2 - Foxy and the Beast

3
0
Deskripsi

Happy reading, Honeyz ❤

2


 

Lama Akvo mengetuk rumah sewaannya, tetapi Kirey tak membuka pintu. Akvo pun membuka pintu dengan kunci cadangan yang dibawanya. Masuk rumah, ia tak menemukan sosok wanita pengganggu itu. Sempat mengecek kamar yang dijadikan ruang kerja, Akvo pun menebak Kirey berada di kamarnya.

Membuka pintu perlahan, Akvo melihat Kirey masih berselimut tebal. Mendesis kesal, Akvo menghampiri ranjang. "Rey, bangun. Udah siang. Pemalas!"

Akvo tersentak saat menyentuh lengan telanjang Kirey. Panas sekali. Ia mencoba menyentuh dahi Kirey dan kembali terkejut. Kirey demam tinggi.

"Rey," panggilnya dengan suara lirih. "Kamu sakit?"

Tangan Akvo membalikkan tubuh wanita itu dan lenguhan kecil Kirey terdengar. Wajah putih Kirey, pucat. Bibirnya sedikit terbuka dan tubuh wanita itu menggigil. Melihat kondisi Kirey, Akvo segera menghubungi temannya yang seorang dokter. Pria itu menceritakan detail kejadian dan dugaannya benar. Kirey demam karena semalam ia terluka.

Setelah mendapat pesan tentang obat apa yang harus ia beli, Akvo keluar kamar seraya membeli beberapa obat melalui online. Selesai membeli obat, pria itu memesan makanan untuk Kirey. Sembari menunggu, Akvo menyelesaikan pekerjaannya. Duduk di hadapan layar komputer, Akvo pun mulai menjelajah dunia maya.

Sekitar tiga puluh menit berlalu, kurir yang membawa makanan datang. Lima menit kemudian, obat yang Akvo pesan juga datang. Pria itu menyiapkan sarapan di meja makan dan kembali ke kamar untuk membangunkan Kirey.

Tangan Akvo menyibak selimut Kirey dan membuat wanita itu merengek. Akvo meraih tubuh Kirey sampai wanita itu duduk. Masih menutup mata, Kirey setengah terisak dan menyandar pada dada Akvo.

"Dingin," erangnya.

"Sarapan dulu, terus minum obat. Luka kamu infeksi mungkin. Makanya bikin demam. Ayo, aku udah beliin obat dan siapin bubur."

"Akvo," panggil Kirey.

"Ya, kenapa?" tanya Akvo. Ia memegangi Kirey yang kini memeluk tubuhnya.

"Aku bakalan pergi sebelum ayam berkokok. Aku tidur dulu," racau Kirey.

"Ini udah jam sembilan pagi. Ayamnya nggak berkokok lagi. Udah pada masuk sekolah kali. Buruan bangun," ajak Akvo, seraya memaksa Kirey berdiri.

Kirey masih enggan membuka mata lantaran sakit kepala. Tubuhnya begitu lemah untuk berdiri. Wanita itu memeluk Akvo sambil menggigil.

"Aku mau tidur, Vo," isaknya.

"Makan dulu. Abis itu tidur. Ayo, dong. Bangun, Rey," paksa Akvo.

Dituntun Akvo, Kirey berjalan sambil menumpukan berat tubuhnya pada pria itu. Sampai di meja makan sederhana, Kirey masih tak ingin menjauh dari Akvo. Berdecak kesal, Akvo akhirnya menyuapi wanita di sampingnya. Beberapa kali Kirey menolak karena perutnya mual, tetapi Akvo memaksa bahkan mengancam akan melempar wanita itu ke jalanan jika tak menurut.

Separuh mangkok bubur berhasil Kirey telan. Akvo tak mengharuskan Kirey menandaskan sarapannya, tetapi membujuk Kirey menelan semua obat yang disiapkan untuk pagi hari.

"Yuk, aku anterin kamu ke kamar," ajak Akvo.

Pria itu memang kesal pada Kirey. Akan tetapi, kala Kirey sakit begini, Akvo mana tega? Ia teringat bagaimana ibunya sakit dan pria itu menemani hampir 24 jam kala ibunya dirawat di Singapura. Kini setelah Kirey naik ke ranjang, Akvo membenahi selimut untuk menutup tubuh wanita itu. Setelah yakin Kirey nyaman di tempat tidur, Akvo meninggalkan mantan pacarnya untuk beristirahat.


 

*****


 

Akvo mengucek mata ketika merasakan pedih. Menggeliat di kursi putar, Akvo menyadari telah berjam-jam duduk di depan layar komputer. Ia menoleh ke arah kaleng minuman dan teringat isinya habis. Meraih ponsel, Akvo memesan makan siang untuk dirinya juga Kirey.

Merenggangkan otot-otot tubuhnya sebentar, Akvo keluar kamar yang ia gunakan sebagai ruang kerja lantas berjalan ke kamar tidur. Tanpa mengetuk pintu, pria itu masuk dan melihat Kirey masih pulas tertidur. Segera Akvo membangunkan wanita muda itu. Menyibak selimut, Akvo mengguncang pelan tubuh Kirey.

"Rey, udah baikan? Bangun."

Kirey bergerak sedikit kemudian menggumam, "Apa?"

"Bangun. Makan dulu."

"Tadi udah makan," jawab Kirey, kini posisinya tengkurap.

Akvo berdecak. "Tadi kan, sarapan. Ini makan siang. Buruan bangun. Mandi, kek," perintah Akvo, menarik paksa bantal Kirey sehingga wanita itu mengerang protes.

Menaruh bantal di samping kaki Kirey, Akvo menarik tubuh wanita itu hingga terduduk. "Aku tunggu."

Kirey bangun dengan pelan kemudian masuk kamar mandi. Rasa pusing itu tak dirasakannya lagi, tetapi tubuh lemasnya membuat Kirey bergerak dengan lambat saat membersihkan diri. Setelah selesai dengan aktivitasnya di kamar mandi, Kirey merasa segar dan sedikit kedinginan meski hari sudah siang.

Keluar kamar, Kirey memanggil Akvo. Mendengar sahutan pria itu, Kirey berjalan ke ruang makan dan melihat Akvo menyiapkan makanan di meja kecil. Melihat Kirey datang, Akvo menuntunnya untuk duduk berdampingan.

"Ayo, makan dulu," ajak Akvo.

"Aku masih mu—"

"Makan dulu. Jangan ngelunjak kalo dibaikin," singgung Akvo.

Tak menjawab, Kirey pun menyantap makan siang yang Akvo sajikan. Tanpa bicara, mereka menghabiskan makan siang seraya berkutat dengan pemikiran masing-masing. Kirey menyadari bahwa dirinya harus segera pergi. Mungkin Akvo melakukan ini sebagai kenang-kenangan perpisahan mereka. Kirey pun makan sayur asam dengan penuh penghayatan karena mungkin ia tak akan bersama Akvo lagi.

"Rey, semalem ...."

"Seharusnya aku pergi saat ayam berkokok, aku tau," potong Kirey.

"Bisa nggak sih, kamu dengerin aku dulu dan stop ngomongin ayam orang?!" tegur Akvo, mulai kesal.

Kirey mengerucutkan bibirnya. "Iya, maaf."

"Aku ngerti kamu butuh tempat tinggal. Tapi aku nggak bisa bantu lebih jauh. Kamu bisa tinggal jika ...."

Akvo menggantungkan kalimatnya dan itu membuat Kirey menatap sosok pria di sisi kirinya. "Apa?"

Mengendikkan bahu, Akvo memandang ke arah lain. "Kamu tau, kita nggak bisa tinggal sama-sama tanpa ikatan."

Masih dalam kondisi tak begitu sehat, Kirey berpikir cepat. "Berarti kita harus nikah dulu, dong."

Mata Akvo memandang mata Kirey. "Kamu mau emang?"

Kirey menunduk, hatinya berdebar, lantas menguatkan diri untuk melanjutkan peran. "Kamu tau ... aku sebatang kara, Vo. Selama ini aku terlunta-lunta. Kamu yakin mau nikahin tuna wisma seperti aku?"

Akvo memutar mata. Tangan kirinya meraih dagu Kirey agar wajah mereka berhadapan. "Aku bukan orang yang kamu kenal dulu. Aku udah berubah. Kamu akan kecewa setelah tau kehidupan aku saat ini."

Buru-buru Kirey menangkup tangan Akvo dengan kedua tangannya. "Semua orang berubah, Vo. Tapi ... aku cuma ngeliat ketulusan kamu," Kirey melepaskan tangan Akvo dan memeluk tubuh pria itu, "Aku masih sayang kamu, Vo. Jangan bohongi hati kamu sendiri."

Napas panjang Akvo diembuskan. Ia sudah menebak wanita di hadapannya akan bersikap seperti ini. Dia siap menunjukkan jalan kelam yang ia pilih pada bidadari kesasar ini. Tangan Akvo membelai puncak kepala Kirey.

"Nanti malam, aku ceritain semuanya. Sekarang aku mesti pergi."

Pelukan mereka terurai. Mata mereka saling memandang.

"Beresin ini, ya," perintah Akvo, melihat ke arah meja sebentar, lalu menatap Kirey lagi.

Memberikan senyum manis, Kirey pun mengangguk pelan. Ia menatap kepergian Akvo dan setelah pria itu benar-benar keluar rumah, tawa lirih Kirey terdengar. Wanita yang tak biasa melakukan pekerjaan rumah tangga itu, kini bersemangat membersihkan meja dan merapikan rumah.

Tak mengapa ia tinggal di kontrakan seperti ini. Asalkan statusnya jelas sebagai istri Akvo Lesmana Indar. Kirey tinggal bersabar saja. Jika mereka resmi menikah nanti, Kirey akan membuat Akvo menuruti segala keinginannya.


 

****


 

Pukul tujuh malam, Kirey sudah berdandan cantik hingga wajahnya lebih segar. Ia memakai gaun berbahan brokat dengan warna jingga. Gaun model halter neck membuat bahu dan tangan Kirey yang seputih susu terlihat sempurna. Mendengar suara mobil, Kirey buru-buru menuju ruang tamu dan membuka pintu. Senyum Kirey tersungging kala pria tampan itu keluar dari mobil.       

Dengan kemeja berwarna biru gelap dan celana jeans warna terang, penampilan Akvo yang santai tak mengurangi ketampanannya. Ia menghampiri Kirey dan memberikan senyum kecil.

"Udah siap?"

"Udah. Ayo, berangkat," ajak Kirey, tak ragu memeluk lengan kiri Akvo seperti pasangan muda.

Sedangkan Akvo menahan diri terhadap perilaku wanita di sampingnya. Si Cantik itu tak akan tersenyum lebih lama karena malam ini, Akvo akan membongkar semua sisi kelamnya. Mereka pergi ke sebuah mall untuk makan malam. Selama bersama, baik Kirey maupun Akvo tak ada yang membahas tentang apa yang akan mereka bicarakan nanti.

Kirey yang kini kembali ceria, seakan tak kehabisan ide agar Akvo mau berbicara dengannya. Bahkan sebelum mereka pulang, Kirey dengan berani meminta Akvo menemaninya membeli sepatu baru. Akvo yang kenyang dengan makan malam mereka, tak banyak bersuara ketika menemani Kirey memilih dan membeli tiga pasang sepatu yang harganya cukup menguras dompet pria itu.

Pukul sepuluh malam, mereka tiba di rumah kontrakan Akvo. Menyapa beberapa pemuda yang lewat dekat rumahnya, Akvo pun mengajak Kirey masuk. Di depan kamar tidur, Akvo mengajak Kirey ke ruang kerjanya.

"Aku taruh ini bentar," pamit Kirey sambil menunjukkan belanjaannya.

Di dalam kamar, wanita itu menaruh beberapa paper bag kemudian merapikan penampilannya. Ia kembali menyemprotkan sedikit parfum dan memastikan lingerie telah dikenakan di balik gaunnya. Dengan senyum malu-malu, Kirey keluar kamar.

"Aku siap diajak ke play room," ucap Kirey, beberapa adegan erotis terbayang di kepalanya.

Akvo mengernyitkan kedua alis, tetapi menganggap kata-kata Kirey sebagai angin lalu. Bagi Akvo, Kirey tetap seperti dulu, tidak jelas. Pria itu juga membiarkan Kirey menggandeng tangan kirinya dan tak menghiraukan Kirey yang tersenyum lebar kala mereka menuju ruang kerja Akvo.

Mata Kirey berbinar saat Akvo membuka kunci ruangan itu. Langkahnya seperti melayang, tetapi kemudian bagai dijatuhkan ke bumi karena di dalam ruangan itu hanya ada seperangkat komputer. Kirey memandang Akvo dengan wajah bingung.

"Kamu nggak akan ngerekam kita, 'kan?"

"Ngerekam apaan?" balas Akvo dengan kesal.

Pria itu berjalan ke arah kursi putar dan menatap layar komputer yang tak menyala. "Ini kerjaan aku. Aku broker."

"Hah?"

"Untuk barang-barang yang nggak umum," tambah Akvo.

"Maksudnya?"

"Aku perantara untuk transaksi ilegal. Menerima permintaan orang yang ingin membeli barang-barang dari darknet atau pasar gelap lainnya."

"Oh," lirih Kirey.

Angan Kirey melayang pada saat mereka masih bersama. Jika Kirey ingat-ingat, Akvo memang lebih suka menghabiskan waktu duduk bersama laptop dibandingkan dirinya. Namun, saat itu Kirey sangka pacarnya hanya kecanduan game online saja.

"Kenapa?"

Pertanyaan itu meluncur dari bibir Kirey tanpa wanita itu sadari. Rupanya ini yang ingin Akvo sampaikan? Kirey memang berpikiran kotor. Mungkin mereka akan sedikit melewati batas malam ini, tetapi akan berakhir indah seperti roman picisan pada umumnya. Kenyataannya, Akvo bekerja untuk mafia dan Kirey kini mengetahui sisi gelap pria itu.

Andai Kirey tak sengaja membicarakan hal ini dengan orang lain, wanita itu pasti dihabisi. Kirey harus bagaimana? Tubuhnya lemas seketika.

"Awalnya hanya pelarian, Rey," aku Akvo, lalu berjalan mendekati Kirey yang berdiri kaku, "Tapi kemudian aku menemukan kenyamanan."

"Kamu perantara apa?"

"Banyak," jawab Akvo. Pria itu berbalik badan dan kembali berdiri di dekat kursi. "Barang antik ... curian. Senjata api. Apa saja tapi bukan narkoba atau semacamnya."

"Anak-anak?" tanya Kirey dengan bibir gemetar.

"Nggak, lah. Susah dipaketin."

"Anak gadis gimana?"

Mengerti maksud Kirey, Akvo segera menyanggah, "Aku nggak jual kamu atau manusia lainnya, okay? Jadi perantara karena awalnya aku hacker."

"Ini rumah kontrakan karena ada kalanya aku harus menghilang jika ada keadaan darurat. Aku juga punya kelab malam di Singapura. Di depan Papa, aku bilang ngurus toko perangkat komputer. Toko itu nggak cuma jual hardware, tapi rata-rata yang ke sana butuh jasaku untuk meretas atau lainnya."

Seperti sebuah kelegaan menyeruak. Kirey kini memperhatikan sekitarnya. Ini terlihat seperti ruang kerja biasa dengan beberapa perangkat komputer yang canggih.

"Apa kamu nggak takut ditangkap polisi?" tanya Kirey setelah tahu pekerjaan pria ini melanggar hukum.

"Pernah dipenjara dua hari," jawab Akvo santai.

"Oh." Kirey kehabisan kata-kata.

Akvo kembali mendekati wanita itu dan menyentuh tangan kiri Kirey. "Aku tau, kamu ingin menikah dengan pria baik-baik. Pekerja kantoran ... pergi pagi, pulang sore. Seseorang yang bisa kamu andalkan, live happily ever after."

"Aku ngerti jika setelah ini kamu mau pergi," ucap Akvo mantap.

Kirey menunduk sebentar lantas memandang mata Akvo. "Kamu tau, Vo, aku nggak pernah liat wajah ayah kandungku. Identitasnya aja aku nggak tau. Kalo aku sendiri nggak sesempurna itu, atas dasar apa aku menuntut kesempurnaan dari pasanganku?"

"Aku seharusnya bersyukur karena diajak kamu nikah dan membuat derajatku naik." Kirey memeluk Akvo setelah mengucapkannya. "Bukankah seorang istri sudah seharusnya mendukung suami? Asal itu baik untuk kita, aku nggak keberatan, Vo."

Akvo mengumpat dalam hati. Jika sejak tadi ia menahan diri, kini rasanya Akvo ingin mendorong wanita yang memeluknya sesuka hati. Bukan seperti ini rencananya. Akvo kira, Kirey akan ketakutan dan pergi meninggalkan Akvo untuk selamanya. Pria itu yakin Kirey ingin kehidupan yang sempurna bersama pria idaman tanpa cela.

"Ehm ... aku pulang dulu, Rey."

Tanpa melepas pelukan, Kirey mendongak dan menatap mata Akvo. "Pulang ke mana? Ini rumah kamu," tutur Kirey dengan suara dibuat-buat.

Akvo semakin risi saat Kirey melepas pelukan dan malah mengalungkan kedua tangan di lehernya. Siapa yang ingin tergoda dengan wanita penuh tipu muslihat seperti dia? Buru-buru Akvo melepaskan tangan Kirey dari bahunya dan mundur beberapa langkah.

"Aku pulang ke rumah papaku. Liat kan, di depan tadi, tetangga udah jagain kita biar nggak macem-macem," pungkasnya lalu melewati Kirey begitu saja.

Kirey kebingungan karena sejak awal Akvo melarangnya mendekati ruangan ini, tetapi sekarang pria itu bersikap tak peduli jika Kirey masih berada di dalam sini. Langkah Kirey dipercepat mengikuti Akvo. Ia memanggil pria itu, tetapi Akvo tak mengindahkan dan segera masuk mobilnya.

Setelah mobil Akvo berlalu, Kirey menutup pintu dengan tawa kecil yang lolos. Hati Kirey tentunya berbunga-bunga. Dari apa yang Akvo ucapkan, Kirey dapat menangkap kesimpulan bahwa pria itu bukan hacker kelas teri. Jika sisi kelamnya sudah Akvo jalani sejak mereka masih bersama, tentunya Akvo juga sudah mendapatkan hasil yang banyak dari pekerjaannya.

Rumah ini disewa agar Akvo mudah berpindah tempat, 'kan? Lalu apa tadi ... kelab malam di Singapura? Kirey paham benar seberapa kaya mantan kekasihnya. Bodoh sekali jika Kirey meninggalkan pria itu untuk kali kedua.


 

****


 

Mendengus marah, Akvo menggeliat di tempat tidurnya ketika pintu kamar diketuk berulang kali dan suara ayahnya membuat gaduh. Tepat ketika Akvo menyibak selimut, Gagas masuk. Pria itu berjalan ke arah ranjang di mana anaknya masih meringkuk.

Sedangkan Akvo menatap kesal luar biasa pada ayahnya. Orang tua itu pikir, Akvo anak SD yang harus dibangunkan? Di mana Gagas saat Akvo butuh figur seorang ayah? Selama ini Akvo seperti hanya mengenal seorang ibu dengan suaminya.

"Apaan sih, Pa?!"

"Ayo, siap-siap. Ikut Papa ketemu relasi. Ada tawaran ekspor dari orang Hong—"

"Pa—" potong Akvo, "—Ngaco banget sih, pake bangunin aku nyuruh kerja."

"Vo, kamu belajar dong, tangani perusahaan. Kalo bukan kamu, siapa lagi? Nggak mungkin Papa minta tolong Zio."

Akvo berdecak. "Aku punya toko."

"Tau, tapi apa kamu juga serius sama usaha kamu? Jam segini aja masih di rumah."

Semakin kesal Akvo saat ini. Ayahnya tak pernah tahu jika toko peralatan komputer yang Akvo miliki hanya tempat untuk menutupi pekerjaan pria itu yang sebenarnya. Akan tetapi, di saat seperti ini, rasanya mulut Akvo gatal untuk memberitahu bahwa dirinya mendapatkan uang berlimpah tanpa harus melakukan rutinitas seperti sang ayah.

"Aku ke sana nanti. Ada pegawai yang jaga."

"Memiliki pegawai bukan berarti lepas tangan. Kamu ke sana juga sebagai contoh pegawai kamu bahwa kamu bertanggung jawab sama usaha yang kamu kelola."

Tiba-tiba Akvo merasa tergelitik. "Tanggung jawab? Papa tau apa tentang tanggung jawab? Kalo Papa tanggung jawab, mamanya Zio nggak akan meninggal. Mamaku bisa selamat jika saja penyakitnya Papa ketahui lebih awal."

Gagas terdiam. Kata-kata putranya bagai menyiksa pria itu berulang kali. Jangankan Akvo, Gagas bahkan masih belum memaafkan dirinya sendiri. "Nggak perlu kamu ngasih tau. Papa ngerti di mana letak kesalahan Papa. Tapi Papa berusaha memperbaikinya di sisa hidup Papa."

Pria paruh baya itu berbalik badan dan berjalan ke arah pintu. "Papa berangkat dulu. Ketemu di kantor."

Setelah Gagas keluar dan pintu tertutup, Akvo mengumpat beberapa kali. Masih pagi dan perasaannya begitu kacau. Hampir dua malam ia kesulitan tidur lantaran memikirkan Kirey yang masuk kembali dalam hidupnya. Akvo tak ingin memandang wajah memesona wanita itu. Namun, Kirey setiap hari menghubungi Akvo agar pria itu membiayai kehidupannya. Memang tak seberapa. Hanya saja, Akvo tak ingin itu menjadi kebiasaan dan pria itu menyukainya.

Ide baru muncul begitu saja saat ingatan tentang Kirey dan kedatangan sang ayah pagi ini di kamarnya. Pria itu buru-buru ke kamar mandi dan bersiap menjalankan rencana selanjutnya. Tak butuh waktu lama, Akvo sudah rapi dan pergi ke ruang makan untuk sarapan. Hanya butuh lima belas menit, Akvo pun meninggalkan rumah dan menuju perusahaan ayahnya.


 

****


 

"Setiap barang yang dijual tentu punya resiko untuk dipalsukan. Sisi baiknya, barang-barang yang dipalsukan hanya yang memiliki nilai jual tinggi dan permintaan pasar yang banyak. Tapi, orang-orang jaman sekarang semakin sadar hukum. Mereka mungkin hanya meniru, jarang yang terang-terangan memalsukan. Masyarakat juga tidak bisa diremehkan. Mereka mengerti mana barang asli dan tiruan, pastinya kita tekankan edukasi melalui iklan," papar Akvo dalam bahasa mandarin.

Pria yang mengenakan jas biru gelap itu tersenyum puas. "Saya suka semangat kamu. Kita akan atur pertemuan berikutnya untuk kerja sama."

Kini klien baru Gagas memandang pemilik perusahaan. "Tadinya saya ragu dengan tawaran kerja sama kita. Tapi melihat kualitas barang dan cara pandang kalian dalam berbisnis, saya merasa senang jika kita bisa menjadi partner."

Akvo menerjemahkan pernyataan klien mereka pada ayahnya. Mendengar itu, Gagas tersenyum puas. "Terima kasih atas kepercayaan Anda, Tuan Lee. Saya tunggu pertemuan kita berikutnya."

Setelah menutup meeting, Akvo dan ayahnya masih menemani klien mereka dari Hongkong untuk makan siang. Lewat pukul satu siang, jamuan makan mereka usai dan Gagas kembali mengajak putranya ke kantor. Di tengah perjalanan, Gagas menegur putranya yang diam jika mereka sedang bersama.

"Makasih udah bantu Papa," ucap Gagas tulus. Merasa Akvo tak meresponnya, pria itu menepuk pelan paha kiri Akvo. "Mikirin apa?"

"Hah? Ya." Akvo gelagapan. "Aku ... sebenernya aku ada masalah. Ehm ... bukan masalah, sih, ada hal yang mau aku sampaikan."

"Apa?" tanya Gagas. Pria itu merasa senang jika Akvo mengajaknya bicara.

"Aku punya pacar, Pa. Kita pengin serius."

"Menikah?"

"Ya ... gitu, deh."

Gagas memandang ke arah depan. "Kenapa kamu nggak atur pertemuan Papa dengan orangtuanya?"

"Dia nggak punya orangtua lagi. Miskin juga. Makanya aku bingung."

Gagas menoleh ke arah kanannya. "Apa hubungannya nggak punya orangtua dan miskin, bikin kamu bingung?"

"Takut Papa nggak kasih restu," jawab Akvo seraya menatap mata ayahnya.

"Makanya ajak dia ke rumah biar Papa nilai."

"Kalo nanti malam gimana?" tawar Akvo.

Gagas mengangguk setuju. "Boleh. Papa telepon Vika biar ...."

"Jangan," cegah Akvo. "Ehm ... aku kuatir dia minder, Pa. Nanti aja kalo Papa setuju."

Akvo berharap sebaliknya. Jika ada saudara seayahnya datang beserta istri pria itu, rencana Akvo tak mungkin berjalan mulus. Akvo pun menceritakan sedikit tentang Kirey dan berharap Gagas enggan pada wanita itu nanti.

Setelah tiba di rumahnya, Akvo segera menggunakan mobil pribadinya untuk menemui Kirey. Hampir satu jam lebih Akvo menempuh perjalanan dan akhirnya sampai di rumah yang ia sewa. Mengetuk pintu agak lama, Akvo mendapati Kirey hanya memakai kaus kebesaran yang menunjukkan kaki jenjangnya. Wajah Kirey terlihat mengantuk.

"Rey, jangan pake gini doang. Kalo yang dateng bukan aku gimana?" tegur Akvo saat mengekori Kirey masuk rumah.

"Aku abis bobo karena capek bersihin rumah. Kamar kamu panas." Kirey duduk di sofa sambil menangkup wajahnya.

Mata Akvo tak lepas dari kedua kaki jenjang Kirey. "Cari sesuatu buat nutupin kaki kamu."

Kirey menurunkan tangannya. Menoleh ke belakang punggungnya, Kirey mengambil bantal kursi untuk menutupi kedua paha putihnya.

"Maksud aku, pakai celana dulu, Rey."

Kirey memukulkan bantal itu pada dada Akvo. "Bawel banget, sih! Kamu ke sini cuma mau bilang itu doang? Ganggu orang tidur aja." Kirey menyandarkan punggung lalu menopang wajah mengantuknya dengan tangan.

Kaus Kirey semakin terangkat. Di tengah siang yang terik, Akvo justru disuguhi pemandangan kaki Kirey yang putih mulus dan terpampang jelas. Pria itu diganggu pikiran kotor untuk melihat lebih jauh pangkal paha wanita di sampingnya. Napas kasar Akvo diembuskan lalu kembali memukulkan bantal di tangannya ke wajah Kirey hingga wanita itu terkejut.

"Sadar! Ini bukan rumah kamu," ucap Akvo dengan kesal.

Kirey menegakkan cara duduknya agar Akvo tak kian marah padanya.

"Nanti malem ketemu papaku kalo masih mau kita nikah."

"Apa?!"

Akvo memandang Kirey dengan jengkel. "Jangan teriak sama aku."

"Ih, aku kaget. Ketemu Papa kamu, ya ampun ..., aku belom ke salon. Ah ... camer," ujar Kirey dengan menyatukan tangan di depan dadanya.

Kirey bergeser. "Baju aku jelek, Vo. Mending beli di mana ya, kita?"

Akvo menahan kekesalannya. Tangan kiri pria itu meraih lengan Kirey hingga mereka berhadapan. "Jujur depan papa aku nanti."

Senyum Kirey surut. Ia mulai takut. Apa ia akan diterima? "Kalo papa kamu nggak suka gimana?"

Itu harapan Akvo. "Bukan urusan aku," ucap Akvo dengan nada dingin sambil melepaskan pegangannya dari lengan wanita itu. "Aku jemput kamu jam tujuh malem."

"Eh, Vo! Akvo!" panggil Kirey yang tak dipedulikan pria yang mengenakan kemeja kerja itu. "Masa kamu nggak mau memperjuangkan cinta kita? Kenapa dalam hubungan ini aku yang berusaha? Akvo!"

"Ih, ngeselin," gerutu Kirey.


 

*****


 

Kurang dari pukul tujuh malam, mobil Akvo sudah terparkir di depan rumah sewaannya untuk menunggu Kirey. Akvo membunyikan klakson dan tak lama Kirey keluar rumah dengan terburu-buru.

"Lama banget, sih," gerutu Akvo.

Kirey menutup pintu mobil di sampingnya. "Kamu bilang jam tujuh. Ini kan, baru jam tujuh kurang sepuluh menit. Mana aku belum pakai parfum lagi," ungkap Kirey.

Tak menghiraukan, Akvo segera memacu kendaraan beroda empat itu menuju rumah orangtuanya. Dalam perjalanan, Kirey yang begitu antusias menanyakan banyak hal mengenai keluarga Akvo. Meski pernah bertemu ibunda Akvo dulu, Kirey masih saja tertarik dengan keluarga calon suaminya.

Saat tiba di rumah orangtua Akvo, Kirey tak melepas senyumnya. Dengan gaun berwarna putih sepanjang lutut, Kirey berjalan anggun di sisi kiri Akvo. Kala pintu rumah terbuka, Kirey menjumpai pria paruh baya dengan kulit putih dan wajah ramah.

Akvo mengenalkan Kirey. "Ini Kirey, Pa."

Tangan Kirey terulur dan ia menyapa, "Om Gagas apa kabar?"

"Baik," balas Gagas. "Kena macet?"

"Nggak, Om."

"Ayo, masuk," ajak Gagas yang lebih dulu masuk rumah.

Sementara itu, Akvo mengikuti ayahnya dan Kirey sudah berani menggandeng tangan kiri pria itu. Mereka segera menuju ruang makan untuk makan malam bersama. Wajah Kirey berbinar kala melihat hidangan lezat. Selama di rumah Akvo, ia hanya diberi uang yang tak banyak oleh Akvo sehingga harus berhemat.

"Makan yang banyak, jangan malu-malu," ucap Gagas.

Kirey memberikan senyum manisnya. "Iya, Om."

Kirey tak takut kegemukan dan tak akan keberatan makan banyak. Jika bisa, ia ingin membawa pulang beberapa makanan tersebut. Tanpa malu-malu Kirey menerima setiap kali Gagas menawarkan lauk hingga pencuci mulut.

Sedangkan di mata Gagas, wanita yang dibawa Akvo menarik simpatinya. Selain sopan dan lemah lembut saat bicara, Kirey bersikap apa adanya. Ayahanda Akvo menyukai hal-hal kecil dari Kirey seperti tak segan memuji masakan asisten rumah tangga, jujur dirinya tak dapat memasak seperti itu, dan ia masih percaya diri dengan menceritakan hal lain yang bisa ia lakukan.

"Tapi kamu masih ada saudara, ‘kan?" tanya Gagas lalu meneguk air putih.

Kirey mendadak enggan menyantap cheese cake yang baru dihabiskan setengahnya. Dengan menunjukkan senyum manis, Kirey menatap lurus ke arah Gagas. Tanpa takut ia akan dibenci atau bahkan ditolak, ungkapan jujur meluncur dari bibir merah Kirey.

"Terus terang, hingga detik ini, saya nggak tau siapa ayah kandung saya, Om. Mama single parent  hingga saya berusia sepuluh tahun. Ketemu dengan Pak Joanar Abraham lalu menikah. Saya anggap Pak Joanar ayah saya hingga beliau tutup usia."

Kedua tangan Kirey di atas pangkuannya. Benar-benar tak ada niat menghabiskan potongan dessert di hadapannya. "Setelah Papa meninggal, Mama sakit dan nggak lama, nyusul Papa. Hubungan saya dengan saudara tiri nggak berjalan dengan baik, Om. Dia masih saja menganggap saya dan Mama telah merampok separuh hidupnya."

Mata Kirey melirik Akvo di sampingnya sebelum menatap Gagas kembali. "Seperti yang saya ceritakan tadi, saya emang pengangguran, Om. Sampai akhirnya ... ketemu, terus Akvo ngajak serius."

Mendengar kalimat terakhir Kirey, Akvo menahan diri untuk tidak mencibir. Ide menikah itu juga karena mereka disangka tinggal bersama oleh warga. Akvo mengabaikan pemikirannya dan mencermati wajah ayahnya. Masih Akvo ingat bagaimana ia menghasut kedua orangtuanya untuk tak merestui hubungan saudara seayahnya dengan wanita yang tak sederajat dengan mereka. Sementara Kirey jauh lebih parah karena asal usulnya saja tidak jelas.

"Pernah dengar istilah 'menikah dengan seseorang berarti juga menikahi seluruh keluarganya'?"

Kirey mengangguk pada pertanyaan Gagas.

"Kamu merasa nggak punya keluarga setelah ayah tiri dan ibu kamu meninggal. Menikah bisa jadi kesempatan bagi kamu untuk membentuk keluarga baru."

Mata Kirey melebar dan binar bahagia memancar dari sana. Ia sangka, masa lalunya membuat Gagas enggan menerima wanita itu sebagai menantu. Namun ternyata, Gagas seperti menerima Kirey sebagai bagian dari keluarga.

"Akvo udah nggak punya ibu. Tapi kakak iparnya udah nganggap Akvo adiknya sendiri. Dia pasti bantuin kamu ngurus persiapan pernikahan kalian nanti," yakin Gagas dengan senyum kecil di wajah bahagianya.

Kirey bagai meninggalkan bumi. Senyum lebarnya terulas dan menoleh ke arah Akvo di sisi kanannya. Tak dipercaya, di balik hidup wanita itu yang awalnya terlihat sulit, ternyata menyimpan banyak kemudahan.

Sementara Akvo bagai jatuh dalam lubang di bawah kursi yang ia duduki. Pria itu tak mengenali sekitarnya. Apa yang telah terjadi? Gagas Indartono yang biasanya membuat jarak dengan orang-orang baru, kini dengan mudah membuka tangan untuk Kirey. Kakak iparnya saja harus melalui banyak hal agar diterima Gagas sebagai istri dari putra pertama Gagas.

Akvo tak fokus pada percakapan ringan mereka. Tawa dan obrolan akrab antara ayahnya dengan Kirey jelas Akvo tangkap. Bukan ini yang Akvo inginkan. Seharusnya Gagas menolak atau bahkan menghina Kirey karena statusnya. Bukan malah senang mendengarkan Kirey kala mengungkapkan pernikahan impiannya.

****


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 3 - Foxy and the Beast
3
0
Ada beberapa bab GRASTIS di KaryaKarsa. Untuk bab terkunci adalah bab bonus atau tidak pernah tayang di Wattpad. Happy reading ❤
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan