
Jake mengundang teman-temannya sebagai saksi ketika dia mengungkapkan perasaannya sekali lagi pada Junko. Malam itu kedua kakak Junko hadir. Itulah kali pertama Thomas melihat Gesa Edrei.
Malam ini Jake tidak boleh gagal lagi.
Walaupun aku sangsi dia akan pernah berhenti mencoba. Memang benar kapan lalu dia terpuruk karena penolakan Junko, tetapi hatinya tidak benar-benar menyerah. Pasalnya, ini kali pertama Jake mengejar-ngejar gadis. Biasanya, aturan semesta yang berlaku adalah sebaliknya. Mereka yang belum mengetahui nama panjang Jake secara alami menaksir ketampanannya. Dan bagi yang sudah tahu dia anak tunggal keluarga Narapati tak akan pernah mau melepasnya sekali sudah berinteraksi dengannya.
Pernah di awal semester ganjil kami pergi bersama ke kelab malam. Victor senang sekali diajak dugem, tapi seringnya harus menahan diri karena dia harus ikut ke mana pun Jake pergi dan Jake tidak menyukai tempat-tempat yang remang dan berbau menyengat seperti kelab malam. Ada seorang gadis yang ternyata merupakan kakak tingkat kami di kampus. Dia mengenali Yakub Putra Narapati dan mengajak teman-temannya mendekati meja yang sudah dibayar Jake. Jake awalnya bersikap ramah pada mereka sebelum Victor mengendus adanya aura parasit dalam visi misi para gadis itu.
Victor pun menarik Jake keluar. Aku, Yuda, Tino, dan Gerald tetap menempati meja tersebut. Dan karena kami adalah teman-teman Yakub Putra Narapati, mereka berpikir integritas kami cuma satu atau dua kelas di bawah Jake. Mereka tetap duduk di sana bersama kami dan tak keberatan waktu kami goda.
Setelah itu, Tino dan Gerald jadi punya cara baru untuk membawa pulang gadis dari kelab. Mereka akan menyinggung nama Jake sambil lalu. Beberapa kali, cara itu berhasil.
Di ujung meja yang lebih dekat dengan pintu ruang indoor, Andrea sedang mendiskusikan sesuatu dengan staf restoran, sementara mojito kami disajikan oleh pramusaji. Andrea menyempatkan diri menoleh ke belakang, rambutnya yang dicat cokelat jerami menyapu bahu yang terbuka di atas gaun tanpa kerah dan tali. "Minum sepuasnya, gals! Mojito ini tanpa alkohol."
Victor langsung berdecak. Kepalanya menunduk hingga perban luka gores yang didapatnya dari sasana muay thai siang tadi tersembunyi di balik rambut tebal dan ikalnya. "Mana ada siiih mojito tanpa alkohol?" Dia hampir menggeram saat mengatakannya. "Mojito tanpa alkohol itu sama kayak gitar tanpa senar, Timy. Terus, apa yang membuatnya disebut gitar kalau benda itu nggak bisa dipetik? Sama kayak mojito. Tanpa alkohol, apa yang membuatnya disebut mojito?"
Aku mengangkat bahu. "Daun minnya mungkin?" Karena aku sebenarnya penasaran bagaimana rasa mojito tanpa alkohol yang warnanya mirip daging timun ini. "Hm," kataku, menjilati bibir yang basah oleh kesegaran timun, jeruk nipis, dan daun min. "Rasanya enak sekali, sebenarnya."
Waktu aku menolehnya, Victor memberiku tatapan ngeri. Bagaimanapun juga, para gadis masih SMA. Menurutku, Andrea sudah melakukan hal benar sebagai EO tunggal.
"Jadi gimana ceritanya ...," aku bersandar pada kursi berselimut katun sambil memantik korek untuk rokokku, "kamu dan Jake nggak menjemput Junko?"
"Cube sebenarnya mengutus aku. Kami berencana mengantarnya dulu ke restoran, baru kemudian menjemput Junny, yang penting Papa dan Om Narrow nggak tahu. Tapi Junny bilang agar kami nggak perlu khawatir. Dia bakal diantar kakak-kakaknya."
Bree.
Nama itu yang muncul pertama kali di kepalaku. Kesan yang dimunculkannya lebih kuat daripada kakak tiri mereka. Mungkin karena tanpa sengaja benakku terus mengulang-ulang adegan Bree mengenakan pakaian lengkap ski sambil berkomentar konyol ke arah kamera dan tertawa-tawa sebelum meluncur dari atas bukit salju.
Jadi aku akan melihatnya malam ini. Refleks aku menjulurkan leher ke belakang punggung kursi sehingga pandanganku dapat melewati kepala Victor, Jake, Gerald, dan Tino untuk menengok Yuda. Aku jadi penasaran akan sehisteris apa dia malam ini. Gadis yang jelas-jelas dipujanya akan hadir di sini.
Asap rokokku menyembur ke langit seperti geiser, tetapi lebih lembut dan tipis. Andrea memperbolehkan kami merokok hingga makanan utama dihidangkan. Dia mengatur segalanya, mulai dari reservasi meja sampai kode busana. Hanya Jake dan Junko yang boleh mengenakan warna gelap, sisanya harus mengenakan warna pastel.
Pikiranku berlabuh pada Edy. Hubungan kami tidak lantas membaik karena tawaran proyeknya waktu lalu. Tapi aku jadi menanti-nanti kabar selanjutnya dari dia karena temannya itu belum menghubungiku sama sekali. Aku pun mempertanyakan keseriusannya. Atau Edy cuma mau menjadikan reaksiku sebagai bahan candaan buatnya? Tapi sejauh yang kutahu—itu pun dia sepuluh tahun yang lalu—dia bukan tipe orang yang akan menjadikan orang lain sebagai bahan candaan. Dia adalah orang yang akan berdiri di garda terdepan untuk memerangi perundungan.
"Juny sudah di parkiran." Victor memberitahuku.
Bertepatan dengan itu, Andrea muncul dari restoran indoor dan menunjukku serta Gerald. "Matikan itu," katanya pada kami, "makanan utamanya mau dihidangkan. Junko sudah di pintu depan."
Maka aku melindas rokok di asbak batu milik restoran. Saat Andrea baru saja sampai di kursinya, pintu menuju meja outdoor didorong kembali. Muncullah tiga orang yang berjalan dengan formasi catwalk segitiga ke arah meja kami.
Mataku langsung tertuju pada baris belakang. Max tinggi sekali, mungkin mencapai 190 cm, tapi aku sudah biasa melihat laki-laki setinggi itu.
Kalau Junko adalah gadis setinggi 172 cm yang berpembawaan seperti Barbara Palvin dengan kulit sewarna madu, Gesa lain cerita. Malahan, aku tidak langsung sadar dia adalah Gesa kalau saja tidak mengenali raut main-main wajahnya dan gejolak energi di matanya.
Dia tidak setinggi Max, tapi mungkin cuma berbeda satu telunjuk saja. Melihatnya setinggi itu mengingatkanku pada Yggdrasil, pohon raksasa keramat yang menghubungkan sembilan dunia dalam kosmologi Nordik. Aku tidak memperhatikan perbedaan tingginya dengan Junko di video, mungkin karena mereka jarang tampak bersama dalam satu frame.
Yang paling menarik perhatianku adalah rambut panjang di video skinya kini sudah lenyap. Tidak ada lagi rambut cokelat mengayun-ayun di dada. Tidak ada rambut depan yang melengkung seperti kanopi di atas dahi. Yang ada rambut pixie dengan tepian tipis. Sesuatu dengan gaya rambut itu membuatnya lebih berkarakter. Entah bagaimana aku mengatakannya, tapi dia terlihat sangat ... berbeda.
Dalam artian seksi.
Thomas ....
May .... Aku balas memanggilnya. Kamu bilang akan mendukungku untuk bangkit dari masa-masa sulitku. Kamu nggak ada di sini waktu aku paling membutuhkanmu. Kamulah yang meninggalkanku.
Jangan mulai mendebatku. Nada suaranya mengandung bahaya. Jangan membuatku mengingatkanmu siapa yang pertama kali mengkhianatiku sehingga aku nggak memiliki pilihan lain.
Bukankah kemarin kamulah yang menyarankanku untuk berlari ke pelukan gadis-gadis lain demi mengurangi beban dalam kepalaku?
Saranku? Bahkan sebelum mendengar saranku, kamu sudah pernah melakukannya, kan? Dia mendengus. Itulah alasan utamamu berlari pada Sophia, selain karena kamu merasa harus melakukannya, juga karena dia adalah Sophia, kan? Semua laki-laki di sekolah kita ingin memeluk Sophia.
Kamu tahu benar alasanku. Dan kamu tahu benar aku nggak pernah memedulikan lekuk tubuh wanita sebelum ini.
Kenapa kamu mendebatku cuma gara-gara gadis ini? Gadis yang nggak kamu kenal dan berpenampilan kayak cowok?
Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan Gesa, May.
Kalau gitu berhenti membentakku.
Aku nggak membentakmu!
Berhenti membantahku.
Aku menghela napas dalam-dalam karena merasa simpul besar yang terbentuk di kepalaku makin kuat.
Merasakan senggolan di sikuku, aku terperanjat.
"Timy? Hei. Tenang, Man. Kenapa terkejut begitu?"
"Kamu mengejutkanku."
"Aku memanggilimu dari tadi." Victor mengatupkan kedua telapak tangan sambil melirik ke atas. "Terima kasih, Tuhan, sudah memberiku teman yang senang sekali bengong. Kalau mau menempeleng kepalanya, akan mudah sekali."
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku bilang warna pakaianmu dan Gege sama."
Karena dia bilang begitu, aku langsung menunduk.
"Aku juga memperhatikan itu barusan." Suaranya.
Aku buru-buru mendongak. Suaranya itu harmonis dengan cukuran rambutnya. Ringan dan penuh tawaran. Dia bisa saja menjadi seorang pramuniaga tanpa menawarkan produk apa pun, cukup dirinya saja berdiri tegap seperti itu sambil tersenyum main-main begitu.
"Atasan abu-abu? Cek." Gesa mengangkat lengannya. Dia mengenakan sweter abu-abu; milikku kemeja abu-abu. "Bawahan biru tua, cek." Celananya jeans baggie indigo; milikku celana kain biru navy. "Sepatu hitam, cek." Di bawah jeans baggie itu adalah sepatu kets hitam bersol tinggi; milikku sepatu kulit hitam bersol tebal.
Max sibuk menunjuk Gesa dan aku secara bergantian. Tawanya pun pecah. "Wie das?" katanya sampai napasnya tersengal-sengal.
Aku baru tahu ini. "Sind sie Deutscher?" Aku menunjuk Max. "Sie," kataku lagi saat mendapat perhatiannya. "Deutscher?"
"Genau." Dia mengangguk dengan tenang. "Und Ihnen?"
"Ik ben Indonesisch. Maar, mijn vader is Niederländer."
"Niederländer?" Dia menyeringai. "Das hätte ich nicht erwartet."
Akhirnya aku mengangkat tangan. "Menyerah. Bahasa Jermanku nggak lancar."
"Bree ada teman nih," kata Junko.
Aku pun menatap Gesa. Dia mengangguk sambil menunjuk dadanya sendiri. "Negatif lima per sepuluh."
"Kalau kamu negatif lima per sepuluh, kami negatif berapa?"
Ini dia yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Aku sampai melupakan Yuda karena polemik warna baju serupa dengan Gesa dan fakta asal negara Max. Firasatku mengatakan dia sudah mencari celah untuk masuk dalam percakapan yang melibatkan Gesa sejak tadi.
"Yuda, kalau kamu nggak bisa mengukir batu karena nggak pernah lihat batu dan memegang kikir, itu hal yang wajar. Tapi kalau kamu nggak bisa juga menciptakan sebuah bentuk dari batu bahkan setelah peralatanmu lengkap dan kamu punya ilmu dasar mengukir, kamu payah."
Sekarang aku tahu sebab dia bisa akrab sekali dengan Victor. Mereka bicara dalam satu bahasa: analogi.
Kalau kamu bicara dalam satu bahasa: pengkhianatan.
May, tolong, jangan mulai lagi.
Dia tidak menjawab. Lebih memilih untuk memunggungiku dan duduk kembali di ujung tebing, tempat favoritnya.
"Tapi kebetulan ini luar biasa!" Mata Max lagi-lagi menatapku dan Gesa secara bergilir.
"Dan masih ada dua lagi," kata Junko, "sama-sama nggak lancar di bahasa Jerman, tapi sama-sama lancar di matematika."
"Oh ya?" Gesa langsung menelengkan kepala dan menatapku seperti hiena menatap opossum. "Matematikamu lancar?"
"Aaah ...." Max mengangguk-angguk. "Aku tahu apa yang ada di pikiranmu."
"Apa lagi?" sahut Junko. "Pikirannya Bree itu-itu aja."
Gesa pun meledak dalam tawa. "Hayo, apa hayo yang sedang aku pikirkan?"
"EHM!" Victor mengangkat satu tangan. "Kok kedengarannya mesum betul ya?"
Ternyata Gesa yang ada di video dengan yang di depan mataku tidak berbeda sama sekali. Dia memang mudah sekali tertawa.
"Kalian benar-benar nggak bersedia tinggal untuk makan malam?" Kami teralihkan oleh nada suara Jake yang kedengaran seperti hilang harapan. "Ada kepiting kristal, Gesa. Kamu yang bilang sendiri kepingin mencoba rasanya, kan?"
"Ya, tapi nggak sekarang. Hei, malam ini pasti lancar, Cube." Gesa melirik Victor dan mereka bertukar satu kedipan mata. "Kalau ada kami, nanti malah nggak lancar."
"Aku tukang koreksi." Max menambahkan.
Junko melakukan sesuatu di bawah meja hingga Gesa dan Max menunduk dan mengaduh bersama-sama.
"Ayolah, cuma sampai makan malam aja?" Yuda terdengar memohon.
Andrea bangun dan mengelus lengan Max. Aku mendapati tatapan menghunus pedang dari Beatrice ke arah mereka. "Itu hidangan utamanya udah datang. Aku akan bilang ke mereka untuk segera tambah kursi, ya?"
Sejujurnya, seluruh rambut di kulitku naik melihat Andrea bersikap sebegitu persuasifnya pada Max. Tapi aku penasaran akan sesuatu dan sebelum dia pergi, aku harus mencari tahu jawabannya. "Ada apa dengan matematika?" tanyaku saat tatapan mataku dan Gesa akhirnya bertemu.
Troli didorong mendekati meja bersaput kain katun. Pramusaji mulai menata makanan di atasnya. Riuh rendah percakapan teman-teman kami memenuhi meja, berebut menaruh lobster 3 kg di sebelah mana, minta tambah mojito, berapa jumlah teko air, minta gunting kepiting lebih, bertanya kapan bisa merokok lagi, minta Andrea mengambil menu lagi, menyingkirkan vas bunga keramik di meja, tapi aku bisa mendengar dengan jelas saat Gesa menjawab pertanyaanku. "Ada angka, simbol, induksi, serta deduksi." Dia tersenyum. "Selalu ada sesuatu dengan matematika. "
Aku mengangkat alis, berharap dia tidak menjadikan rasa penasaranku gurauan. Tapi dia malah tersenyum miring, sudah begitu lebar sekali, dan menunduk. Rambut depannya yang jatuh di dahi seperti jarum-jarum pinus kini merumbai di udara. Aku bisa melihat gusi merahnya dari sini. "Ada yang lain lagi, dari cara kalian membicarakanmu dan matematika tadi."
Gesa meringis sambil mengangkat bahu. "Nanti kamu akan tahu, kalau sering-sering main ke rumahku."
Wow.
Apa dia baru saja menggodamu? May bertanya dengan nada defensif dan, terlebih lagi, ofensif.
"Habisnya, aku cuma belum pernah melihatmu aja. Aku tahu Tino, Gerald, Yuda, dan Victor, tapi kamu sepertinya teman baru Jacob?"
Malahan, aku salah satu yang terlama. Tapi mengatakan itu terasa seperti pamer. Ini aku, salah satu teman terdekatnya Yakub Putra Narapati. Narapati!
"Dia nggak baru, Gege." Victor menyahut. "Dia cuma kutu buku super."
"Ah, satu kesamaan lagi." Junko kembali menimbrung.
"Hei, ayolah," Jake mulai merengek. "Makan dulu sama kami ya." Pramusaji sedang menutup troli lalu melangkah mundur meninggalkan meja kami.
"Kamu cuma gugup, Jake, nggak lebih."
Mau tidak mau, aku tertawa. Gesa menolehku lalu menyengir.
"Kami benar-benar harus pamit sekarang." Max menepuk-nepuk bahu Gesa. Gesa mengangguk setuju. "Dah!" Mereka berseru dan melambaikan tangan sambil berlari mundur seperti sepasang kembar.
Malam itu, Jake bicara dengan tampang grogi setengah mati, padahal aku tidak pernah melihatnya seperti itu saat mempresentasikan tugasnya di depan kelas atau saat tampil di media. Dia banyak melakukan repetisi dan gagu, tetapi kami semua mengerti maksud yang disampaikannya, terutama Junko, karena gadis itu menghela napas dan meraih tangan Jake di meja. "Jacob, aku cuma punya satu hati. Kalau kamu menghancurkannya, aku nggak akan punya lagi. Lebih baik kamu mengembalikannya baik-baik daripada menghancurkannya. Mengerti?"
Jake menarik napas dengan panik karena dia langsung sadar apa artinya itu. Setelah berangsur-angsur kembali tenang, dia menjawab, "Aku mengerti."
Jake dan Junko pun resmi berpacaran.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
