
Jenita tak akan bisa mengerti mengapa sang papa yang begitu dihormati dan ia sayangi, tega berkhianat pada sang mama.
Lalu ketenangan di rumahnya perlahan memudar. Berganti tangis pilu dari sang mama. Dan pertikaian kedua orang tuanya.
Waktu berjalan cepat. Saat Jenita tengah jatuh cinta pada seorang pemuda yang selalu menemaninya saat duka mendera, ternyata sang pemuda lebih memilih gadis lain.
Gadis yang ternyata adalah anak dari wanita lain sang papa.
Batinnya kian menjerit pilu saat sang papa justru...
Bab 1
Jenita paham, sejak ia meninggalkan negara tempat dirinya dilahirkan dua belas tahun silam, hari ini pasti akan tiba.
Hari di mana ia terpaksa kembali ke tempat di mana luka-luka hatinya ia peroleh.
Burung besi yang membawanya terbang dari Sydney, mendarat dengan sempurna di Soekarno Hatta. Langkah kakinya terayun berat, seperti ada ribuan batu yang menggelayut di sepasang kaki jenjangnya. Menarik napas sebanyak mungkin yang ia mampu, lalu mengembuskannya perlahan, Jenita mencoba mengontrol emosinya. Sedih bercampur marah, juga kecewa masih saja membayanginya kala teringat wajah-wajah mereka yang telah menggoreskan sembilu bernanah bertahun silam. Dua belas tahun sudah. Luka tersebut tersimpan rapat, di dasar hatinya. Dan entah sampai kapan luka tersebut akan bersemayam di sana. Menggerogoti akal sehat dan hatinya, hingga membuat air mata Jenita terkuras. Ya, karena merekalah, Jenita harus merasakan perihnya hidup tak berkesudahan.
Sopir yang menjemput Jenita sudah menunggu dengan sebuah papan nama bertuliskan nama wanita itu. Tanpa menunggu waktu, Jenita segera mengikuti sang sopir menuju mobil yang akan membawanya ke suatu tempat.
Sepanjang perjalanan, Jenita lebih banyak diam. Tatapannya kosong, terlempar jauh pada pemandangan di luar mobil yang sama sekali tak menarik perhatiannya. Isi kepalanya terlalu penuh memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi beberapa jam kemudian. Atau bahkan menit.
"Mbak Jenita." Suatu sore, satu-satunya orang yang ia percaya selain Paman dan Bibinya di Sydney sana, dan juga adalah orang kepercayaan sang papa menghubungi dirinya. Tetapi suara lelaki itu terdengar cemas, tidak seperti biasanya. Membuat Jenita yang kala itu tengah mengaduk kopi hitam, seketika menghentikan gerakan tangannya.
"Ya, Bang Tian?"
"Mbak Jen tahu kan, selama ini saya tidak pernah membeberkan apa pun yang berkaitan dengan masa lalu Mbak Jenita?”
Jenita sebetulnya tidak mengerti arah bicara lelaki berusia awal empat puluh itu. Setelah berpikir beberapa lama, akhirnya ia menjawab, "ya, Bang. Ada apa sebenarnya? Jangan membuat saya cemas."
"Bapak koma ... apa Mbak Jenita bisa pulang segera?" Lelaki itu terdiam sejenak. "Tolong ... demi Bapak, Mbak Jen. Saya takut Mbak akan menyesal jika Bapak dipanggil lebih dulu oleh Tuhan, sebelum Mbak sempat bertemu beliau."
"Saya tidak bisa." Jenita dengan tegas menolak. Sang Papa adalah salah seorang dari penyebab lukanya belasan tahun silam. Mendengar pria tua itu sekarat sejujurnya memberikan euforia tersendiri untuk hatinya. Meski tidak memungkiri, di sudut hatinya yang lain terasa tercubit mengasihani pria tua itu.
"Tolong, Mbak Jen. Anggap saja saya sedang meminta balas budi atas semua yang sudah saya lakukan pada Mbak dan Ibu Anita."
Telak.
Butuh waktu beberapa hari bagi Jenita untuk membuat keputusan. Memilih pulang, yang itu artinya, besar kemungkinan akan bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Atau mengabaikan permintaan Tian tersebut, yang sama saja artinya ia tidak memedulikan sang papa yang terbaring sakit.
Hingga suatu sore, ia kembali dihubungi oleh Tian, lelaki itu mengabarkan sang papa mengalami penurunan fungsi jantung beberapa kali. Ya, meski masih menggenggam beribu rasa kecewa pada sang papa, akhirnya Jenita memutuskan untuk pulang. Karena jauh di sudut hatinya sana, ia masih menyayangi pria yang berusia awal enam puluh itu.
"Bu, sudah sampai." Suara berat sopir berhasil menyentak Jenita dari lamunan.
"Oh, sudah ya, Pak?"
"Sudah, Bu."
"Kalau begitu, terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
Jenita terdiam sejenak di depan lobi, sebelum benar-benar masuk ke dalam area Rumah Sakit, untuk kembali mengatur segala emosinya. Rumah Sakit yang ia pijak saat ini memiliki kenangan yang juga buruk baginya. Tetapi Jenita mencoba untuk menepis ingatan itu. Ia tidak ingin menjadi gila di saat ia harus menyelesaikan tujuannya kembali ke Indonesia. Yakni, menemui sang papa untuk kali terakhir.
Setelah merasa cukup tenang, Jenita melanjutkan langkah yang kali ini tidak seberat sebelumnya. Ia menyugesti diri, jika semua akan baik-baik saja.
.
.
Usai meminta informasi singkat mengenai ruangan tempat papanya dirawat, Jenita melangkah pasti menuju ruangan tersebut.
Sekelebat bayangan masa lalu kala mengantar sang mama ke Rumah Sakit itu sedikit membuatnya hampir tumbang. Tetapi sekuat tenaga, Jenita mencoba menghalau. Ia harus kuat. Ia tidak boleh lemah di hadapan orang-orang dari masa lalunya.
Lift yang membawanya ke lantai tiga berdenting dan detik berikutnya terbuka. Hanya Jenita seorang diri yang berada di sana, sehingga ia lebih leluasa meninggalkan kotak besi itu.
Sekali lagi, wanita yang sore ini mengenakan gaun sederhana di bawah lutut, mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Sangat pelan bahkan, seolah tidak ingin mengakhiri kegiatan tersebut.
Sepasang kaki berbalut flat shoes itu akhirnya kembali melangkah. Tiba di depan Nurse Station, Jenita kembali memastikan keberadaan sang papa. Setelah mendapat jawaban dari salah satu suster yang bertugas di sana, wanita itu melanjutkan langkah kembali.
Hatinya kian bertalu kencang kala langkah kakinya semakin mendekat pada ruangan di mana sang papa terbaring di sana. Terlebih, saat sepasang maniknya mendapati sosok yang enggan ia temui, berada di salah satu bangku penunggu. Duduk dengan wajah tertunduk, seolah lantai yang lelaki itu pijak lebih menarik dari apa pun. Sebastian, lelaki yang memintanya datang ke rumah sakit tersebut, berada di samping lelaki yang sangat enggan ia temui.
Hampir.
Hampir saja, Jenita memutar balik langkahnya, saat suara berat Sebastian yang akrab dipanggil Tian menyerukan namanya."Mbak Jenita."
Sebastian melangkah pelan ke arah Jenita sembari tersenyum tipis, seperti biasa.
Jenita berusaha untuk menampilkan senyum, demi kesopanan. Tapi entahlah, yang ia rasakan justru sebuah tarikan kaku di bibirnya.
"Bang Tian."
"Akhirnya sampai juga ke mari." Tian mengulurkan tangannya, "bagaimana perjalanannya?"
Menyakitkan, harus kembali kemari, Bang. Batin Jenita.
"Lan-lancar, Bang." Jenita menyambut jemari Tian.
"Mari, saya antar ke dalam." Tian dengan sopan dan ramah mempersilakan Jenita.
Sekali lagi, Jenita berusaha mengontrol emosinya. Kehadiran lelaki yang enggan ia temui itu, entah mengapa berhasil memantik bara amarah di dada wanita itu. Amarah yang sudah coba ia padamkan selama belasan tahun. Seharusnya sudah musnah. Tetapi melihatnya duduk di depan kamar perawatan sang papa, membuatnya berkobar kembali.
Laki-laki tidak tahu diri!
"Jenita." Suara itu.
Suara itu dulu menjadi suara terindah yang ingin Jenita dengar setiap akan memasuki alam mimpi atau saat pertama kali ia membuka mata di pagi hari. Kini mendengar laki-laki itu menyebut namanya dengan nada biasa, seolah di antara mereka tidak pernah terjadi sesuatu, membuatnya bak tertusuk ribuan anak panah tak kasat mata.
Memejamkan mata sejenak, ia hanya menghentikan langkah tanpa mau memandang lelaki itu. Terpaksa berhenti tepatnya, karena lelaki itu berdiri tepat di depan Jenita.
"Jen, kamu datang?"
Pertanyaan basa-basi. Jenita berdecih dalam hati. Jika tidak ingat saat ini mereka berada di rumah sakit yang membutuhkan suasana kondusif, sudah pasti satu tamparan akan ia hadiahkan pada lelaki bernama Elang Bimantara itu beserta rentetan makian tentunya.
"Jangan halangi jalan saya!" Datar dan dingin Jenita berbicara. "Kita tidak memiliki kepentingan apa pun. Dan saya juga tidak ingin berbicara denganmu!”
"Mas Elang, tolong biarkan Mbak Jenita bertemu Bapak lebih dulu." Sebastian segera bertindak sebagai penengah sebelum suasana kian memanas. Ia paham akan kemarahan yang dirasakan Jenita. Puteri dari atasannya, yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
Elang tidak punya pilihan. Lelaki itu perlahan menggeser tubuhnya, memberi jalan pada wanita yang ... entah, seharusnya disebut apa hubungannya dulu dengan Jenita. Tetapi satu yang pasti, karena keegoisan dan keserakahannya sebagai lelaki, membuat dirinya layak mendapat perlakuan sedingin tadi dari Jenita.
.
.
Seharusnya, jika hubungannya dengan sang papa baik-baik saja, Jenita akan menangis melihat sosok yang tergeletak tak berdaya di atas brankar.
Seharusnya.
Karena ruangan tersebut sangat kental akan atmosfer kesedihan. Lampu temaram dan warna cat yang di dominasi warna abu kian menebar aura sedih pada siapa pun yang memasuki ruangan tersebut. Namun yang terjadi pada Jenita justru hanya memandang datar lelaki paruh baya, yang di tubuhnya terpasangi berbagai peralatan medis.
"Bisa tinggalkan kami berdua, Bang?" Jenita memandang penuh harap pada Tian.
"Baik." Sebastian segera berbalik. Amat sangat mengerti jika Jenita butuh waktu bersama papanya hanya berdua, untuk meluapkan emosi yang terpendam selama belasan tahun.
Meski atasannya itu tidak bisa merespons apa pun yang akan disampaikan Jenita, tetapi Sebastian berharap, keberadaan Jenita di samping atasannya mampu membuat sang atasan terbangun dari koma yang sudah memasuki bulan kedua.
.
.
Menit berlalu. Jenita masih bergeming di kursi, tepat di sisi kiri Saiful Hirawan—sang papa. Pupilnya masih memandang datar pada wajah pucat yang sama sekali tidak menunjukkan gerakan sedikit pun. Hanya suara detik jam yang mengisi ruangan lebar tersebut, juga suara dari alat pendeteksi jantung yang menyapa telinga Jenita.
"Papa tidak ingin bangun?" kata Jenita akhirnya. Wajahnya tetap datar. "Jenita sudah di sini, Pa. Anak Papa yang payah ini sudah datang." Wanita itu menghela napas sejenak. Sesak tiba-tiba menyerang hatinya, meski sejak tadi berusaha ia redam.
Ingatannya akan sikap Saiful padanya yang terkadang kasar, membuat Jenita merasa seperti anak angkat di rumahnya sendiri kembali hadir.
.
.
"Masuk!" Saiful Hirawan begitu murka mendapati sang putri yang saat itu masih duduk di bangku kelas satu menengah atas, pulang jam sepuluh malam tanpa merasa bersalah. Tangan besarnya menyeret lengan kecil sang putri yang hanya menatap datar wajah orang tuanya.
"Pa sudah, Pa." Anita—Ibu Jenita mencoba menenangkan suaminya yang terlihat begitu emosi. "Dengarkan dulu penjelasan Jenita." Rengekan Anita sama sekali tidak digubris Saiful.
"Dasar anak payah! Mau jadi apa kamu nanti jam segini baru pulang? Begini ini, kalau kamu selalu dimanjakan mama kamu." Saiful menuding Anita, marah.
"Maaf, Pa," ucap Jenita. Ia tidak menangis. Berusaha tegar. Tetapi Jenita sungguh-sungguh saat mengucapkan itu.
"Maaf. Maaf. Berapa kali Papa mengingatkan kamu, kalau anak gadis tidak pantas pulang selarut ini." Kali ini Saiful Hirawan menudingkan jemari telunjuknya pada wajah Jenita. Sementara gadis itu hanya menatap lekat pada sang papa yang murka. "Kamu bisa contoh Diana. Dia penurut, tidak pernah sekalipun dia membuat Papa naik darah. Dasar payah!"
Jenita memang sengaja pulang larut. Gadis itu tidak bermain di tempat hiburan, mal, atau warnet, melainkan pergi ke sebuah perpustakaan kota. Berkutat dengan buku-buku tebal, sekadar melihat-lihat atau kadang turut membantu petugas di sana membereskan buku-buku kembali ke tempat semula setelah dibaca oleh pengunjung yang malas mengembalikan.
Suasana rumah yang tidak sehangat dulu, yang membuatnya memilih tempat lain untuk menghabiskan waktunya sepulang sekolah.
Ya, Papa Saiful akan selalu menganggapnya payah jika dibandingkan dengan Diana—anak dari wanita lain papanya—yang selalu papanya banggakan.
.
.
"Papa harus bangun. Papa harus menghukum Jenita lagi. Ada satu kesalahan Jenita yang belum Papa ketahui." Jenita tersenyum getir. "Papa pasti akan sangat marah kalau Jenita beritahu. Makanya Jenita memilih pergi dari Papa waktu itu."
Tentu saja tidak ada respons dari lawan bicara Jenita. Karena Saiful masih setia dengan tidur panjangnya.
"Jenita pulang saja ya, Pa." Beranjak dari duduknya, Jenita memandang sejenak pada wajah pucat Saiful. Tangannya lantas terulur mengusap lembut bahu ringkih itu. Satu bulir air bening seketika menerobos dari sepasang matanya tanpa bisa ia cegah lagi, kala merasakan bahu sang papa sudah tak setegap dulu.
______
Bab 2
Kaki Jenita seolah terpaku pada lantai tempatnya berpijak. Manik cokelatnya menatap nanar pada sepasang insan yang tengah saling bergenggaman tangan, dengan tubuh saling menempel satu sama lain, juga mata terpejam. Sepasang suami istri. Dua, dari tiga orang di masa lalunya yang telah membuat hatinya luluh lantak.
Elang Bimantara dan Diana Hirawan.
Tak jauh dari sana, duduk seorang lelaki yang sejak tadi menunggunya, sementara dirinya menemui sang papa. Tetapi, fokus Jenita tetap tertuju pada sepasang insan yang menurutnya salah tempat untuk tertidur.
Sebastian yang sedang memeriksa email di ponselnya seketika mengalihkan pandangan pada benda pipih itu, saat mendengar derit pintu terbuka. Maniknya menemukan Jenita bergeming di tempatnya dengan tatapan dingin. Lelaki itu lantas mengikuti arah pandang wanita itu. Dan mengerti, wanita yang berdiri di ambang pintu itu tengah menahan amarah.
Lelaki bersetelan formal tersebut beranjak dari duduk, melangkah menghampiri Jenita. "Sudah mau pulang?" Suaranya meski pelan rupanya mampu membuat Elang yang sejak tadi terpejam, membuka mata.
Jenita menatap lelaki di hadapannya, ia mengangguk lemah. "Saya akan ke hotel,” jawab Jenita dan bersiap meninggalkan ruang perawatan Saiful.
"Kalau begitu, mari saya antar."
"Biar saya sama sopir," tolak Jenita.
"Pak Rohim sudah kembali ke kantor,” beritahu Sebastian, menjelaskan keberadaan sang sopir yang bertugas mengantar jemput Jenita nantinya.
Di sisi lain, Elang hanya mengamati dua orang berlawanan jenis yang tengah berdebat ringan itu, disertai senyuman kecil, mendapati Jenita ternyata masih keras kepalanya seperti dulu.
"Di ... bangun, Sayang." Elang mengusap lembut pipi wanita yang sejak tadi tertidur dalam pelukannya. Tindakan tersebut tak luput dari tatapan Jenita yang seketika membuat dada wanita itu kian teremas sakit.
Pemandangan memuakkan!
Wanita yang kerap dipanggil Di itu membuka matanya perlahan, lalu menjauhkan tubuhnya dari sang suami. Bola matanya melebar kala mendapati Jenita berada di sana. Belasan tahun tidak berjumpa dengan sang kakak, membuatnya terkejut mendapati sosok Jenita yang berdiri menatapnya dengan sorot begitu dingin.
"Kak Jen!" serunya yang segera menghampiri Jenita. "Kakak apa kabar?" Diana memeluk Jenita, mengabaikan tatapan tak bersahabat dari wanita yang dipanggilnya kakak itu.
Jenita sendiri hanya berdiri sekaku patung, masih menatap datar pada sosok di belakang wanita yang memeluknya. Tanpa berniat sedikit pun membalas pelukan itu.
"Lepaskan tanganmu dari tubuh saya, Diana!" ucap Jenita tajam pada akhirnya.
Diana menurut, dengan kecewa ia melepaskan pelukannya pada tubuh sang kakak. “Kak.”
"Bang Tian, bisa antar saya pulang sekarang?" Inginnya Jenita segera meninggalkan tempat tersebut.
Sebastian mengangguk sebagai jawaban. Mereka bersiap pergi, sebelum seruan Diana menahan langkah mereka.
"Kak tunggu, Kak." Diana meraih lengan Jenita. "Kak Jen, nanti jenguk Papa lagi, kan?" tanyanya dengan wajah penuh harap.
Wanita itu hanya menatap datar pada Diana. Matanya menelisik penampilan adik yang tak diakuinya itu dari ujung kepala hingga kaki. Hatinya tersenyum mengejek melihat penampilan sang adik yang tak secantik dulu. Wajah yang dulunya putih bersih kini berubah banyak ditumbuhi jerawat. Badan yang dulu langsing, sekarang melebar.
Oh, Jenita bahagia mendapati perempuan perebut lelaki yang dulu dicintainya berubah menjadi si buruk rupa.
Tanpa mengindahkan Diana yang masih menatapnya penuh harap, Jenita melangkahkan kaki meninggalkan wanita itu. Sementara Diana hanya mampu meringis menahan kecewa dan Elang yang hanya bisa menatap kepergian Jenita dengan perasaan ... entah. Ada andil atas sikap lelaki itu di masa lalu yang membentuk sikap dingin Jenita.
"Saya permisi." Sebastian berpamitan pada sepasang suami istri itu, menyusul Jenita yang berjalan cepat jauh di depannya.
.
.
"Papa sakit apa sebenarnya, Bang?" tanya Jenita setelah menuntaskan makan malamnya. Wanita yang terlihat begitu kelelahan itu menurut saja saat Tian mengajaknya ke sebuah restoran Jepang.
Dan di sanalah akhirnya mereka. Duduk di private room, menikmati sajian khas negeri Sakura.
Tian menyesap minumannya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Jenita, "komplikasi. Darah tinggi, kolesterol dan gula darah." jawabnya pelan. "Beliau nekat menuruni tangga sendiri saat suster yang merawat beliau sedang shalat dan Bapak terjatuh. Punggungnya mengalami patah tulang dan ... kepalanya terjadi pendarahan. Dokter sudah melakukan yang terbaik untuk Bapak, tetapi ... ya, kamu bisa melihat sendiri kondisi beliau."
Jenita terenyak di tempatnya. Meski rasa benci pada pria itu masih bercokol di dasar hatinya, ia tetap merasa iba. Terlebih mendengar begitu banyak penyakit yang bersarang di tubuh sang papa.
"Sejak kapan Papa mengidap penyakit itu? Bukankah Papa selalu menjalankan hidup sehat?" tanya Jelita begitu penasaran karena setahunya sang papa adalah orang yang menjalankan hidup sehat. Olahraga hampir setiap hari. Asupan makanan dan minuman pun selalu diperhatikan.
Tian menatap lekat pada Jenita. Senyumnya tersumir tipis, "apa Mbak Jen akan percaya jika Bapak meninggalkan kehidupan serba sehatnya setelah Mbak Jen pergi dari rumah?"
Netra Jelita membeliak. Ingin menepis ucapan pria di depannya, tetapi melihat wajah serius Tian membuat Jenita bungkam. Tidak mungkin!
"Tepatnya tiga atau empat tahun setelah Mbak Jen pergi dari rumah. Bapak berubah, dan mulai mengonsumsi kopi kental dengan gula. Tidur larut malam ...."
"Tidak mungkin!" Akhirnya kedua kata itu terucap dari bibir tipis Jenita.
Tian tersenyum tipis, "terserah Mbak Jen mau percaya atau tidak."
"Papa nggak mungkin menghukum dirinya sendiri, demi anak seperti saya."
Tian mengedikkan bahu. Lalu melirik benda di pergelangan tangan kirinya. "Sudah malam, mari saya antar pulang." Tian beranjak dari duduknya.
"Pembicaraan kita belum selesai." Jenita menatap sedikit kesal pada Tian yang dianggapnya seenak hati memutus pembicaraan mereka.
"Tidak ada pembicaraan kalau Mbak Jen masih saja emosi seperti saat ini," ujar Tian pelan, tak ingin membuat Jenita tersinggung.
"Saya tidak emosi, Bang," elak Jenita. "Apa salah, kalau saya menolak asumsi Bang Tian soal perasaan Papa ke saya? Kalau memang Papa sesayang itu ke saya, Papa akan menemui saya dan meminta saya untuk pulang, begitu tahu saya kabur. Tapi apa?”
"Apa dengan Bapak meminta Mbak Jen untuk pulang bertahun lalu, Mbak Jen akan menurutinya?" Pertanyaan Tian membuat Jenita bungkam kembali.
Benar. Belum tentu jika bertahun lalu Saiful memintanya untuk pulang, Jenita akan menurut. Sedangkan saat ini saja keputusannya untuk pulang lebih karena membalas budi pada Tian. Pria yang sembilan tahun lebih tua darinya itu, yang sudah banyak membantu dirinya dengan sang ibu. Semua karena rasa amarah dan kecewanya yang saat ini masih menggunung.
.
.
Tubuh Jenita terlihat lebih segar dari kemarin malam Tian melihatnya. Make-up tipis yang menghiasi wajah cantik itu semakin mempertegas kecantikan wanita itu. Sehingga tanpa sadar kedua sudut bibir Tian tertarik ke atas.
Kamu masih cantik seperti dulu, Jen. Pikirnya.
Tian sesekali melirik pada Jenita yang duduk di kursi penumpang mobil miliknya. Mereka akan menuju rumah sakit menemui Saiful tentunya, setelah melalui perdebatan alot, karena Jenita sempat bersikeras tidak akan kembali menjenguk sang papa.
Sedangkan Jenita sedari tadi hanya terdiam, tampak sekali raut muka keengganan di wajah itu. Ia memang kembali ke Jakarta untuk menemui papanya. Tapi bukan berarti setiap hari waktunya harus dihabiskan di Rumah Sakit. Ya, memang baru kemarin sore dan hari ini, tapi Jenita merasa enggan. Karena hari ini wanita itu sudah berencana akan mengunjungi suatu tempat. Namun apalah dayanya yang tak bisa menolak permohonan lelaki yang duduk di belakang kemudi. Negosiator handal kepercayaan sang papa.
Langkah kakinya bergegas keluar dari mobil begitu benda beroda empat itu terhenti di lantai basemen. Mengabaikan Tian yang sedikit berlari menyusulnya.
"Bapak membutuhkan dukungan keluarga untuk kesembuhannya. Jika Mbak Jen masih saja menekuk wajah seperti itu, Bapak bukannya sembuh tapi mungkin bertambah parah," ujar Tian begitu mereka memasuki kotak baja yang akan membawa mereka ke lantai atas.
Jenita mendengkus sebal mendengar perkataan sok tahu Tian. "Tidak ada korelasinya, sakitnya Papa tambah parah dengan wajah cemberut saya, Bang."
"Tapi Bapak membutuhkan keikhlasan keluarganya. Bapak butuh dukungan dan kasih sayang dari kita semua. Meski tubuh Bapak hanya terbaring di sana, Bapak tetap bisa merasakan kehadiran kita, Mbak."
Pembicaraan dua orang itu terputus karena lift terbuka. Jenita dan Tian berjalan beriringan keluar dari sana menuju kamar perawatan Saiful.
"Lalu saya harus bagaimana, Bang? Saya harus nangis-nangis, begitu?"
"Terserah Mbak Jen saja kalau itu. Yang penting Mbak Jen ikhlas menginginkan kesembuhan Bapak."
"Sembuh atau tidaknya Papa, sudah bukan prioritas saya. Bang Tian tahu sendiri alasan saya berada di sini karena apa." Jenita menatap tajam Tian sekilas. Lalu kembali fokus memandang lorong-lorong yang dilaluinya.
"Setidaknya kita berusaha untuk kesembuhan Bapak. Setelah itu, Mbak Jen bisa meluapkan rasa marah dan kecewa Mbak pada beliau. Dan saat itu terjadi, semoga Mbak tidak menyesal." Tian melebarkan langkah kakinya, meninggalkan Jenita di belakang. Kesabaran pria itu sudah menipis menghadapi sikap keras kepala putri dari atasannya itu.
Menyesal? Aku tidak akan menyesali apa pun. Justru orang-orang itu yang seharusnya menyesal.
Jenita semakin gondok menghadapi sikap semena-mena dan sok tahu lelaki yang sudah berjalan jauh di depannya.
.
.
Jenita mendengkus malas mendapati Elang sudah berada di depan kamar perawatan sang papa. Duduk dengan tenang memainkan ponsel. Di hadapannya tersaji segelas kopi dan sepiring aneka kue.
Sudah seperti rumah sendiri saja!
Jenita bermaksud bergegas memasuki kamar Saiful saat sebuah tangan berhasil menghentikan langkah kakinya. Wanita itu memandang tajam si pemilik tangan yang dianggapnya sudah lancang menyentuh lengannya.
"Lepaskan tanganmu dari lengan saya!"
Elang melepaskan genggamannya. Pria itu menatap sendu pada Jenita yang memandangnya begitu tajam. Tidak ada keramahan di wajah wanita itu, yang ada hanya sebuah kemurkaan.
"Jen, bisa kita bicara sebentar?" Elang memohon.
"Tidak," tolak Jenita cepat. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, setelah dua belas tahun lalu kamu membuang saya."
.
.
Jenita yang baru saja pulang dari kampus, hanya mampu menatap pedih pada sepasang muda-mudi yang sedang asyik bercengkerama di teras rumahnya. Ini bukan kali pertama, ia mendapati lelaki yang ia sayangi berduaan dengan adiknya. Jenita yang terlalu mencintai lelaki itu tidak berani mengutarakan kekecewaannya. Ia hanya mampu memendamnya sendiri dan memupuk kebencian pada sang adik yang dianggapnya sebagai perebut Elang Bimantara—lelaki pemilik hatinya.
Melangkah cepat, Jenita menghampiri keduanya dengan amarah menggelegak.
"Dasar anak haram tidak tahu diri!" maki Jenita pada gadis yang lebih muda dua tahun darinya itu. Jari telunjuknya tak luput menuding ke wajah yang kini berubah pias. Sudah cukup rasanya selama ini Jenita memendam amarah.
"Apa-apaan kamu, Jenita." Elang mengalihkan tangan Jenita dari wajah gadis yang dicintainya.
"Kamu juga, kenapa kamu berduaan dengan dia?" Jenita menatap Elang kecewa.
"Kenapa memangnya? Salah kalau aku dekat sama Diana?"
"Bilang apa kamu barusan? Dekat? Apa maksud kamu dengan dekat sama dia? Kamu suka sama anak haram ini?"
"JENITA! JAGA BICARA KAMU!" Tiba-tiba saja Papa Saiful datang.
Plak!
Dan tanpa ada yang mengira, Papa Saiful memberikan tamparan keras pada pipi Jenita. Semua terkejut dengan kejadian yang begitu cepat.
"Papa tidak pernah mengajarkan kamu menjadi anak kurang ajar, Jenita! Jaga mulut kamu!” Suara Saiful Hirawan menggema ke seluruh teras rumah, disertai mata yang menyorot tajam pada Jenita.
Jenita terkesiap. Matanya menatap tak percaya pada sang papa yang baru saja mendaratkan tamparan di pipinya. Itu adalah kali pertama selama dua puluh tahun ia hidup, sang papa berani menamparnya.
"Papa lebih membela anak haram itu dari pada Jenita?" Gadis itu kembali menggeleng tak percaya dengan sikap papanya yang justru lebih membela sang adik.. Adik yang lahir dari rahim perempuan selingkuhan lelaki yang ia sebut Papa. Jenita begitu membencinya. "Dia sudah merebut Elang dari Jenita, Pa." Suaranya berubah parau. Gadis itu menahan tangis. Selama ini ia yang lebih sering membuat Diana menangis, Jenita tentu saja tidak ingin terlihat lemah di hadapan ketiga orang di depannya. Sekuat tenaga ia mencoba untuk bertahan di sana tanpa mengeluarkan barang setetes air matanya.
"Elang." Tatapan Hirawan menyorot tajam pada satu-satunya pemuda di ruangan itu. “Apa benar, sebelum kamu menjalin hubungan dengan Diana, kamu memiliki hubungan dengan Jenita?"
Elang tidak segera menjawab. Ia lebih dulu menatap Diana lalu beralih pada Jenita. Visual kedua gadis itu memang berbeda. Diana memiliki kulit seputih porselen dengan bentuk wajah yang membuat siapa pun akan menggumamkan kata cantik.
Berbeda dengan Jenita, gadis itu memiliki kulit sawo matang khas kulit orang Indonesia. Wajahnya memang tidak secantik Diana, tetapi dia manis dengan bibir sensual dan bulu mata lentik alami, juga rambut hitam legamnya.
Tetapi Elang yang memang kenal lebih dulu dengan Jenita, memang hanya menganggap gadis itu sebagai sahabat. Meski sering menghabiskan waktu berdua, tak lantas membuat Elang jatuh hati pada gadis itu.
Sebagai lelaki normal yang mengedepankan tampilan fisik pada lawan jenis, jelas ... Elang lebih tertarik pada Diana. Selain memiliki wajah yang membuatnya terkagum-kagum, kepribadian gadis itu membuatnya semakin jatuh hati.
Diana dan Jenita bak bumi dan langit. Diana si gadis lemah lembut sedangkan Jenita adalah si gadis keras kepala dengan tingkat emosi akut.
Elang menggeleng tegas. "Sejak awal saya dan Jenita tidak memiliki hubungan apa pun, Om. Kami hanya berteman."
Jenita kalah. Air matanya luruh seketika mendengar penuturan Elang. Laki-laki yang ia pikir menyayanginya. Ternyata tak lebih dari seorang lelaki berengsek.
Entah kata apa yang tepat untuk menggambarkan keadaan hatinya saat itu. Disakiti oleh dua pria yang paling disayanginya secara bersamaan. Hati dan harga diri Jenita serasa tercabik-cabik.
Jenita menatap Elang tanpa berkedip. Tatapannya menyorot dingin. Terselip kemarahan dan kekecewaan di sepasang manik cokelatnya.
"Kamu!" Jarinya menunjuk pada laki-laki yang sudah menemani hari-harinya sepanjang lima tahun ini. "Aku harap kamu tidak akan pernah menyesali kejadian hari ini Elang Bimantara!" ujar Jenita seraya meremas perutnya pelan. "Di sini." Ia lantas menunjuk dadanya. "Ada luka dari kalian semua yang tidak akan pernah kulupakan."
"Kak Jen ...." panggil Diana mencoba menjelaskan pada sang kakak. Tapi gagal. Bibirnya ia rapatkan lagi setelah mendapat pelototan menusuk dari sang kakak.
"Papa." Jenita menyeka air matanya yang semakin deras. Menatap sendu pada sang papa yang telah membuatnya kecewa. "Bertahun-tahun, Pa ... Jenita melihat mama menangis setiap malam karena pengkhianatan yang Papa lakukan. Apa salah kalau hari ini Jenita meminta sedikit pembelaan ke Papa karena laki-laki yang Jenita sayang direbut perempuan lain? Yang tak lain adik Jenita sendiri?”
"Jangan mendramatisir keadaan! Elang sudah mengatakan kalau kalian tidak memiliki hubungan apa pun," tegas Saiful Hirawan tak ingin dibantah.
"Dan Papa percaya?" tanya Jenita penuh keputus asaan dengan air mata yang semakin deras.
"Papa percaya pada Diana. Dia tidak mungkin merebut kekasih kakaknya sendiri." Bukan tanpa alasan Hirawan mengatakan itu. Selama ini ia sering mendengar dari orang kepercayaannya jika Jenita kerap menjahili Diana. Diana yang ia kenal adalah anak baik dan penurut. Jadi menurutnya, putri keduanya itu tidak mungkin merebut kekasih anaknya yang pertama.
Jenita memejamkan mata sejenak. Berharap kesakitannya sedikit berkurang. Berharap apa yang sedang dilaluinya kini hanya sekadar bunga tidur. Namun, lagi-lagi ia kembali disadarkan pada realitas di depan mata dengan pembelaan sang papa pada Diana.
"Papa peringatkan! Jangan sekali-kali kamu berpikir untuk menjahati adikmu lagi. Atau memisahkan hubungan mereka. Karena Papa tidak akan segan untuk menghukummu!"
Menyeka air matanya kasar, Jenita tidak gentar dengan ancaman sang papa. Bukan karena takut akan hukuman yang akan menimpanya. Tetapi karena Jenita sudah menetapkan pilihan.
"Baik. Kalau memang itu keputusan Papa, Jenita terima. Semoga Papa pun sama, tidak akan menyesali keputusan Papa hari ini."
Setelah mengatakan itu, Jenita melesat menuju kamar pribadinya. Mengemas pakaian secukupnya, ia bertekad akan keluar dari rumah yang menyimpan banyak kenangan indah bersama Almarhumah sang mama.
"Kamu pikir dengan cara kabur seperti ini Papa akan luluh?" Kalimat pedas Saiful Hirawan membuat langkah Jenita yang hendak keluar rumah, terhenti seketika.
Jenita berbalik. Menatap sekali lagi pada wajah sang papa. Pria yang begitu ia hormati dan ia sayangi. Namun kini justru menjadi pria yang paling Jenita benci.
Tanpa sepatah kata pun, Jenita pergi. Meninggalkan segala kenangan di rumah masa kecilnya. Menelan pil pahit karena dikecewakan oleh Papanya, Elang dan anak dari wanita lain sang papa.
Adiknya yang merebut kasih sayang sang Papa dan Elang. Sekaligus.
Belasan tahun berlalu, pedih yang dirasakan Jenita masih tetap sama. Bahkan kini semakin bertambah pedih karena melihat kehidupan bahagia orang-orang yang pernah menorehkan luka padanya.
Setidaknya itu yang ia tangkap pertama kali kemarin sore, saat melihat romantisme hubungan Elang dan Diana.
Jenita masih terpaku di tempatnya menatap Elang dengan tatapan penuh kebencian.
"Dua belas tahun berlalu, dan rasa sakit itu masih tetap sama, Elang Bimantara. Jadi ... jangan pernah menganggap hubungan kita akan baik-baik saja, setelah apa yang sudah kalian perbuat pada saya."
———
Bab 3
Sebastian Nugraha tengah membicarakan kondisi Saiful Hirawan dengan salah seorang dokter yang menangani atasannya tersebut, saat rungunya menangkap suara perdebatan kecil dari luar kamar perawatan Saiful. Menunggu hingga Dokter menyelesaikan pemeriksaannya, Tian keluar dari sana berbarengan dengan sang dokter, juga salah seorang perawat.
Begitu pintu terkuak, manik hitamnya menangkap sosok Jenita dan Elang tengah saling berhadapan. Dengan Jenita yang menatap tajam pada Elang.
Tian berdeham cukup kencang bermaksud untuk mengalihkan perhatian dua orang tersebut. Elang menoleh dan tersenyum tipis pada Tian. Sementara Jenita tetap pada titik fokusnya, menghunuskan tatapan bak pisau pada Elang. Tak terpengaruh dengan hadirnya sosok Tian, maupun dokter juga suster yang akhirnya meninggalkan tempat tersebut.
"Mas Elang, tidak ke kantor?" tanya Tian yang cukup terkejut sebenarnya melihat sosok Elang berada di sana. Biasanya lelaki itu akan mengunjungi Saiful sepulang dari kantor.
"Nanti, agak siangan, Bang."
Jenita memilih menyingkir. Wanita itu memasuki ruang perawatan sang papa, yang masih disambut dengan keheningan. Ia lantas menelungkupkan wajahnya di tepi ranjang Saiful. Hatinya terlalu lemah jika harus dihadapkan dengan orang-orang dari masa lalunya. Katakanlah Jenita berlebihan, tetapi memang rasa pedihnya masih begitu mengoyak hati.
Terlebih saat ia harus berhadapan dengan sosok Elang. Lelaki dengan tampilan menawan yang sudah mengisi hatinya sejak ia masih duduk di bangku putih abu-abu.
Jenita akan kalah.
Sekuat apa pun dia meyakinkan diri, jika ia membenci lelaki itu, nyatanya ... kali ini tangisnya mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Ia merasa menjadi perempuan paling bodoh di muka bumi ini. Karena faktanya, perasaan cinta itu masih bertengger di posisi atas hatinya, meski hanya secuil. Atau bahkan lebih, karena Jenita berusaha menepisnya.
Bodoh. Bodoh.
Tian mendengar isakan pilu yang menyesakkan hati dari ruang perawatan Saiful. Sudah lama ia tidak mendengar secara langsung suara tangis Jenita. Langkah kakinya tertahan untuk memasuki ruangan tersebut karena tidak ingin mengusik Jenita menumpahkan kepedihannya.
.
.
"Maaf Pa. Jenita membuat tempat tidur Papa basah," kata Jenita pelan usai mengakhiri tangisnya sekian lama. Netranya memandang sendu paras lelaki paruh baya yang masih memejamkan matanya begitu rapat.
Sejujurnya, ia sendiri masih menyimpan kebencian pada lelaki di depannya saat ini. Sayatan demi sayatan yang ditorehkan lelaki yang terbaring tak berdaya itu terlalu banyak. Terlalu menyakitkan jika dijabarkan satu per satu. Karena bukan hanya dirinya yang tersakiti. Anita—sang mama pun turut mendapat kesakitan itu, bahkan hingga akhir khayatnya. Tujuh belas tahun silam.
Jenita tersenyum getir. Sakit di dadanya begitu menghantam jiwa. Tidak mudah menjadi dirinya, setelah meninggalkan kediaman sang papa belasan tahun lalu. Ia berjuang seorang diri. Berjuang menghidupi diri sendiri, karena tidak ingin merepotkan paman dan bibinya dari pihak sang mama. Juga berjuang melawan rasa sakit yang tak berkesudahan hingga kini. Dan seseorang yang merupakan bagian dari dirinya, yang sengaja ia sembunyikan dari orang-orang dari masa lalunya.
"Papa ... kalau saja Papa tidak pernah mengkhianati, Mama ...." Jenita tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Bayangan tentang pertengkaran kedua orang tuanya melintas jelas. Teriakan sang papa. Tangisan. Raungan sang mama, yang bersujud kala memohon pada papanya untuk meninggalkan "perempuan" itu, terpahat jelas di ingatan Jenita.
Netra Jenita kembali memanas. Tenggorokannya serasa tercekik karena berusaha meredam gelombang tangis yang siap menerjangnya kembali.
Jangan menangis lagi, Jenita. Sudah cukup, kamu meratapi nasib selama dua belas tahun ini. Sudah cukup. Kamu harus kuat. Agar saat Papa terbangun, dia akan melihatmu baik-baik saja.
.
.
Tian mengalihkan fokusnya dari ponsel pada pintu yang terkuak dari arah dalam. Ia memang sengaja menunggu Jenita di luar ruangan, hingga wanita itu puas menumpahkan kesedihannya. Sesuatu di hatinya memerintahkan lelaki itu tetap tinggal di sana, selepas kepergian Elang satu jam yang lalu.
Tian berdiri. "Mbak Jen sudah sarapan?" Sejujurnya itu hanya lontaran basa basi Tian. Untuk mengalihkan kesedihan Jenita.
Jenita tersenyum tipis untuk mengamuflase apa yang baru saja ia rasakan di dalam sana. Meski hal itu tidak mampu membendung rasa iba Tian pada wanita itu. Tian tahu persis. Sejak belasan tahun lalu. Apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarga atasannya tersebut.
"Su—sudah, Bang." Bersyukur karena suara yang baru saja Jenita ucapkan terdengar biasa. Ia berharap, lelaki di hadapannya yang sudah banyak membantu dirinya dan sang mama, tidak mengetahui apa yang baru saja ia lewati di dalam sana.
Jenita lantas memilih duduk di sudut sofa. Ia sandarkan punggungnya pada badan sofa lantas memejamkan mata. Terlalu lelah untuk di awal hari ini. Harus bertatap muka dengan Elang Bimantara membuat logikanya lumpuh. Emosinya kembali teraduk dan bisa dipastikan genangan di maniknya akan tumpah begitu saja jika ia harus terus-terusan di hadapkan pada lelaki itu.
Entah mana yang lebih menyakitkan. Cinta bertepuk sebelah tangan. Atau cinta yang tetap terpelihara meski telah dicampakkan.
Bodoh.
Jenita memijat keningnya perlahan. Jika begini terus keadaannya, aku bisa gila!
Wanita itu lantas menoleh ke sisi kirinya karena merasakan sentuhan lembut di bahunya, dan mendapati Sebastian Nugraha tengah menatapnya penuh simpati.
"Sebaiknya saya antar Mbak Jen pulang." Suara Tian yang pelan namun tegas membuat Jenita menganggukkan kepala tanpa pertimbangan lagi.
.
.
"Bagaimana kabar keluarga di Sydney?" Tian bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada jalanan di depannya dengan suara pelan, penuh simpati. Lelaki itu memang secara tulus menanyakan kabar dia. Meski tanpa bertanya pun, Tian sudah tahu jawabannya. Karena satu orang kepercayaannya ia tugaskan untuk menjaga keluarga Jenita di sana, selama wanita itu berada di Jakarta.
Jenita menoleh sejenak sebelum menatap kembali pemandangan dari kaca samping kirinya, menampilkan gedung-gedung perkantoran yang menjamur dan menjulang tinggi. Lalu helaan napasnya terdengar sebelum ia menjawab pertanyaan Tian dengan singkat. "Semuanya ... baik."
"Syurkurlah." Sudut bibir Tian terangkat sedikit ke atas.
"Basa-basi Abang sama sekali tidak lucu."
"Saya berusaha bersikap baik."
Jenita menyerongkan tubuhnya menghadap Tian. Dengan wajah sedikit sebal ia menatap lelaki yang tetap fokus menatap jalanan meski bibirnya tersenyum samar.
"Abang jelas tahu keadaan saya bagaimana di sana tanpa perlu menanyakan langsung pada saya."
"Itu, pasti. Tapi saya ingin dengar dari bibir Mbak Jenita langsung.”
Jenita meraup oksigen sebanyak ia mampu, ia lantas membuangnya sedikit kasar. Lebih mirip dengusan. Sebuah tindakan sengaja karena berbincang dengan sosok lelaki di sampingnya pun lebih banyak membuahkan perdebatan.
Sempat Jenita mengira segala bentuk tindakan Tian padanya yang penuh perhatian adalah bukan semata dirinya putri dari Saiful Hirawan. Melainkan ada perasaan spesial dari lelaki itu padanya. Jangan salahkan pemikiran Jenita yang menganggap sikap Tian sebagai ungkapan perasaan dari hubungan antara lelaki dan perempuan. Karena, ada hal-hal yang menurutnya diluar konteks kerja Tian. Namun, lelaki itu dengan suka rela melakukannya. Tetapi, lambat laun Jenita paham jika semua yang dilakukan Tian padanya, tak lebih sebagai bentuk balas budi semata. Atau mungkin bentuk belas kasihan.
Jenita menggeleng pelan. Sebuah pemikiran bodoh mengharap sebuah perasaan langka dari lelaki sedingin kutub macam Tian.
"Ada apa?" Suara berat Tian menarik kembali Jenita dari lamunan singkatnya.
"Tidak." Jenita menjawab tanpa menoleh. "Bisa minta tolong antar saya ke tempat Mama?"
Tian tertegun sejenak. Ia menoleh, menatap tak lebih dari satu detik pada wanita di sisi kirinya yang kini berwajah mendung.
"Tentu."
.
.
Sudah satu setengah jam berlalu. Jenita masih belum beranjak dari duduknya di sisi makam sang mama. Ia sudah mengakhiri doanya untuk sang mama sejak berpuluh menit lalu. Dan kini wanita itu hanya menatap kosong gundukan tanah dengan rerumputan hijau yang terawat baik.
Air matanya telah mengering. Tak setetes pun ia biarkan cairan bening itu membasahi makam mamanya. Tetapi siapa pun orang yang melihatnya pasti akan paham jika apa yang tengah diderita Jenita bukan hal mudah.
Sementara di ujung makam, Tian lagi-lagi hanya mampu menatap iba pada Jenita. Berkali-kali dia mengembuskan napas dengan kasar. Agar tidak bertindak impulsif. Berlari, membawa tubuh Jenita ke dekapannya. Membiarkan dadanya dibasahi tangis kepedihan wanita itu untuk sedikit mengurangi beban di pundak Jenita.
"Mama ...." Suara lirih Jenita yang penuh kesakitan membuat Tian kian fokus memandang wanita itu. "Maafkan Jenita yang baru bisa mengunjungi Mama. Tetapi perlu Mama tahu. Sedetik pun, Jenita tidak pernah melupakan Mama. Bahagia di surga, Ma,” ucapan Jenita ditutup dengan mengusap lembut nisan berukiran tinta emas.
Jenita lantas berdiri setelah berusaha meredam segala bentuk kesakitan di dadanya. Berada di makam wanita yang telah melahirkannya ke dunia, jelas menyedot seluruh pikirannya kembali pada masa lalunya yang pekat. Penuh air mata juga kekecewaan.
Jenita menghampiri Tian yang juga telah berdiri. Keduanya saling memandang sejenak. Sebelum akhirnya Jenita bersuara, "Saya akan kembali ke hotel. Jika Abang harus ke kantor, saya bisa pulang sendiri."
"Saya antar."
"Tapi saya bisa sendiri, Bang."
Tian menatap lekat Jenita sejenak sebelum akhirnya melangkah lebih dulu ke arah mobil lantas membukakan pintu di sisi pengemudi. Mendesah pasrah, Jenita akhirnya menuruti titah lelaki kutub tersebut. Memasuki mobil. Duduk di sisi lelaki itu. Lantas memasangkan sabuk pengaman.
.
.
"Pukul tujuh malam nanti saya jemput."
Gerakan jemari Jenita yang sedang melepaskan sabuk pengaman terhenti mendengar kalimat penuh perintah Tian. Dengan penuh tanya Jenita menatap Tian yang juga tengah menatapnya. Mereka telah sampai di basemen hotel, tempat Jenita menginap.
"Siapkan pakaian ganti. Kita akan menginap di rumah sakit."
Netra Jenita melebar sempurna. Apa-apaan ini? Untuk apa dia harus bersusah payah menginap di rumah sakit. Menjaga lelaki tua yang bahkan sudah tak menganggap dirinya sebagai anak? Oh, tidak!
"Semakin cepat sadar Bapak, maka akan semakin cepat pula Mbak Jen kembali ke Sydney." Tian sama sekali tidak memberikan waktu bagi Jenita untuk menolak permintaannya tersebut.
"Ta-tapi ...."
"Bapak butuh dukungan anak-anaknya, Mbak Jenita. Malam ini jadwal Mbak Jen untuk menunggui Bapak di rumah sakit. Bergantian dengan Mbak Diana."
"Oke." Jenita setuju. Memang benar, semakin cepat papa sadar, maka ia akan semakin cepat kembali ke tempat di mana seharusnya ia tinggal. "Tetapi saya minta satu hal."
"Tentu."
"Saya tidak ingin bertemu dengan dua orang itu."
Sebastian Nugraha hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tidak perlu bertanya, siapa dua orang yang dimaksud oleh Jenita.
Karena sudah pasti, mereka ialah ....
Elang Bimantara dan Diana Hirawan.
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
