Terkadang mencuri start tidaklah curang.
Aku selalu percaya bahwa setiap orang hebat dengan caranya masing-masing. “Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” sebuah ungkapan yang begitu terkenal. Pertama, tidak, Albert Einstein tidak pernah mengeluarkan ungkapan itu. Kedua, itu membuatku berpikir.
Bagaimanapun, apabila untuk sejenak, kita putuskan untuk mengabaikan siapa sebenarnya pemilik ungkapan itu, cukup benar, bukan? Bahwa ikan dapat terlihat bagus saat memanjat pohon adalah khayalan yang begitu konyol. Tapi semua menjadi lebih serius ketika kita melihat para ikan di kolam yang sama.
Dwi, adalah namaku. Nama yang begitu biasa, dan begitu mainstream. Saking biasa-nya, namaku terpampang di setiap daftar nama anak terpopuler nusantara di setiap website. Sekarang adalah seorang siswa normal yang duduk di bangku SMA. Aku biasa. Aku normal.
Sejak pertama dunia tersingkap dari rahim ibu, aku selalu menjadi orang yang biasa. "Hidupku cukup." pikirku. Beranjak ke Sekolah Dasar, bapak dan ibu selalu berdiri disampingku ketika raporku berhasil ku genggam, dilanjutkan dengan kami pergi ke rumah makan dengan ayam panggang kesukaanku. Mereka selalu bilang, tidak ada salahnya berada di posisi menengah. Tenanglah hatiku.
Lalu waktu yang bergulir mulai terasa lebih nyata. Umurku bertambah satu demi satu. Aku sadar, bahwa disekitarku, adalah sebuah kompetisi hidup yang sedang digelar, dan aku berada tepat di tengah-tengahnya. Mulai menilai kelebihan dan kekuranganku. Berpikir, apakah aku lebih baik "memanjat" atau "berenang".
Memasuki jenjang pendidikan SMA, aku bertemu dengan banyak wajah baru. Tapi hanya beberapa nama yang sering muncul. Bagus, salah satunya. Seorang siswa teladan yang begitu dikenal. Namanya kerap dilantunkan di ruang guru, terutama oleh para pengajar matematika yang begitu akrab dengannya. Ketika kita menunggu pengumuman hasil belajar, aku yakin tidak ada satu nyawapun yang meragukan namanya akan muncul sebagai siswa terbaik. Namaku, di lain sisi, terkenal karena terdapat banyak "Dwi" di angkatanku.
Perlahan, hatiku menumbuhkan rasa iri. Bukan rasa ingin menjatuhkan para jenius seperti Bagus, tapi frustasi kenapa aku tidak mampu berdiri di panggung yang sama dengan mereka. Semakin hari, semakin bersinar mereka di mataku. Tercetaklah nama mereka pada plat kecil pada pondasi piala. Bagus dengan piala matematikanya, satu mata pelajaran yang aku yakin aku cukup baik disana. Mereka tentu adalah anak-anak yang berbakat, pikirku.
Bagus tidak pernah menjadi sosok yang gila hormat. Sebaliknya, dia adalah teman yang rendah hati, bahkan tidak pernah pelit ilmu. Sudah berkali-kali aku berkunjung ke bangkunya dengan pertanyaan-pertanyaan matematika yang mulai sulit terbayang jawabannya olehku. Setiap kunjunganku usai, bertambahlah pemahamanku, sekaligus rasa iriku.
Kita semakin akrab, hingga akhirnya sekali aku berkunjung ke rumahnya. Sedikit menjadi pikiran olehku, melihat pemandangan di depanku. Rumah yang sempit, kamar dengan ranjang yang bersentuhan langsung dengan lantai, yang terbagi dengan dua adiknya. Meja belajar yang terlihat akan roboh dalam waktu dekat. Tak sepatah katapun aku berani berkomentar, ketika terbayang di kepalaku seberapa nyaman rumahku jika aku bandingkan dengan tempatnya belajar sepulang sekolah.
Tapi, rasa penasaranku membesar.
"Gus, kamu berbakat ya." pujiku.
"Berbakat?"
"Tau kan, maksudku. Kamu pintar, selalu jadi juara, selalu jadi yang paling atas."
"Oh, itu." sadarnya dengan tertawa kecil. "Enggak, kok."
"Aku mau jujur, Gus. Aku sebenarnya iri." kataku. "Sejak kenal kamu, aku jadi lebih sering belajar. Satu, dua jam ku buang waktuku main biar bisa seperti kamu."
"Bagus, dong? Kaya namaku. Haha!" kini tertawanya semakin deras setelah permainan kata miliknya.
Aku menunjukkan keluhku, "Tapi aku ga pernah bisa nyalip kamu, Gus. Syukur-syukur aku masuk 5 besar dikelas!"
"Tapi," katanya, "Itu bagus."
"Seriusan nih, aku ga berbakat." aku menentang. "Soalnya kalo kamu—"
"Itu bagus, karena kamu udah lebih dekat." Bagus menyelaku.
"Menurutku, kamu bukannya gak berbakat." katanya. "Kamu kurang usaha."
Kali ini aku jengkel. "Aku sudah berusaha", pikirku. Kalaupun Bagus berusaha lebih banyak, aku yakin bedanya sedikit.
"Kurang usaha apanya. Emang kamu belajar berapa lama sih, sehari?"
"4 jam, mungkin?" katanya.
Kali ini, aku terdiam. Sebagianku tak percaya, sebagianku tertampar. Tapi Bagus tak berhenti di situ.
"Aku ini udah senang matematika dari dulu, Wi." kata temanku ini. "Waktu SD, ibuku pernah marahin aku buat tidur, karena kepergok masih buka buku matematika jam 2 pagi."
Terakhir, aku berpikir. Itu membuatku berpikir. Usaha Bagus dibandingkan aku bagaikan galon bertemu gelas. Dan aku mengeluh kenapa air digelasku tidak pernah sama banyaknya. Aku pikir aku sudah berusaha sama baiknya dengannya di kelas yang sama, dan ternyata tidak. Belum cukup usahaku disana, dia memaksaku mengingat bagaimana nikmatnya masa SD-ku dibandingkan miliknya.
Aku bukannya membuang waktu mainku untuk belajar, aku buang waktu belajarku untuk bermain.
"Banyakin main kalau gitu kamu, Gus. Biar aku bisa nyusul!" candaku.
"Ngapain. Makin ngebut kali."
Aku sudah kalah start sejak dulu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
