

"Jujur, siapa di antara kalian yang merasa kehilangan kalung ini?"
DEG!
Jantung mereka berdebar keras. Rasanya seperti sedang disco overload i'm into that i'm got to go, apalagi jantung si kembar. Rasanya kek jedag-jedug khas sound tiktok gitu.
"Itu punya Saga, Yah. Pantesan tadi Saga cari di mana-mana nggak ketemu, ternyata ada sama Ayah, hehe," ucap Sagara
Sang ayah menaikkan sebelah alisnya. "Kamu nganterin adik kamu sampe kantin, Ga?"
"Itu..."
Sagara tak bisa menjawab lagi.
"Itu kalung aku, Yah."
Semua menoleh ke asal suara. Marvin tampak pasrah dengan nasibnya sekarang. Apalagi ia di tatap seperti itu sama ayahnya. Rasanya dia tuh pengen ngomong "Belah aja badan gue jadi dua."
"Marvin Zale Achilles."
DEG.
"I-iya."
"Ini bener punya kamu?"
Marvin mengangguk. Rasanya ia ingin menangis saja diinterogasi oleh ayahnya sendiri.
"Terus kalung yang kamu pake itu punya siapa?"
Marvin menunjuk saudaranya dengan ragu-ragu.
"Arnesh?" katanya bingung.
Arnesh menundukkan kepala. "Maafin aku, Yah."
"Jangan bilang kalung yang kamu pake itu punya Sagara?"
"Yah..."
"Diem, Saga! Ayah belom nyuruh kamu buat ngomong!"
Glup.
Mereka menelan ludahnya susah payah. Sepertinya Ayah Basta benar-benar marah. Hal yang paling merugikan kalau si ayah marah adalah; uang jajan di potong. Kalau Sagara sih tidak masalah, ia punya uang sendiri tanpa minta dengan sang ayah. Tapi si kembar?
"Kenapa nggak ada satu pun yang mau jujur sama Ayah? Kalian udah berani bohong sama Ayah?"
"Nggak, Yah!" Keempat anaknya menjawab dengan kompak disertai gelengan kepala.
"Ini semua salah aku, Yah. Kalung aku hilang dua hari yang lalu, aku terlalu takut jujur sama Ayah. Aku nggak mau Ayah marah. Ta-Tapi sumpah, Yah. Aku nggak berniat ngingkarin janji aku sama Bunda."
Intonasi suara Marvin turun. Matanya tak lagi menatap sang ayah lantaran takut. Oh iya, Marvin itu punya kelemahan. Sebandel-bandelnya Marvin, matanya langsung berkaca-kaca jika keluarganya sedang marah begini.
"Yah," panggil si kembar sulung, semua mata teralih ke arahnya. "Aku juga salah di sini, aku minta maaf."
"Sagara juga, Yah," sambung yang tertua.
Melihat semua saudaranya mengakui kesalahan, Samudra memasang wajah bingung. Karena dia sendiri di sini yang tidak terlibat, tapi kalau tidak ikut nimbrung nanti dikira ga setia keluarga.
Terdengar helaan napas dari sang kepala keluarga. Basta meletakkan kalung Marvin di meja. Lalu menatap anak-anaknya kecuali Samudra.
"Yaudah, kalian bertiga Ayah hukum."
Samudra menegakkan badan. "Nggak bisa gitu dong, Yah! Sam juga mau dihukum."
Marvin menatap saudara kembarnya bingung. "Aneh lo, di mana-mana orang tuh nggak suka di hukum, ini malah minta di hukum."
"Dih, kita kan kembar. Jadi apa-apa harus bareng. Lo di hukum, gue juga. Lo dapet hadiah, gue juga harus."
"Aaaaaaa." Marvin dan Arnesh merasa tersentuh dengan perkataan kembarannya. Mereka mendekap tubuh Sam yang berada di tengah-tengah.
"Hiks terharu gue, ternyata lo setia. Dahal gue sering banget jahil sama lo," haru Marvin.
"Gue nggak nyangka punya kembaran berhati malaikat kek lo, Sam. Lo emang kesayangan gue," sambung Arnesh.
"Ck apaan si lepas, gue baru kambuh anjir jangan bikin gua sesek lagi!"
Dengan segera mereka melepaskan pelukan kencangnya, Samudra menatap kembarannya dengan tajam.
Di sisi lain, Sagara dan sang ayah menahan senyum melihat interaksi si kembar. Hati mereka tenang melihat ketiganya akur, tidak saling adu mulut dan sebagainya. Yah, walau pun keakuran mereka hanya bertahan kurang lebih sejam.
"Udah-udah, sekarang dengerin hukuman kalian baik-baik. Hukuman buat Mas Saga dan adek-adek gemay sekalian, selama seminggu ini kalian harus gantiin pekerjaan Bi Yanti, ya. Kecuali Samudra, tugas kamu cuma cuci piring aja."
"Kok gitu?!" Protes keempatnya.
Fyi, Bi Yanti itu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu. Tugasnya adalah memastikan rumah tetap bersih dan rapi, mencuci piring dan baju, juga kegiatan rumah lainnya. Dan keempat cowok tampan itu harus menerima hukuman menggantikan kerjaan Bi Yanti.
"Ayaaah." Marvin merengek sambil menggerak-gerakkan kakinya.
"Apa? Kalian mau protes, hm?"
Si kembar menggeleng pasrah. "Enggak, Yah. Ampun..."
"Oh iya, sekalian Ayah potong uang jajannya, ya. 50% setuju?"
"Nggak!!"
"Potong aja, Yah. Orang Saga udah punya duit sendiri."
"Bukan kamu, Mas."
Sagara langsung mengunci bibirnya rapat-rapat. Ia merasa malu sendiri karena sudah kepedean duluan. Lagian, siapa tahu kan hukuman itu berlaku untuknya juga yang notabenenya putra dari Sebasta Nandra Achilles?
"Ayah kok gitu, sih :( uang jajan aku kan tadi udah di potong sama Ayah," rengek Marvin.
Ayolah, mereka hanya khawatir dengan kebutuhan sekolah yang mendadak. Karena, Ayah Basta itu kalau sudah memotong uang jajan, ia juga tidak akan ikut campur dengan uang kebutuhan sekolahnya.
Kalau pun memang harus meminta pada sang ayah, biasanya mereka disuruh melakukan suatu pekerjaan terlebih dahulu. Entahlah, intinya mereka tidak akan mendapatkan uang secara cuma-cuma. Bukannya kejam, Ayah Basta hanya ingin keempat anaknya itu tahu bagaimana sulit dan lelahnya mencari uang.
"Mulai besok kalian harus jalanin hukuman itu ya, anak-anak."
ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
"Gimana nih?"
Si kembar sulung melontarkan pertanyaan kepada kedua adik kembarnya. Mereka tengah berbaring di ranjang king size yang berada di kamar si bungsu Marvin.
"Gimana apanya? Ya mau gamau kita harus kerja lagi kaya waktu itu," sahut Marvin.
"Ngojek online lagi gitu?"
Marvin mengangguki perkataan Arnesh.
"Yeu itu si kalian berdua yang ngojek online, kalo gue ngikut yang ada Ayah makin marah," sambung Samudra.
"Ck yaudah sih lo nggak usah khawatirin soal itu, lo kan kesayangannya Mas Saga, minta apa pun juga langsung di kasih," sungut Marvin.
Samudra dan Arnesh terkejut mendengar penuturan ketus Marvin. Ada apa? Tidak biasanya dia seperti ini. Namun tanpa Marvin sadari, Samudra merasa sakit hati dengan penuturannya.
Samudra mengubah posisinya menjadi duduk lantas menatap Marvin tak mengerti. "Kok lo bilang gitu sih, Vin?" tanya Samudra tak terima.
"Bener, kan? Apa pun keinginan lo, Ayah sama Mas Saga pasti langsung nurutin tanpa ngasih pekerjaan yang berat buat lo. Apa gue harus penyakitan dulu biar mereka nurutin permintaan gue secara cuma-cuma?"
"MARVIN!"
Bentakan Arnesh membuat kedua adiknya terkejut. Terlebih Samudra, perkataan adiknya itu kenapa terasa menyakitkan sekali?
"Jadi... lo iri?" lirih Samudra. Ia tersenyum miris kemudian berdiri. Ia menatap kedua mata saudara kembarnya yang terlihat nanar, terlebih Marvin, ia bisa melihat sorot penyesalan di mata bulat itu. "Penyakitan itu nggak enak, Vin. Sumpah. Gue pengen sehat kaya dulu biar bisa ngelakuin banyak hal bareng kalian."
Marvin buru-buru memegang tangan Samudra, namun di tepis halus oleh si pemilik senyum kotak itu.
"Sam, gue nggak maksud."
Senyuman yang ditunjukkan Samudra bagai sebuah pedang menghunus dada Marvin. Rasanya... sakit sekali.
"Gue tau lo orangnya jujur. Thanks ya, Vin. Gue hhh uhuk—" Samudra terbatuk sambil memegangi dadanya.
"Sam, sini duduk dulu biar gue ambil obat lo," pinta Arnesh.
"Nggak perlu. Gue bisa sendiri."
Akhirnya Samudra keluar dari kamar Marvin, setelah pintu tertutup adik kakak yang tersisa di kamar itu pun saling membisu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sementara di sisi lain, Samudra baru saja sampai di kamarnya. Ia agak kesulitan berjalan tadi lantaran penyakitnya yang mendadak kambuh. Cowok itu berlutut di depan meja nakas samping tempat tidur, tangan kirinya bertumpu pada ujung meja sedangkan tangan kanannya membuka satu per satu laci dan mencari obat semprotnya di sana.
"Hhh mana, sih?" gumamnya lirih.
"Nih."
Seseorang menyodorkan inhaler ke arahnya membuat Samudra menoleh.
"Thanks."
Arnesh; orang yang memberikan inhaler, menunggu saudaranya dengan sabar. Sesekali ia mengusap punggung kurus Samudra agar kembarannya itu merasa rileks.
"Udah nggak sesek?" tanya Arnesh, setelah melihat Samudra tak lagi menyemprotkan oksigen ke mulutnya padahal baru sekali pakai.
"Masih hh, tapi udah mendingan hehe."
"Pake sekali lagi, Sam."
"Gausah nan—"
"Pake, Sam! Atau gue panggil Mas Saga, mau?"
Samudra terdiam sejenak lalu menyemprotkan inhaler itu sekali lagi ke mulutnya sesuai perintah Arnesh.
Untunglah obat itu bekerja dengan baik masuk ke paru-parunya, jadi Samudra tidak harus menggunakannya lagi. Kedua remaja itu bernafas lega, Arnesh memapah kembarannya untuk berpindah posisi ke tempat tidur.
"Nesh?" panggilnya pada sang kakak yang tengah membenarkan selimut.
"Apa."
"Lo marah juga ya sama gue karena—"
"Gausah sok tau. Buang pikiran negatif lo, Sam. Gue nggak suka," ketus Arnesh sembari menyelimuti tubuh Samudra. "Omongan Marvin gausah di dengerin, udah tau dia kalo ngomong suka asal jeplak aja."
"Tapi dia jujur. Gue kenal dia dari awal gue di lahirin ke bumi ini, termasuk lo, Nesh. Gue tau sifat kalian luar dalam. Gue... minta maaf."
"Sam, tolonglah..."
"Gara-gara gue Ayah sama Mas Saga jarang merhatiin kalian."
"Mereka sayang sama kita sama rata, Sam. Udah diem, jangan ngomong lagi. Lo kalo udah sekali kambuh pasti bakalan terus-terusan sampe malem."
Samudra tersenyum tipis, hatinya sedikit terhibur dengan kalimat-kalimat dari Arnesh. Biar pun hatinya tadi sakit mendengar perkataan kembar bungsunya, setidaknya ada si kembar sulung yang pandai membuat hati seseorang menghangat.
Setelah kejadian tadi, Samudra tidak yakin hubungannya dengan Marvin akan baik-baik saja.
ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
"SELAMAT PAGI DUNIA!! Pagi Ayah, pagi Mas Sagara, pagi Nesh, pagi—" Ucapan selamat paginya terhenti tiba-tiba saat sorot matanya terhenti di kursi yang biasa di duduki Samudra itu kosong. "Samudra mana?" lirihnya. Ia jadi teringat semalam. Di mana ia melontarkan kalimat yang menyakiti hati saudara kembarnya.
"Hari ini Sam nggak masuk sekolah dulu, semalem kambuh, untung Arnesh tidur bareng dia," sahut Sagara.
Semangat Marvin langsung menurun. Jika dipikir-pikir, penyebab Sam kambuh awalnya adalah dirinya, saat di kejar anjing. Namun saat di rumah ia membuat Sam sakit lagi dengan perkataannya.
"Ayo sini makan dulu, Dek. Nanti Ayah anter kalian ke sekolah. Mas Saga nggak usah ke rumah sakit, jagain adeknya aja di rumah."
"Iya, Yah."
Basta dan Sagara bukannya tidak tahu dengan permasalahan Samudra dan Marvin. Mereka tahu, hanya saja mereka memilih diam dan tidak ikut campur. Mereka yakin si kembar harus bertanggung jawab dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan jika memang dalam tiga hari masalah belum juga selesai, barulah yang tertua di keluarga Achilles turun tangan.
Sarapan berlangsung dengan tenang, tak ada yang berbicara sama sekali seperti biasa. Bahkan Arnesh tampak diam saja sesekali melirik Marvin yang terlihat tak nafsu makan.
"Yah," panggil Arnesh pada sang ayah.
"Apa?"
"Ayah dapet kalung Marvin dari mana? Kok bisa sama Ayah? Padahal Marvin ngilangin kalungnya pas di sekolah."
Bener juga. Marvin tertarik dengan topik pembahasan ini. Ia menegakkan badan dan mendengarkan penjelasan ayahnya. Seharusnya dia yang bertanya karena kalung yang hilang adalah miliknya.
"Kemaren ada siswi yang nganterin ke kantor Ayah. Dia bilang, dia nemu kalung itu di kolong meja kantin pas istirahat."
Marvin mengernyitkan keningnya. "Siswi? Siapa?"
"Namanya Ayesha kalo nggak salah. Ayah lupa. Nanti kamu cari aja sendiri di sekolah."
Setelah mendengar penjelasan sang ayah, Marvin berpikir lagi. Kenapa tidak langsung diberikan padanya saja? Kenapa harus repot-repot nganterin ke kantor?
Gue harus cari itu cewek.
ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
Samudra itu terlalu rajin, tidak masuk sekolah karena sakit saja dia masih mau berkutat dengan buku pelajaran daripada rebahan. Padahal kata Sagara, kambuhnya Sam sekarang lebih parah dari kemarin. Itu saja Sam baru boleh lepas masker oksigen saat pagi menyambut.
Sagara sudah menyuruhnya untuk tidur lagi setelah sarapan tadi, tapi Samudra bandel tidak mendengarkan. Eh tapi bandelnya Samudra dan Marvin itu beda ya.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, ia menyudahi acara belajarnya. Di tutupnya buku itu kemudian diletakkan di atas meja. Ia membunyikan lehernya ke kanan dan kiri, setelahnya menghela napas. "Terus sekarang gue ngapain ya?" gumamnya bingung.
Sedang memikirkan kesibukan apa yang harus ia lakukan, ia mendengar suara gemericik air dari bawah. Samudra bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Dapat dilihat mas nya sedang mencuci mobilnya. Dengan senyuman mengembang ia membuka jendela itu dengan semangat.
"MAS SAGARA!"
Si kakak sulung mendongak, kedua tangannya di penuhi sabun. Dengan penampilannya saat ini Sagara tidak terlihat seperti seorang dokter melainkan abang-abang yang ada di tempat steam mobil.
"Ngapain, Dek?! Istirahat lagi sana!"
Samudra menggeleng. "Sam mau bantuin! Tungguin, ya."
"Gausah dek— YA ALLAH SAMUDRA JANGAN LARI!"
Samudra tidak mendengarkan teriakan sang mas yang menggelegar. Ia berlari menuruni anak tangga sampai akhirnya di halaman depan tempat Sagara mencuci mobil. Nafas cowok itu terengah-engah, namun ia masih bisa tersenyum.
"Ck, kan Mas udah teriak tadi jangan lari, kenapa masih lari juga? Teriakan Mas kurang kenceng?" omelnya.
"Hehehe." Sam terkekeh geli. "Maap, abis takut Mas buru-buru nyelesain cuci mobilnya. Sam kan mau bantuin," sungutnya sembari mencebikkan bibir.
"Nyaut aja kalo di bilangin. Udah kamu duduk aja, masih sakit. Sesek, ya?"
"Nggak kok, Sam mau bantuin Mas Saga kenapa malah di suruh duduk. Gak suka ih."
Sagara merotasikan bola matanya malas. "Pasti kamu jadi alay gara-gara Marvin, ya. Duh, dosa apa Mas bisa sampe punya adek yang alay-alay. Cuma Arnesh doang yang bener."
"Ih Mas kok banding-bandingin, sih?! Sam bilangin Ayah nih. Mas Saga sekarang hobinya banding-bandingin adek sendiri."
"Aduan, sekip."
"Baperan, sekip."
Dan berakhirlah mereka adu mulut sampai Samudra tidak jadi membantu masnya mencuci mobil.
ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
Jam istirahat pertama di tempat si kembar menimba ilmu memang lebih padat daripada jam istirahat kedua. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu istirahat pertamanya di kantin untuk mengisi perutnya yang keroncongan setelah belajar. Dan di istirahat kedua mereka lebih memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti ghibah, selfie, dandan, main epep dan lain sebagainya.
Tapi berbeda dengan Marvin yang tidak ikut kumpul bersama temannya di istirahat kedua. Ia lebih memilih ke perpustakaan untuk mencari tahu sesuatu.
Ya, dia rupanya masih penasaran dengan siswi yang sudah menemukan kalungnya dan mengantarkannya ke sang ayah.
"Pak!" sapanya pada Pak Roni si penjaga perpustakaan yang tengah terkantuk-kantuk.
"Oh iya, tong! Aduh ayem sowry bapak ngantuk banget nih."
Marvin terkekeh. "Pak, boleh liat buku siswa kelas 2 nggak?"
"Mau ngapain?" Si Pak Roni menggaruk kepalanya.
"Ada deh, pinjem sebentar, Pak. Plis."
"Tapi..."
Marvin tahu, buku siswa adalah buku yang sangat di rahasiakan oleh pihak sekolah. Tak boleh ada sembarang orang yang membuka buku tersebut, karena isinya adalah biodata murid-murid beserta alamat lengkap dan juga nomor handphonenya. Takut-takut ada yang menyalahgunakan.
"Lima menit deh, Pak! Janji. Saya nggak bakalan macem-macem. Bapak liat deh muka saya, emang ada tampang penipu?"
Pria dewasa berkumis tipis itu memandang Marvin datar. "Siapa yang izin sakit tapi malah tidur di perpustakaan?"
"A— hehehe." Marvin menggaruk belakang lehernya malu. "Ayolah, Pak. Cuma 5 menit, janji!"
ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
Akhirnya Pak Roni berbaik hati meminjamkan buku siswa kelas dua pada Marvin. Remaja itu mencarinya dengan cepat dan membutuhkan waktu tak lebih dari 5 menit untuk menemukan biodata siswi yang sudah mengembalikan kalungnya.
Ada satu nama Ayesha yang berada di kelas dua. Nama lengkapnya Ayesha Nada Salsabila, gadis itu berada di kelas 2-4.
Tanpa pikir panjang remaja itu mendatangi kelas 2-4 dan sempat membuat heboh seisi kelas itu karena kedatangan Marvin si murid famous di sekolah itu.
"Ada Kak Marvin!!"
"Aaaaa ngapain dia ke sini?!"
"Ya Tuhan calon masa depan gue."
"God, save my heart aaakk."
Marvin sengaja menyibak rambutnya ke belakang membuat para siswi menjerit histeris. Dia sudah seperti idol Korea saja.
"Misi adek kelasku yang kiyud," sapa Marvin pada segerombolan siswi yang berdiri di dekat pintu kelas 2-4.
"I-iya, Kak," sahut mereka serempak.
"Kakak ada perlu apa ke kelas kita?" tanya salah satunya malu-malu.
Marvin tersenyum lebar menampakkan gigi depannya yang mirip kelinci. "Di kelas 2-4 ada yang namanya Ayesha Nada Salsabila?"
Siswi berjumlah 6 orang itu saling tatap, merasa bingung kenapa kakak kelasnya ini mengenal Ayesha, yang merupakan teman sekelas mereka.
"Hah? Ngapain nyariin Echa, kak?"
"Gue ada perlu sebentar, bisa tunjukin nggak yang mana orangnya?"
"Tadi kita liat dia keluar kelas sih, nggak tau ke mana," sahut siswi ber bandana merah.
"Biasanya jam istirahat kedua dia selalu di rooftop, kan?" sambung temannya.
ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
"Arnesh Zale Achilles!" Seru salah satu remaja laki-laki sambil mengibaskan tangan di depan wajah orang yang dipanggilnya.
"Hah? Apa?"
Ketiga teman Arnesh berdecak malas menanggapi Arnesh yang tampak seperti orang linglung setelah melamun.
"Lo mikirin apaan, sih? Mikirin gue, ya?" Fero, salah satu teman Arnesh menaik-turunkan alisnya dengan percaya diri.
"Dih. Daripada mikirin lo mending gue mikirin Tante Maria Ozawa."
Kedua temannya yang lain tertawa melihat wajah Fero yang berubah masam.
"Lo ya, Fer. Pantes sering dibilang homo."
"Ya kan gue canda doang anjing. Gue masih demen sama cewek bohay."
Arnesh menghela napas. Mendengar kawan-kawannya bicara malah membuat kepalanya tambah pusing saja. Ia reflek memijat pangkal hidungnya membuat ketiga kawannya itu bertanya-tanya.
"Lo lagi ada masalah, Nesh?" tanya si remaja berambut sedikit ikal, Arga.
"Bukan gue sih, tapi kembaran gue. Sam sama Marvin."
Arnesh menceritakan detailnya tentang kejadian semalam ke teman-teman yang paling ia percaya.
"Jadi, lo pengen buat Marvin sama Sam akur lagi?"
"Pake nanya lagi."
Fero dan Arga memukul bahu Satria dengan kompak. "Pertanyaan lo nggak mutu banget."
"Hahh, ada yang punya ide nggak?"
ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
Marvin mendorong pintu rooftop dan berjalan santai menapaki jalan itu. Ia dapat melihat punggung seorang gadis yang tengah duduk di ujung balkon sambil sesekali tertawa melihat objek di bawah sana.
"Ayesha?"
"Iya?" Gadis itu reflek menoleh dan hampir saja jatuh karena terkejut melihat Marvin ada di sampingnya.
"Ck, hati-hati kalo lo jatoh nanti gue yang ditangkep polisi."
Ayesha tersenyum canggung. "Kak Marvin, ada apa ya?"
"Gue cuma mau bilang makasih karena lo udah balikin kalung gue," katanya tulus.
"Oh itu... Iya kak, sama-sama."
Suasana mendadak canggung.
"Lo nemuin kalung gue di mana?"
Ayesha menoleh, menatap mata hitam Marvin yang mempesona. "Aku nemu di kolong meja kantin."
Marvin mengangguk paham. "Terus kenapa nggak langsung lo kasih ke gue? Repot-repot amat ke kantor bokap gue cuma mau balikin kalung."
"Ah itu..." Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku gugup kalo di deket kakak. Jadi mending aku anter aja ke kantor ayahnya kakak."
"Lah ngapain gugup? Gue juga murid di sini kali, bukan idol atau pun Jungkook BTS. Tapi ya emang sih muka gue nggak beda jauh sama Jungkook. Tapi, sekali makasih ya lo udah mau balikin kalung gue. Nggak nyangka masih ada orang yang jujur, gue pikir lo bakalan jual—"
"Eh kakak sembarangan aja, mana mungkin aku ngejual barang yang bukan milik aku," potongnya. Ayesha mengembungkan pipinya kesal tanpa sadar, membuat Marvin terkekeh.
"Iya-iya maap. Yaudah sebagai ucapan terima kasih, lo mau apa dari gue?"
Gadis di sampingnya tampak berpikir, Marvin menaikkan sebelah alisnya bingung dan mencoba menebak-nebak apa keinginan si gadis.
"Ah! Aku tau!"
Marvin tersenyum, menunggu gadis itu berbicara.
"Aku titip salam buat Kak Samudra aja ya, hehe."
Perlahan, senyum Marvin memudar. Ia meneguk ludahnya yang terasa pahit kemudian membatin;
Samudra lagi, ya?
_____

First update on Senin 29 maret 2021
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
