3 - Ingat Kata Tong Sam Chong?

0
0
Deskripsi

Ketika melihat Yuda berdiri di barisan pencatat tugas yang sama dengannya, kecurigaan Thomas pun terkonfirmasi. Dia tahu pasti alasan Edy menolak pindah permanen ke Belanda.

Kamu nggak akan pernah lupa. Katakan padaku, Thomas.

Nggak, May, aku nggak akan pernah lupa tujuanku tinggal sementara waktu di Bali. Hanya untuk mencari cara yang tepat dalam membujuk Edy untuk segera pindah permanen ke Lisse.

Aku mungkin akan butuh sampai empat tahun, atau bahkan lebih, tapi aku pasti datang. Tunggu aku di sana.

Selalu, Thomas.

Selama itu, mustahil bagiku untuk berdiam diri. Ma dan Pa terus mendesak dengan pertanyaan kalau aku batal berkuliah di Sonar Sirkular, lantas aku berkuliah di mana? Untuk cari aman, aku memilih kampus swasta yang punya Jurusan Arsitektur berakreditasi A terbaik di Bali. Ma dan Pa kurang puas setelah tahu aku tidak menghadiri wawancara dan tes jurusan di Sonar Sirkular, itulah sebabnya mereka terus saja menggerutu saat aku bercerita tentang silabus Arsitektur di kampus alternatifku.

Perihal lain lantas terlupakan dalam usaha pengejaran keduaku terhadap May.

Thomas, kamu bisa memikirkannya lagi nanti, saat kita bertemu kembali di Eropa. Aku selalu menunggumu di sana.

Kamu harus menungguku di sana, May.

Dia tersenyum dan mengangguk. Dengan tenang berputar kembali menghadap lautan es di bawah tebing tempatnya duduk mengayunkan kaki.

Melihat pantulan cahaya di telinga kanan laki-laki itu, aku refleks berlari hanya untuk bisa meraih bahunya. Demi melakukan itu, aku harus menikung di jalan beton dan menyela belasan antrean. Laki-laki itu menoleh, begitu pula laki-laki bermata sipit di belakangnya. Aku menunjuk anting crosslight-nya. "Kamu bakal dihabisi senior di dalam kalau masih mengenakan itu."

Tangannya buru-buru mencapai telinga dan dia melotot waktu menyadari kecerobohannya. Mereka berdua disalip peserta OSPEK lain. Barisan terus berjalan, sementara kami menyingkir.

"Ada masalah apa?"

Aku mendongak dan mendapati seorang panitia OSPEK berjalan ke arah kami dari arah lorong yang menghubungkan gedung sayap kanan dan kiri. Segera kutarik laki-laki beranting itu ke belakangku. "Kunci motornya tertinggal di lapangan." Aku merogoh kantung celana kain hitamku dan mengayunkan kunci motorku di hadapan si panitia.

Panitia berwajah besar dan bercambang tipis itu memasang wajah masam. "Cepat, jangan menghalangi barisan. Kalau nggak segera masuk ruangan, kalian akan kehabisan antrean hari ini dan harus datang lagi besok."

Kurasa kami bertiga serempak mengangguk.

"Ayo, cepat! Jangan cuma mengangguk-angguk aja!"

Tanpa perlu peringatan ketiga, aku segera kembali ke barisan terbelakang, disusul oleh laki-laki yang tadi beranting dan temannya yang bermata sipit. Setelah masuk dalam barisan, wajah seseorang melewati bahuku demi bisa berbisik di telingaku. "Demi Tuhan, terima kasih banyak," katanya. Aku melirik sedikit, ternyata si Anting Crosslight. "Kalau kamu tahu, kamu baru aja menyelamatkan mereka dariku."

Sekarang aku menolehnya. Dia tengah melotot dengan matanya yang besar dan rimbun oleh bulu mata sambil tersenyum lebar sekali.

Di dalam ruangan, perlengkapan dan atribut kami diperiksa. Salah satu larangan dari panitia adalah pemakaian perhiasan. Peserta lain tidak lebih beruntung dari Anting Crosslight. Aku kan tidak bisa menyelamatkan semua orang. Jika belum sesuai dengan instruksi yang diberikan sehari sebelumnya oleh panitia, kami disuruh berbaris di depan ruangan dan dipermalukan. Poin kami yang jumlahnya seratus juga dikurangi. Kalau sampai habis sebelum OSPEK selesai, naas sekali, kami harus mengulang OSPEK tahun depan.

Sekeluarnya dari ruangan itu, aku melesat ke lapangan parkir, tak sabar untuk pulang dan mulai membuat sketsa tugas arsitektur pertamaku, memodifikasi tapak kampus.

"Oi, Pirang!"

Langkahku otomatis terhenti, sudah hampir jadi kebiasaan. Setiap kali ada yang berkata pirang di sekitarku, aku akan merasa panggilan itu merujuk kepadaku. Ternyata benar. Aku menoleh ke belakang dan melihat Anting Crosslight dan Mata Sipit berlarian menghampiriku. Langkah mereka serampangan, menyandung-nyandung beton bertingkat landai dan sesemakan, tapi akhirnya sampai juga padaku.

"Kenapa?" tanyaku, mengangguk pada keduanya.

"Makasih banyak ya. Tadi aku belum sempat mengucapkannya dengan layak," kata si Mata Sipit.

Daguku mengarah pada Anting Crosslight. "Dia udah bilang makasih."

"Ingat kata Tong Sam Chong? Kosong adalah isi, isi adalah kosong." Anting Crosslight tiba-tiba menyatukan telapak tangan dan membungkuk padaku. "Aku adalah Yakub, Yakub adalah aku."

"Yakub?" tanyaku.

"Namaku Yakub," kata Mata Sipit. Oh.

"Aku Thomas."

"Dan aku Victor. Man, aku terkejut mendengarmu lancar bicara bahasa Indonesia."

Mataku menyipit. Sesaat kemudian aku tergelak. "Padahal kupikir rambutku udah nggak terlalu pirang."

"Man, kayaknya sih malah tambah pirang dari pertama kali aku lihat kamu tadi siang."

Aku tertawa. Victor ini pendek, mungkin cuma setelingaku, berkebalikan dengan Yakub, akulah yang mungkin cuma setelinganya. Tapi Victor entah bagaimana kelihatan lebih matang dari temannya.

Keesokan harinya, waktu aku makan uitsmijter, bekal makan siang yang kumasak sendiri pagi tadi, di meja outdoor kantin, Victor dan Yakub melemparkan diri mereka ke kursi panjang dan duduk mengapitku. Mereka membuka kotak bekal masing-masing. Isinya ... wahhh ....

"Aku melihatmu duduk sendirian kayak anak kucing hilang," kata Victor, mengeluarkan salah satu bola adonan yang berbaris rapi dalam kotaknya. Ekor udang menyembul dari makanan itu dan bagian atasnya dilekati keju yang dibakar. "Kubilang pada Yakub, kalau kamu nggak segera kami temani, kamu bakal diadopsi orang lain."

"Mengadopsiku sulitnya setengah mati," jawabku, menggigit besar roti isi telurku. "Aku jarang mandi, makanku banyak, malas cuci baju, malas cuci piring."

"Cowok." Victor mengangguk maklum.

Yakub meletakkan setangkai rimbun anggur merah dan anggur hijau ke dalam kotakku. "Aku harap kamu nggak alergi anggur." Dia mengangkat bahu.

Aku memandangi anggur-anggur itu. "Inikah cara kalian mengadopsiku?"

"Aku bilang orang lain, Man, kalau kami ... kami cuma mau berteman."

Jadi begitulah, bagaimana kami saling menemukan satu sama lain dan langsung merasa cocok sekali. Pada hari tugas rumpun akan diumumkan, peserta OSPEK berbaris memanjang ke belakang. Aturannya adalah satu peserta hanya boleh menyalin aturan tertulis di kertas cetak yang tertempel di papan putih depan ruangan selama 20 detik. Begitu hitungan selesai, peserta itu harus keluar dari barisan sehingga peserta selanjutnya mendapat giliran.

Aku pun mulai paham polanya. Ini tugas rumpun. Kami harus selesai menyalin semua daftar tugas itu hingga lengkap. Jadi, seharusnya kami membagi tugas. Kalau aku mencatat baris A, peserta di belakangku mencatat baris B, dan seterusnya. Namun, kami tidak punya waktu untuk berdiskusi karena kalau berani bicara sedikit saja, panitia akan langsung menegur kami.

Mataku memindai dengan cepat pada giliranku. Kebanyakan peserta pasti mencatat baris atas dan yang sadar sepertiku mencatat baris bawah. Berarti bagianku adalah baris tengah.

"HABIS!"

Jantungku loncat mendengar aba-aba yang sepertinya memang sengaja diteriakkan itu. Sayang sekali aku tidak bergabung di barisan yang sama dengan Victor dan Yakub. NIM kami terpisah agak jauh. Aku jadi tidak bisa segera mendiskusikan daftar aturan tugas dengan mereka.

Panitia memintaku keluar dari barisan. Aku balik kanan dan melangkah mendekati pintu. Sambil lalu kuamati wajah-wajah di barisanku tadi. Semoga saja mereka memahami polanya dan mengerti aturan main panitia. Semuanya kelihatan gugup. Mereka berulang kali menghela napas panjang. Beberapa menatap lurus ke depan seolah sedang mengikuti seleksi masuk militer, termasuk laki-laki yang ....

Tidak mungkin.

Tidak mungkin dia ada di sini.

Aku ....

Darah merembes keluar dari jantung, membuat seluruh tubuhku terasa panas hingga nyaris kejang. Bagaimana bisa dia kembali lagi ke Denpasar setelah sekian lama?

Lalu aku teringat Edy.

Dugaanku tidak meleset sama sekali. Itulah sebabnya Edy bersikeras memilih untuk tinggal. Karena wanita itu sudah kembali.

Entah sejak kapan.

Saat barisanku diarahkan untuk keluar ruangan, sedapat mungkin aku mencari-cari keberadaannya dan segera mengambil posisi terjauh darinya. Pintu terbuka. Wajah Victor dan Yakub berada tepat di belakang pintu, tampak panik sekaligus linglung.

"Thomas!" pekik mereka, seperti tertahan di tenggorokan masing-masing.

"Catat baris bagian bawah, Victor. Yakub, catat di bagian tengah." Kalau-kalau aku kelewatan beberapa hal.

“Siap, Timi!” Victor menoleh ke sebelahku. "Dan Yuda, kuharap kamu nggak mengecewakan, Man."

Ah .... Mataku terpejam erat. Victor mengenalnya.

"Baiklah, Thomas, aku percaya padamu." Yakub meremas lenganku.

"Thomas? Thomas Dustin?"

Sial ...! Walau tujuh tahun telah berlalu, aku tahu suara cemprengnya dulu akan berevolusi jadi lebih bulat dan tebal seperti sekarang ini. Percis seperti mendengar orang yang berteriak ke dalam buku yang dilengkungkan sampai membentuk silinder.

"Oh, kalian sudah saling kenal?" Telunjuk Yakub bergeser ke kiri dan kanan, menunjukku dan orang di sebelahku. "Nanti kita diskusikan tugas ini berempat," kata Yakub lagi sebelum digiring masuk oleh panitia.

Berempat katanya? Tidak mungkin kan maksudnya bersama Yuda juga?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 4 - Apa yang Kulakukan Tidak Mengubah Apa pun
0
0
Edy mulai jarang pulang ke rumah, membuat Thomas bertanya-tanya apa sebenarnya yang dilakukan kakaknya di luar sana? Sewaktu melihat Yuda di OSPEK yang sama dengannya, Thomas pun mengerti.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan