
Ini adalah cerita tentang Sara dan Dru, yang bertemu pada sebuah perjalanan yang tidak pernah mereka rencanakan. Yang ternyata mampu membawa mereka pada kesadaran baru akan kehidupan dan hal-hal lain di dalamnya.
Sara
1.
Sara yang sejak tadi menatap keluar kaca jendela dari mobil yang sedang berjalan, kaget saat Ariana menyentuh pundaknya. Sara menoleh dan mendapati Ariana sedang melihat ke arahnya dengan tatapan yang sekilas terlihat hampir seperti kasihan. Ariana adalah manajer sekaligus sahabatnya. Ia mengerti jika ada yang mengganggu pikiran Sara belakangan ini.
“Kamu melamun lagi?” tanya Ariana.
“Hmm, not really.” Sara meringis.
“Sebentar lagi sampai. Kita mungkin punya waktu sekitar dua jam. Harusnya cukup sih ya.”
“Dua jam kayaknya malah kelamaan.” Sara kembali ke posisi duduknya semula, bersiap mengatakan sesuatu yang dia yakin akan membuat Ariana kesal. “Aku capek banget sebenarnya. Hmm.. Kita nggak bisa cancel aja ya?”
Ariana menggeleng cepat, “Sorry dear, but no. Ini udah ketiga kalinya kita reschedule. Lagipula masih banyak yang harus kita persiapkan selain ngurusin gaun kamu. Kalau ini ditunda lagi hari ini, kamu yang nanti akan kerepotan sendiri. Kita sekarang udah nggak punya waktu lagi.” Katanya setengah mengomel.
Sara mendesah setelah niatnya ditolak mentah-mentah. “Okay, okay.” Ia lalu memakai kacamata hitamnya yang sejak tadi hanya menggantung di leher baju, dan kembali menyibukkan pikirannya sendiri dengan menatap pemandangan di luar kaca jendela.
“Mungkin enak ya rasanya kalau bisa menghilang sebentar.” Sara berkata pelan seperti berbisik pada diri sendiri. Namun Ariana ternyata mendengar bisikan itu dengan jelas, dan lalu mendaratkan sebuah cubitan pelan di pundak Sara.
“Jangan aneh-aneh mikirnya. Ayo semangat. Tinggal sedikit lagi.”
“Kamu dengar aja.” Sara nyengir. “Iya. Iya.”
Mereka sudah kenal terlalu lama, sampai Ariana bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya tentang semua rencana yang sedang mereka jalani.
-
Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi sampai di sebuah butik besar milik seorang desainer terkenal bernama Bembi. Tak seperti yang direncanakan sebelumnya, ternyata sudah ada beberapa orang wartawan yang menanti di halaman depan bangunan butik, siap dengan kamera dan microphone di masing-masing tangan mereka.
“Kok ada wartawan?” Sara bertanya dengan nada sedikit protes pada Ariana yang juga tampak kebingungan.
Ariana memang sudah berjanji pada Sara untuk bisa menjauhkan wartawan darinya di saat sekarang ini. Semua proses persiapan pernikahan yang sedang ia jalani benar-benar melelahkan, dan Sara mengaku sudah tidak punya banyak tenaga lagi yang tersisa untuk memikirkan hal-hal lain, termasuk ketika harus dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat ia bertemu dengan media. Makanya ia melakukan permintaan khusus itu pada Ariana sejak beberapa waktu lalu.
“Aku juga bingung. Rencana kita hari ini seharusnya nggak ada yang tahu,” Ariana diam sebentar, “nggak ada yang tahu sih… kecuali Bembi.” didorong firasatnya, ia lalu mengambil ponsel dari dalam tas dan ternyata tebakannya benar. Bembi adalah tersangkanya. Ia menemukan sebuah post Bembi di Instagram. Sebuah foto selfie dirinya dan Sara yang sedang tersenyum.
Can't wait to see my sister @SaraJenia for her wedding dress fitting today.
Ariana menatap Sara dengan perasaan bersalah, “sorry. Aku lupa banget buat wanti-wanti Bembi. Mau lewat pintu belakang aja?”
Sara diam sebentar. “It’s okay. Dari depan aja.”
“Kamu yakin?”
“Iya, sekali-sekali nggak apa-apa. Nanti aku tinggal keluarkan jurus no comment aja.”
“Baiklah.”
Setelah memeriksa make up-nya yang sebenarnya masih bagus, Sara bersama Ariana turun dari mobil dan berjalan santai ke arah pintu masuk. Para wartawan yang sudah menunggu langsung heboh dan serempak mendekat. Seperti sekumpulan piranha yang menemukan serangga gemuk jatuh di permukaan air, mereka lalu menyerbu Sara dengan banyak pertanyaan.
“Sara, hari ini mau fitting gaun pernikahan kamu, ya?”
“Sara, kok sekarang jadi lebih kurusan? Apa karena diet atau karena stress menjelang pernikahan?”
“Sara, apakah mantan istri calon suami kamu akan diundang?”
“Sara..”
“Sara..”
“Sara..”
Sara menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak terlihat terganggu dengan serbuan pertanyaan itu. “Maaf saya buru-buru. Permisi ya, teman-teman.” katanya sambil membelah barisan wartawan yang menghalangi jalannya.
Dengan anggun, Sara terus berjalan menaiki anak tangga menuju pintu butik. Ia lalu berhenti saat sampai di anak tangga paling atas. Setelah menarik napas dalam beberapa kali, Sara memutar badan hingga mengarah pada audiensnya dan mulai berbicara, “teman-teman media yang baik, terima kasih banyak atas perhatiannya, sampai repot-repot menunggu saya di sini. Hari ini saya akan fitting wedding dress karya sahabat baik saya, Bembi. Saya minta doanya, semoga persiapan ini berjalan lancar. Terima kasih ya.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Sara berbalik dan mendorong pintu kaca di belakangnya untuk masuk ke dalam butik.
Ariana, yang sejak tadi berdiri di belakang Sara, selanjutnya mengambil alih, “terima kasih, teman-teman. Nanti kalau ada hal-hal lain yang bisa kami informasikan, akan segera diberitahu. Mohon doanya ya, semoga rencana pernikahan Sara bisa berjalan dengan baik.” Setelah melambaikan tangan sekilas, Ariana lalu ikut masuk ke dalam butik menyusul Sara, meninggalkan para wartawan yang berteriak protes karena tak ada satupun pertanyaan mereka terjawab.
Sara sudah menunggu Ariana tepat di balik pintu masuk. “Gimana?”
“Nanti kita lewat pintu belakang aja ya?” Ariana menawar.
“Alright. You are the boss.” goda Sara.
2.
Setelah selesai melakukan fitting dan main kucing-kucingan dengan beberapa wartawan yang masih setia menunggu di depan butik, Sara berhasil kembali ke dalam mobilnya untuk bergegas pulang ke apartemen diantar oleh Pak Slamet, supirnya. Sedangkan Ariana, yang harus kembali ke kantor untuk mengurus hal lain, sudah pergi dengan menggunakan taksi.
Sara memeriksa ponselnya, ada beberapa pesan dari Aldo. Calon suaminya. Sara membaca pesan dalam hati dan membalasnya dengan singkat, seolah tidak ingin berlama-lama menatap nama pria itu. Lalu ia diam sebentar dan kembali memikirkan hal yang kembali mengganggu pikirannya.
Sara dan Aldo akan menikah sekitar satu bulan lagi, tapi sampai detik ini, Sara tidak yakin jika ia mencintai pria itu atau tidak. Sara benar-benar tidak tahu. Ia sungguh tidak merasakan perasaan apapun terhadap pria itu, tak peduli seberapa besar usaha Aldo mengambil hati Sara. Lalu sebulan belakangan ini juga, Sara semakin meyakini sesuatu. Ia benar-benar belum ingin menikah. Tidak sekarang. Dan tidak dengan Aldo. Inilah yang sejak beberapa hari mengganggu pikirannya. Ia benar-benar ingin bisa menghilang.
Bagi banyak orang di sekitarnya, mungkin tidak ada yang salah dengan Aldo. Aldo memiliki segala hal yang didambakan banyak orang. Kekayaan, ketenaran, background yang jauh dari kesan buruk, dan fisik yang hampir sempurna. Hanya sedikit orang yang bisa mengimbangi sosok hebat Sara seperti apa yang dilakukan Aldo. Dari yang terlihat, mereka berdua begitu sempurna saat bersama. Sehingga rencana pernikahan mereka sering digambarkan seperti pernikahan pangeran dan putri dari kerajaan cerita dongeng oleh beberapa media gosip.
Kesempurnaan sosok keduanya itu yang membuat rencana pernikahan mereka menjadi event paling ditunggu tahun ini, seorang pengusaha kaya rupawan penghuni list orang sukses versi Forbes, yang akan menikah dengan seorang actress merangkap model super cantik yang sedang berada di puncak karirnya. Tapi bagi Sara, semua itu tidak cukup jadi alasan untuknya menikah.
Sebenarnya, sejak awal Sara sudah menunjukkan penolakan pada rencana pernikahan yang digagas oleh ibunya yang keras kepala.
Aldo adalah anak dari salah satu kolega ibunya, dan mereka menyusun perjodohan ini tanpa mengikutsertakan Sara. Meski sempat memberontak dan perang dingin dengan ibunya, namun pada akhirnya Sara tidak bisa melawan.
Apalagi setelah Sara menyadari jika ibunya sudah bergerilya mempersiapkan segalanya, termasuk berbicara dengan sejumlah wartawan yang berhasil membuat rencana ini menjadi lebih serius dari seharusnya.
Sara ingat jelas hari di mana ia akhirnya berdebat dengan ibunya setelah menemukan namanya dan nama Aldo trending di Twitter suatu hari. Sebuah akun gosip menjadi pihak pertama yang mengumumkan rencana pernikahan mereka. Sara bereaksi seperti orang gila saat berbicara dengan ibunya di telepon hari itu.
“Aku belum mau nikah, bu!”
“Aldo itu baik, Sara. Kamu pasti bahagia kalau menikah dengannya.”
“Ibu nggak dengar? Aku bilang aku tidak ingin menikah. Tidak sekarang. Tidak dengan Aldo. Tidak dengan siapapun.”
“Coba kali ini aja kamu dengarkan ibu. Coba kamu kenalan dulu, nanti juga kamu pasti suka sama dia.”
“Bu, aku tidak mau. Hidupku tidak bisa diputuskan seenaknya begitu.” Sara mulai menangis. “Hidupku tidak boleh diputuskan oleh orang lain, meskipun itu ibu. Hidupku ini aku yang jalani. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri.”
Kaget dengan perkataan itu, ibu Sara terdiam sesaat. “Kamu harus percaya, apa yang ibu lakukan ini semua demi kebaikan kamu. Suatu hari kamu akan mengerti. Dan ibu mohon lakukan ini untuk ibu. Hanya ini yang bisa bikin ibu bahagia.”
“Terus gimana dengan kebahagiaan aku?”
“Kamu akan bahagia. Kamu dan Aldo akan bahagia jika bersama.”
Pada titik itu, Sara tahu ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak punya tempat untuk kabur dari semua kenyataan ini. Bagi Sara, ini adalah titik di mana ia harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi kebahagiaan ibunya. Satu-satunya darah daging yang tersisa di hidupnya sekarang.
3.
Tiba-tiba mobil berhenti karena lampu merah. Sara kaget dan langsung kembali sadar dari lamunannya barusan. “Mbak Sara mau langsung pulang ke rumah atau mau beli makan dulu?” tiba-tiba Pak Slamet bertanya dan membuyarkan pikiran Sara.
Sara diam sebentar. “Pulang aja deh, Pak. Saya nggak laper.”
“Nggak laper kan bukan berarti nggak butuh makan, mbak.” Pak Slamet melirik dari kaca spion dalam. “Mbak belum makan dari pagi lho.”
Sara mengingat-ingat, memang benar ia hanya baru sekali makan hari ini pada saat sarapan di mobil tadi. Lalu ngemil sedikit pada saat fitting di butik Bembi. “Hmm, singgah ke McD aja kalau gitu, Pak.”
“Sip, Mbak.”
“By the way, Pak Slamet perhatian banget. Saya jadi terharu.” kata Sara dengan suara menggoda.
Pak Slamet tertawa kecil. “Sebenarnya banyak yang perhatian dan peduli sama Mbak Sara, cuma mungkin Mbak Sara aja yang nggak sadar.”
“Ah, masa?”
“Iya, terutama Mbak Ariana. Dia tuh yang paling pusing mikirin, Mbak. Tiap hari uring-uringan. Dia sering curhat sama saya, katanya deg-degan ngurus pernikahan Mbak Sara. Padahal yang nikah juga bukan dia.” Pak Slamet ngikik.
Sara ikut tertawa. Dalam hati ia merasa sangat bersyukur ada Ariana di dalam hidupnya. Salah satu pilihan yang bisa diambil sendiri tanpa campur tangan ibunya adalah Ariana. Menjadikan Ariana, sahabatnya sejak kecil, sebagai manajernya adalah pilihan terbaik dalam karir Sara sekarang.
Meski kadang terlalu bawel, setidaknya Sara bisa tenang mengetahui jika dirinya, juga pekerjaan dan keuangannya, diurus oleh orang yang benar-benar sayang dan peduli padanya sejak awal dia belum jadi siapa-siapa.
4.
Hari ini terasa sangat panjang. Sara sudah selesai makan dan bersih-bersih saat Ariana menelponnya. Sara melirik ke arah jam di dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tak biasanya Ariana menelpon selarut ini, kecuali ada yang penting.
“Halo.”
“Hei. Kamu udah di rumah?” tanya Ariana.
“Udah kok, kenapa? Kamu masih di kantor ya?”
“Nggak, ini udah jalan pulang.”
“Good. Kenapa telepon?”
“Ini aku telepon mumpung ingat. Besok jangan lupa kalau kita ada pemotretan dadakan buat Vogue, ya.”
Sara menepuk dahinya. “Astaga! Aku hampir aja lupa. Besok jam berapa? Nggak pagi banget, kan? Aku pengin hibernasi sebentar soalnya. Capek bangeeet.”
“Nggak kok, nggak. Besok jam 12 siang kita jalan dari apartemen kamu.”
“Syukurlah. Aman kalau jam segitu.” Sara lega. “Setelah pemotretan besok, kita nggak ada kerjaan lagi kan?”
“Nggak, setelah pemotretan besok, jadwal kamu udah aku kosongkan sampai nanti pulang honeymoon. Berarti kamu bisa cuti selama sebulan lebih tuh."
Mendengar kata honeymoon membuat Sara merasa mual seketika dan ingin cepat-cepat menyudahi telepon sebelum ada pembahasan lain tentang pernikahannya lagi.
“Ya sudah, sampai ketemu besok kalau gitu.”
“Sip. Oh iya, besok tuh tema fotonya 10 World Wonders. Kamu kebagian tema Angkor Wat. Kamu tahu Angkor Wat? Kalau nggak tahu, besok coba googling dulu biar kebayang buat besok.”
Sara terdiam sebentar.
“Angkor Wat, ya?"
"Iya, itu komplek candi gitu, letaknya di Kamboja kalau nggak salah."
"I see, aku pernah baca.” jawabnya pelan.
“Great. Ya udah, istirahat ya. Biar besok kamu segar buat difoto. Bye.”
"Oke. Bye."
Sambungan telepon ditutup.
Selama beberapa saat, Sara terdiam dengan ponsel masih menempel di pipinya. Tiba-tiba semua rasa lelah yang ia rasakan sejak tadi mendadak hilang setelah mendengar kata Angkor Wat dari Ariana. Ia seperti mendapatkan sebuah kode dari semesta.
Angkor Wat adalah tempat yang sudah sejak dulu ingin ia datangi karena sebuah alasan yang sangat personal. Niat itu bahkan sudah berada cukup lama di dalam kepalanya sejauh yang bisa ia ingat.
Sara pernah bepergian ke banyak negara di seluruh dunia, tapi sama sekali belum pernah berkunjung ke tempat yang hanya berjarak lima jam dengan menggunakan pesawat dari Jakarta itu. Entah mengapa, ada perasaan takut yang sering datang setiap kali ia mengumpulkan keberanian untuk bisa ke sana.
Sara ingat sekali, beberapa tahun lalu, ia pernah berjanji pada diri sendiri untuk bisa ke Angkor Wat sebelum menikah, atau setidaknya sebelum umurnya menyentuh tiga puluh tahun. Dan sepertinya cita-cita itu akan sulit terwujud dengan kondisinya sekarang. Karena kurang dari sebulan lagi dia akan menikah. Dan ide untuk bisa pergi ke Angkor Wat dengan Aldo suatu hari nanti setelah mereka menikah membuatnya tidak nyaman. Tempat itu harus ia datangi sendirian. Atau setidaknya bukan dengan Aldo.
Tiba-tiba Sara tersadar jika mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk ia bisa pergi. Kesempatan ini mungkin tidak akan pernah datang lagi. Semesta sudah mengirimkan kode sejelas ini.
Tapi.. gimana kalau ketahuan? Aku harus bilang apa?
Tapi, sebenarnya aku masih punya waktu, kan.
Sebulan. Aku punya waktu sebulan sebelum persiapan final pernikahan.
Sara berpikir dalam-dalam. Sebenarnya, setelah pemotretan besok, tidak banyak yang harus dilakukannya lagi selama dua atau tiga minggu ke depan. Untuk pernikahannya nanti, Ariana dan ibunya juga yang akan mengurus semuanya. Sara juga tidak berniat menghabiskan waktu dengan Aldo, setidaknya sampai persiapan final acara. Ia sudah mengatakan itu pada ibunya sebagai syarat agar Sara mau mengikuti rencana pernikahan ini.
Ini adalah pertanda dari semesta.
Dengan yakin, Sara segera meraih ponselnya dan melakukan pencarian. Dan seperti sedang berjodoh, ia berhasil menemukan sebuah trip yang ia butuhkan, trip yang bisa segera berangkat secepatnya.
Meski sebenarnya trip ini akan mengunjungi beberapa kota lain selain Siem Reap, setidaknya Angkor Wat adalah salah satu tempat yang akan didatangi dengan durasi paling lama: 3 hari 3 malam. Itu lebih dari cukup.
Sara tidak peduli meski trip itu dijual sebagai trip pemula; Backpacking for Beginners. Meski sama sekali belum pernah bepergian ala backpacker, tapi dengan yakin ia menghubungi kontak yang tertera dan memesan satu tempat untuknya. Trip itu akan jalan dalam dua hari lagi. Berita baiknya, hanya akan ada dua orang peserta, termasuk dirinya. Meski harus membayar lebih dari harga tertera, tapi ini adalah opsi yang paling aman untuknya, karena mereka akan jalan dalam sebuah grup kecil.
Sebenarnya, bisa saja Sara memilih membeli trip khusus ke Angkor Wat di biro perjalanan besar, namun ia tidak bisa membayangkan jika harus jalan dalam grup besar bersama orang-orang asing yang kemungkinan besar akan mengekspos keberadaannya. Dan pergi sendirian juga bukan opsi masuk akal bagi orang yang gampang panik di tempat asing seperti dirinya. Jadi, pergi bertiga dengan seorang pemandu harusnya ide paling brilian yang ia punya sekarang.
Sara sudah memutuskan. Ia akan pergi.
“Baiklah, Angkor Wat, I’m coming!”
Sara teringat sesuatu. Ia membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Sara lalu menatap foto itu dengan tekun dan mata yang berkaca-kaca. Dan seolah menemukan semangat hidup yang baru, Sara menghabiskan malam itu dengan membuat rencana perjalanan. Sebelum akhirnya ketiduran beberapa jam kemudian.
🚀
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
