
Pernah melihat sesajen berupa Indomie Goreng?
Belum pernah?
Well, ternyata ada dan begini cerita mengerikan sekaligus menyentuh di baliknya.
Jika boleh memilih, mungkin tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang bersedia menjadi penjaga makam. Sayang, Sugeng bukan salah satunya yang punya hak istimewa tersebut. Setelah upayanya bertahun-tahun merantau di kota besar gagal dan sudah tidak ada keluarga utama lagi tempat ia pulang, beruntung masih ada seorang pakde yang keluarganya sudah turun-temurun menjadi penjaga makam Desa Waringit, bersedia menampung dan menawarinya pekerjaan sebagai penjaga makam.
Malam pertama Sugeng menjadi penjaga makam bertepatan dengan bulan purnama yang berpendar terang. Seharusnya menjadi pertanda yang baik. Setidaknya, begitu pikirnya sebagai sugesti semangat kerja. Sehelai sarung melingkari tubuhnya, berjaga-jaga jika angin malam semakin tak terbendung. Setelah mengelilingi satu putaran kompleks pemakaman umum yang mayoritas dihuni oleh keluarga-keluarga kaya, Sugeng memilih beristirahat sejenak di depan sebuah makam dengan bak batu besar. Ia duduk di tepi bak batu sambil merebahkan kedua tangannya. Ketika menoleh ke arah kepala nisan, tatapannya tertuju pada sepiring Indomie Goreng yang masih utuh di atas tanah kubur. Di sekitarnya bertabur bunga tujuh rupa yang masih segar dan tiga batang dupa yang masih berasap.
“Wah, pucuk di lapar, makanan tiba! Punya siapa ini ya?" celetuknya penasaran sekaligus mupeng.
Ia memperhatikan Indomie Goreng itu lebih seksama. Dilema untuk memakannya atau tidak.
“Ah, bodoamat. Udah lapar ini. Emang bakal gimana-gimana sih kalau dimakan?” selorohnya lebih lanjut.
Segera dipungutnya piring berisi Indomie Goreng itu dan mulai menyantapnya dengan lahap.
Tak lama kemudian tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang.
“Heh, kenapa dimakan? Itu kan sesajen buat Ndoro Arif. Ntar kualat kamu!” hardik seorang pria paruh baya bertubuh tambun.
“Aduh, Pakde bikin kaget aja. Emang kenapa sih Ndoro Arif dikasih sesajen Indomie Goreng? Ada-ada aja!”
“Itu keluarganya yang minta, Geng. Jadi dulu tiap malam Jumat Legi, weton waktu Ndoro Arif meninggal, warga sekitar sini suka digangguin sama penampakan Ndoro Arif. Anak-anak dibikin rewel, dapur-dapur diobrak-abrik, dan anehnya persediaan Indomie Goreng selalu lenyap gitu aja,” Pakde menjelaskan dengan sabar.
“Terus?”
“Terus kami sampaikan ke keluarganya. Akhirnya pihak keluarga menitipkan persediaan Indomie Goreng buat dijadikan sajen tiap malam Jumat Legi,” lanjut Pakde.
“Kenapa harus Indomie Goreng, Pakde?” tanyanya penasaran, tapi masih belum berhenti mengunyah.
“Ya mana saya tahu. Kami sebagai penjaga makam mah cuma mengikuti permintaan keluarga,” jelas Pakde bijak.
“Oh, begitu. Ya Pakde nggak wanti-wanti dari tadi. Mana saya tahu? Udah keburu saya makan duluan,” ngeles Sugeng.
“Ya udah, taruh sana sisanya. Nuhun sewu sama Ndoro Arif!” perintah Pakde.
Sugeng meletakkan piring secara perlahan kembali ke atas tanah kuburan seolah masih belum sepenuhnya rela sembari masih mengunyah mie yang ada di mulutnya.
“Lho lho… Pakde… Kok tiba-tiba lidah saya jadi mati rasa gini?” pekiknya sambil mengecap dengan lebih kencang.
Tak lama kemudian keseluruhan mulutnya menjadi kaku, diikuti rahangnya yang turut tak bisa digerakkan.
“Waduh, Ndoro Arif sudah murka ini. Buruan nuhun sewu!” perintah Pakde dengan panik.
“Nu-… hun… se-… wu…, Ndo-… ro…!" ujarnya dengan sisa-sisa usaha yang masih bisa ia ucapkan.
Seketika rahangnya sudah bisa digerakkan ke samping.
“Ayo, Geng. Kita pergi dari sini! Sebelum Ndoro Arif makin marah sama kita," seru Pakde memburu-buru Sugeng.
Keduanya kemudian lari tunggang-langgang meninggalkan makam.
***
Malam kian larut, tak menyurutkan cahaya bulan purnama yang makin kuat menerangi area pemakaman umum. Keheningannya tiba-tiba terpecah oleh desahan napas seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun. Ia tampak lari tunggang-langgang dengan masih mengenakan kaos singlet dan celana pendek tanpa alas kaki. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti. Pipi kirinya lebam.
Ketika melewati pintu gerbang pemakaman umum, langkahnya terhenti sejenak. Ia lantas melangkahkan kakinya masuk ke dalam kompleks pemakaman dengan harapan tidak ada yang berani ikut masuk.
Sesampainya di depan sebuah makam dengan bak nisan besar, ia memutuskan untuk duduk di tanah dan bersandar ke sisi samping bak batu makam sambil mengatur napas. Setelah benar-benar tenang, ia terdiam agak lama. Matanya mulai terasa lelah dan akhirnya tertidur juga. Tiba-tiba ia merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Ia pun terbangun dan terkesiap hingga hampir membangkitkan diri.
“Jangan takut. Kamu aman di sini,” terdengar suara bernada ramah yang keluar dari seorang anak. Kurang lebih seusia dengan dirinya.
“Ka-… kamu… siapa?” tanyanya dengan terbata-bata karena ketakutan.
“Nama saya Budi. Kamu siapa?” nadanya masih terdengar ramah.
“Saya… Angga… Anggakara…," jawabnya masih diliputi keraguan.
“Hai, Angga. Kamu kelihatannya capek banget. Duduk aja, nggak apa-apa kok,” Budi mempersilakan Angga duduk di tepian bak batu makam setelah dirinya duduk terlebih dahulu.
Angga menurut. Ia sudah terlihat sedikit lebih tenang.
“Muka kamu kenapa? Siapa yang melakukannya?” tanya Budi sambil memicingkan mata, mengamati tiap sudut wajah Angga. Ia hanya terdiam dan menundukkan kepala.
“Kenapa kamu lari? Siapa yang ngejar kamu?” Budi semakin penasaran.
“Ba-… Bapak…," jawab Angga dengan sedikit lebih yakin.
“Memangnya kenapa? Kamu nakal?”
Angga menundukkan kepala dan kemudian menggeleng.
“Aku cuma tidur. Bapak tiba-tiba bangunin dan mukul,” jelasnya sambil mencoba menahan isak.
“Bapak sering pulang marah-marah dan mukulin aku,” napasnya makin tersengal-sengal seiring dengan tangis yang kian tak terbendung.
“Astaga. Kamu pasti capek. Ini kamu makan dulu aja,” tawar Budi dengan lembut sambil menyodorkan sepiring Indomie Goreng yang ada di atas tanah kubur.
Angga melirik dan meraih piring tersebut perlahan.
“Udah, makan aja. Bersih kok," ujar Budi meyakinkan.
Angga mulai memungut garpu dan menggulung beberapa helai mie kemudian memasukkannya ke dalam mulut.
“Enak kan? Itu favorit aku. Habisin ya!” Budi mengembangkan senyum, ikut duduk di samping Angga, dan mengelus punggungnya.
Angga menyantap Indomie Goreng dengan lahap. Ketika ia mengangkat garpu yang menggulung mie, asap mulai menyembul, menyebarkan aroma gurih khas Indomie ke sekitar makam. Bunyi kriuk yang berasal dari bawang goreng terdengar jelas dari kunyahan Angga.
“Kakak suka Indomie Goreng juga?” Angga basa-basi bertanya di sela-sela mengunyah.
Budi tersenyum.
“Suka banget. Dulu hampir tiap hari Kakak makan itu,” Budi memulai ceritanya.
“Tapi Bapak marah kalau ap Kakak makan tiap hari. Katanya nggak sehat. Padahal kan itu sebenarnya cuma isu. Buktinya Kakak masih sehat-sehat aja. Toh Kakak juga masih makan yang lain juga."
Angga terpaku mendengarkan cerita Budi.
“Bapak Kakak galak juga?” tanya Angga penasaran.
“Sebenarnya maksud Bapak baik. Kakak tahu kok kalau dia tuh sayang banget sama Kakak. Tapi kadang-kadang sikapnya terlalu keras sampai-sampai…” Budi tiba-tiba kehilangan kata-kata.
“Sampai-sampai nggak sadar dia melukai Kakak,” Budi akhirnya melanjutkan tapi kali ini terdengar terbata-bata, menahan tangis.
Angga spontan meletakkan piring yang sudah kosong ke atas tepi bak batu nisan dan memeluk tubuh Budi. Ia sempat merasakan tubuh Arif yang sangat dingin tapi berusaha mengabaikannya.
“Jadi Kakak…”
Budi mengangguk.
“Bapak mengurung Kakak berhari-hari. Ketika dibuka lagi, Kakak sudah…” lanjut Budi sambil sesekali menarik napas dalam-dalam.
“Dia menyesal tapi semua sudah terlambat,” pungkas Budi mengakhiri ceritanya.
Budi melepaskan pelukan Angga dan memegang kedua pundaknya.
“Kamu harus berani, Angga,” seru Budi dengan mantap. Angga mengangguk.
Angga memejamkan mata dan setetes air keluar dari sela-sela bulu matanya hingga jatuh ke punggung Budi. Tubuh Budi tiba-tiba menghilang tanpa bekas begitu saja. Angga bangkit berdiri dari sisi makam bertuliskan ‘Arif Budiman Susastro - Lahir 10 April 1990 - Wafat 8 Juni 2000’ dan berjalan meninggalkan kompleks pemakaman.
***
Angga melangkah perlahan menuju beranda depan sebuah rumah besar dan mewah. Persis di depan pintu, ia mengetuk tiga kali dengan perlahan. Tak lama, sesosok pria separuh baya mengenakan piyama muncul membukakan pintu.
Angga mengangkat kepalanya yang tadinya menunduk. Tatapannya berbinar dan mengembangkan senyum.
“Hai, Bapak!” sapanya dengan penuh kerinduan.
“Kamu… kamu… Arif?” Bapak memastikan, karena meski wajahnya bukanlah wajah mendiang anaknya, tapi ia masih sangat mengenali suara Arif. Putra kesayangannya itu telah kembali ke dalam pelukannya.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
