3. Ke Rumah Bunda

0
0
Deskripsi
Assalamualaikum, Bunda!

Dulu, si kembar itu hobi sekali menjahili bundanya sampai wanita itu naik pitam. Bagi mereka, kemarahan bunda itu terlihat lucu, karena memang pada dasarnya Bunda Maya wanita yang sangat lembut dan tidak bisa marah, pernah sih dia marah, tapi bukan tipikal orang yang kalo marah itu suka membentak atau pun teriak-teriak. Tapi Bunda itu kalo marah melampiaskannya dengan air mata atau diam.

Waktu itu, tepatnya sehari sebelum mereka berlibur ke pantai dan terjadi tsunami, Mas Saga mencuci kaki bundanya, sebagai baktinya seorang anak pada sang bunda. Disaksikan oleh ketiga adik kembarnya.

"Air bekas cucian kaki Bunda nggak diminum sekalian, Mas?" tanya si bontot Marvin.

Sagara menggeleng. "Itu nggak wajar dan nggak dianjurkan dalam Islam, Dek. Kalian harus tau."

"Loh bukannya itu dianjurkan ya Mas? Ayah, emang yang dibilang Mas Saga itu bener?" Samudra kurang puas dengan jawaban mas-nya.

Ayah yang sedang membaca koran di single sofa pun menoleh, lantas mengangguk. "Bener, Dek. Setau Ayah nggak ada ayat dan hadist yang menganjurkan. Tindakan kaya gitu bisa disebut juga Ghulluw, atau sesuatu yang berlebihan yang bisa menyesatkan manusia beragama."

"Lah masa guru agama aku ngajarin kaya gitu Yah, Bund." Marvin mengadu pada kedua orang tuanya.

"Dih, guru lo sesat, Pin."

"Dia guru lo juga, Nesh. Inget, kelas kita sebelahan."

"Oiya maap gue lupa."

"Yaudah guru agama gue doang yang paling bener."

"Bodo amat."

Ayah Basta, Bunda Maya dan Sagara menggelengkan kepala dramatis.

"Kalian nggak nyuci kaki Bunda juga?" Tanya Saga menghentikan perdebatan kecil mereka.

Dengan kompaknya, si kembar menggelengkan kepala sambil cengengesan. "Nggak mau. Kan masih ada hari esok. Sekarang gilirannya Mas Saga dulu yang cuci kaki Bunda, baru besok kita gantian, deh," kata Marvin.

"Nah bener tuh, lagian kaki Bunda kan udah bersih juga, apanya yang mau dibersihin lagi? Ya gak?"

Arnesh dan Marvin mengangguki perkataan Samudra.

Bunda dan Sagara menghembuskan napas. Laki-laki yang sudah berumur 22 tahun itu menyahut, "Kita nggak ada yang tahu sampe mana Allah ngasih kita umur, Dek. Jadi, selagi sempat kenapa harus besok-besok?"

Dan benar saja apa yang dikatakan Sagara. Mereka tidak akan pernah tahu batas umur manusia yang diberikan oleh Sang Pencipta. Hari di mana Saga mencuci kaki Bunda, semua baik-baik saja. Cuaca masih bagus, sama sekali tak ada tanda-tanda akan terjadinya bencana alam. Namun siapa yang sangka, hari itu adalah hari terakhir mereka melihat Bunda mereka bernapas.

Terlalu menyakitkan untuk diingat, tapi setiap saat mereka selalu mengingat kejadian pahit itu jikalau mereka rindu dengan sang ibunda.

ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
 


Satu-satunya asisten rumah tangga yang bekerja di keluarga Achilles tengah pulang kampung. Sagara dan Ayah Basta sedang sibuk masak di dapur. Menu sarapan pagi ini nasi goreng saja, sesuai permintaan si bontot Marvin.

"Pake potongan dada ayam kayanya enak, Yah," kata Saga yang memperhatikan kegiatan sang ayah yang memotong sayuran.

"Dada ayamnya abis, Mas. Bibi lupa belanja kayanya. Kamu mau beli ke tukang sayur di komplek aja?"

Sagara melihat jam yang berada di hpnya. "Hahh masih jam 6 pasti banyak ibu-ibu genit di sana, Yah," keluhnya.

Basta yang tengah mengambil telur di lemari es terkekeh pelan. "Udah biasa kan Mas kamu di godain ibu-ibu komplek?"

"Yaudah deh. Saga ke tukang sayur sekarang."

Dengan berbekal kaos berwarna ungu dan celana panjang hitam, Sagara memutuskan pergi ke tukang sayur. Ia sudah menyiapkan mental jikalau nanti ada ibu-ibu yang menggodanya. Ia memutuskan untuk menggunakan motor saja agar lebih cepat. Motor hitam keluaran 2020 berwarna hitam itu sudah di depan mata, setelah memastikan bensin nya masih ada ia langsung tancap gas menuju tukang sayur.

Bayangin aja bayangin, gimana gambaran kalo Mas Ganteng naek motor Nmax pake kaos ungu dan celana hitam.

Membutuhkan waktu lebih dari 5 menit perjalanan ke sana. Tukang sayur di komplek itu sudah terlihat di kejauhan 10 meter, tapi Sagara harus menelan ludahnya begitu melihat banyak sekali ibu-ibu yang biasa menggodanya.

"Mampus. Berasa masuk ke kandang buaya nih gue," gumamnya pelan sekali.

Ia memarkirkan motornya di depan ruko, sontak saja ia menjadi pusat perhatian ibu-ibu yang sedang berbelanja.

"Eh ada Saganteng, ke mana aja kamu udah nggak pernah keliatan," kata si ibu-ibu yang memakai daster catur.

Sagara tersenyum canggung. "Saya sibuk di rumah sakit, Bu."

"Oh gitu. Duh, keren ya Ibu-ibu. Masih muda udah jadi dokter, mana ganteng lagi. Kamu mau nggak nikah sama anak saya?"

Ya Allah kapan gue belanjanya ini, batinnya nelangsa.

"Belum ada kepikiran buat nikah, Bu. Eum, saya permisi dulu ya ada yang harus saya beli soalnya."

"Oh iya, Saga. Silakan. Duluan aja bayarnya juga gapapa. Kita ngalah aja sama si ganteng ya Ibu-ibu sekalian."

"E-eh beneran nih? Kan yang saya datengnya belakangan."

"Demi alek kita kaga ngapa-ngapa."

"Yaudah makasih ya, Bu."

Sementara si tukang sayur menggelengkan kepala melihat betapa centilnya ibu-ibu di kompleknya ini.

"Cari apa, Mas?"

"Dada ayam fillet 2 kg ya bang."

"Oke. Ada lagi yang lain?"

"Udah itu aja."

ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
 


"Kepada anak kembar Ayah Basta yang tampan, rupawan dan juga bergelimang harta, mohon untuk bangkit dari kasur kalian dan ke ruang makan segera. CEPET!"

"Eh buset!"

Marvin terlonjak kaget begitu telinganya mendengar suara sang ayah dari speaker yang berada di kamarnya. Mana di akhiran dia teriak lagi, kan kaget. Oh iya, jadi di setiap kamar mereka itu ada speaker yang terpasang di dekat pintu. Gunanya, ya seperti tadi. Mereka tak perlu repot-repot berteriak memanggil penghuni rumah yang lagi di kamar. Tinggal taro mic depan bibir, selesai deh.

Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, ia melihat jam di mejanya. "Masih jam 7 kurang kenapa Ayah udah bawel aja si," gerutunya sebal.

Ia kembali membaringkan tubuhnya di kasur, tarik selimut terus bobo manis lagi.

5 menit.

7 menit.

Sampai akhirnya di sepuluh menit kemudian pintu kamarnya terbuka. Masuklah Sagara.

"Ck. Kebo banget si ini anak. Bangun!"

Sagara menepok bokong Marvin lumayan kencang, membuat remaja itu terusik.

"Dek bangun, sodara kamu yang laen udah di ruang makan. Ayo cepetan."

"Duluan aja ah, aku masih ngantuk."

"Kita semua nungguin kamu, Marvin," gemasnya. "Cepetan bangun, mau mas sirem pake aer segayung atau..."

"Hmm..."

Sagara melompat ke tempat tidur Marvin dan memeluk adiknya itu erat, sesekali menggelitik anggota tubuh Marvin yang sensitif membuat remaja 18 tahun itu tertawa.

"Hahaha Mas Saga ih ga suka gelaaay!"

"Gelay gelay, gausah belajar jadi anak alay, cepetan bangun!"

"Iya-iya aku bangun hahahaha! Stop dulu astagfirullah geli—ih Mas nanti gue kentut!"

Nafas Marvin tersengal begitu masnya menyudahi acara menggelitik. Rasa kantuknya mendadak hilang begitu saja, dengan wajah bantal yang masih kentara ia mengubah posisinya menjadi duduk.

"Mas duluan aja, nanti aku nyusul."

"Mas kasih waktu lima menit ya, Vin. Kalo lebih dari lima menit, Mas kasih hukuman."

"Iya ih bawel banget gue punya sodara astagfirullah."

"Nanti abis makan langsung mandi, kita mau pergi bareng."

"Ke mana?"

"Ke rumah Bunda."

ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
 


"Assalamualaikum, Bunda."

Kelima anggota keluarga Achilles mengucapkan salam begitu mereka sampai di satu gundukan tanah yang di kelilingi keramik dengan batu nisan bertuliskan nama Maya Anggraini.

Kelimanya berjongkok. Basta; selaku kepala keluarga, menabur bunga paling pertama kemudian di susul oleh anak-anaknya. Terakhir, mereka menyiramnya dengan air mawar.

"Pagi istri cantiknya Ayah," kata Basta. "Maaf ya Sayang, kita telat tiga hari berkunjung ke sini."

"Marahin Ayah bund, kemaren ayah pergi ke luar negeri. Terus ayah gak beliin oleh-oleh buat kita, Bund," adu Marvin.

Keluarganya berdecak malas. Emang ya nggak di mana-mana si Marvin selalu ngerusak suasana.

"Bund omelin si Marvin juga dia sering bolos di sekolah."

"Dih enggak. Fitnah aja lo, Nesh."

"Kenyataan. Mana kemaren si Marvin bolos sholat Jumat, Bund. Astagfirullah berdosa banget."

"Pantang bagi cogan kek gue bolos sholat Jumat!"

Basta dan Sagara menggelengkan kepala melihat kelakuan Arnesh dan Marvin. Mereka terus berdebat sampai melupakan Samudra yang dari tadi hanya diam saja. Namun, sekalinya Samudra berbicara pada bundanya membuat mereka semua tercengang.

"Samudra masih jadi anak baik bunda kok, jangan bawa Samudra dulu, ya."

"Sam..." lirih Arnesh dan Marvin.

Basta merangkul bahu Samudra. "Bunda nggak bakalan bawa Sam. Bunda bakalan ngebiarin Sam tinggal selamanya sama Ayah."

"Iya betul. Nanti Mas kasih tau Bunda deh, tolong sampein ke Allah biar kita semua di kasih umur yang panjang."

"Tapi—"

"Mengapa semua menangis? BIASALAH!"

Sumpah ini si Marvin ngerusak suasana terus, mana nggak inget tempat lagi. Bisa-bisanya dia heboh di pemakaman. Ntar kalo penghuninya merasa keganggu gimana?

"Ayaaaaah, plis kali ini izinin aku buat geplak si Marvin," ujar Arnesh dengan tatapan memohon.

"Ooh tidak bisa dong, dosa lo geplak gue."

"Pengen gue jejelin kembang 7 rupa, serius."

"Kalian ini kalo mau debat liat tempat kek. Udah deh jangan banyak omong, sekarang kita kirim doa buat Bunda. Vin, kamu yang pimpin doanya, ya."

"Tapi, Yah..."

"Uang jajan Ayah potong."

"Kok gitu?!"

Demi menyelamatkan kesejahteraan dompetnya, Marvin menuruti perintah ayah. Ia memimpin doa. Beruntung anak-anak Basta itu semua pandai mengaji, hafal doa-doa seperti ini karena mereka dulu pernah dimasukkan ke pesantren; tapi bukan yang menginap.

"Aamiin!"

Mereka mengakhiri doa dengan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Mereka serempak memandang batu nisan itu dengan sendu.

'Bundaaaaa! Marvin iseng!!'

'ARNESH NGOMONG KASAR BUND!'

'Anak-anak Bunda yang ganteng, besok mau dimasakin apa?'

'Nggak kerasa anak-anak kita udah tumbuh besar ya, Sayang.'

'Bund, kalo cita-cita Saga jadi dokter tercapai, Saga janji bakalan jadi dokter rendah hati kaya Bunda, yang tujuan utamanya bukan cari uang.'

'Bunda harus hidup selamanya ya sampe anak-anak Bunda yang ganteng ini sukses. Sam mau liat Bunda tersenyum bangga karena liat kesuksesan Sam. Bunda harus liat Sam jadi orang besar nanti.'

Kelimanya sibuk dengan kenangan masa lalunya masing-masing. Semua murung, tak ada yang membuka suara barang sedikit pun. Bahkan, canda tawa serta bacotan kecil dari si kembar menghilang begitu saja.

Bun, sebagai anak tertua di sini, Saga janji bakalan jagain adek-adek Saga dan juga Ayah. Saga janji bakalan ngelakuin apa pun demi mereka. Bahkan... Saga rela kalo pun harus gantiin kesakitannya Samudra. Bunda bantuin Saga dari atas sana, ya?

ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ
 


Selesai berziarah, keluarga Achilles menyempatkan diri untuk mencuci tangan, kaki, dan membasuh wajah terlebih dahulu sebelum kembali ke mobil.

Wajah kelimanya sudah segar. Mereka sudah duduk manis di mobil bahkan si kembar sudah cerewet kembali. Ada saja yang mereka bahas selama di perjalanan. Apalagi sewaktu Marvin melihat dua kerbau sedang makan rumput, dia mulai iseng dan mengatakan kalau kerbau itu mirip Samudra dan Arnesh.

"Mau makan siang di mana nih?" tanya sang kepala keluarga.

"Pet and Cafe aja, Yah," jawab Marvin penuh semangat.

"Yang lain setuju?"

"Boleh." Sagara mengangguk, kedua adiknya yang lain juga.

Ayah Basta melajukan mobilnya ke salah satu cafe yang terletak di Jakarta. Cafe yang merangkap sebagai tempat makan sekaligus rumah kucing. Bukan hanya itu, bahkan di cafe itu juga ada rumah untuk anjing-anjing kecil. Keluarga Achilles sering sekali mampir ke cafe ini.

Mobil mewah berwarna abu-abu sudah terparkir rapi di depan cafe. Begitu ia membuka pintu, ia langsung disambut hangat oleh pelayan cafe yang memakai bandana dengan gambar kepala kucing.

"Selamat siang, Bapak. Untuk berapa orang, Pak?" tanya pelayan itu ramah.

"Lima orang."

"Baik, Pak. Saya bantu cari meja ya."

Si pelayan wanita tadi membimbing jalan menuju meja yang masih kosong, kebetulan meja itu dekat sekali dengan rumah kucing dan anjing yang di batasi oleh dinding kaca tebal.

Mereka sudah memesan makanan kepada pelayan wanita yang tadi. Sambil menunggu makanannya siap, mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Basta membalas pesan-pesan dari bawahannya, Sagara yang tengah sibuk membaca berita online, Marvin yang sedang bermain game online dengan Samudra, sedangkan Arnesh hanya memperhatikan sekeliling, lebih tepatnya ke arah rumah kucing dan anjing itu.

Mata Arnesh tertuju pada satu anjing kecil berwarna hitam cokelat tengah mengamati salah satu saudaranya.

"Sam."

"Oit?"

"Liat deh ke rumah anjing itu. Anjing yang lagi deket tembok ngeliatin lo terus."

"Hah?"

Bukan hanya Samudra yang menoleh ke objek yang diberitahukan Arnesh, tapi seluruh keluarganya pun turut serta.

"Dia ngeliatin gue?" tanya Samudra entah pada siapa.

Ia berdiri dan mendekati dinding kaca itu, berjongkok tepat di depan si anjing kecil tersebut.


 


Samudra memiringkan kepala ke kiri, anjing itu mengikuti. Saat ia menempelkan telunjuknya di kaca, anjing itu melakukan hal serupa membuat senyum di bibir Samudra terbit.

Samudra membalikkan badan ke arah keluarganya berada. "Yah, boleh nggak?"

Ayah Basta mengangkat jari telunjuknya dan di gerakkan ke kanan dan ke kiri sebagai bentuk penolakan.

Kedua bahu Samudra melemas, ia kembali menatap anjing kecil itu dengan tatapan iba.

"Maaf ya," katanya pada hewan imut berbulu itu.

Seolah mengerti, anjing tersebut menundukkan kepala dan merintih pelan.

"Sam! Makanan udah dateng."

Samudra kembali ke tempat duduknya meninggalkan anjing kecil yang menyendiri di rumahnya. Anjing itu terlihat kesepian padahal banyak teman-teman nya di dalam sana.

Sambil memakan steak-nya, sesekali Samudra melihat ke arah anjing tadi, ternyata dia masih ada di sana melihat Samudra makan.

"Kamu tertarik sama anjing itu, Dek?" tanya Ayah yang sedari tadi memperhatikan anak ketiganya.

Samudra hanya mengangguk.

"Kamu tau kan di agama kita memelihara anjing itu nggak di bolehin." Sagara mencoba memberi pengertian.

Samudra bukanlah anak kecil lagi yang tidak tahu menahu soal itu. Dia tahu, sangat tahu. Tapi, dari dulu Samudra memang sangat menyukai hewan berbulu termasuk anjing. Biar pun memelihara anjing itu di larang di agamanya, tapi Ayah Basta dan juga Bunda Maya tak pernah melarang putranya berdekatan dengan anjing. Karena bagi mereka, anjing itu tetap makhluk hidup yang membutuhkan kasih sayang dari semua umat manusia, bukan makhluk yang menjijikkan.

"Samudra mau foto sama anjing itu aja deh, boleh ya?"

Sang ayah tersenyum. “Boleh.”





Yhaaaa kalah kalian sama anjing 🥰🤲🏻

_____

 

First update on Sabtu 27 Februari 2021

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
The Achilles
Selanjutnya 4. Kecerobohan Seorang Marvin
0
0
Marvin emang ceroboh!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan