
Selama ini kita telah sering membicarakan tentang mempelajari bahasa asing. Terlalu sering, bahkan, sehingga tanpa disadari timbul suatu kabut dalam menjalankannya. Maka, biar saya bagikan sebuah rahasia kecil: cara terbaik untuk mempelajari bahasa asing bukanlah semata-mata dengan mempelajarinya.

Apakah benar yang pertama kali terlintas di benak anda ketika mendengar “belajar bahasa asing” adalah tentang belajar? Ya—saya pun dulunya begitu. Lagipula, semuanya sudah jelas, bukan? Belajar bahasa asing. Kata “belajar” tertulis dan terpampang begitu nyata di dalamnya. Sebuah kombinasi kata yang begitu sering terdengar dan terlewat.
Belajar bahasa asing, awalnya adalah sebuah proses yang saya yakini sebagai sesuatu yang akan berjalan begitu saja. Tentunya, saya dulunya seorang siswa. Saya dulunya menerima begitu saja bahwa apa yang berlangsung di sekolah memang sudah seharusnya begitu. Bagaimanapun kita mempelajari bahasa asing di kelas, ya memang sudah seharusnya begitu. Saya memiliki kelas Bahasa Inggris sama seperti kebanyakan orang, di sekolah. Di sana—seperti biasa—diberikan soal yang nantinya akan diisi menggunakan to be, menguji grammar yang tepat, hingga membaca artikel panjang yang nantinya kita diminta menjelaskan isinya apa. Standar.
Tapi, bahkan untuk saya yang saat itu hanya sedikit memperhatikan proses belajar Bahasa Inggris di kelas, terdapat beberapa fenomena yang mengganjal selama saya menempuh pendidikan itu:
- Terdapat siswa yang mencetak nilai-nilai yang bagus di atas kertas, namun kesulitan untuk memproduksi (berbicara dan menulis) bahasa tersebut.
- Ketimbang perasaan malas ketika mengikuti pelajaran-pelajaran lain tertentu, rasa ketidaksukaan siswa terhadap Bahasa Inggris menimbulkan atmosfer yang cenderung berupa ketidaknyamanan.
- Bahwa saya sering mengandalkan intuisi dalam mengerjakan soal-soal pada mata pelajaran Bahasa Inggris ketimbang penghafalan yang banyak ditekankan untuk dilakukan.
Itu membuat saya bertanya-tanya, bahwa mungkin ada sesuatu yang kurang dari “belajar” dalam proses belajar bahasa asing selama ini pada sistem yang dianggap lumrah itu. Bagaimana bisa terdapat pelajar yang dicap sukses—dengan nilai tinggi—tidak mampu menghadirkan performa pada kaliber yang sama ketika berbicara dan menulis? Kalau saya perhatikan pada pelajaran lain, Biologi atau Sejarah misalnya, nilai-nilai itu menunjukkan akurasi yang lebih tinggi. Pengetahuan pelajar akan mata pelajaran itu terasa benar-benar nyata kapanpun kita menggunakannya dalam bidang tersebut. Di lain sisi, hal yang sedikit berbeda terjadi pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Seolah-olah perjalanan akademis Bahasa Inggris di kelas berada pada jalur yang berbeda dengan penerapan dan penggunaannya yang nyata.
Pelajar tentunya memiliki subjek yang disukai dan tidak disukai, dan itu hal yang lumrah. Yang unik adalah bahwa pada pelajaran Bahasa Inggris, rasa tidak suka itu lebih sering berupa ketidaknyamanan dan bukan hanya rasa malas atau ketidakpedulian. Beberapa bahkan secara verbal mengutarakan mereka membenci mata pelajaran ini. Kita akan kembali ke poin ini pada bagian lain tulisan ini.
Pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah saat ini berorientasi pada penghafalan. Saya tidak pernah lupa bagaimana rasanya pengajar mengeluarkan formula-formula tenses untuk menjelaskan pertanyaan seorang siswa atas jawaban mereka yang salah. Karena saya adalah salah satu dari siswa itu. Pikiran sederhana saya dulunya adalah bahwa hal itu sangat menakjubkan, bagaimana para pengajar benar-benar tahu apa yang salah dari suatu kalimat dan menjelaskannya dengan suatu aturan konkrit berupa formula-formula itu. Sedangkan saya seringkali mengandalkan intuisi dalam menilai suatu kalimat, “merasa” apakah kalimat tersebut terdengar benar atau tidak.
Akhirnya saya lulus dari bangku SMA, perjalanan akademis saya sebagai pelajar Bahasa Inggris berjalan lancar dengan ditutup performa yang memuaskan dengan nilai penuh pada Ujian Nasional kala itu (walaupun saya masih tidak percaya nilai-nilai Bahasa Inggris itu mampu merepresentasikan proficiency siswa dengan baik). Pada tahun 2020, saya diwajibkan memilih kelas bahasa asing untuk keperluan perkuliahan. Pilihan itu diantaranya: Bahasa Jerman, Bahasa Francis, dan Bahasa Jepang. Kalau beberapa dari anda tahu dan ngeh ada karakter hiragana di cover tulisan ini, benar sekali, pilihan saya jatuh pada Bahasa Jepang.
Cuma—buat saya pribadi—ini bukan hanya tentang mempelajari Bahasa Jepang. Ini adalah tentang mempelajari bahasa asing. Lagi.
Bedanya, kali ini waktu yang saya miliki untuk mengejar kemampuan hanya sebatas satu semester. Hanya kurang dari 6 bulan untuk mendapat nilai setinggi-tingginya. Terlebih, tahu apa saya soal Bahasa Jepang saat itu? Hanya beberapa ungkapan sederhana untuk perkenalan diri dan lusinan kosakata. Saya harus kembali belajar. Dan kali ini termasuk mempelajari cara untuk belajar. Maka, saya mulai mencari.
Saya saat itu sedang melakukan pencarian terkait mempelajari bahasa baru dengan menelusuri internet. Apapun yang dapat membantu saya menempuh jalan yang paling benar untuk menguasai suatu bahasa baru. Hingga akhirnya, pada suatu video berbahasa Inggris yang muncul pada kolom rekomendasi, platform YouTube berhasil mempertemukan saya dengan seseorang. Sebuah video yang menjadi representasi kata-kata dari apa yang telah saya alami sebagai pelajar bahasa asing. Sebuah video yang memberi saya jawaban untuk memahami pengalaman yang bahkan saya sendiri sebelumnya tidak sepenuhnya yakin bagaimana saya berada pada titik fasih berbahasa Inggris.
Sebuah video yang menjadi inspirasi atas lahirnya tulisan ini untuk anda.
https://www.youtube.com/watch?v=NiTsduRreug&t=662s&ab_channel=MarkRounds
Input Hypothesis

Stephen Krashen, nama orang yang berbicara pada video berdurasi 15 menit itu, adalah seorang ahli di bidang linguistik dan seorang profesor di University of Southern California. Dia berspesialisasi dalam teori pengakuisisian dan pengembangan bahasa. Krashen memiliki sebuah teori tentang proses akuisisi bahasa kedua (Theory of Second Language Acquisition.)
https://www.sk.com.br/sk-krash-english.html
Jika anda sampai pada paragraf ini tanpa menonton video tersebut, tenang saja, karena kita ini akan membicarakan isinya. Malahan, kita akan membahasnya lebih dalam dan semoga beberapa pengalaman yang saya sisipkan membantu pemikiran penting di dalamnya tersampaikan dengan apik. Lalu, apabila kendalanya adalah bahwa video tersebut menggunakan Bahasa Inggris, tetap tenang, karena kita akan sebisa mungkin melanjutkan menggunakan Bahasa Indonesia.
Kita mengakuisisi bahasa dengan cara yang sama.
Krashen memulai pidatonya dengan membawakan suatu pernyataan yang penting: kita semua mengakuisisi bahasa dengan cara yang sama.
Pernyataan tersebut adalah penyegar yang baik terhadap kenyataan dunia edukasi yang saat ini tengah fokus dalam hal diferensiasi individu. Memang benar, bahwa setiap individu—masing-masing anak—adalah berbeda. Namun, dalam topik ini kita perlu membuat garis batas yang jelas sampai dimana pembedaan tersebut diperlukan. Karena pada dasarnya, sebagai manusia kita akan selalu memiliki kesamaan pada bagian tertentu.
Semua manusia memiliki kemampuan untuk mengakuisisi bahasa, dan cara mereka mengakuisisi bahasa adalah sama. Tidak penting darah warga negara mana yang mengalir di dalam tubuh anda, anda pasti akan berhasil mengakuisisi bahasa yang digunakan di lingkungan sekitar anda (asalkan itu adalah bahasa manusia). Anda terlahir sebagai kertas kosong. Kendatipun anda adalah keturunan berdarah Indonesia, apabila anda tinggal di USA maka anda akan mampu menggunakan Bahasa Inggris. Begitupun sebaliknya, begitupun di daerah manapun dan begitupun pada bahasa apapun.
Urusan bahasa apa yang mampu dipelajari oleh seorang anak manusia tidak terpaut oleh gen manusia. Hanya saja, terdapat sesuatu yang entah apa itu, yang benar-benar manusiawi tentang bahasa, yang membuatnya bisa diserap oleh manusia manapun. Anda adalah salah satunya. Anda berbakat untuk mengakuisisi bahasa apapun.
Comprehensible input: mengakuisisi bahasa dengan memahami suatu pesan.
Krashen menjelaskan “kesamaan” ini dengan baik dengan suatu hal yang begitu mendasar. Beliau memberikan dua buah “pelajaran singkat” secara penuh menggunakan Bahasa Jerman pada timestamp 2:20 – 2:33 dan 3:20 – 4:30 video tersebut.
Yang menarik, adalah bagaimana Krashen membawakan kedua “pelajaran singkat” tersebut. Beliau membawakan suatu konten yang sama dengan dua cara yang berbeda. “Pelajaran singkat” pertama diberikannya tanpa kendala, beliau berbicara selayaknya orang Jerman berbicara di depan umum. Dengan kecepatan yang normal. Di sisi lain, pada “pelajaran singkat” kedua, dia membawakaannya dengan perbedaan yang drastis. Itu adalah perbedaan yang dapat menentukan terbentuk atau tidaknya kondisi yang diperlukan untuk seseorang mengakuisisi bahasa.
Konteks. Krashen menghadirkan konteks yang jelas pada “pelajaran singkat”-nya yang kedua. Beliau juga melakukan penyesuaian pada cara mengutarakan kalimat: penekanan, pemenggalan, intonasi, gestur tubuh, dan bahkan gambaran buatan tangan. Lalu apa yang terjadi? Kita mampu memahami lebih baik pesan yang ada di balik kalimat berbahasa Jerman itu.
Ini adalah sesuatu yang tidak sering diperhatikan dalam proses belajar bahasa asing di kelas: kita mengakuisisi bahasa ketika kita memahami sebuah pesan.
Input—baik itu dalam bentuk lisan maupun tulisan—yang memiliki pesan yang dapat kita pahami, adalah comprehensible input. Kita tidak mengakuisisi bahasa ketika mendengar suatu kalimat berulang-ulang. Mengucapkan dan mengulangi suara yang kita dengar juga bukan hal yang membuat kita mengakuisisi bahasa. Melubangi kalimat-kalimat untuk nantinya diisi oleh para siswa tetap tidak akan membuat mereka mengakuisisi suatu bahasa.
Mungkin terdapat beberapa dari anda yang menilai hal ini sedikit berlawanan dengan intuisi. “Bagaimana bisa kita memahami sesuatu dalam bahasa asing jika kita saja belum menguasai bahasa itu?” Percaya atau tidak, anda telah berhasil melakukan ini sejak pertama diperkenalkan dengan bahasa ibu. Saat itu, bukan hanya anda tidak menguasai bahasa ibu, anda bahkan tidak tahu apapun tentang dunia. Tapi, sekarang cobalah perhatikan diri anda baik-baik di cermin. Bagaimana orang di cermin itu berdiri di titik sekarang dengan kefasihan yang begitu tinggi menggunakan Bahasa Indonesia? Setidaknya kita tahu bahwa memahami suatu pesan di balik sebuah kalimat yang sepenuhnya berbahasa asing bukanlah hal yang mustahil.
Proses akuisisi bahasa yang terjadi pada bayi selalu dianggap mudah, beberapa bahkan mengatakan itu terjadi dengan ajaib. Padahal kalau kita mau memperhatikan lebih, tidak semudah itu. Butuh waktu hampir setahun sebelum bayi mampu memproduksi sepatah atau dua patah kata (secara harfiah) pertamanya, dan itu masih belum sempurna. Apa yang terjadi pada satu tahun itu? Si bayi memperhatikan. Mereka melihat dan mendengar, menerima pengetahuan atas dunia mereka, dan menerima input dari orang-orang di sekitar mereka.
Kita tidak mengakuisisi bahasa dengan memproduksi bahasa (berbicara dan menulis) tersebut. Proses akuisisi bahasa tidak dimulai saat seseorang telah mampu berbicara dan/atau menulis, itu dimulai ketika pertama kali input diterima. Keberhasilan produksi bahasa disebabkan oleh sudah cukup terbentuknya model bahasa yang kita miliki, dan itu adalah hasil dari menerima input. Maka, adalah hal yang normal apabila para pelajar berada dalam fase sunyi dengan tidak memproduksi bahasa. Adalah normal untuk hanya mendengar dan membaca terlebih dahulu. Ketika proses akuisisi sudah cukup, semuanya akan mengalir dengan natural.
Karena kita mengakuisisi bahasa hanya ketika kita memahami sebuah pesan tersebut, hal-hal yang dapat membantu proses akuisisi bahasa adalah segala hal yang memudahkan kita untuk memahami pesan tersebut. Entah itu visual, gestur, pengetahuan tentang dunia, dan lainnya.
Lalu, ketika memulai mempelajari bahasa asing di usia yang lebih matang ini, anda sudah punya kemampuan berpikir yang cukup tinggi untuk mengolah informasi dengan cepat. Pengetahuan anda tentang dunia sudah mendalam. Anda sudah tidak perlu diberitahu apa itu apel atau makna dari makan. Kemampuan anda untuk membangun persepsi siap untuk membantu anda memahami suatu pesan dengan lebih baik dengan menyatukan konteks yang tersedia dengan seluruh pengetahuan yang telah anda miliki.
Akuisisi?
Sejak tadi kita banyak menggunakan istilah “akuisisi” ketimbang “belajar”, dan terdapat sebuah alasan penting di balik itu. Kata “belajar” dalam belajar bahasa asing adalah sebuah istilah yang perlu diperjelas lagi fungsinya. Orang-orang yang mengatakan akan belajar bahasa asing biasanya merujuk pada tujuan untuk menguasai bahasa asing tersebut, dan bukan tentang cara mereka menguasai bahasa asing tersebut. Sedikit sayang, konsep belajar khas sekolah adalah sebuah hal yang terlalu populer sehingga itu menjadi hal pertama yang muncul ketika kita mendengar “belajar” sehingga mengaburkan perbedaan ini. Andai saja kita memiliki kata-kata yang lebih baik untuk mewakili kedua ide yang serupa tapi tak sama ini.
Mulai dari sini kita akan mengenal lebih dalam tentang istilah yang lumayan kalah populer: akuisisi. Dan, sialnya kita harus menyisipkan istilah berbahasa Inggris di sini hanya karena terdapat istilah-istilah yang memiliki pergeseran makna apabila ditranslasikan.
Oleh Krashen, terdapat dua konsep yang sebenarnya sangat berbeda apabila kita membicarakan tentang pembelajaran bahasa dalam arti proses untuk meraih tujuan memiliki kemampuan dalam suatu bahasa. Yang pertama adalah konsep “belajar” atau language learning yang menitikberatkan pada penerimaan informasi tentang bahasa tersebut. Inilah yang menjadi pendekatan yang lumrah dilakukan sekolah-sekolah terkait pembelajaran bahasa. Di sini perhatian difokuskan pada bahasa dalam bentuk tertulis dan target pelajar adalah untuk memahami struktur dan aturan yang berlaku dalam bahasa tersebut dimana bagian-bagiannya dibedah untuk dianalisa. Yang kedua adalah konsep “akuisisi” atau language acquisition yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk berinteraksi, memahami dan berkomunikasi dengan orang luar dengan bahasa mereka. Ini merujuk pada proses pembauran natural yang melibatkan intuisi dan pembelajaran melalui alam bawah sadar. Sebuah contoh dari proses akuisisi bahasa yang berhasil adalah orang yang memiliki kecakapan berbahasa yang mendekati para native speaker dan di waktu yang sama hanya tahu sedikit tentang bahasa tersebut. Orang-orang ini memiliki pelafalan yang baik tanpa tahu banyak tentang fonologi, tidak tahu yang mana tense yang sempurna, namun secara intuisi mengenali dan tahu bagaimana menggunakan seluruh struktur tersebut.
Fonte: English Made in Brazil - https://www.sk.com.br/sk-laxll.html
Ini menjawab mengapa terdapat siswa dengan perolehan nilai tinggi yang kesulitan memproduksi bahasa tersebut pada kelas Bahasa Inggris: karena kita berfokus pada hal yang berbeda. Kita berfokus pada konsep language learning, untuk menganalisa dan terus-terusan memperbincangkan bagaimana bahasa tersebut bekerja, ketimbang menggunakan bahasa tersebut. Para siswa mendapat waktu yang sangat singkat—45 menit per 1 jam mata pelajaran—untuk mengejar kemampuannya berbahasa Inggris. Dan di dalam waktu sesingkat itu agaknya kita mengalokasikan waktu yang terlalu sedikit untuk benar-benar memberi mereka kesempatan untuk menjalankan akuisisi. Benar bukan, tujuan kita mempelajari Bahasa Inggris adalah supaya bisa menggunakannya? Maka saya rasa kita harus membedakan membiasakan diri untuk menjawab soal dengan benar dengan membiasakan diri untuk meningkatkan kemampuan berbahasa kita.
Konsep language acquisition adalah jalan yang sebaiknya kita telusuri apabila tujuan kita adalah kecakapan berbahasa asing. Berikanlah diri anda kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mengakuisisi bahasa tersebut.
Intuisi dalam penggunaan bahasa terbentuk bersamaan dengan proses akuisisi berlangsung. Semakin banyak anda mendengar dan membaca, semakin banyak data yang diperoleh otak anda untuk mengenali bahasa tersebut. Terdapat pola-pola yang anda akan sadari yang jauh lebih dalam dari sekadar formula seperti ungkapan-ungkapan natural, nuansa dari setiap kosakata, aksen, seluruh budaya para penutur asli yang tertanam dalam bahasa tersebut. Tidak heran apabila akan ada waktu dimana anda pernah menemukan sesuatu yang sesuai dan benar secara grammar namun terdengar aneh di telinga, hanya karena memang bukan begitu cara penutur asli biasanya mengekspresikan ide tersebut.
Semuanya menjadi jelas mengapa dalam pengalaman saya pribadi intuisi adalah hal yang saya percaya dalam kelas Bahasa Inggris. Karena itu terbentuk langsung dari semua waktu yang saya habiskan dengan bahasa tersebut. Daripada menghafalkan formula-formula, sejak dulu waktu saya dirumah selalu dihabiskan dengan menyelami langsung bahasa tersebut. Menonton film-film western, melanjutkan game, berjam-jam berselancar di YouTube, hingga aplikasi 9GAG dimana banyak native speaker berseliweran dengan meme dan komentar lucu ala mereka. Saya memahami pesan-pesan tersebut, dan apabila masih terlalu susah, sesekali bertanya kepada orang terdekat, kepada kamus, atau yang tercanggih google translate untuk kata-kata yang masih terdengar asing. Itu semua dilakukan dengan bersenang-senang dengan input.
Menyukseskan akuisisi bahasa.
Oke, kita telah tahu bagaimana kita dapat mengakuisisi bahasa. Kalau akusisi terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan—tidak belajar—masih terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurut Affective Filter hyphotesis milik Krashen, terdapat beberapa variabel yang yang mempengaruhi proses akuisisi bahasa kedua: motivasi, rasa percaya diri, tingkat kegelisahan
Motivasi adalah suatu faktor pendukung yang nyata dampaknya dalam melakukan apapun, termasuk akuisisi bahasa. Sempat kita bahas pada tulisan saya sebelumnya “Memulai Mempelajari Bahasa Baru, Apa yang Menanti?” tentang susahnya mempelajari bahasa yaitu konsistensi. Untuk konsisten mencari, mengolah, dan mengonsumsi input diperlukan motivasi. Motivasi tersebut dapat datang dari kewajiban maupun rasa senang. Akan sangat baik apabila anda mampu membentuk motivasi sendiri sehingga entah dalam keadaan dikejar kewajiban maupun tidak, anda dapat tetap menerima input tanpa beban pikiran.
Rasa percaya diri dan tingkat kegelisahan juga mempengaruhi proses akuisisi bahasa. Proses akuisisi bahasa berlangsung dengan baik apabila seseorang berada dalam keadaan yang tenang dan percaya diri. Pernahkah anda mengalami saat dimana anda sedang berinteraksi atau mengonsumsi suatu input yang sangat menarik dalam bahasa asing, yang saking menariknya anda sempat lupa bahwa anda sedang menggunakan bahasa yang asing bagi anda? Itu adalah momen ideal untuk otak kita mengakuisisi bahasa.

Ini membuka pemikiran terhadap rasa ketidaksukaan siswa terhadap kelas bahasa asing seperti Bahasa Inggris yang menimbulkan atmosfer yang cenderung berupa ketidaknyamanan. Sering terjadi sebuah lingkaran yang mengekang pelajar untuk mengalami akuisisi (selain karena alasan minimnya comprehensible input di kelas). Pada jenjang pendidikan yang meninggi, ekspektasi atas kecakapan pelajar dalam bahasa tersebut meningkat. Kendalanya kerap terjadi pada mereka yang berada di bawah ekspektasi: pelajar yang kurang cakap mengikuti pelajaran dengan rasa percaya diri yang rendah, dan karena ekspektasi terhadap mereka tinggi, rasa gelisah muncul.
Kondisi kelas yang majemuk berisikan puluhan siswa dapat berperan dalam mengamplifikasi rasa kegelisahan secara tidak terduga. Bisakah anda membayangkannya? Bagaimana setresnya pelajar yang merasa dirinya tidak cukup baik dalam pelajaran tersebut, ditambahkan dengan rasa gugup bahwa sewaktu-waktu mereka harus menunjukkan kemampuan mereka dihadapan orang banyak ketika ditunjuk pengajar untuk berbicara. Terdapat puluhan pasang mata dan telinga yang siap “menilai” mereka. Ini tentunya kondisi yang buruk untuk akuisisi bahasa terjadi, di samping sumber yang dapat digunakan yang memang sedikit.
Tidak heran bahwa akhirnya banyak pelajar yang menyerah, menstampel bahwa diri mereka tidak cukup berbakat. Ini adalah hal yang salah, senyata apapun bakat berperan, sudah cukup jelas bahwa tidak ada siswa yang tidak berbakat untuk mengakuisisi suatu bahasa. Kita semua berbakat. Kita semua mampu memahami pesan-pesan itu, dan anda adalah salah satunya.
Bukankah hebat? Bahwa dalam sulitnya mempelajari suatu bahasa asing, justru melakukan hal yang menyenangkan bisa membantu. Bayangkan sebuah kelas dimana kita dapat mengonsumsi input yang menyenangkan (film pendek, cerita pendek, dan sebagainya) untuk menjalankan akuisisi. Apabila itu masih terasa terlalu khayal, paling tidak kita tahu, bahwa kita bisa mempelajari bahasa asing dimanapun. Mengakuisisi dimanapun.
Jalan yang lebih cerah.

Kita mengakuisisi bahasa ketika kita memahami sebuah pesan, dengan sesuatu yang disebut sebagai comprehensible input. Mempelajari bahasa, mengenali bagaimana bahasa itu bekerja beserta seluruh aturan-aturan yang ada di dalamnya adalah hal yang selama ini sering kita lakukan. Itu adalah bentuk apresiasi yang mulia terhadap bahasa itu sendiri, sebagai sebuah ilmu. Tidak ada yang salah dengan deduksi. Hanya saja, saya kira banyak orang yang mempelajari bahasa asing dengan tujuan memperoleh kecakapan dalam berbahasa asing, sebagai sebuah skill. Mereka dua hal yang walaupun bukan berlawanan, adalah hal yang berbeda.
Jadi, “akuisisi” atau “belajar”, mana yang menjadi pilihan anda?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
