Jodoh Hasil Bansos Bagian 2

1
0
Deskripsi

Egin cari perkara aja. Udah tahu ayahnya jantungan malah bikin sensasi

Bab 2

Ayah Sakit, Aku Biang Keladinya

*****

Suasana tegang menyelimuti ruangan persegi yang didominasi berwarna putih dan berbau obat-obatan. Hening sejak beberapa menit yang lalu. Aku hanya bisa terdiam dan berdiri tegap seperti pelaku pelecehan seksual yang tengah menunggu hukuman. Ya, aku memang pelaku pelecehan seksual. Aku menarik tangan Pak Pol agar menyentuh payudaraku. Meski tak merasa nikmat namun semua sudah jadi aib. Aku dihujat netizen se-Indonesia. Aku duduk berlutut di depan ranjang.  Ayah masih terbaring lemah. Semua karena ulahku. Tak lama setelah itu kami kembali ke rumah.

 

Tadi, Ayah yang dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Untung saja cuma rawat jalan.  Kan.... aku salah lagi. Benar kata Uni. Otakku sangat lemot. Kalah cepat dari perilakuku. Aku selalu saja membuat masalah. Ya Allah.. Ampuni Hamba.  Aku pantas di rukiyah biar otakku tidak konslet. 

 

Kacau. Perasaan yang mewakili seluruh keluargaku, bahkan Bundo sedari tadi tidak mengeluarkan sepatah katapun padaku. Mereka terkesan acuh dan tidak pernah menganggap aku ada. Kami berempat berada di kamar Ayah dan Bundo.

 

Ku tak bisa menggapaimu

Ku tak pernah bisa

Walau sudah letih aku

Tak mungkin lepas lagi

 

Double Shit!

 

Kenapa aku malah bernyanyi ketika semua orang menatapku penuh curiga? Mereka melihatku seperti virus corona yang siap menyerang dan mematikan sel syaraf.

 

Aku memandang Ayah, Bundo dan Uni Ega bergantian. Mereka berkomunikasi melalui telepati dan saling bertatapan. Jika aku zoom melalui kamera iPhone 13. Tatapan sinis mereka mengalahkan nenek Tapasha dalam drama India  'Uttaran'. 

 

Demi Dewa...

Tuk trang....tung tarang....

Drama ini akan mengalahkan rating acara India di ANTV.

 

Pemikiran macam apa ini? 

 

“Hahhh.” 

 

Suara helaian nafas pertama yang terdengar di ruangan ini.  Aku tahu itu suara Ayah. Suara itu seperti kucing sedang kawin.

 

Astaga..... Anak macam apa aku? Kondisi tragis seperti ini masih ingat dengan kucing kawin. Salahkan Massimo dan Mr. Grey. Mereka mengotori otakku yang suci. Siapa yang tahan coba? Lihat adegan di atas kapal.

 

Aku memulihkan kesadaran dan kewarasan. Aku melihat Ayah tanpa berkedip. Ekspresi Ayah.... marah, kesal, kecewa, dan mungkin sedih juga.

 

“Egin, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Ayah membuatku mendongak menatapnya. 

 

Aku hanya berani menatap tanpa menjawab pertanyaan beliau. Mulutku terkunci, seperti diberi lem perekat yang bahkan untuk bernafas saja tidak memiliki celah. 

 

“Kamu bahagia?” tanyanya lagi. 

Aku lantas menggeleng-geleng panik tidak menyetujuinya. 

 

“Egin sini duduk,” ucap Ayah sembari menyuruhku duduk di ranjangnya. 

 

Aku menurut dan mengikuti kemauan Ayah. Perasaan asing hinggap di hatiku, biasanya jika Ayah marah beliau hanya membentak dan berkata jika aku adalah anak pungut yang dibuang di aliran sungai. Karena aku anak pungut sehingga tidak mewarisi sifat normal dari Ayah dan Bundo.  Selalu dibilang anak pungut ketika marah, padahal lihat wajahku dan ayah orang-orang sudah tahu aku anak siapa. Aku versi perempuan dari ayah. Uni Ega mewarisi wajah cantik Bundo dan kepintaran Ayah. 

 

Kali ini ayah berbeda, beliau hanya memandang dengan tatapan campur aduk tanpa mengucapkan apa-apa. 

 

“Coba sini cerita sama Ayah kenapa kamu bisa melakukan hal senonoh seperti itu nak?” tanya Ayah pelan dengan menggenggam tanganku lembut. Sikap tenang Ayah malah membuatku bergidik. Tatapan itu seperti psikopat yang siap menerkam mangsa.

 

Tanpa bisa kutahan lagi, air mataku menetes dengan cepat tanpa hambatan seperti jalan tol. Bulu kudukku meremang dengan peredaran darahku melaju lebih cepat dari biasanya. 

 

Biasanya, jika melihatku menangis Ayah akan memelukku dan menenangkanku tapi tidak kali ini. Aku melirik-lirik ayah dan berusaha berucap,”m-ma ... m-maafin Egin, Yah....” 

 

“Ayah lagi tidak ingin mendengar kata maaf dan tangisanmu. Ayah butuh penjelasan bukan alasan,” balas Ayah tegas. 

 

Dengan menegapkan badan dan menghapus air mata dengan kasar, aku menatap beliau dengan tatapan menyesal sedalam samudera. “Ayah ....” 

 

Seutas kalimat tersusun di kepalaku yang langsung ingin kuucapkan tetapi tertahan di ujung pita suara ini. Entah kenapa berat sekali rasanya ingin jujur kepada pria paruh baya yang menciptakanku ini. 

 

[Ayah, Egin iseng-iseng aja?] 

 

Kalau aku jawab seperti ini, Ayah marah tidak ya? Aku menggelengkan kepala cepat, pastinya cinta pertamaku itu langsung memukul kepalaku dan berkata,”mau pecah otak kau, hah?!”

 

Masa logat ngomong Ayah sama seperti Vani? 

 

[Yah, Egin mau modus sama polisi tampan itu, udah nggak kuat menjomblo dan butuh perhatian dan belaian] 

 

Bagaimana dengan ini ya? Aku bingung sekali, takut jika jawabanku membuat ayah tambah drop atau malah langsung mencoret namaku dari kartu keluarga. Pastinya, Uni Ega akan mengompor-ngompori drama panjang tersebut. 

 

“Regina Leia. Bagaimana penjelasanmu?” tanya Ayah menginstrupsi. 

 

Aku tersentak dan spontan berkata, “Ayah Egin suka sama polisi itu pada pandangan pertama!” 

 

Aku hanya memejamkan mata dan menunduk, tidak berani mengangkat kepala yang sangat berat seperti di tindih tuyul. Kudengar decakan Uni Ega dan Bundo secara bersamaan tetapi tidak dapat kudengar reaksi Ayah terhadap jawabanku. 

“Alah habih ubek kau?” Uni Ega menatapku sinis. 

(Sudah habis obatmu).

“Jan bagarah juo kau Gin.”  Suara Bundo terdengar serak.

( Jangan bercanda Egin).

“Tindakanmu sudah kelewat batas, Egin! Video cabul yang kamu buat itu sudah menyebar di SELURUH INDONESIA! Kamu masih ada muka untuk menghadapi masyarakat? Kamu tidak pikirkan perasaan Ayah. Kamu melempar kotoran ke wajah kami. Kamu tidak tahu dampak dari perbuatan kamu? Orang-orang akan membicarakan kami yang tidak bisa mendidik anak. Kamu siap dihujat netizen?” 

 

Akhirnya, kemurkaan ayah meledak seperti ban yang tidak bisa menampung angin lagi. Artinya, kesabaran ayah sudah habis untuk menghadapi anak pungut sepertiku. Aku terdiam. Aku tidak menyangka masalahnya akan serumit ini. Gara-gara perbuatanku, nama baik keluarga tercoreng.

 

“Bagaimana jika ada yang menyebar luaskan KEBENARAN video itu? Bahkan kamu yang mencabuli polisi tersebut bukan sebaliknya?!”

 

Aku tertegun, tak mampu menjawab pertanyaan Ayah. Aku Shock. Bukan karena dimarahi, tapi mengetahui dampak dari perbuatanku. Jika jelek, aku saja yang dihujat. Jangan bawa keluargaku.

 

“Dima utak kau. Pas Tuhan maagiah utak kau pai kama?” Ayah membentakku.

( Dimana otak kamu? Ketika Tuhan memberikan otak, kamu pergi kemana).

 

Jujur, aku tidak berpikir sampai situ. Tidak terlintas dibenakku jika ada yang merekam dan menyebarkan video tersebut. Video itu viral. Membuat aku dan Pak Pol ganteng itu jadi selebritis dadakan. Gilanya, video itu sudah ditonton lebih dari 5M views. Menunggu azab dan karma ini? Jika akun Lambe Curah ikut memposting berita ini. Hancurlah masa depanku.  Hidupku tidak akan tenang. Bullyan dunia maya lebih sadis daripada dunia nyata. Jari mereka tidak terkontrol jika berkomentar. Kadang netizen +62 tidak tahu diri ketika menghujat. Mengomentari artis berbadan gendut, tapi tidak sadar jika tubuhnya seperti karung beras. 

 

“Ayah malu nak! Ayah gagal mendidikmu untuk menjauhi zina, kamu tahu 'kan jika yang kamu perbuat itu sangat berdosa?” tanya Ayah yang kali ini dengan nada sedih.

 

Aku hanya diam menunduk tanpa berani menyela. 

 

“JAWAB EGIN!” bentak Ayah. 

 

“Iya Yah!” jawabku spontan karena terkejut. Saking terkejutnya, bahuku sampai bergetar.

 

“Ayah sudah bilang ke kamu nak. Jika ingin melakukan sesuatu itu jangan dipikir sekali tetapi berkali-kali, bahkan sekalipun menyukai seseorang. Bagaimana jika polisi itu sudah menikah dan memiliki anak? Bagaimana jika mereka cerai? Kamu bisa bertanggung jawab?” Pertanyaan Ayah seperti pedang yang tengah menembus jantungku.

 

“Iya Yah,” jawabku lirih. Tidak tahu bagaimana merespon ayah. 

 

“Kamu kebiasaan menilai semua hal dari luarnya saja, walaupun kelihatan tampan dan baik bagaimana jika dia pakai narkoba? Dia pecinta wanita bahkan beda agama?” Sepertinya Ayah sudah bisa meredamkan amarahnya terbukti dari ucapannya yang memarahiku seperti biasa. 

 

“Iya Yah,” ucapku pelan sembari mengangguk-angguk dan meratapi nasib. Nasib buruk jika semua yang dikatakan ayah ada benarnya. Sudah dihujat seperti wanita ganjen, centil, pelacur, masa harus dihujat oleh warga +62 sebagai pelakor sih? Big no! 

 

“Jangan iya-iya aja Egin!” bentak Ayah kesal. 

 

“Eoh?” gumamku dengan menatap Ayah bingung. 

 

Melihat tatapanku membuat ayah seketika emosi dan berteriak, “KAMU NGERTI GAK SIH APA YANG AYAH OMONGIN DARI TADI? EMANG BENER YA KAMU INI ANAK PUNGUT YANG BANDEL!” 

 

Aku cemberut dan memundurkan wajah beberapa centi ke belakang saat air liur ayah beterbangan. Ya masa aku harus menjawab, 'Yah, Egin khilaf melihat ketampanan Pak Pol. Setan berhasil melaksanakan tugasnya. Setan menghasut Egin sehingga berfantasi liar. Egin terinspirasi dari Laura dan Massimo.'

 

Kali ini Bundo langsung memukul bokongku dan menangis histeris, ditambah Uni Ega yang menyeringai dan ikut menjewer telingaku. Mati aku!Aku tidak sanggup melawan makhluk terkuat di atas bumi. Mereka tidak akan terkalahkan. Aku masih sayang nyawa dan bokongku. 

 

“Ayah, jangan teriak-teriak nanti tambah sakit,” kata Uni Ega mengingatkan. Uni mendekati Ayah lalu mengelus-elus pundak beliau. 

 

“Gak gitu, Yah. Egin ngerti, paham, meresapi, memikirkan, dan sedang ingin menerapkan apa yang ayah katakan,” ucapku sedikit menggumam tidak jelas. 

 

“Nak, seburuk-buruknya Egin tetapi kami tetap akan membelamu di depan orang lain. Kamu sakit hati, Bundo dan Ayah juga merasakan hal yang sama, apalagi jika ada yang menghinamu. Bundo tidak akan pernah menerimanya nak.” Bundo berucap sembari mendekatiku dan merengkuh tubuhku. 

 

“Semua kakak yang ada dimuka bumi ini punya satu pemikiran yang sama. Tahu nggak apa? Nggak ada yang boleh menyakiti adiknya. Uni tidak akan marah jika kamu bisa jaga kelakuan, PAHAM?” ucap Uni Ega dengan serius. 

 

Tanpa bisa kucegah lagi, tetesan demi tetesan air mata keluar seperti larva dari mataku yang sangat panas. Bundo, Ayah, dan Uni Ega memelukku dengan erat. Sudah lama kami tidak berpelukan seperti ini. Saling berbagi rasa sakit. Terakhir kami seperti itu ketika kami masih tinggal di Jakarta. Saat aku SMA. Aku sudah melupakan peristiwa pahit itu.

 

“Tapi Gin ....” Uni Ega yang pertama kali melepaskan pelukan tersebut dan menatapku dengan ragu, lalu bergantian menatap Bundo dan Ayah secara bergantian. 

 

“Emm, video aslinya sudah kesebar bahkan ada yang edit pakai filter cepak-cepak jeder,” ceplos Uni Ega tanpa di saring lagi. 

 

Ya Tuhan.....

Drama macam apa ini????

 

“Sebaiknya, jangan ada yang buka medsos. Jangan buka kolom komentar. Nanti malah stress. Sanksi sosial itu keras. Jangan terlalu dipikirkan malah yang ada kena mental,” ucap Bundo yang langsung disetujui oleh kami bertiga. 

 

Ayah memegang tanganku dan berkata,”Egin, sekarang kamu mau gimana?” 

 

“Mau nikah boleh Yah? Pak Pol itu ganteng. Kali dia single berarti dia emang ditakdirkan buat Egin.”

 

Ucapanku mendapat jitakan dari Uni Ega.

“Minta nikah, skripsi aja belum selesai.”

 

Seketika aku sadar jika Uni Ega sangat mirip dengan Kak Ros, saudara perempuan Upin dan Ipin. Ekspresinya itu dapat, apalagi gerak bibirnya.


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jodoh Hasil Bansos Bagian 3
0
0
Derita AKP Jovi Gema LesmanaJadi Sasaran Netizen
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan