih. Nggak mau, Mas Hagi. Aduh! Kok lo jambak gue, sih? Pergi sana lo jauh-jauh!”

Saga meringis karena tubuhnya hampir dibuat remuk oleh Raras. Ia buru-buru merengkuh punggung Raras, sebab tingkah gadis itu berulang kali membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Tawa kecil Saga menguar dengan sendirinya. Entah bagaimana, kesalnya hilang begitu saja.

Telanjur basah, jadi mending menyelam sekalian. Begitu kira-kira prinsip Saga ketika akhirnya ia balas memeluk Raras dengan sama erat, sambil meletakkan pipinya di atas puncak kepala gadis itu, saat Hagi terus mengomel menyuruh adiknya memisahkan diri.

“Nyunyu! Lo bener-bener, ya. Malah nyari kesempatan!” Hagi beralih mengomeli Saga. Sialnya, sahabatnya itu hanya senyum-senyum sambil menikmati pelukan Raras.

“Mas Hagi jangan deket-deket! Sana! Nggak usah ngomelin Mas Nyunyu! Gue nggak bakal lepasin Mas Nyunyu, ya!” Sebelah tangan Raras menepis Hagi yang berusaha memisahkan Saga darinya.

“Anjir! Nyunyu! Lo apain adek gue sampe berani sama gue? Lo pelet adek gue? Hah?” Hagi memelotot seraya menarik salah satu lengan buntung kaus basket Saga yang kemudian dicekal dan dipukuli oleh Raras.

Lagi, Saga hanya tertawa-tawa membiarkan Raras melindunginya.

Pergulatan antara kakak beradik dan dua sahabat itu semakin memanas. Mendadak jadi tontonan gratis nan menghibur orang-orang di sekitar lapangan.

Di sisi lain, Jaka menghela napas. Merangkul Teted yang mendadak lebih pendiam. Teman satu kosannya itu benar-benar syok sepertinya. “Yang sabar, ya, Ted. Hati lo baik-baik aja, kan, lihat Raras meluk Mas Saga? Katanya udah ikhlas, udah relaaa.”

“Yayang Raras,” cebik Teted sambil memajukan bibir bawahnya. Drama pun kembali dimulai. Teted menangis sambil memeluk Jaka.

“Dah. Dah. Mending kita nyusul Mas Nino ke kantin. Siapa tahu bisa kenalan sama cewek FH,” ajak Jaka seraya merangkul Teted. “Dhis, gue ke kantin duluan!”

Gendhis mengangguk. Lalu menghampiri kekasihnya, menyeretnya pergi. “Ayo ke kantin. Aku laper.”

“Tapi, Raras—”

Gendhis menatap Hagi cemberut. “Kalau kamu nggak berhenti gangguin Raras, aku pulang!”

“Eh, jangan dooong. Ayo, ayo, ke kantin.” Hagi buru-buru mengambil tas, mencangklongnya di bahu, berpamitan dengan para pemain sebentar, lalu merangkul Gendhis. Melupakan Raras dan Saga begitu saja. “Sayangnya Hagi, hari ini mau makan apa? Hm?”

“Makan kamu!” sungut Gendhis.

Hagi menutup mulutnya, sok-sok kaget. “Eh, jangan keras-keras ngomongnya. Malu, Dhis, banyak orang. Hehehe.”

“Mas Hagiii!”

“Aaakh, iya, iyaaa. Ampuuun!”

Setelah benar-benar terlupakan dan ditinggal pergi kakak dan teman-temannya, Raras merasa yakin untuk melepaskan Saga. Sambil celingukan, ia kembali memastikan bahwa tidak akan ada yang berusaha menyentuh Saga, apalagi melihat leher laki-laki itu.

“Lo sengaja, ya, Mas?” Raras menatap Saga penuh curiga.

Saga menaikkan sebelah alis, membiarkan Raras menarik handuk dari lehernya dan memperhatikannya. “Sengaja apa?”

“Itu tadi, lo dihandukin sama Teted. Bisa-bisanya lo diem aja Teted ngelap-ngelap keringet lo, Mas.”

Saga hanya tertawa, memperhatikan lekat-lekat gadis di hadapannya yang tak berhenti mengomel, tetapi tangannya juga terus bergerak mengeringkan keringatnya. Adik sahabatnya ini ... benar-benar menggemaskan.

Beruntung, tadi Raras memutuskan untuk berhenti sebelum benar-benar sampai di mobil Bhisma. Ia memilih menolak untuk masuk ke mobil sekalipun Bhisma mengadu rindu dan berjanji tidak akan macam-macam. Sehingga di sinilah Raras sekarang, kembali di lapangan usai berlari meninggalkan Bhisma—yang mungkin kecewa padanya—di parkiran.

Entah bagaimana, firasatnya mengatakan Raras harus kembali ke lapangan agar lebih tenang. Kembali berkumpul bersama teman-teman, juga kakaknya. Menemui sahabat kakak laki-lakinya yang sejak tadi tak berhenti menghantui pikirannya. Ternyata benar saja. Rahasianya hampir diobrak-abrik Teted.

Damn.”

Saga mengernyit saat mendengar Raras tiba-tiba mengumpat pelan. “Kenapa?”

Raras buru-buru menutupi leher Saga. “Hoodie lo mana?”

“Di sana.” Saga menujuk pinggir lapangan, tempat para pemain tim basket FSSR istirahat. “Make up-nya luntur?” tebaknya.

“Nggak!” jawab Raras cepat.

Namun, Saga tersenyum remeh. Tidak percaya. “Luntur pasti, kan?”

“Pasti gara-gara Teted, nih!” tuduh Raras.

Saga tergelak. “Dih, Teted aja nggak sempat ngelap keringet gue, kok.”

“Bohong lo, Mas. Nggak mungkin!”

Saga tersenyum jahil. Ia menarik lepas handuk yang melingkar menutupi lehernya, lalu berjalan santai. Membuat Raras panik seketika.

“Mas! Astaga! Tutupin nggak!” Raras mengejar Saga yang malah berlari kecil keluar lapangan usai mengambil tas dan hoodie miliknya. “Mas Nyunyu!”

“Apa?”

“Tutupin!” Raras berhasil menangkap lengan Saga, lalu buru-buru menutupi kissmark di leher Saga dengan tangan kanan, sambil berusaha merebut hoodie Saga pakai tangan kiri.

“Biarin kenapa, sih, Ras? Gue mau pamer, nih.”

“Pamer matamu!”

“Heh!” Saga mendelik galak pada Raras. Tidak terima mendengar umpatan Jawa yang berani Raras layangkan padanya.

“Hehe. Ampun. Nyuwun pangapunten, Kanjeng Gusti Pangeran Nyunyu ....” Raras mengatupkan kedua tangan di depan wajahnya, berulang kali meminta maaf. Meski ujungnya tetap bercanda.

“Wah, makin berani, ya.” Saga berkecak pinggang sambil geleng-geleng, sedangkan Raras menyengir. “Hukumannya dobel, nih, kalau begini,” lanjutnya sambil tersenyum meledek.

“Hah? Dobel gimana?”

“Pertama karena lo kalah taruhan, kedua karena lo berani ngomong kasar ke gue. Jadi ... siap-siap, Ras.”

Raras refleks melangkah mundur sambil meringis ketika Saga mendekatkan wajahnya. “M-Mas?” Ini serius, nih, Mas Nyunyu mau kissmark leher gue sekarang? Di sini banget? Wah, gila. Gue harus merem atau gimana ini?

“Ras? Lo ngapain merem?” Saga menahan tawanya, membuat Raras membuka matanya lagi seketika. Padahal, maksud Saga ingin meminta Raras mentraktirnya dua kali jajan sebagai hukuman.

Hah? Astaga! Ih, kenapa gue merem lagi? panik Raras dalam hati.

Saga terbahak. Sambil berjalan mundur, tangannya menunjuk-nunjuk Raras. “Wah, Raras diem-diem .... Ngarep, ya? Ih, Raras, ih. Hahaha.”

“IIIH, MAS NYUNYUUUU! JANGAN KABUR, YA! PAKE DULU HOODIE-NYAAA!”

“Nggak mauuu. Hehe.”

Anjir, lah. Raras merutuki diri sendiri. Ada cara cepat pergi ke Pluto nggak, siiiih? Arghhh! Malu banget ya Tuhaaaan.

 

 

post-image-675ba74537d6c.png

 

BAB 25: Bibir Saga

Mata Saga terbuka seketika. Napasnya terengah, keringat hampir membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan, ia mencoba mengatur napas. Sebab degup jantungnya benar-benar kacau.

Tubuh Saga masih berbaring. Matanya fokus menatap langit-langit kamar. Mencoba mencari kesadaran yang belum penuh seutuhnya. Mencoba meyakinkan diri jika ia benar-benar sudah terbangun dari tidurnya. Sebab tanpa perintah, rasa gelisah itu hadir lagi. Setelah sekian lama, mimpi itu muncul lagi. Bayang-bayang masa lalunya bersama Dhara menyentil daya ingatnya lagi.

Sambil menghela napas panjang, Saga memejam sebentar lalu bangun dan duduk bersandar di dinding dengan menekuk satu kaki. Ia menyugar rambutnya dengan resah, lalu bayang-bayang Dhara yang tengah melepas satu per satu kancing seragam sekolah hingga luruh ke siku gadis itu, kembali memenuhi pikirannya.

Tangan Saga mengusap kasar wajahnya, berharap bayang-bayang itu segera sirna. Membawa pergi rasa gundah yang kembali mengungkungnya. Lagi, ia menghela napas lelah. Lalu mengecek ponsel dan hatinya cukup lega saat tidak mendapati notifikasi apa pun dari Dhara. Sejak video call terakhir beberapa hari lalu, gadis itu menghilang tanpa kabar lagi.

Jika dulu Saga selalu menunggu kabar gadis itu, sekarang ia berharap Dhara tidak peduli lagi saja dengannya.

Tak mau berlama-lama larut dalam kegamangannya, Saga memutuskan keluar kamar. Tenggorokannya kering sekali. Tanpa sengaja matanya melirik jam di kamar Hagi, ternyata ia tertidur selama dua jam selepas sparing tadi. Namun, baru saja ia membuka pintu kamar, suara fals Teted dan Jaka langsung menusuk gendang telinganya.

Rupanya ruang depan rumah Hagi tidak menjadi rental PS malam ini, tapi tempat karaoke. Dengan pedenya Teted dan Jaka menyanyi di hadapan Raras, Gendhis, dan Sherly yang duduk di sofa sebagai penonton. Jika Sherly dan Gendhis terbahak-bahak menyaksikan dua bujang Bandung itu berkaraoke layaknya vokalis band terkenal, Raras malah fokus dengan laptopnya.

Saga mengernyit. “Tumben pegang laptop. Biasanya ikutan haha-hihi.”

Sambil menguap, Saga melangkah keluar menghampiri ruang depan. Di situlah ia baru sadar kalau ada Gilang duduk lesehan membaca buku sambil bersandar di pinggiran sofa, segaris dengan Sherly duduk. Di atas karpet terdapat dua kotak pizza yang terbuka menyisakan dua potongan, serta beberapa cup Chatime yang hampir habis isinya.

Sepertinya, mereka habis berpesta. Bisa Saga tebak, pasti Gilang yang mentraktir teman-temannya malam ini.

“Ngetik apa?” tanya Saga sambil duduk di lengan sofa di sebelah kanan Raras duduk. Lalu mengedarkan pandangan karena tak menemukan sosok Hagi dan Nino.

“Loh? Udah bangun?” kaget Raras. “Kok udah bangun, sih? Tidur lagi, deh, Mas.”

Sebelah alis Saga terangkat naik. “Kenapa gitu?”

Dalam hati, Raras mendengkus sebal. Selama Saga tidur, hati Raras lega luar biasa karena laki-laki itu tidak lagi meledekinya perihal kissmark. Sekarang, Raras sedang sibuk mengetik proposal. Masa harus ditambah lagi pusing kepalanya karena kembali waspada dengan keusilan Saga?

Namun, setidaknya Raras bisa sedikit tenang karena Saga masih pakai hoodie.

“Aus, Ras.” Saga menguap lagi.

“Minumlah, Mas.” Tangan Rara sibuk mengetik dan tatapannya masih tertuju pada laptop saat bicara. “Itu, ada Chatime jatah lo di kulkas. Mending buruan lo minum sebelum diembat sama Mas Nino.”

“Buat lo aja. Gue lagi males minum yang manis-manis.”

Raras berhenti mengetik, lalu menoleh pada Saga. “Karena udah keseringan lihat gue, ya? Jadi lo takut diabetes kalau masih minum manis, Mas?”

Saga tertawa remeh. “Iya, sampe mau gumoh.”

“Ish!” Raras memukul paha Saga dengan kesal. “Makan dulu sana. Nanti lo mati kalau nggak makan.”

“Perhatian banget?” Saga mencolek dagu Raras.

“Ish, Mas.” Raras refleks menjauhkan wajah. “Apaan, sih.” Buru-buru Raras kembali menatap laptop, tetapi mendadak ia blank tidak tahu mau mengetik apa. Alhasil hanya ketik-hapus berulang kali tanpa tujuan.

Kenapa, sih, Ras? Ini pipi juga kenapa mendadak panas? Kan dagu yang dicolek.

Perlahan, Saga merapat ke telinga Raras dan berbisik, “Ras, gue gerah banget, nih.”

Sontak, Raras bergidik. Ia menoleh dan langsung bersitatap dengan wajah Saga dalam jarak dekat.

“Gue lepas hoodie, ya? Ganti kaos.” Saga masih berbisik.

“Nggak.” Raras balas berbisik, tapi lebih tegas dan penuh penekanan. “Awas aja lo lepas. Kalau perlu ...,” tangannya memasang kupluk hoodie di kepala Saga, lalu menarik talinya hingga setengah wajah Saga saja yang terlihat, “kupluknya pake sekalian.”

Saga tertawa kecil seraya melepas kupluk hoodie. “Tega banget, sih, Ras.” Ia balas mengacak-acak rambut Raras, memainkannya sesuka hati, sampai gadis itu berteriak mengomel.

“Sher, geser, Sher. Gue nggak mau jadi nyamuk.” Gendhis menggeser tubuhnya tiba-tiba sampai menghimpit Sherly.

“Berisik lo, Dhis!” semprot Raras sambil mendorong pantat Gendhis dengan ujung kakinya.

“Aaak, sakit, Raras. Mas Hagiiii!”

“Anjir. Gue kegencet, Dhis!” Sherly pasrah ketika ia benar-benar mepet ke ujung sofa.

“Wooo. Ngaduan!” Raras menjulurkan lidah pada Gendhis.

“Biarin! Wleee!” balas Gendhis tak mau kalah.

Sherly menimpali, “Lagian, gantian kali, Dhis. Biasanya Raras yang jadi nyamuk kalau lo pacaran sama kakaknya.”

“Ssst!” Saga berseru kemudian. Setengah menegur, setengah meledek karena ia tersenyum. Kedua sahabat Raras langsung menyengir, lalu kembali menonton Teted dan Jaka karaokean.

“Piza, nih, Sa. Sisa dua.” Gilang memberi tahu. Saga mengacungkan jempol sambil mengangguk-angguk. “Tidur lo kelamaan. Jadi nggak kebagian martabak sama seblak. Gue order banyak padahal tadi.”

Saga tertawa kecil. “Dalam rangka apa nih ada traktiran, Lang?”

“Hahaha. Ah, nggak. Cuma sebagai permintaan maaf. Sori, tadi nggak bisa dateng nonton sparing. Biasalah.”

Saga paham dengan kata 'biasalah' yang Gilang ucapkan. “Baru lagi, nih, kayaknya. Anak mana?”

Raras melirik Saga sebentar, merasa terganggu dengan rasa penasaran Saga tentang cewek baru Gilang.

“Anak FK. Angkatan akhir.” Gilang tersenyum bangga.

“Wiiih. Tumben lebih tua. Anak FK pula. Cakep dong?”

“Yoi dong.”

Anak FK pula, cakep dong? Ck, dasar cowok.”

“Apaan?” Saga mencolek pipi Raras karena barusan gadis itu mencibir, mengulang ucapannya dengan suara pelan. Melihat pasangan itu berdebat, Gilang pun geleng-geleng dan kembali membaca bukunya.

Raras menepis jari Saga. “Apaan, sih?”

“Ngomong apa tadi?” Saga mencolek lagi.

Raras menepis lagi. “Nggak ngomong apa-apa. Udah, ih. Jangan ganggu. Gue lagi ngetik, ih.” Tangan lo nggak asyik, Mas. Bikin muka gue panas gini. Ras, please, deh, ah!

Tanpa Raras dan Saga sadari, aksi colek dan tepis itu mulai mengundang perhatian banyak pasang mata. Terutama Teted yang tadinya bernyanyi sambil menatap TV, langsung terdiam begitu berbalik dan mendapati Raras duduk dempetan dengan Saga.

Melihat situasi, Jaka langsung waspada dan menghela napas. “Hadeuh, drama lagi ini, mah Hari ini ujian hidup lo banyak banget, ya, Ted. Haha.”

“Jangan deket-deket gitu, Ras.” Tangan Saga mendorong dahi Raras ke belakang karena terlalu dekat menatap layar laptop. “Mata lo sakit nanti. Lagian, ngetik apaan, sih? Tumben banget, biasanya joget-joget.”

“Proposal Apresiasi Mahasiswa. Kan gue sekretaris, jadi mau nggak mau nyicil ngetik. Bhisma bilang mau diserahin ke prodi minggu depan.”

“Terus, Bhisma ke mana? Harusnya lo diskusi sama ketua panitianya, lah.”

“Bali.”

“Ngapain? Liburan?”

“Kerja katanya.”

Jujur, Raras agak sebal saat mengetahui isi fail proposal dari Bhisma tidak ada perubahan sama sekali dari yang ia ketik semalam, sebelum akhirnya Bhisma khilaf. Raras ingin protes atau setidaknya meminta arahan dari Bhisma, tetapi kekasihnya itu tidak juga membalas chat-nya sejak dua jam lalu.

“Mas, daripada banyak nanya, mending bantuin gue, deh. Ini bener nggak, sih? Nggak apa-apa kalau gue tulis kayak gini?”

Saga pun menumpu satu sikunya di punggung sofa, lalu menyerongkan duduknya menghadap Raras, agar bisa melihat layar laptop yang Raras dekatkan ke arahnya. “Mending ditabel aja, Ras. Biar kelihatan perincian juara dan hadiahnya. Terus ....”

Dua mahasiswa berbeda angkatan itu fokus berdiskusi, tetapi Teted malah salah fokus karena merasa posisi duduk Saga terlihat terlalu dekat dengan Raras. Saga terlihat seperti tengah merangkul Raras dengan mesranya.

“Betapa hancur hatiku, melihat engkau bersamanya .... Kau, tenangkanku, dari mimpi burukku ....”

“Anjir, Teted!” Sherly terbahak.

“Perasaan tadi masih nyanyi lagu-lagu Sheila on 7. Kenapa berubah jadi kenjenben?” cibir Gendhis sambil memelesetkan nama Kangen Band.

“Tuh,” seru Sherly seraya mengedikkan dagu ke arah Raras, menunjukkan apa yang terjadi pada Gendhis.

“Ckck. Pantesan aja.”

Teted terus bernyanyi sambil menatap Raras dan Saga yang asyik mengobrol. Sialnya lagi, pasangan itu sama sekali tidak sadar jika Teted menyindirnya lewat lagu. ”Jangan kau menangis lagi .... Tak sanggup aku melihatnya. Sekarang kau pilih, diriku atau dirinya ....”

Teted menarik napas, menyandarkan kepala di dada Jaka yang tertawa-tawa. Untuk menghibur Teted, Jaka berperan sebagai backing vocal. Lantas, hal itu semakin membuat Gendhis dan Sherly terpingkal-pingkal.

“Kutuliskan cerita, antara engkau dan dia. Membuat hatiku semakin terluka. Sudah ... usai sudah. Antara engkau dan aku .... Kuanggap sebagai bingkisan kalbuuu ....”

Uuuuu ....”

Tidak sadar dengan nyanyian Teted, Raras malah tengah diam memperhatikan Saga memberi masukan dalam menulis proposal. Bahkan laptop sudah diambil alih seutuhnya di pangkuan Saga.

Perlahan, Raras menoleh ke arah kanan. Dengan jarak lumayan tipis, ia menatap wajah samping Saga. Meneliti dengan sedemikian rupa. Helaan napas lesunya terembus kemudian. Ia sedikit menyayangkan mengapa bukan Bhisma yang ada di sebelahnya, menemaninya mengerjakan proposal. Namun, lama-lama ia lelah dengan pikiran-pikiran negatif yang selalu merusak mood-nya seperti ini.

Raras ingin belajar berjarak dengan Bhisma, tidak terlalu menggantungkan pikirannya dengan Bhisma, tapi entah mengapa rasanya sulit sekali. Padahal, jelas. Jika dibandingkan Bhisma yang notabene kekasihnya, Saga lebih sering ada di dekatnya. Saga selalu ada ketika ia kesulitan. Bahkan tanpa ia minta, Saga selalu memberikan tempat untuknya bersandar dan melampiaskan kekecewaan.

Jadi, daripada memikirkan Bhisma, bukankah lebih baik Raras balas memberi banyak perhatian untuk orang sebaik Saga?

Astaga. No, Ras. Sadar! Ini Saga, Ras! Sahabat kakak lo! Cowok yang nganggep lo sebagai adek! Bisa-bisa, cuma lo yang nyimpan rasa sendirian, kan? Please, lah. Jangan selingkuh juga, apalagi sama Saga. Dia terlalu baik buat lo jadiin pelampiasan, kan?

Oke, Raras kalut. Ponselnya pun berbunyi. Sebuah notifikasi khusus akun Instagram Bhisma muncul seolah menjawab kegalauan dalam hatinya. Tanpa beban, Raras membuka notifikasi itu, lalu ia menyesal melihat unggahan Bhisma.

Dua jam lebih Raras menunggu pesannya dibalas, kini Bhisma mengunggah foto selfie bersama Bella di Instagram. Sungguh, Raras iri sekali dengan Bella. Mengapa Bella dengan semudah itu mendapatkan semua posisi yang ia inginkan dalam hidup Bhisma.

Ras, Saga emang terlalu baik buat dijadiin pelampiasan. Tapi ... persetan dengan itu semua nggak, sih? Gue capek, sama Bhisma, sama hubungan kami yang makin ke sini makin nyiksa batin gue. Jadi, tolong biarin gue cari kebahagiaan gue sendiri, dengan cara gue sendiri.

“Heh, bengong.”

Raras mengerjap ketika jentikan jari Saga berbunyi di depan wajahnya. Ia pun menoleh menatap Saga.

“Jadi, dari tadi gue ngomong sendirian?” Saga tersenyum tipis. “Kenapa? Kok tiba-tiba melamun?” Saga melirik ponsel Raras yang masih menampilkan unggahan Bhisma.

“Sori, Mas. Hmm, ngetiknya udahan aja, deh. Sini laptopnya, Mas.” Raras mengambil laptop di pangkuan Saga.

“Mau cerita?”

Raras menggeleng. Ia tidak ingin bersedih-sedihan lagi memikirkan Bhisma. Terlebih, banyak orang di rumahnya. “Gue nggak apa-apa kok.”

“Oke, tapi gue bisa ajak lo keluar, dengan alasan nemenin gue makan malam, kalau lo berubah pikiran dan butuh tempat lebih privasi buat cerita.”

Suara berbisik Saga barusan membuat Raras jadi berpikir ulang. Ia melirik Saga sambil menimbang-nimbang, haruskah ia jalan-jalan keluar bersama Saga malam ini? 

Namun, fokus Raras bergeser saat tanpa sengaja menatap bola mata Saga. Ia seakan terhipnotis menjatuhkan tatap ke bibir laki-laki itu beberapa detik kemudian. Ada yang tidak beres. Benar-benar tidak beres karena tiba-tiba rasa penasaran pada bibir Saga membuncah begitu saja dalam hati Raras.

“SUDAH ... USAI SUDAH .... ANTARA ENGKAU DAN AKU ....”

“Wowowow, sabar atuh, kaseeep!” Sambil tertawa-tawa, Jaka buru-buru menahan Teted yang tiba-tiba nyanyiannya terdengar emosi, lalu melangkah geram ke arah Raras.

Raras pun tersentak kaget karena ulah Teted dan baru sadar bahwa jari telunjuk kanannya menggantung di udara, hampir menyentuh bibir Saga. Buru-buru ia menarik tangannya, lalu berdeham tidak jelas usai memutus tatap dengan Saga.

“Hmm, itu. Lo ileran, Mas!” bohong Raras. Gila lo, Ras. Rumah lagi rame, bisa-bisanya lo hampir kelepasan! Argh! Raras merutuki diri sendiri.

“Elapin dong.” Saga mendekatkan wajahnya.

“Dih, ogah.” Raras mendorong pipi Saga seketika. “Mending, nih. Lo pegang laptop gue, deh, Mas. Gue mau nyanyi aja.”

Belum sempat Saga bersuara, Raras sudah bergegas bangkit dari sofa dan merebut mic dalam genggaman Teted. Layaknya operator, Jaka pun mencari lagu yang Raras inginkan. Ketika Raras mulai bernyanyi, teman-temannya tertegun.

“When you hold me in the street .... And you kiss me on the dancefloor .... I wish that it could be like that, why can't it be like that? Cause I'm yours ....”

“Menghayati banget nyanyinya. Raras lagi backstreet sama siapa coba?” celetuk Sherly.

Gendhis mengerutkan alis, lalu menoleh pada Saga. “Lo backstreet sama Raras, Mas?”

Sherly menimpali, “Backstreet macam apa yang mengumbar kemesraan tiap hari, coba?”

“Iya juga.”

Saga menghela napas, lalu tersenyum sambil geleng-geleng. “Itu kan lagunya emang lagi booming. Wajar kalau Raras nyanyiin.”

“Tapi, lo sama Raras backstreet atau nggak, nih? Beneran udah jadian, ya?” Jiwa kepo Sherly terpancing seketika.

Gendhis menginterupsi, “Eh, bentar. Kok Raras nggak cerita sama kita, sih, kalau udah jadian sama lo, Mas? Ngeselin, ih.”

Sementara Saga tertawa-tawa heran dengan pertanyaan kedua sahabat Raras, Gilang nyeletuk, “Privasi, hei. Privasi.”

Tiba-tiba volume suara Raras semakin meninggi. Teted bahkan ikut berduet dengannya. Suasana di ruang depan makin kacau.

“CAUSE I'M YOUUURS!”

“Halah, halah. Nada ke mana, suara ke mana,” celetuk Saga. Ia pun beralih pada ponselnya. Ada chat dari Eyang.

“Ras, sumpah, ya?” Hagi yang sejak tadi mengobrol dengan Nino di teras, tiba-tiba masuk rumah dengan wajah syok. Ia berdiri di belakang sofa. “Ras. Jangan tereak-tereak! Lo mau digerebek tetangga? Suara lo kayak kaleng rombeng, sadar nggak, sih?”

Raras menghampiri Hagi. Satu tangannya menyentuh bahu kakaknya, lalu lanjut menyanyi. Raras benar-benar menggila malam ini. “Why can't you hold me in the street, why can't you kiss me on the dancefloor ....”

Cah gendheng (orang gila). Kita kan kakak adek, masa ciuman di pinggir jalan.” Hagi menempeleng pelipis Raras. Sontak, semua orang terbahak. Namun, adiknya seolah tidak peduli dan terus membuat telinganya berdenging sakit. “Anjir. Nyunyu!”

“Apa?” sahut Saga tanpa menoleh, ia sibuk membalas chat.

“Lo apain Raras jadi sakau begini?”

Tanpa aba-aba, musik tiba-tiba mati dan Raras otomatis berhenti bernyanyi. Semua orang menoleh bingung, hingga akhirnya menemukan jawaban ketika melihat ke arah TV.

“Sori, gue matiin.” Nino menyengir lebar, tanpa rasa bersalah. “Kalau nggak gitu, nggak bakal ada yang dengerin gue ngomong.”

“Mas, gue lagi nyanyiiii.” Raras mengentakkan kakinya kesal. Dia lagi asyik melampiaskan emosi terhadap hubungannya dengan Bhisma. Seandainya membunuh senior seperti Nino tidak dihukum masuk penjara, Raras ingin sekali memutilasi manusia tukang makan dan penggila main PS itu.

“Gue ada ide, nih. Barusan ngobrol sama Hagi di depan.” Nino duduk bersila di depan TV, diikuti oleh Teted dan Jaka. “Semingguan lagi masuk kuliah, kalian nggak pengin liburan bareng? Nggak butek muter-muter di rumah Hagi doang?”

Semua orang terdiam. Baru sadar kalau masa liburan akan segera berakhir, tetapi mereka masih tertahan di Jakarta dan belum sempat benar-benar merasakan liburan yang sebenarnya. Liburan semester ganjil itu memang serba nanggung.

“Emang Teted sama Jaka nggak pulang ke Bandung?” tanya Gendhis. “Raras sama Mas Hagi juga, rencananya, kan, mau balik ke Bogor kelar sparing. Mas Saga juga.”

Tersisa Nino, Sherly, dan Gilang yang tidak disebutkan karena memang tinggal di Jakarta.

“Usul lo boleh juga, No. Udah lama juga gue nggak liburan.” Gilang membuka halaman terbaru bukunya, lalu lanjut membaca. “Gue berangkat kalau gitu.”

Sherly mengangkat jari telunjuk. “Gue juga! Ayo, Dhis, Ras. Liburan. Sebelum stres ketemu Jawa Kuna sama Sansekerta semester depan!”

“Kalau emang mau liburan, mah, gue rela nggak balik Bandung. Jadi, mau ke mana kita?” sahut Jaka senang. 

“Gue juga!” Teted berseru seraya mengangkat tangan. “Biar nanti gue balik Bandung pas liburan semester genap aja. Abah sama Ambu juga nggak maksa harus pulang sekarang, sih.”

“Kita pulang, kan, Mas?” tanya Raras pada Hagi.

“Mama sama Papa masih di Jogja, Ras. Percuma kita balik Bogor, nggak ada orang. Liburan aja, yuk!” Hagi merangkul Raras yang terlihat galau.

“Masih butuh jawaban gue?” Gendhis menunjuk diri sendiri.

“Nggak usah!” Nino menjawab. “Udah jelas jawabannya. Nggak mungkin Gendhis nggak ikut kalau Hagi berangkat.”

Gendhis menyengir lebar.

“Ada yang mau usul tempat liburannya? Bandung? Malang? Dieng? Bali? Lombok?” Nino bersedekap memberi penawaran.

“Gimana kalau ke Jogja? Ke rumah Mas Saga,” usul Teted. “Kita belum pernah ke rumah lo, Mas.”

Merasa terpanggil, fokus Saga beralih sepenuhnya dari ponsel sekarang.

Sementara itu, Gilang mengangguk-angguk dan mengacungkan jempol. “Setuju.”

“Usul yang cerdas, Teted!” Jaka merangkul teman sekamar kosannya itu.

“Gimana, Sa? Keberatan nggak kita semua nganterin lo mudik ke Jogja?” tanya Nino.

Saga tertawa pelan, lalu mengangguk-angguk santai. Merasa tidak keberatan sama sekali. “Eyang pasti seneng ketemu kalian.”

Fix! Berangkaaat!” seru Jaka. Kemudian ber-high five dengan Teted.

“Dan, gue denger-denger, Sheila on 7 bakal ada manggung juga di Jogja. Jadi, sekalian aja nonton konsernya! Gimana?” sambung Hagi.

“Sempurna, Sayang!” sahut Gendhis sambil melayangkan flying kiss pada Hagi.

“Gue ... nggak ikut, deh.” Keputusan Raras berhasil membuat euforia orang-orang menyambut liburan kandas begitu saja. Ia menyengir tidak enak. “Gue harus garap prosposal acara, kan.”

“Ras?” Gendhis berseru kecewa. “Masa lo nggak ikut?”

Sherly berdecak. “Udah ikut aja, sih, Ras. Toh, tadi lo cerita, Bhisma aja ketua acaranya ke Bali, kan? Kenapa jadi lo yang repot banget nyusun proposal?”

Raras menggigit bibir gelisah. Sebetulnya, proposal hanya alasan. Ia hanya merasa ... apa tidak apa-apa jika ia berlibur tanpa bilang-bilang Bhisma sebelumnya? Ini terlalu mendadak.

“Ras?”

Panggilan Saga membuat Raras—dan yang lain yang tidak dipanggil—menoleh ke arahnya. Keduanya saling tatap.

“Ikut aja.” Saga tersenyum tipis. “Eyang ... pengin ketemu sama lo.”

 

 

post-image-675ba74537d6c.png

 

BAB 26: Kita Belum Selesai

Hawa sejuk campur hangat angin pantai tidak pernah gagal menjadi bagian favorit Raras saat liburan. Ia rela menghabiskan banyak waktu hanya untuk duduk diam menatap jauh ke arah laut, mendengarkan senandung debur ombak yang bersahutan dengan kicauan burung, serta meresapi betapa lembut pasir yang memanjakan kaki telanjangnya.

Ahhh. Raras memejamkan mata, tersenyum damai menikmati. Namun, itu tidak berlangsung lama ketika sebuah pelukan dari arah belakang membuatnya terbelalak.

“Seneng nggak?”

Kedua mata Raras hanya bisa mengerjap di antara tubuh yang menegang kaku. Ia benar-benar syok sekaligus bingung melihat Saga melingkarkan kedua tangan di perutnya serta mendaratkan dagu di bahu kanannya.

Saga balas menatap Raras. “Aku seneng bisa ajak kamu sama anak-anak ke sini.”

Tunggu, sejak kapan Mas Nyunyu ngomong pake aku-kamu sama gue? Raras ingin sekali bicara, tetapi suaranya seperti lenyap. Kemudian, sebuah teriakan dari arah kanan mengalihkan tatapannya.

“Ayah, Bunda!” Seorang anak perempuan berambut sebahu dengan wajah mirip sekali dengan Saga melambaikan tangan ceria ke arah Saga dan Raras. “Sini dooong! Main sama aku, sama adek!” Lalu seorang anak perempuan lain yang lebih kecil darinya, yang rambutnya dikucir dua ke atas, tampak tertawa bahagia karena berhasil membangun istana pasir.

Ayah? Bunda? Bentar, bentar. Mereka anak siapa?

“Iya, nanti Ayah sama Bunda ke sana.” Sahutan Saga dengan wajah bahagia pada dua anak perempuan itu semakin membuat Raras kebingungan.

Jadi 'anak-anak' yang Mas Nyunyu maksud itu bukan Mas Hagi dan yang lain, tapi dua anak perempuan tadi? Btw, Mas Hagi, Gendhis, Teted, dan yang lain ke mana, deh? Perasaan kita lagi liburan bareng.

Belum sempat Raras menyuarakan isi hatinya, ia menatap ke arah perutnya.

“Kalau yang di sini ...,” Saga mengusap lembut perut Raras, “seneng juga nggak Ayah ajak jalan-jalan ke pantai?”

HAH? MAS NYUNYU NGOMONG SAMA SIAPA DI PERUT GUE, WOY! Raras benar-benar panik, tetapi lidahnya benar-benar kelu untuk melontarkan banyak pertanyaan. Bahkan, sekarang tubuhnya benar-benar semakin kaku saat satu kecupan mendarat di bibirnya. ASTAGA, MAS NYU!

I love you, Ras.”

MAS, JANGAN NGACO! teriak Raras dalam hati, sambil terus menatap Saga yang wajahnya kian lama kian dekat. Wait, Mas Nyunyu mau ngapain lagiii? Gue merem jangan, nih?

“Ras!”

Tunggu! Kok suara Mas Nyu berubah jadi ... cempreng kayak suara Gendhis?

“Astaga! Raras, bangun!”

Eh, eh, kok Mas Nyunyu lama-lama makin jauh? Yah, eh, Mas. Jangan ngilang dulu! Muncul lagi, please! Kita belum selesaaai!

“Raras! Kebo banget, sih! Gue tinggal, deh!”

“AH, GENDHIS!” Sontak, Raras bangun dan duduk dengan wajah kesal. Matanya yang terbuka melirik Gendhis yang berdiri kaget campur bingung di samping ranjang, dengan penuh kebencian. “LO, TUH! AH!”

Raras mengentak-entakkan kakinya di balik selimut.

“R-Ras, lo nggak apa-apa?” Gendhis tiba-tiba merinding. Takut Raras kesurupan.

“Lo merusak mimpi indah gue, Dhiiis.” Raras merengek kesal. Erang tangisnya terdengar tanpa air mata.

Gendhis terbahak lalu duduk di tepi ranjang. “Bisa-bisanya lo ketiduran sepules itu sampai mimpi indah segala. Pasti gara-gara kelamaan main di pantai tadi, nih.”

Raras berdecak kesal. “Gue boleh tidur bentar lagi nggak, sih?” Siapa tahu bisa nyambungin mimpi yang tadi.

“Nggak, nggak. Tidur lo udah kelamaan untuk ukuran ketiduran, Ras. Lo nggak laper apa? Yang lain udah asyik bakar ikan di pinggir pantai, loh.”

“Beneran jadi bakar ikan?”

Gendhis mengangguk. “Lo cuci muka, gih. Habis itu, langsung nyusul ke pantai, ya. Jangan tidur lagi, nanti Mas Hagi ngomel.”

“Iya, iya.”

Sepeninggalan Gendhis, Raras terdiam sebentar. Matanya mengedar memperhatikan kamar yang akan ia tempati bersama Gendhis dan Sherly untuk tiga hari ke depan selama liburan. Sayup-sayup, angin bertiup menggoyangkan kain gorden di pintu kaca yang terbuka setengah, tempat Gendhis tadi keluar. Debur ombak terdengar, mengingatkannya pada keseruan main di pantai tadi sore hingga membuatnya kelelahan dan ketiduran, lalu bermimpi aneh.

“Asli. Mimpinya aneh banget,” Raras menggeleng keheranan, “tapi kok gemes.” Ia menyentuh dada kirinya. “Anjir, kenapa jadi deg-degan gini?”

Takut omelan Hagi keburu datang menjemputnya, Raras segera cuci muka ke kamar mandi. Meskipun sebetulnya, ia lebih ingin kembali menyelimuti diri dan lanjut tidur. Bagaimanapun, kamar di homestay ini sangat nyaman, jadi terlalu sayang jika tidak dinikmati untuk tidur sepuasnya.

Sekitar pukul dua siang tadi, Raras tiba di homestay milik Eyang Widuri, eyangnya Saga. Namun, beliau sedang keluar memantau rumah makan gudeg miliknya, sehingga Saga dan teman-temannya belum sempat bertemu.

Sesuai kesepakatan, sekaligus telanjur tergoda dengan pemandangan pantai begitu tiba di homestay, kesepuluh mahasiswa ini memilih stay dan menghabiskan hari pertama liburan di homestay yang berlokasi di pesisir Pantai KrakalKonsep bangunannya mirip rumah panggung, didominasi dengan warna cokelat, putih, dan abu-abu. Selain nyaman dan menenangkan karena lokasinya jauh dari pusat kota, fasilitas homestay juga lengkap, mulai dari gym, playground, swimming pool, dan restaurant.

Berulang kali Raras membasuh wajah, tetapi desir-desir aneh yang timbul usai mimpi tadi, tidak juga hilang dan malah semakin menyelimutinya erat. Biasanya, ia akan melupakan begitu saja mimpi-mimpi romantisnya begitu terbangun karena wajah laki-laki yang ada di mimpinya tidak pernah terlihat jelas. Namun, barusan ia dengan jelas melihat wajah Saga dalam mimpinya, memeluknya, menciumnya. 

Itu yang membuatnya stres.

Raras saja jarang memimpikan Bhisma yang notabene kekasih, bagaimana bisa justru Saga yang muncul dalam bunga tidurnya, menjadi suaminya, bahkan ayah dari anak-anaknya?

Pandangan Raras menurun. Ia mengusap perutnya. Teringat lagi dengan kalimat Saga dalam mimpi. Refleks, Raras meremang dan bergidik. “Edan (gila). Mules perut gue jadinya.”

Sedetik kemudian, Raras putuskan untuk melupakan itu semua. Lebih baik ia bergegas menyusul teman-temannya bakar ikan. Kebetulan, perutnya juga sudah keroncongan. Namun, langkahnya terhenti ketika ponselnya bergetar menyala-nyala menampilkan id caller Bhisma.

Semalam, Raras sempat mengirim pesan pada Bhisma bahwa ia akan pergi berlibur ke Jogja, yang berujung baru dibalas sekitar pukul 10 pagi tadi, yang akhirnya tidak Raras balas lagi saat Bhisma bertanya dengan siapa ia pergi.

Semalam, Raras memutuskan untuk ikut liburan bersama kakak dan teman-temannya, sekaligus bertujuan menenangkan diri. Maka, mengabaikan Bhisma adalah salah satu cara yang harus ia lakukan jika tidak ingin liburannya terganggu dan kacau. Seperti sekarang, untuk ke sekian kalinya sepanjang hari ini, Raras membiarkan telepon dari Bhisma mati sendiri.

Jahat, ya? Sungguh, rasa bersalah itu selalu datang merengkuh tiap kali Raras tidak mengangkat telepon Bhisma. Bagaimana jika Bhisma khawatir padanya? Atau merindukannya? Atau ternyata ada hal penting yang ingin Bhisma sampaikan, perihal proposal event mungkin? Biarkan Raras sedikit berbaik hati dan akan tetap membalas dengan seperlunya saja.

Begitu, kan, yang Saga maksud dengan ... melepas pelan-pelan?

Raras sedang berusaha membiasakan diri tanpa Bhisma.

 

Bhisma Januar Nugraha

Kayaknya sibuk banget liburannya sampe susah banget angkat telepon aku.

 

Raras Gayatri Damayanti

Hai, Bhisma. Aku baru bangun. Tadi kecapekan main di pantai.

 

Bhisma Januar Nugraha

Kangen tau :(

 

Raras Gayatri Damayanti

Maaf, ya, Bhisma. Kalau aku slow respons.

 

Bhisma Januar Nugraha

Kok nggak bales bilang kangen?

Beneran nggak kangen aku, ya?

Ras?

 

Raras Gayatri Damayanti

Nanti lagi, ya. Aku dipanggil Mas Hagi.

 

Bhisma Januar Nugraha

Jadi, kamu liburan sama kakak kamu?

Liburan keluarga atau sama temen-temen, sih?

Mas Saga ikutan juga?

 

Raras terdiam saat membaca pesan terakhir Bhisma. Ia menggigit bibir bawahnya gelisah. Setiap kali Bhisma menanyakan soal Saga, Raras seperti dituduh berselingkuh. Seolah-olah keberadaan Saga di dekatnya adalah hal yang salah. Dan, terasa semakin salah jika Raras tidak berusaha menjaga jarak dengan Saga.

Tidak mau ambil pusing, Raras meletakkan kembali ponselnya di kasur tanpa mengirim balasan. Bhisma hampir mengacaukan suasana hatinya.

“Udah bangun?”

Ketika sedang mengunci pintu kamar, Raras refleks menoleh ke belakang. Ia melihat Saga berjalan santai menaiki undakan teras balkon, menghampirinya. Begitu selesai, Saga berhenti tepat di hadapannya.

“Gendhis bilang lo udah bangun, tapi Hagi keburu bawel karena lo nggak muncul-muncul.” Saga merapikan poni basah Raras yang sedikit mencuat acak-acakan. “Jadi, gue jemput daripada darah tinggi Hagi kumat.”

Raras setengah mendengkus dan tertawa pelan. Ia menikmati sentuhan jari Saga merapikan beberapa helai poninya yang tadi lupa disisir. Perlahan, desir aneh gara-gara mimpi tadi terasa kembali, mendebarkan jantungnya lagi. Bahkan, kali ini lebih kuat dan begitu membuncah. Sampai-sampai Raras tidak tahan untuk tidak mendekat.

“Eh?” Saga kaget karena tiba-tiba Raras memeluknya. Erat sekali.

“Sebentar, Mas. Gue pengin peluk.”

“Lo lagi nggak baik-baik aja, Ras?” Tidak ada jawaban dari Raras, maka Saga melanjutkan, “Kali ini kenapa lagi?”

Raras tersenyum tipis. Membenamkan pipinya ke dada bidang Saga yang terbalut hoodie hitam. “Gue mimpi, Mas.”

“Mimpi?”

“Iya. Gue mimpi lo tenggelam di pantai, terus dimakan ikan buntal.”

Saga tergelak seketika. Tangannya bergerak naik membalas pelukan Raras, merengkuh erat punggung mungil adik perempuan sahabatnya itu. “Random banget mimpi lo, Ras.”

BANGET, MAS. Andai lo tahu mimpi gue yang sebenarnya. Lo pasti ngejek gue habis-habisan, batin Raras mencebik lesu.

Namun, tolong biarkan Raras memeluk Saga sebentar lagi. Ia hanya tidak tahan dengan desir aneh yang terus membuatnya berdebar-debar saat dekat Saga. Siapa tahu, jika sudah memeluk langsung orangnya, perasaan aneh itu berangsur mereda. Syukurnya ... itu berhasil.

Semoga Raras juga tidak akan terbayang-bayang lagi dengan mimpinya yang berumah tangga dan memiliki 3 orang anak dengan Saga.

“Oke, udah cukup, nih.” Raras melepas pelukan saat merasa cukup tenang.

“Tunggu. Bentar lagi.”

“Eh?” Gantian, Raras yang kaget karena Saga kembali menariknya mendekat dan mengeratkan pelukan. Ia sampai harus mendongak karena Saga membenamkan wajahnya di bahu kiri Raras. Debar yang tadi mulai mereda, kembali kacau mengacak-acak jantung Raras.

“Gue mau bales bikin leher lo merah.”

“Mas, jangan macem-macem lo, ya!” Raras memberontak, tetapi Saga malah tertawa-tawa.

“Bercanda, Raras.” Saga kembali memeluk Raras yang hampir terlepas. “Udah, diem dulu.”

Buru-buru Raras melindungi kedua sisi lehernya dengan telapak tangan. Lagi, Saga tertawa heran mengetahuinya.

“Ras?”

“Apa?”

“Tadi gue juga ketiduran, terus mimpi.”

“Mimpi apa?” Jangan bilang mimpinya sama? Apaan, sih, Ras!

“Ketemu Ayah sama Ibu.” Sementara Raras bergeming kaget, Saga tersenyum tipis. Suaranya bergetar. “Di mimpi, gue masih SD, baru pulang sekolah. Terus Ayah sama Ibu senyum di depan rumah. Terus gue kebangun dan ... rasanya ... sama kayak dulu, kayak ada yang menyambut ... gue pulang.”

Baik, Raras mengerti sekarang mengapa Saga memperpanjang durasi pelukan, mengapa laki-laki itu menyembunyikan wajah di bahunya. “Mas, lo ... nangis?”

“Nggak,” jawab Saga cepat, tapi terdengar serak.

Raras tertawa kecil kemudian. Tangannya perlahan naik dan menepuk lembut punggung Saga. Ia tahu, pulang ke kampung halaman pasti membuat Saga rindu orang tua. Sayangnya, rindu Saga tidak ada penawarnya.

It's okay kok, Mas, kalau lo nangis. Cowok juga boleh nangis, kok. Jangan ditahan, ya.”

Setelah beberapa detik terasa hening, suara serak Saga kembali terdengar. “Sori, Ras. Baju lo ... jadi basah.”

“Nggak apa-apa. Biasanya, gue juga sering ngelap ingus di baju lo kalau lagi nangis. Hehe.”

“Berarti ... kalau gue bikin leher lo basah juga, nggak apa-apa, nih?”

Tidak ada tanggapan dari Raras, tetapi rintihan pelan Saga terdengar kemudian saat satu cubitan dari Raras menyarang di pinggangnya.

Raras mendorong dada Saga hingga kini mereka saling tatap. Sialnya, pinggangnya masih tertahan oleh kedua tangan laki-laki itu. “Gue aduin ke Mas Hagi, ya!”

“Tinggal gue aduin balik ke Eyang kalau lo bikin leher gue merah. Wleee.”

“Mas Nyu, ish!” Tangannya memukul dada Saga setengah kesal, setengah gemas. Keduanya pun segera melangkah bersisian menuju tempat berkumpul bakar ikan. “Mas?”

“Hm?” Dengan dua tangan masuk ke saku hoodie, ia menoleh ke kiri. Raras tampak gelisah. “Kenapa, Raras?”

“Hmm ..., sesekali nyuekin orang nggak apa-apa, kan, ya?”

“Sering juga boleh.”

“Jahat, ih, kalau gitu, mah,” protes Raras.

“Jahat itu kalau lo lebih perhatian sama orang, tapi nggak peduli sama diri lo sendiri.”

Raras bergeming. Pandangannya menunduk, menatap kakinya yang sesekali tertimbun pasir saat melangkah. Hatinya berbisik, membenarkan ucapan Saga.

“Ya perhatian boleh, tapi sewajarnya aja. Kita nggak harus perhatian sama semua orang kok, Ras. Apalagi kalau orangnya cuma merugikan kita.” Saga melanjutkan, tanpa diminta.

Tapi Bhisma nggak merugikan gue, deh, kayaknya. Emang guenya aja yang lagi nggak pengin ngomong sama dia gitu loh sebenernya, Mas.

“Kalau Bhisma nyuekin lo, tinggal cuekin balik. Beres, kan?”

Langkah Raras berhenti seketika. Tatapannya berangsur naik, lalu ia bertemu pandang dengan Saga yang ikut berhenti dua langkah di depannya. KOK MAS NYUNYU TAHU SOAL BHISMA?

 

 

post-image-675ba74537d6c.png

 

BAB 27: Terlalu Posesif

Demi apa pun, jantung Raras berdegup cepat saking paniknya. “Ke-kenapa jadi Bhisma?” Sebisa mungkin, ia bersikap biasa saja. Seolah tebakan Saga soal Bhisma adalah salah.

“Dia pasti lagi ngeribetin lo perihal proposal, kan? Itu yang bikin lo terganggu seharian ini, kan?”

“Hah?” Raras mengerjap. Tidak kepikiran sampai ke sana sama sekali. “Oh, i-iya ....” Ia meringis seraya menggaruk lehernya yang tidak gatal. Iya juga, ya. Kaget gue, sumpah. Diam-diam, Raras menghela napas lega. Ternyata hubungannya dengan Bhisma belum terbongkar.

“Bilang sama Bhisma, lo lagi liburan di Jogja. Dia nggak perlu khawatir. Proposal bakal beres, bahkan sebelum kita semua balik ke Jakarta, Ras.”

Mata Raras menyipit. “Lo beneran bakal bantuin gue bikin proposal, kan, Mas?” tagihnya. Semalam, Saga menjanjikan itu jika ia ikut ke Jogja.

“Iya—”

“Kapan?”

Saga tertawa kecil melihat Raras begitu mendesaknya. “Nanti, Raras.” Ia menyentuh puncak kepala Raras, menggoyangkannya pelan dengan gemas. “Kita nyusul yang lain dulu sekarang.”

Raras menepis tangan Saga. “Ah, lo pasti bohongin gue, Mas.” Dengan wajah cemberut, ia meninggalkan Saga.

“Astaga, nggak.” Saga tertawa geli. Langkahnya menyusul di sisi kanan Raras, lalu menahan gadis itu hingga keduanya kembali berhenti dan berhadapan. “Dengerin.”

“Nggak mau.”

Senyum geli Saga masih merekah, sebab pipi Raras yang menggembung saat ngambek membuatnya gemas. “Pegang kata-kata gue, Ras.” Saga meneleng, berusaha mempertemukan matanya dengan mata Raras. “Kalau gue ingkar janji, lo boleh bikin leher gue merah lagi.”

“MAS NYU, IH!”

“Eh, ssst!” Saga menempelkan telunjuk ke bibir, lalu celingukan ke sekeliling. Hal itu sontak membuat Raras membekap mulutnya sendiri. “Jangan teriak-teriak, Ras. Nanti penghuni laut pada bangun, loh.”

Buru-buru Raras merapat memeluk lengan Saga. Matanya mengedar cemas. “Mas, jangan nakut-nakutin!”

“Akh,” rintih Saga saat Raras mencubit lengannya. Namun, tawanya belum meredup. Ia melempar pandang lagi ke arah teman-temannya berkumpul. Dari kejauhan, ia bisa melihat rona api dari pembakaran yang tadi disiapkan oleh petugas homestay. “Yuk, Ras. Kayaknya ... Eyang udah pulang.”

“Oh, ya?” Raras ikut mengarahkan tatapannya ke arah yang sama dengan Saga. Sekilas, ia bisa melihat teman-temannya duduk lesehan di atas tikar, sedangkan Jaka dan Teted sibuk membakar ikan. Kemudian, matanya menemukan sosok yang belum pernah ia lihat ikut bergabung di sana. “Eyang yang duduk di kursi pantai?”

Saga mengangguk. Langkah mereka kembali bergerak maju.

“Kalau ibu-ibu yang satunya lagi, siapa?” Raras tidak hanya melihat satu wanita paruh baya, melainkan dua. Namun, yang satu lagi terlihat lebih muda seusia mamanya.

“Itu Bu Lastri, asisten pribadi Eyang. Beliau yang jaga dan ngurusin Eyang sejak Eyang Kakung meninggal dan gue kuliah di Jakarta. Bisa dibilang ... dulu gue juga diurusin Bu Lastri sejak Ayah sama Ibu ... pergi.”

Raras mengangguk-angguk, lalu tersenyum dan menepuk lembut lengan Saga yang ada dalam pelukannya. “Semoga Bu Lastri sehat terus, ya. Biar bisa nemenin lo sama Eyang terus, Mas. Bisa jadi, nanti anak lo dimomong sama Bu Lastri juga, tuh.”

Saga balas tersenyum. “Amin. Nanti bilang sendiri sama Bu Lastri.”

“Hah? Nggak, ah. Malu, hehe. Nggak kenal.”

“Ya nanti gue kenalin. Sama Pak Sugeng juga.”

“Pak Sugeng siapa?”

“Supir Eyang, suaminya Bu Lastri.”

Raras mengangguk-angguk, mencoba paham. “Mas, bentar.”

“Kenapa?” Saga sampai harus berhenti karena Raras menahan langkahnya. Padahal, mereka hampir sampai. Eyang dan yang teman-temannya bahkan sempat melihat ke arah mereka.

“Nanti gue ngomong sama Eyang pake bahasa Indonesia aja, kan?”

“Loh, ya pake bahasa Jawa dong. Kan, lo mahasiswa Sastra Daerah, udah belajar bahasa Jawa juga. Ini waktunya lo praktik sama penutur aslinya langsung, Ras.” Diam-diam, Saga menahan tawa yang ingin meledak ketika berhasil menjahili Raras yang kini terlihat sedikit panik dan kebingungan.

“Mas, gue baru mau semester empat, ya. Penguasaan bahasa Jawa gue belum se-expert itu, apalagi langsung ngobrol sama sepuh kayak Eyang. Astaga. Astagaaa. Mas, jangan bercanda dong. Di kelas saja, gue praktik pacelathon Jawa krama masih baca teks, masa sekarang .... Aduh, mati gue. Matiii gue.” (pacelathon teknik percakapan bahasa Jawa pada salah satu mata kuliah Sastra Daerah.)

Saga tidak peduli dengan cerocosan Raras. Ia hanya senyum-senyum sambil menggandeng Raras lalu mengajaknya menghampiri titik kumpul, menggagalkan niat Raras yang ingin balik ke kamar karena pura-pura kebelet pipis.

** 

Semua orang tidak bisa mengalihkan perhatian selain menyaksikan pertemuan Saga dengan Eyang. Mendadak, suasana berubah mengharukan. Sementara itu, diam-diam Saga jadi canggung karena jadi tontonan teman-temannya.

Duh Gusti, cucuku mulih. (Ya Tuhan, cucuku pulang)” Seruan itu tidak hanya satu kali Eyang lontarkan dengan senyum berbinar dan mata berkaca-kaca, tetapi berkali-kali. Sesekali sambil mengusap pipi, kepala, bahkan bahu tegapnya dengan raut rindu yang tergambar jelas. ”Piye kabarmu, Le? Kuliahmu lancar? Betah ning kosan? (Gimana kabarmu, Nak? Betah di kosan?”

Wajar jika Eyang sampai menangis haru sekarang. Saga memang baru kembali ke Jogja setelah hampir satu semester tidak pulang.

Saga masih bersimpuh di depan Eyang yang duduk di tepi kursi pantai. Ia tersenyum dan mengangguk untuk menjawab semua pertanyaan Eyang. “Sae, Eyang. Sae sanget.[6] Eyang baru sampai?”

Diam-diam, di belakang Saga, Raras berdiri cemas sambil meremas-remas ujung kaus Hagi. Tadi, ia minta ditemani kakaknya untuk menunggu giliran bertemu Eyang. Jantungnya semakin jumpalitan melihat Saga begitu fasih berbahasa Jawa dengan Eyang. Tanpa sadar, Raras komat-kamit menghafal beberapa kalimat Jawa krama yang ia pelajari di kelas dan biasa digunakan untuk menyapa seseorang yang lebih tua.

“Iya dan langsung ke sini karena nggak sabar mau ketemu Saga. Oh, ya. Ada Isyana sama Andaru juga, tapi katanya mau mandi dulu baru ketemu Saga. Soalnya tadi nemenin Eyang keliling.”

Saga mengangguk mengerti. Ia tahu soal kedua adik sepupunya yang ikut Eyang keliling memantau Gudeg Widuri seharian ini dari salah satu karyawan. “Inggih, Eyang. Mboten napa-napa (Iya, Eyang. Nggak apa-apa). Biar mereka istirahat dulu, pasti capek. Eyang juga,” Saga merapatkan selimut yang merungkup kedua bahu Eyang, “lekas istirahat. Jangan lama-lama di sini. Angin malam nggak baik buat Eyang.”

Iya, tapi Eyang pengin ketemu dulu sama putrine Bu Raya. Sing endi, tho? Kuwi, yo? (Yang mana, sih? Itu, ya?) Cah ayu sing ning sebelahe Nak Hagi?”

Selain Saga yang menoleh memanggil namanya, Raras juga tersentak kaget karena tiba-tiba Hagi mencolek dan mendorongnya untuk segera menghampiri Eyang.

Niki putrinipun Tante Raya, Eyang,” tutur Saga, lalu mundur dan duduk di kursi pantai lain yang kosong, bersisian dengan Hagi. Sedangkan, gantian Raras yang bersimpuh menyapa Eyang seperti Saga tadi.

Sugeng dalu, Eyang. Kula ... Raras.” (Malam, Eyang. Saya Raras.) ANJIRRR, BERASA UJIAN PRAKTIK GUEEEE. Raras mencium punggung tangan Eyang.

“Lho, iso ngomong basa Jawi, tha, Ndhuk?” Eyang tertawa kecil, setengah takjub, setengah bergurau.

“Sa ... kedhik (se …dikit), Eyang.” MAS HAGI, GUE PENGIN PIPIIIS!

“Raras jago kok, Eyang.” Usai melontarkan kalimat penuh kompor panas, Saga langsung cengengesan dipelototi Raras.

“Padha pinter-pinter, yo. Artine, kuliahe padha bener,” puji Eyang sambil melempar pandangan ke semua teman-teman Saga. ”Kuwi mau cah bagus sing klambi abang ngajak Eyang ngobrol. Ceriwis banget ngomong Jawanya. Eyang menunjuk Teted—pemuda tampan berbaju merah yang Eyang maksud—yang sedang membakar ikan sambil bernyanyi-nyanyi bersama Jaka. Tidak sadar jika sedang disinggung Eyang.

Raras melongo tak percaya. Setahunya Teted itu sama gagapnya sepertinya jika berbahasa Jawa di kelas.

“Eh, tangia, Ndhuk. Lungguh kene.” (Eh, bangunlah, Nak. Duduk sini.)

Raras yang paham dengan ucapan Eyang, segera bangkit dan duduk di sisi kosong sebelah Eyang yang tadi ditepuk-tepuknya dengan lembut. Kemudian, Eyang menggenggam tangan Raras.

“Cah ayu. Mirip ibune, yo, Sa? Eyang melirik Saga yang dibalas dengan anggukan dan senyum Saga.

Sementara itu, Raras tersenyum salah tingkah. “Nuwun, Eyang.” Melihat tingkahnya, Hagi mencibir tanpa suara.

Terima kasih, ya, sudah mau mampir ke rumah Eyang. Semoga betah liburan di sini, ya, Ndhuk. Kalau butuh apa-apa, ngomong sama Saga, ya. Nak Hagi juga.”

“Oh, inggih. Sami-sami, Eyang.” Hagi mengangguk sopan. “Kedahipun, kula kalih Raras sing ngaturaken matur nuwun sanget, sampun dipuntampi wonten mriki.” (Seharusnya saya dan Raras yang sangat berterima kasih karena sudah disambut dengan baik di sini.)

ANJIR, MAS HAGI JAGOOO! Raras tercengang mendengar kemampuan lisan Jawa krama Hagi yang begitu fasih. Sedangkan, dirinya sejak tadi hanya mampu sebatas bilang inggih dan matur nuwun. Ternyata belajar bahasa Jawa tidak semudah itu, Min Yoongi!

Eyang kemudian menggenggam tangan Raras, membuat Raras kembali fokus pada Eyang. “Terima kasih juga karena Raras dan Nak Hagi,” lalu sekilas Eyang menatap Hagi, “sudah mau berteman dengan Saga. Cucu Eyang ini dari dulu paling susah berteman soalnya. Makanya begitu tahu di Jakarta, Saga sering kumpul dengan Nak Hagi sekeluarga, Eyang tenang sekali. Eyang njaluk pangapurane (Eyang minta maaf), yo, Le, Ndhuk. Saga pasti sering merepotkan kalian.

Mendengar penuturan Eyang, Saga mengangkat sebelah alisnya, lalu mendengkus dan tersenyum remeh. Ia ingin sekali protes karena kenyataannya, justru dua bersaudara inilah yang lebih sering merepotkannya di Jakarta.

Inggih, mboten napa-napa, Eyang,” sahut Hagi.

Sementara itu, Raras sedang berusaha menyiapkan kalimat balasan terbaik agar tidak salah bicara dengan Eyang ketika Eyang beralih menatapnya, membuatnya sadar bahwa ia harus segera bicara karena sudah terlalu lama diam.

Inggih, Eyang.” Nah, kan. Bener, kan? Ujung-ujungnya gue cuma ngomong itu, kan? Pengin nyelem aja ke laut, ya Tuhan. Kula ... anu, Eyang. Kula ....” GIMANA SIH BILANGNYA, YAAA? Homestay Eyang tuh nyaman, tenang, makanannya juga enak-enak gitu lhooo.

“Piye, Ndhuk?” Eyang menunggu dengan raut cemas setengah bingung. “Bicara pakai bahasa Indonesia saja kalau bingung bilangnya. Ndak apa-apa.”

Mendengar saran Eyang yang begitu lembut, serta menggantinya dengan bahasa Indonesia, Raras mengerjap. “Oh, nggak apa-apa, Eyang?”

“Ya ndak apa-apa. Memangnya kenapa?” Sekarang, Eyang ikutan bingung.

“Tadi, Mas Nyunyu bilang kalau ngobrol sama Eyang harus pakai bahasa Jawa.” Raras melirik Saga dengan sinis dan penuh dendam. Terbukti, laki-laki itu tampak tengah menahan tawanya. Mas Nyunyu ngerjain gue, ya?

“Piye, Ndhuk?” Eyang terheran-heran. “Mas ... Nyunyu?”

“EH?” Raras tersentak. ”Mbo-mboten, Eyang. Maksudnya Mas Banyu. Iya, Ba-nyu. Haha.” Tangannya menepuk dua kali mulutnya sendiri. Merasa bodoh sudah keceplosan. Ia melirik Hagi yang cekikikan tanpa suara mengejeknya.

“Eyang,” Saga memanggil hingga Eyang menoleh, “Saga tuh nggak pernah dipanggil Saga sama mereka berdua kalau di Jakarta, tapi dipanggil Nyu—hmmpp!”

“Mboten, Eyang! Hahaha.” Kompak, Raras dan Hagi menyahut sambil buru-buru membekap mulut Saga. Keduanya lalu meringis dengan tawa sumbang.

“Manggilnya Saga, kok. Iya, kan, Ras?” seru Hagi kemudian.

Raras mengangguk semangat. “Inggih, Eyang. Kadang ya manggilnya Mas Banyu, gitu. Hehe.”

Eyang dan Bu Lastri sempat saling pandang dan takjub melihat tingkah dua bersaudara itu terhadap Saga, lalu tersenyum geleng-geleng. Padahal, Eyang tidak merasa tersinggung sama sekali jika benar cucunya punya nama panggilan lain seperti Nyunyu. Ia menganggapnya sebagai nama panggilan kesayangan, yang artinya Saga punya tempat istimewa di hati teman-temannya.

Eyang lega. Hatinya tenang dan ikut bahagia melihat ketiga anak muda di hadapannya ini begitu akrab. Sebab yang terpenting baginya adalah melihat Saga tidak kesepian dan dikelilingi banyak kebahagiaan dari teman-temannya, seperti yang selalu Eyang hanturkan dalam doanya setiap malam.

“Ya sudah, Eyang tinggal istirahat dulu, ya, kalau begitu.”

Mendengar Eyang berpamitan, Hagi segera melepaskan Saga. Keduanya berdiri, begitu juga Raras yang membantu Eyang berdiri.

“Ayo, Eyang. Saga antar.” Saga menggapai satu tangan. Namun, tampaknya Eyang belum mau tangannya terlepas dari Raras.

Eyang menatap Raras. “Raras, mau temani Eyang ke kamar sebentar?”

“Ya?” Raras setengah kaget, setengah melirik Hagi dengan raut kebingungan.

“Eyang punya sesuatu buat Raras. Ikut, ya, Ndhuk.”

Melihat Eyang mulai melangkah dan sepertinya enggan berjauhan dengan Raras, mau tidak mau Hagi membiarkan adiknya pergi. Ia menoleh ketika bahunya ditepuk pelan dua kali oleh Saga.

“Eyang pinjem Raras sebentar, Gi.” Begitu kata Saga sambil tersenyum, sebelum pergi mengekori Eyang dan Raras.

Hagi tersenyum tipis dan mengangguk. Ia pun melakukannya lagi saat Bu Lastri pamit padanya. Sepeninggalan mereka, Hagi kembali duduk di samping Gilang, bergabung dengan teman-temannya.

“Raras kayak lagi ketemu sama calon eyang mertua gitu nggak, sih?” komentar Sherly. Sebetulnya ia bicara pada Gendhis, tapi semua orang ikut mendengar.

“Nggak!” sahut Hagi, padahal Gendhis siap menanggapi Sherly. “Itu mah pikiran lo aja kejauhan, Sher.”

Sherly mencebik. “Pawangnya sewot.”

“Kan, gue bilang juga apa, Rahagi Nareswara.” Kini Nino ikut bersuara seraya pindah duduk merangkul Hagi. “Gue udah sering ingetin, hati-hati. Adek lo tuh sering dimodusin Saga. Jadi siap-siap aja kalau suatu hari Saga jadi adek ipar lo!”

Hagi berdecak, lalu menepis tangan Nino. “Nggak semudah itu, ya!”

“Nggak baik terlalu posesif sama adek sendiri, Gi.” Gilang berkomentar. “Lagi pula, ini Saga. Bukan cowok lain yang lo nggak kenal bibit-bebet-bobotnya. Restuin aja, sih.”

“Nggak.”

“Lo takut dilangkahin Raras, ya?” Nino tertawa meledek. “Takut adek lo nikah duluan?”

“Wah .... Nggak baik, Hagi, menghalang-halangi jodoh orang, tuh.” Gilang ikut menambahi.

Lama-lama, Hagi jadi kesal sendiri. Kenapa semua orang terkesan memojokkannya? Ia bukan tidak mau memberi restu, tetapi ... ada yang harus ia pastikan dulu dari Saga. Ah, sudahlah. Lebih baik diam sambil menikmati es kelapa muda.

“Mas Hagi tuh nggak masalah kok kalau Raras nikah duluan.” Gendhis mencoba membela kekasihnya. “Kami juga nggak pengin buru-buru nikah setelah wisuda. Lagi pula, sebelum jauh bahas Raras bakal nikah sama Mas Saga atau nggak, mending pastiin dulu, mereka beneran pacaran atau nggak? Raras aja nggak pernah cerita sama kita, ya, Sher?”

Sherly mengangguk. “Eh, tapi, ya bisa aja backstreet, kan, Dhis? Secara pawangnya Raras galak begini, Mas Saga ogah juga direcokin kalau ketahuan pacaran.”

“Berisik, Sherly.” Hagi mengarahkan sedotan ke arah Sherly, lalu meniup airnya. Sontak, Sherly serta Gendhis menjerit mengomel karena jijik.

Teted dan Jaka tiba-tiba mendekat, meletakkan sepiring ikan bakar yang baru matang di tengah-tengah tikar. Sambil duduk bersila, Teted berseru, “Kalian semua teh nggak usah ribut. Percuma. Karena di masa depan, Raras teh nikahnya sama gue. HAHAHA!”

Sedetik kemudian, tawa Teted berubah jadi jeritan. Sebab dari belakang, Hagi memiting leher Teted dan membalurkan pecahan es batu ke wajah juniornya itu tanpa ampun.

 

 

 

post-image-675ba74537d6c.png

 

BAB 28: Tapi, Masih?

Rumah Eyang ada di salah satu sisi lingkungan homestay, berhadapan dengan restoran yang dipisah oleh lapangan olahraga, yang menurut cerita Eyang bahwa Saga sering main basket di sana. Bentuk bangunannya mengusung desain khas rumah Joglo. Bagian terasnya cukup luas dengan beberapa kursi kayu jati dan beberapa lampu gantung klasik yang cahaya kuningnya memendar sehingga menambah kesan hangat saat malam hari.

“Sana ngobrol dulu sama Eyang,” bisik Saga ketika mereka sudah melewati ruang tamu dan semakin jauh memasuki rumah.

Raras sempat terpukau saat melihat patung Loro Blonyo yang menyambut kedatangannya ketika pintu depan dibuka Bu Lastri, lalu mengedarkan pandangan untuk melihat-lihat interior khas Jawa lain yang menghiasi rumah Eyang. Seperti lukisan wayang di dinding, sepeda onthel yang terpajang di salah satu sisi ruangan, hingga motif batik kawung pada keramik di ruang tamu.

“Lo nggak ikut, Mas?”

“Gue ke kamar dulu, ambil gitar. Nanti gue nyusul.” Saga melihat Raras mengangguk dan tersenyum lalu menemani Eyang masuk ke kamar, sedangkan Bu Lastri pamit ke belakang hendak membuatkan minuman untuk Eyang.

“Siapa tuh tadi, Mas?” Sebuah suara terdengar dari arah belakang, membuat Saga berbalik. Seorang pemuda, yang tingginya hampir sama dengan Saga melangkah keluar dari kamar sebelah, mendekati Saga dengan senyum manis. “Cantik. Kenalin dong.”

Saga mendengkus. “Berbulan-bulan kita nggak ketemu, Ru. Bukannya nanya gimana kabar Mas, malah nanyain cewek.” Tangannya mengacak gemas rambut Raden Andaru, adik sepupunya yang berusia setahun lebih muda darinya.

Andaru menyengir lebar. “Mas kelihatan sehat dan baik-baik aja, jadi nggak perlu kutanya lagi, kan?”

Tangan Saga hendak melayangkan serangan kedua, tetapi Andaru lebih dulu berhasil menghindar. “Isyana mana?”

“Di kamar, baru selesai mandi. Udah nggak sabar banget dia mau ketemu kamu, Mas.” Andaru mengedikkan dagu ke arah pintu yang tertutup di samping kamar Eyang. Pintu yang tadi setengah terbuka saat Eyang melewatinya sehingga Andaru bisa melihat seorang gadis yang berjalan di sisi Eyang. “Jadi, yang tadi nemenin Eyang, namanya siapa? Udah punya pacar belum?”

Saga berdecak. Ia sampai lupa pada niatnya mengambil gitar. “Mulai, deh.” Ia melipat kedua tangannya di depan dada lalu menatap Andaru. “Kenapa nanya-nanya? Stok cewek di Bali udah habis?”

“Sekali-sekali nambah jaringan lintas pulau, nggak apa-apa, kan?” Andaru tertawa sambil buru-buru menangkap tangan Saga yang hendak menjitaknya.

“Jangan ganggu Raras.”

“Oh, jadi namanya Raras? Manis.” Andaru manggut-manggut. Saga berdecak lagi karena merasa bodoh sudah keceplosan. “Hubungan dia sama kamu apa, Mas?”

“Nanya-nanya buat apa?” Nada bicara Saga terdengar malas. Tatapannya bahkan lurus ke ruang tamu, bukan pada Andaru.

“Ya biar aku tahu, Raras ada yang punya atau nggak. Gini-gini, aku nggak level ngerebut pacar orang, apalagi jadiin cewek selingkuhan.”

Entah mengapa, Saga merasa tersentil dengan ucapan Andaru. Sampai-sampai, ia refleks melirik Andaru yang tersenyum lebar. “Maksudmu apa ngomong gitu?”

“Mas, kamu ... masih sama Mbak Dhara nggak, sih?”

“Kenapa emangnya?”

Andaru mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Terkadang aku bingung, Mbak Dhara pacaran sama aku atau kamu. Kok dia sering banget hubungin aku. Kalau aku lagi nggak jomlo itu yang repot. Nanti pacarku salah paham, piye, Mas?”

“Nggak usah diladeni kalau kamu terganggu.” Saga menatap ruang tamu lagi.

“Tapi, masih?” Andaru meneleng, mengulang pertanyaannya.

“MAS SAGA!” Tiba-tiba seorang gadis keluar kamar, berseru lantang nan ceria hingga kedua laki-laki yang sedang berbincang itu terperanjat. “KANGEEEN!”

Namanya Isyana Kinasih. Adik kandung Andaru.

“Aduh.” Saga tersenyum dan balas merengkuh punggung Isyana yang memeluknya erat, seperti biasa jika mereka terlewat lama tidak bertemu. “Mas juga kangen, Na.”

Belum mau melepas kakak sepupu kesayangannya, Isyana mendongak. “Kapan dong main ke Bali lagi?”

“Nanti, ya. Ini aja Mas nggak lama di Jogja.”

“Kuliah sesibuk itu, ya?” Isyana yang masih kelas 1 SMA tampak begitu penasaran. “Kok aku jarang gitu lihat Mas Daru sibuk belajar, padahal sama-sama mahasiswa.”

Andaru langsung mencibir tanpa suara mendengar adik kandungnya menjelek-jelekkannya. Isyana yang memang manja, akan menjadi lebih manja jika bersama Saga layaknya adik kakak kandung yang sebenarnya.

Saga mengusap kepala Isyana. “Belajar yang pintar, biar bisa lulus dengan nilai terbaik dan masuk kampus favorit. Biar tahu rasanya kuliah.”

“Aku mau kuliah di kampus Mas Saga boleh?”

“Halah. Manja begini mau kuliah di Jakarta,” cibir Andaru.

“Mas Saga, itu Mas Daru nyebelin,” adu Isyana, membuat Saga tidak bisa melihat bedanya Isyana kecil dengan yang remaja.

“Mas.” Terdengar suara lembut memanggil, membuat ketiga saudara itu menoleh ke depan kamar Eyang.

“Eh, udah selesai ngobrol sama Eyang?” Senyuman Saga menyambut Raras. Ia tebak, selendang ungu dalam genggaman Raras adalah hadiah pemberian Eyang.

“Udah.” Rara tersenyum tipis, agak sungkan, takut menggangu Saga mengobrol. Tatapannya beralih pada gadis berambut panjang dan curly dalam rangkulan Saga tengah menatapnya bingung, sedangkan laki-laki di sebelah kiri Saga tersenyum ramah padanya.

“Teman Mas, ya?” bisik Isyana, tetapi Raras mampu mendengarnya.

Saga tersenyum pada Isyana, lalu menatap Raras lagi. “Dikasih selendang sama Eyang?” Ia meminta izin pada Isyana untuk menghampiri Raras hingga Isyana paham dan akhirnya perlahan melepaskan diri.

“Suka nari?” Pertanyaan lain datang dari Andaru. Lagi, Raras mengangguk kecil.

“Sama dong!” Kali ini Isyana menyahut tanpa diminta dengan mata berbinar. “Tradisional atau modern?”

“Dua-duanya.” Raras menoleh pada Saga yang kini berdiri di sebelahnya, bertanya tanpa suara, ”Mereka siapa?”

“Kenalin, Ras. Ini Isyana dan Andaru, adik sepupu gue yang tinggal di Bali.”

“Oh, halo ....” Raras melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Isyana suka BTS juga, lho, Ras.” Saga memberitahu.

“Oh, iya?” Raras mengangkat kedua alisnya antusias. “ARMY juga?” Ia menunjuk Isyana.

“Mbak Raras ARMY? Wah!” Isyana langsung mendekat, meraih kedua tangan Raras dan menggenggamnya sambil berjingkat-jingkat kecil dengan semringah. “Kenalin, Mbak. Aku istrinya Kim Taehyung!”

Saga tertawa kecil melihat Isyana begitu bersemangat menemukan teman baru sesama penggemar BTS, sedangkan Andaru menggeleng heran dengan wajah lelah.

Raras tertawa, siap menyahuti Isyana. “Ah, iya. Aku istrinya Su—”

“Saga.” Sontak, celetukan Saga mendapat pelototan dan cubitan di pinggang dari Raras. “Akh, iya. Suga, Suga. Min Yoongi. Si Cowok Kulkas 10 pintu. Gitu, kan?” Saking seringnya Raras menceritakan soal idolanya itu, Saga jadi hafal semua nama panggilan salah satu rapper BTS itu.

“Dih, Mas Saga. Aku bilangin Mbak Dhara, lho.” Isyana tertawa lebar usai meledek Saga. Tanpa sadar, hal itu membuat Raras dan Saga refleks saling pandang, yang akhirnya Raras lebih dulu memutus tatapan keduanya dengan senyum tipis.

“Hai, Raras.” Sapaan Andaru membuat Raras menoleh, berhasil mengajak gadis itu berjabat tangan dengannya. “Panggil Daru aja. Btw, kita seumuran, lho.”

“Oh, halo, Daru.” Raras balas menyapa. “Tingkat dua juga?” tanyanya dan Andaru mengangguk. Raras pun tersenyum dan hendak melepas jabatan, tetapi laki-laki itu menahan tangannya. “Eh?”

“Boleh minta nomor hapenya, Ras? Biar besok bisa janjian sarapan bareng.” Andaru tersenyum lebar.

** 

Entah sudah berapa lama Raras melamun. Ia pasti masih terbawa suasana mimpi aneh tadi, sampai-sampai merasa tidak nyaman saat mendengar nama Dhara disebut-sebut oleh adik sepupu Saga. Masalahnya, kenapa ia harus merasa tidak nyaman?

Raras memiliki dua—bahkan mau tiga—orang anak dan Saga sebagai suaminya hanyalah sebuah mimpi. Apa harus senyata ini, ia merasa terkhianati saat ada nama perempuan lain—yang sepertinya cukup istimewa—dalam hidup Saga?

Pikiran Raras terasa penuh ketika tidak berhenti mempertanyakan hal-hal yang bukan urusannya. Apa Dhara dan Andhara Giani adalah cewek yang sama, yang namanya pernah muncul di pop up chat ponsel Saga waktu itu? Lalu, hubungan mereka itu bagaimana? Pacaran?

Jika benar Saga punya pacar, bukankah seharusnya laki-laki itu tidak bersikap manis pada perempuan yang bukan pacarnya? Pada Raras, misalnya.

Jadi, benar, ya? Raras hanya terlihat sebagai adik perempuan di mata Saga? Adik dari sahabatnya?

Kalaupun itu benar, kenapa juga Raras gusar dan tidak rela? Jika butuh perhatian dan status istimewa dari seorang pacar, Raras punya Bhisma. Tidak perlu mengharapkan itu semua dari Saga, bukan?

“Ck.” Raras menghela napas kasar. “Bodo amat, lah,” gerutunya pelan, tetapi Saga yang duduk di sebelah kanannya mampu mendengarnya.

“Ikan bakarnya nggak dimakan?”

Raras terkesiap saat bisikan Saga terdengar hangat di telinganya. Ia refleks menoleh, menatap Saga sambil mengusap-usap telinganya. Saga sadar tidak, jika tingkahnya barusan memberi efek yang tidak bagus untuk sekujur tubuh Raras?

“Kenapa, Mas?”

“Ikannya nggak dimakan?”

Raras melihat piring berisi ikan bakar di depan pangkuannya yang tadi Teted berikan khusus untuknya. Namun, sayangnya nafsu makannya hilang. “Nggak. Belum pengin.”

“Mau makan yang lain?” Saga mendekat dan berbisik lagi. “Makan leher gue, misalnya.”

“Mas!” Raras refleks mencubit pinggang Saga. “Jangan resek, deh.”

Melihat Raras cemberut, Saga tertawa kecil. “Oke, serius. Mau makan apa? Biar gue pesen di restoran.”

“Nggak usah, Mas.”

“Lo belum makan apa-apa dari bangun tidur tadi, Ras. Nanti perut lo sakit.”

Diam-diam, Raras menghela napas menghadapi Saga yang selalu perhatian padanya. Bukankah sejak tadi Saga sibuk bermain gitar dan menyanyi bersama Nino? Bagaimana bisa laki-laki itu sadar Raras belum makan apa-apa?

Entahlah, sejak bermimpi Saga tadi, semuanya jadi aneh menurut Raras. Seperti tak biasa, seperti ada yang berubah.

“Nggak usah, Mas. Nanti gue makan ikannya kok. Biar Teted seneng.”

“Masih badmood gara-gara Bhisma, ya?” tanya Saga sambil kembali memetik pelan gitarnya, mendendangkan intro lagu Sheila On 7 berikutnya sesuai permintaan Nino yang duduk di sisi kanannya. Sementara itu, Nino menunggu dengan sabar kapan gilirannya menyanyi lagi karena Saga malah asyik mengobrol dengan Raras.

Melihat Raras menggeleng, Saga akhirnya menebak lagi. “Atau ... Daru?”

Raras mengernyit. “Kenapa jadi Daru?”

Saga mengusap sebentar kepala Raras. “Sori kalau Daru terlalu sok akrab, ya. Anaknya emang suka gitu sama cewek.”

Senyum tipis Raras muncul. “Gue suka kok sama Daru, orangnya supel. Kayaknya cocok kalau ngobrol sama gue.”

Diam-diam, Saga mendengkus. Sejak dulu, adik sepupunya itu memang juaranya kalau urusan menarik perhatian perempuan. Andaru punya nilai plus karena selalu bisa membuat cewek mana pun nyaman dan cepat akrab saat baru berkenalan. Terlebih, Andaru juga tampan.

“Mau nyanyi lagu apa, Mas?”

Raras memeluk kedua kakinya, meletakkan pipi kirinya di atas lutut, dan memilih memandangi Saga memetik gitar. Entah bagaimana, ada perasaan hangat menjalar perlahan hingga perutnya terasa mulas saat bersitatap dengan manik mata Saga. Laki-laki itu tersenyum di antara keremangan cahaya perpaduan sinar api unggun dan langit pantai. Badmood Raras sedikit teralihkan.

Saga berhenti memetik gitar. “Mau dengerin, Ras?”

“Mau dong.” Raras langsung semangat, apalagi suara Saga bagus. Ya kali nolak.

Saga mencolek Nino. “Ayo, No. Siap-siap nyanyi.”

Nino mencebik, “Dari tadi juga gue nungguin, Saga.”

Namun, Saga tidak merasa bersalah telah membuat Nino menunggu. Ia tersenyum dan kembali memetik gitar, kali ini dengan suara lebih keras sehingga bukan hanya Raras, tetapi semua teman-temannya mengalihkan fokus ke arahnya.

Mendengar nada petikan gitar Saga, Nino mengernyit. Ia yang sudah siap membuka mulut sampai batal menyumbangkan suara dan akhirnya membiarkan Saga menyanyi sendirian.

“Kita teman dekat, sudah saling percaya .... Cerita tentang kamu, sudah menjadi makananku ....”

Diam-diam, Nino bergumam, “Perasaan tadi mau nyanyi lagu Sheila On 7. Kenapa jadi begini lagunya?”

“Putus lagi, nyambung lagi. Ribut lagi, balik lagi. Kau menangis, di pundakku, di pelukanku ....”

Sherly dan Gendhis yang tahu dan hafal dengan lagu milik sang penyanyi bernama Sheryl Sheinafia itu pun ikut bernyanyi pada bagian reff, sedangkan Raras sedikit tertegun mendengar liriknya.

“Maafkan aku jadi suka sama kamu. Awalnya curhat, lama-lama aku cemburu. Maafkan aku yang mengharapkan cintamu. Bila belum saatnya ku sabar menunggu. Bila masih bersama, kutunggu kau putus. Haaa ... aaa ....” Saga melirik Raras sambil melebarkan senyum. ”Kutunggu kau putus .... Haa aaa .... Kutunggu kau putus.”

Raras menipiskan bibirnya. Pasti ada yang salah karena tiba-tiba ia salah tingkah dengan alasan yang tidak jelas. Ia menggaruk lehernya yang tidak gatal. Sekalipun sulit, Raras berusaha untuk tidak kepedean, apalagi berpikir Saga tengah menyampaikan isi hatinya lewat sebuah lagu.

Mas Nyu pasti cuma sekadar nyanyi aja, kan?

Sementara itu, Nino mendengkus seraya tersenyum remeh. Gumamannya terdengar pelan di telinga Saga. “Gi, Gi. Adek lo lagi dimodusin.”

Saga hanya tertawa kecil saat Nino mendorong bahunya.

Selesai menyanyikan satu lagu, Saga memeluk gitar dan memandangi Raras. “Gimana?” Telunjuknya menyentuh pipi Raras yang pernah ia cium tempo hari. “Cukup menghibur?”

Raras hanya diam, lurus menatap kedua bola mata Saga yang berbinar. Raras hanya tahu, ada perasaan hangat menyelusup dalam hatinya dan degup yang meletup-letup di balik dadanya. Tidak perlu dijelaskan, bahwa Raras jelas terhibur, bukan?


 

 

post-image-675ba74537d6c.png

 

BAB 29: Lanjut di Kamar

“Ras, hape lo bunyi terus tuh dari tadi.” Sambil berbaring dan selimutan sampai dada bareng Gendhis, Sherly menoleh sekilas, memberitahu Raras yang baru keluar kamar mandi usai cuci muka. Gadis itu kembali lanjut scrolling Instagram. “Bhisma nelepon mulu.”

“Oh? Iya.” Jantung Raras hampir copot. Ia terburu menggapai ponselnya di sudut ranjang, yang sepertinya tidak diutak-atik oleh kedua sahabatnya. Mungkin Sherly tadi hanya mengintip.

Benar saja, ada 15 panggilan tak terjawab dari Bhisma.

“Pasti mau nanya-nanya soal proposal acara bulan depan sama Raras,” tutur Gendhis dengan tatapan fokus ke ponsel.

“Mentang-mentang Raras sekretaris, enak banget tinggal terima jadi, ya?” timpal Sherly.

Baiklah, sekarang kedua sahabat Raras sedang menggosipi Bhisma yang menurut mereka terlalu lepas tangan sebagai ketua acara.

Sedetik kemudian, ketukan pintu terdengar dari luar, membuat Raras batal menaiki kasur, bergabung satu selimut dengan Sherly dan Gendhis yang tadi meninggalkan acara bakar ikan lebih dulu. 15 menit setelahnya, Raras menyusul ke kamar, diantar Saga dan tidak peduli pada Hagi dan para cowok yang masih ingin berkumpul lebih lama di dekat perapian.

Bersamaan dengan suara pintu diketuk, telepon dari Bhisma kembali membuat ponsel yang ada di tangan Raras menyala dan bergetar. Raras menatap id caller Bhisma dan pintu bergantian. Sementara itu, kedua sahabatnya seolah malas memisahkan diri dari selimut dan pura-pura tidak peduli pada tamu yang datang.

Akhirnya, Raras meletakkan ponsel di atas nakas dekat TV, mengabaikan Bhisma yang tak kunjung berhenti menggetarkan ponselnya. Lalu kakinya melangkah ke pintu, memutar kunci dua kali dan membukanya.

“Eh, Mas Nyu?”

“Belum tidur, kan?”

Raras menggeleng, lalu tatapannya menurun karena satu gelas susu cokelat terulur ke tangannya.

“Belum minum susu, kan? Minum dulu. Biar nyaman tidurnya.”

“Eh? Ya ampun.” Raras segera menerima dan memegangi gelas yang tiba-tiba diserahkan Saga padanya. Perlahan, rasa hangat menjalar di kedua telapak tangannya. “Mas, nggak usah repot-repot, ih.”

“Minum dulu, gih.”

Awalnya ingin menolak, dengan maksud biar nanti Raras minum susu di kamar, tetapi akhirnya Raras menurut juga. Saga bahkan sangat tahu membuat susu cokelat kesukaan Raras dengan takaran hangat yang pas, sehingga Raras tidak kepanasan saat harus segera menenggak setengahnya.

“Habisin, Ras.”

Raras menggeleng. “Nanti, deh. Gue lanjut di kamar. Makasih, ya, Mas. Pasti Mas Hagi deh yang nyuruh-nyuruh lo bikin susu cokelat buat gue.”

Dengan senyum tipis, ibu jari Saga terangkat, lalu mengelap bekas susu yang menyerupai kumis di atas bibir Raras. Sontak, Raras bergeming kaku dan mengerjap-ngerjap, tetapi juga tidak bergerak menghindar.

Beruntung Raras tidak tersedak dan menyemburkan susu dari mulutnya pada Saga seperti kejadian makan spageti tempo hari.

“Hagi nggak nyuruh apa-apa kok. Biarin aja, dia lagi menikmati liburan sama yang lain.”

“Oh, i-iya.” Raras memilih untuk buru-buru menenggak setengah susu yang tersisa, menutupi salah tingkahnya, mengabaikan desir aneh dalam dadanya.

Flasdisk lo mana, Ras? Sini, gue kerjain proposal acaranya.”

“Hm?” Raras berhenti minum. “Serius, Mas?”

“Iya.” Lagi, Saga mengelap bekas susu di atas bibir Raras. “Gue bantu kisi-kisinya saja, nanti kita cek bareng-bareng lagi, lo sesuaikan lagi sama konsep acara kepanitiaan lo.”

Raras mengangguk semangat. “Oke-oke. Siap! Tunggu, Mas!” Raras segera masuk kamar dan kembali ke pintu tidak sampai lima menit. Ia memberikan flashdisk bergantungan Shooky BT21 kesayangannya pada Saga. “Nih, Mas.”

“Oke. Gue bawa, ya.”

“Kalau ada yang bingung, chat aja.” Senyum pongah Raras membuat keadaan seakan terbalik. Sebetulnya, siapa yang senior dan siapa yang junior, sih?

Alih-alih kesal dengan tingkah tengil Raras, Saga langsung mencubit pipi kanan gadis itu. “Sok-sokan. Paling kalau di-chat, nggak dibales karena ketiduran.”

Raras menyengir lebar.

“Ya udah, masuk sana. Istirahat. Jangan lupa susunya dihabisin. Besok gue jemput sarapan, ya?”

“Siap, Bos!” Raras mengangkat tangannya berlagak hormat, sedangkan Saga tersenyum seraya mengusap kepala adik perempuan sahabatnya itu dengan gemas, lalu pergi ke kamar sebelah, kamar yang akan ditempati Saga bersama Hagi dan Gilang.

Raras pun kembali masuk kamar. Bukan karena angin pantai saat malam hari yang semakin dingin, bukan juga karena ingin buru-buru mengecek ponsel dan membalas telepon Bhisma, melainkan buru-buru menghabiskan susu dan bergegas tidur. Dengan harapan, terlelap akan kembali mempertemukannya dengan Saga di mimpi.

** 

Jika bukan karena tim agensi yang mengajak kumpul bersama usai seharian melakukan pemotretan, Bhisma lebih memilih istirahat di kamar hotel daripada duduk di bar salah satu klub malam seperti ini.

Bhisma sedang tidak mood, tetapi Bella membuatnya mau tidak mau harus ikut. Gadis itu tidak bisa dibiarkan pergi sendirian, apalagi jika sampai banyak minum. Sejak SMA, Bhisma tahu betul kebiasaan Bella yang tidak kuat minum, tapi sok-sokan cari hiburan ke klub.

Meski keadaan sekitar begitu berisik, fokus Bhisma tetap ke layar ponsel. Hatinya tersentil bukan main saat melihat di antara banyaknya postingan liburan di Instagram story milik Gendhis, ada satu foto menampilkan samar-samar wajah Raras yang duduk bersebelahan dengan Saga, saling bertatapan di antara keremangan cahaya langit pantai dan perapian.

Hati Bhisma panas, tetapi Raras tak kunjung mengangkat teleponnya sejak tadi. Padahal, Bhisma hanya ingin memastikan bahwa tidak ada yang berarti dari postingan Gendhis, bahwa ia dan Raras masih saling memiliki.

Bhisma melempar ponsel ke atas meja bar, tangannya meremas rambut ke belakang, lalu mengusap wajahnya tak semangat. “Kita ... masih pacaran nggak, sih, Ras?” gumamnya frustrasi. “Kenapa kamu susah banget dihubungin dari kemarin?”

“Dasar bu ... cin.”

Bhisma menoleh ke kanan, tempat Bella duduk bertopang dagu dengan wajah memerah dan mata sayu. “Lo ngatain gue?”

Bella memainkan pinggiran gelasnya dengan jari. “Lo ngerasa?” tanyanya tanpa melihat Bhisma.

Decakan kesal terdengar dari mulut Bhisma, lalu menghela napas kasar. “Balik, yuk, Bell? Lo udah mulai teler.”

“Udah capek, ya, nemenin gue?” Bella tertawa kecil. Kepalanya perlahan rebah di atas meja, beralaskan lengan kanannya sendiri. Ia menatap Bhisma dengan tatapan lemah. “Lo pulang duluan aja, Bhisma. Gue tahu ...,” tangannya menunjuk tanpa tenaga, “lo pasti capek. Gue nggak apa-apa kok sendirian, paling dibawa om-om, hehehe.”

“Kalau ngomong, ya ....”

“Aww ....” Bella merengek kesakitan sambil mengusap pipinya yang dicubit Bhisma. Ia menjauhkan tangan Bhisma dengan kesal. “Lagian, lo di sini juga nggak mau nemenin gue minum.” Kali ini, wajah sayu Bella berubah cemberut. “Raras hebat, ya? Bisa bikin lo tobat minum tanpa diminta. Gue kan jadi nggak punya temen minum lagi.”

Wajah Bella terlihat sedih, sedangkan Bhisma hanya diam mendengarkan gadis itu meracau.

“Raras sespesial itu, ya, buat lo, Bhisma?”

Bhisma tidak menjawab, hanya diam memandangi Bella yang memejamkan mata kelelahan. Bahkan dalam keadaan teler, sialnya ucapan Bella benar semua. Sampai hari ini, Bhisma tidak pernah memberi tahu Raras soal bad habit-nya yang suka main ke klub malam. Sejak pacaran dengan Raras, selagi Raras tidak mengetahui hal itu, Bhisma berusaha berhenti minum dan memperbaiki diri.

Demi Raras.

Namun, Bella jadi merasa kehilangan seorang Bhisma.

“Ayo pulang.” Bhisma meraih tangan Bella, mengajak gadis itu bangun. “Gue pusing lama-lama di sini, padahal lo yang banyak minum.”

“Kenapa sih ... lo baik banget sama gue, Bhisma?”

Samar, suara Bella terdengar. Bhisma melirik, mata Bella terpejam dalam rangkulannya. Rupanya gadis itu lanjut bergumam dan mengigau.

“Padahal ..., gue sering ambil waktu lo sama Raras. Bikin lo jadi jauh sama pacar lo.”

Ingin menanggapi Bella, tetapi Bhisma ingat bahwa percuma saja bicara dengan orang teler. Toh, besok Bella tidak akan ingat apa pun yang terjadi malam ini, apa yang ia lontarkan malam ini. Akhirnya, Bhisma memilih untuk mengabaikannya. Seperti biasanya saat Bella mabuk dan meracau tidak jelas.


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Huru-Hara Hati
Selanjutnya Huru-Hara Hati [BAB 30-34]
5
0
30. Sayang31. Harus Ada32. Deep Talk33. Kondom34. Selimutan Bareng ***Halo para pencinta novel digital! Huru-Hara Hati akhirnya tayang di KaryaKarsa, nih. Bisa kamu baca sampai tamat. Happy reading, yaaa!Dan, buat yang sudah memiliki novel cetaknya, tidak perlu membeli bab-bab HHH di sini lagi, ya. Karena isinya sama saja. Thankyouuu!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan