Empat Dasawarsa Kita - Dasawarsa Keempat

0
0
Deskripsi

Aku baru tahu kalau suntiang yang dikenakan istriku sepanjang acara kami tadi begitu berat. Saking beratnya, ubun-ubun istriku sampai bengkak dan berdarah. Makna di balik suntiang pun tidak kalah beratnya. “Beratnya suntiang menggambarkan beban dan tanggung jawab yang akan dipikul perempuan tersebut sebagai istri dan ibu nantinya.” Itu baru makna di balik satu simbol pernikahan kami. Bagaimana dengan Tari Piring yang sering dipertunjukkan dalam acara pernikahan? Aku dan istriku sering...

Sudah dua jam aku di luar sendirian dengan hanya mengenakan kaus oblong dan sarung. Aku ingin menghirup udara segar sejenak. Walaupun matahari yang sedang berada di puncaknya ini menandakan bukan waktu yang tepat untuk berjalan kaki di luar, aku tetap nekat mengitari lingkungan sekitar rumahku. Padahal, Arni sudah bersusah payah merapikan rumah untuk menyambut kepulanganku dari rumah sakit kemarin malam agar membuatku nyaman. Tetap saja, hari ini, aku tidak betah di rumah.

Dari kejauhan aku melihat Kirana dan Alfian yang masing-masing sedang mengendarai sepeda motor. Mereka berdua langsung menghampiriku dengan wajah pucat.

               “Papa, ke mana aja, sih? Dicariin sama orang serumah. Enggak bawa ponsel, enggak bawa dompet. Kami kira Papa hilang!” semprot Kirana dengan suara paraunya.

               “Iya. Mama sampai nangis, Pa ….” timpal Alfian.

               “Mama nangis?”

Kirana dan Alfian hanya mengangguk pelan, lalu menuntunku untuk menaiki sepeda motor karena kakiku sedang agak pincang. Selama sepuluh hari aku hanya bisa berbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit. Hampir saja aku merayakan Lebaran di sana.

               “Papa enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Alfian yang sedang memboncengku.

               “Enggak apa-apa,” jawabku dengan singkat.

Begitu aku tiba di rumah, Arni langsung memelukku sambil sesunggukan. Aku pun tidak sanggup menahan air mataku. Ini memang bukan hanya perkara aturan menggunakan AC di rumah. Aku baru saja sekarat beberapa hari lalu. Siapa pun tidak akan mau merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Tangisku bersama Arni siang itu seakan balon air besar yang sudah tidak kuat lagi menampung beban airnya. Meledak begitu saja, tumpah-ruah.

               “Uda, maafin Arni, ya. Seharusnya AC-nya enggak Arni matikan biar Uda bisa istirahat dengan nyaman. Mulai sekarang, terserah Uda mau dinyalakan selama apa pun,” sesal Arni sembari menggenggam tanganku.

               “Ndak, kita memang tetap harus berhemat. Maafin Uda juga, ya.”

Aku yang kini sudah tidak bekerja dan bergantung pada anak-anakku, pasti membuat Arni juga kerepotan mengatur keuangan rumah tangga kami. Terlebih, kami berdua sama-sama memiliki penyakit yang orang-orang katakan karena pengaruh U, alias Usia. Kami berdua sudah bergelar Lansia.

“Alika, Sabrina, Naya. Sini, jangan ganggu Opa-Oma,” seru Febi kepada tiga putri yang manis dan lucu itu. Mereka spontan memeluk aku dan Arni yang mungkin tampak begitu merana. Entah apa yang diceritakan oleh Arni kepada mereka ketika aku pergi tadi. Pelukan cucu-cucu terasa begitu menghibur.

               Aku menyeka air mataku, lalu berkata kepada anak-anakku, “Maafin Papa, ya, sudah buat repot semuanya. Hari Lebaran jadi begini, deh,” ujarku malu.

               “Opa, besok jadi, ‘kan, kita foto studio? Alika sudah bawa bajunya, nih!”

               “Oma, lihat, deh, jilbab Sabrina! Warna merah kesukaan Oma!”

               “Ih, jangan dekat-dekat Oma!” teriak Naya, anak bontot Febi yang posesif dengan Arni.

               “Apa, sih, Adek!” balas Sabrina sambil mendorong Naya.

Naya geram, lalu mencubit Sabrina sambil berteriak, “Ihhh! Kakak!!!” Sabrina dan Naya saling mencubit dan mencakar. Sedangkan Alika hanya menertawai tingkah laku kedua adiknya. Febi dan suaminya, Andy, sudah malas melerai mereka. Alih-alih menenangkan Naya yang menangis, mereka menuntun aku dan Arni untuk duduk di atas sofa. Tidak lama, Taufan dan istrinya, Sari, beserta kedua anaknya, Athar dan Dina, datang. 

               “Assalamu’alaikum,” ucap keluarga Taufan.

               “Wa’alaikumussalam,” jawabku.

               Taufan langsung memeluk dan menciumi wajah aku dan Arni.

               “Maaf lahir dan batin ya, Pa, Ma. Selamat juga untuk pernikahan yang ke-40 tahun."

               “Doakan awetnya Sari dan Taufan bisa seperti Papa dan Mama, ya,” tambah Sari.

Semua mengaminkan.

Jika kubilang tidak terasa sudah 40 tahun, itu di mulut saja. “Menghilang”-nya aku selama satu jam untungnya tidak begitu sia-sia. Mungkin itu yang dinamakan meregulasi emosi. Dimulai dari aku yang sudah berhenti bekerja, membuatku mempertanyakan peranku sebagai kepala keluarga. Lalu adanya penyakit kronis yang tiba-tiba kualami. Walaupun sebenarnya, penyakit ini bisa dicegah andai aku memeriksa kesehatanku secara rutin sejak muda.

Namun, prinsip Arni selalu menjadi penguat hatiku. “Dicari saja solusinya, lalu kita jalani bersama.” Kata “bersama” itulah yang membuatku paling semangat.

Masalah yang memang akan selalu ada, akan lebih ringan jika dilalui bersama. “Saling berbagi suka maupun duka.” Bukankah itu kalimat yang paling umum didengar mengenai pernikahan? Namun kadang, ego yang menutup mata dan telinga seseorang untuk meresapi kalimat itu.

Aku dan Arni bukanlah pasangan yang mengejar kesempurnaan. Kami hanya terus berusaha untuk memberikan upaya terbaik dalam menjaga keluarga ini, dan itu sudah cukup.

P.S.: Gratitude for our parents, who’s fighting a battle we may know nothing about.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lomba Terakhir Bu Palupi
0
0
Didedikasikan untuk para guru Bahasa Indonesia di luar sana. :)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan