I Love You, Uncle! Bab 7-10

18
0
Deskripsi

Tentang Jani yang mencintai Juna, yang tak lain adalah paman tirinya.

Bab 7

Tak seharusnya perasaan ini ada

“Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Ini sepenuhnya adalah kelalaian kami. Dan kami berjanji untuk ke depannya akan lebih hati-hati lagi dalam menjaga Adinda.” Anjani berkata sungguh-sungguh pada ayah Adinda. Mengakui kelalaian pengajar dan pengasuh di Love Daycare setelah insiden jatuhnya Adinda.

Pria di depan Anjani yang bernama Dimas itu tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, Miss. Saya paham. Anak seusia Adinda memang sedang aktif-aktifnya. Saya sendiri sering kuwalahan, kok. Tidak apa-apa, yang penting bagaimana daycare ini sudah bertanggung jawab pada anak saya, itu sudah lebih dari cukup.”

“Terima kasih banyak, Pak Dimas. Terima kasih atas pengertian dan kebaikan Bapak.” Anjani tersenyum lega, karena ayah Adinda rupanya memaklumi insiden jatuhnya Dinda.

Anjani lantas mengantar Dimas dan Adinda hingga ke mobil. Ia sempat melambaikan tangan pada gadis cilik berusia tiga tahun yang memang memiliki memang lebih aktif dari anak-anak lainnya. 

“Pak Dimas ganteng ya, Mbak?” Amel yang sejak tadi mengekori Anjani, berbisik begitu mobil Dimas meninggalkan Daycare.

Anjani menoleh pada Amel dengan dahi berkerut, lalu menggeleng pelan. “Kenapa? Kamu naksir Pak Dimas?”

“Ya kalau dibilang naksir ya jelas naksir lah, Mbak. Masa mau nolak duda super hot macam Pak Dimas sih,” seloroh Amel. “Masalahnya, Pak Dimasnya mau nggak sama aku, gitu?”

“Besok aku tanyain deh ya, Pak Dimasnya mau apa enggak,” Sahut Anjani dengan wajah menggoda.

“Eh lah, ya jangan, Mbak. Mau ditaruh di mana mukaku nanti kalau ketemu Pak Dimas.”

Anjani pun semakin menggoda Amel yang berusia lebih muda dua tahun darinya itu. Hingga para pengajar lainnya turut menggoda Amel begitu tahu Amel naksir Pak Dimas.

Anjani pulang setengah jam kemudian, setelah memberi arahan pada seluruh tim Love Daycare untuk lebih ekstra hati-hati lagi dalam menjaga anak-anak. Tiba di rumah, Anjani disambut dengan aroma masakan sang mama yang membuat wajahnya seketika berbinar. Gadis itu selalu menyukai masakan sang mama, yang menurutnya adalah masakan terenak di dunia. Akan tetapi sangat disayangkan, karena ia sama sekali tak mewarisi keahlian sang mama dalam hal masak-memasak.

“Mamaaaa, Jani pulang,” teriak Anjani setelah mengucapkan salam lebih dulu.

“Kurang kencang teriaknya.” Sinta yang masih mengenakan apron melotot pada Anjani yang baru saja memasuki ruangan dapur.

“Maaf, Mama. Habisnya takut Mama nggak dengar kalau Jani pulang.” Anjani ngeles. Selanjutnya meraih tangan kanan sang mama, dan menciumnya takzim.

“Mandi dulu sana. Malik udah nungguin dari tadi di taman belakang. Katanya mau nonton balapan bareng kamu.”

Ajani teringat ia punya janji dengan sepupunya itu untuk nonton bareng MotoGP. “Ya sudah, Jani mandi dulu deh. Nanti tolong sampaikan ke Malik ya, Ma, suruh langsung ke atas aja.”

Setengah jam kemudian begitu Anjani selesai mandi dan keluar kamar, ia mendapati Malik yang sudah duduk di sofa memangku setoples camilan dengan layar televisi yang menampilkan komentator MotoGP.

Anjani hanya mampu menggelengkan kepala, melihat dua toples camilan yang sudah tidak ada isinya. Malik memang hobi sekali makan dan badannya sudah sedikit obesitas.

“Sudah dulu makannya.” Anjani merebut toples yang berada di pangkuan Malik. “Masa balapannya aja belum mulai, kamu udah ngabisin keripik tiga toples.”

“Kak Jani, rese deh. Itu kan punya Malik.” Bocah laki-laki itu merengek. “Nggak seru kalau nonton TV nggak sambil makan.”

“Katanya mau jadi pembalap tapi nggak mau diet. Gimana sih, Malik!” cibir Anjani yang lantas memosisikan duduknya di samping Malik.

“Dietnya nanti kalau udah gede, Kak. Sekarang kan Malik masih masa pertumbuhan.”

“Masa pertumbuhan, tapi badan udah kaya Om, Om. Masa Malik kalah sama Om Juna. Om Juna aja ….” Anjani menghentikan ucapannya begitu sadar ia telah menyebut nama seseorang yang tak seharusnya ia sebut. 

“Om Ar kenapa?” Malik bertanya penasaran memandangi Anjani.

“Nggak apa-apa.” Anjani menggelengkan kepala. Anjani lantas mengalihkan topik pembicaraan seputar pembalap yang ia jagokan menang dalam balapan malam ini. Ia mengutuk mulutnya yang telah tanpa sadar menyebut nama itu.

Saudara sepupu itu pun akhirnya menonton dengan fokus balapan dari kuda besi ber-CC besar tersebut. Hingga entah di menit ke berapa, Anjani terlelap di samping Malik yang masih fokus menonton balapan.

Arjuna baru tiba di rumah, ketika sang adik—Wulan meminta tolong padanya, untuk menjemput Malik di kediaman Anjani. Arjuna tentu saja mengiyakan. Setelah membersihkan diri lebih dulu, pria itu bergegas mengemudikan Rush miliknya ke kediaman Anjani. Meski mungkin ia akan mendapati wajah sinis gadis itu, ia tetap bersemangat untuk datang menjemput Malik.

Arjuna memberi salam begitu tiba di teras rumah Anjani. Lalu tak berapa lama, ia mendengar suara Sinta yang menyahuti salamnya dan setelahnya pintu terbuka dari arah dalam.

“Ar,” sapa Sinta mendapati adik tirinya begitu membuka pintu.

“Saya mau jemput Malik, Mbak.” Arjuna memberitahu maksud kedatangannya.

“Oh, iya. Malik lagi nonton bapalan sama Jani di atas. Kamu langsung ke atas saja ya.” Sinta pun membuka pintu rumahnya lebih lebar. 

Arjuna mengangguk dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah yang dulu hampir tiap hari ia singgahi itu. Sebelum Anjani beranjak remaja, ia memang kerap menghabiskan waktunya bersama gadis itu. Entah menemani Anjani bermain atau belajar.

“Oh ya, Ar.”

Arjuna yang hendak menaiki anak-anak tangga menghentikan langkah dan menoleh pada Sinta dengan pandangan bertanya. Ia cukup terkejut dengan permintaan sang kakak yang memintanya untuk tinggal lebih lama di rumah itu karena Sinta dan Suseno akan pergi untuk menjenguk rekan kerja Suseno yang tengah dirawat di rumah sakit.

Arjuna tentu saja tak bisa menolak permintaan Sinta. Meski ia tahu Anjani akan membenci kehadirannya di rumah itu. Arjuna memutuskan untuk menunggu hingga mobil yang ditumpangi Suseno dan Sinta meninggalkan rumah dan ia baru menuju lantai dua.

Di anak tangga terakhir, Arjuna sudah bisa melihat sosok Anjani yang tertidur di sofa, sedangkan Malik tertidur beralasan karpet. Arjuna pun berjalan mendekat. Ia mengamati wajah Malik lalu mengusap rambut bocah lelaki itu pelan. Selanjutnya pandangannya beralih pada Anjani yang nampak tertidur pulas. Gadis itu bahkan mendengkur lirih dengan mulut sedikit terbuka membuat Arjuna terkekeh pelan.

Arjuna lantas menghela napas ketika melihat bibir tipis Anjani yang mengingatkannya pada kejadian ciuman mereka enam tahun lalu. Seharusnya saat itu ia bisa mengontrol dirinya untuk tidak membalas ciuman Anjani, sehingga Anjani mungkin tidak merasa begitu sakit hati seperti sekarang. Akan tetapi semua sudah terjadi, dan ia hanya bisa menyesali semuanya. Dan berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan Anjani. Karena sekali lagi, bagaimana pun mereka adalah sebuah keluarga.

Dengan perlahan, Arjuna meletakkan tubuh Anjani pada tempat tidur gadis itu. Anjaninya benar-benar sudah dewasa. Tubuhnya terbentuk dengan sempurna dengan lekukan yang membuat pria manapun akan memandangnya lebih lama. Dan Arjuna semakin jatuh cinta pada gadis yang menggeliat pelan, ketika ia menyelimutinya. Namun ia sadar perasaannya pada Anjani tidak seharusnya ada.

Tak ingin semakin terjerumus dengan perasaannya, Arjuna memutuskan meninggalkan kamar Anjani, setelah mendaratkan kecupan ringan pada kening gadis itu seraya membisikkan kata maaf untuk kesekian kali.


Bab 8

Pria Asing

Seperti biasa, ketika akhir pekan. Anjani bersama kedua sahabatnya menghabiskan waktu bersama, entah itu nonton bareng atau sekadar nongkrong di kafe atau resto dengan dekorasi instagramable. Atau kadang ketika hari minggunya, dan Anjani memilih bolos kerja, ketiga sahabat itu hanya berbaring di ranjang sembari mendengarkan musik seraya saling curhat satu dan lainnya.

Dan kali ini, Anjani bersama Fitri dan Ami memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan mereka di apartemen kekasih Fitri—Yogi. Lantas setelah maraton Drama Korea selama berjam-jam mereka memutuskan untuk berenang. Kebetulan gedung apartemen tersebut memiliki fasilitas kolam renang yang bisa digunakan oleh kerabat penghuni apartemen tersebut.

Ada tiga jenis kedalaman air pada area kolam renang tersebut yang masing-masing terbagi untuk orang dewasa, remaja dan balita. Anjani, Fitri dan Ami sudah bercengkerama seru di tepi kolam dengan kaki yang menjuntai ke air kolam yang jernih. Ketiganya asyik membicarakan banyak hal, termasuk membicarakan seorang perempuan muda yang tengah berenang bersama pria berumur. 

Dengan julidnya, Fitri dan Ami berkomentar, “gue sih yakin kalau mereka bukan bapak dan anak,” ucap Fitri yang disahuti Ami dengan komentar tak kalah julidnya, “sama, gue yakin itu bukan bapak-anak. Ya kali, masa bapak sama anak gelendotan begitu kek orang pacaran. Mereka pasti lagi main gula-gulaan tuh.”

Gula-gulaan apaan sih?” Anjani yang sejak tadi memilih diam, bertanya penasaran.

“Masa lo nggak tahu sih, Jan.” Fitri berdecak heran, begitu pun dengan Ami.

“Tahu nih si Jani. Pasti karena kelamaan bucin sama Om Juna jadi kudet deh.”

“Ya kalian udah tahu temannya kudet, tapi nggak mau kasih tahu apaan.” Anjani kini mulai berendam di air kolam yang hangat karena terpaan mentari pagi.

“Itu tuh maksudnya, hubungan mereka sugar daddy dan sugar baby. Mereka lagi main gula-gulaan. Udah paham sekarang?” tukas Fitri.

“Ooohh itu.” Anjani mengangguk paham. “Ya terserah mereka juga mau main gula-gulaan atau apa. Bukan urusan kita juga kan?”

“Memang bukan urusan kita. Cuma kan geli aja gitu lihatnya. Masih muda bukannya kerja malah milih jadi simpenan om-om.” Fitri kembali julid.

“Itu kan juga kerja, Fit. Kerja enak tapi.” Ami menyahuti dengan tawa yang cukup kencang.

“Nggak boleh gitu, kita kan nggak pernah tahu kehidupan si cewek bagaimana sampai dia akhirnya milih jalan kaya gini sekarang. Mungkin dia dari keluarga kurang mampu atau mungkin ada alasan lainnya yang membuat dia terpaksa milih jalan ini. Sudah, kita nggak berhak nge-judge tuh cewek. Mending kita cari makan siang yuk, gue lapar.”

Fitri dan Ami setuju. Mereka bertiga kemudian beranjak dari kolam renang. Tak lupa mengenakan handuk kimono untuk menutupi pakaian mereka yang basah. Setelah mandi dan berpakaian, mereka menuju sebuah restoran di lantai bawah. Tak disangka, di restoran tersebut, Anjani bertemu dengan Adinda dan Dimas yang juga tengah menyantap makan siang.

Miss Jani, makan bareng sama Dinda saja ya. Di sini.” Adinda yang begitu antusias bertemu dengan Anjani, menarik-narik lengan wanita itu.

“Sayang, tidak boleh dong. Miss Jani mau makan bareng dengan teman-teman Miss Jani. Dinda makan sama Ayah saja ya.” Dimas mencoba membujuk sang puteri.

“Tapi Dinda mau makan bareng sama Miss Jani. Dinda bosan makan berdua sama Ayah terus.” Adinda memasang wajah murung, berharap sang ayah mengabulkan permintaannya.

“Nanti ya, kapan-kapan kita undang Miss Jani ke rumah Oma. Kalau sekarang, Miss Jani kan sedang liburan.”

“Benar, Yah? Janji ya, Ayah nggak bohong.” Wajah Adinda kembali berbinar begitu mendengar bujuksan sang ayah.

Dimas menatap Anjani dengan canggung, setelah tersadar dengan ucapannya yang keliru. Ia sudah salah membuat janji pada sang putri yang mungkin saja tidak bisa saja ia kabulkan. Untuk apa pula ia “Maaf Miss Jani, maksud saya ….” Dengan gerakan kasual ia mengusap ujung alisnya yang tidak gatal.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya paham. Nanti Bapak bisa kabari saya soal undangan makannya.” Anjani tersenyum maklum pada Dimas.

Anjani akhirnya berpamitan untuk kembali ke meja di mana dua sahabatnya tengah menunggu. Namun sayangnya, begitu tiba di meja yang berjarak tak seberapa jauh dari meja yang ditempati Dimas dan Adinda, Anjani tak menemukan kedua sahabatnya. Ketika ia akhirnya menghubungi kedua sahabatnya, Fitri dan Ami kompak menjawab ada panggilan kerja mendadak. Dan Anjani tahu, kedua sahabatnya tengah mengerjainya.

Awas ya kalian!

Berbalik, Anjani dikejutkan dengan kehadiran Dimas yang sudah berdiri di belakangnya. 

“Pak Dimas.”

“Maaf kalau saya mengagetkan Miss Jani. Saya lihat Miss Jani seperti orang kalut tadi. Ada apa?”

Anjani menatap Dimas dengan pandangan terkejut. Ia tak menyangka dengan reaksi Dimas yang saat ini terlihat mengkhawatirkannya.

“Teman-teman saya pulang, mendadak ada urusan, Pak.”

“Oh begitu. Ya sudah, Miss Jani gabung ke meja kami saja kalau begitu.”

Anjani berpikir sejenak dan akhirnya mengiyakan permintaan Dimas. Tidak ada yang salah juga jika ia menerima permintaan Dimas dan Adinda untuk makan bersama. Ia lajang dan yang ia tahu Dimas sendiri juga adalah orang tua tunggal. Terlebih lagi, Adinda adalah salah satu anak asuhnya di Love Daycare yang penurut dan selalu ceria.

Mereka bertiga justru terlihat seperti keluarga kecil bahagia dengan satu anak yang super aktif dan ceria. Begitu menelan makanannya, Adinda selalu berantusias bertanya mengenai banyak hal pada Anjani. Sampai-sampai Dimas berulang kali menegur Adinda untuk berhenti berbicara dan fokus pada makanan mereka.

Hingga akhirnya ketiganya telah menghabiskan makanan mereka dan bersiap untuk pulang. Anjani baru saja ingat jika ia tak mengendarai mobil. Saat akhirnya ia memutuskan untuk memesan taksi daring, Dimas dengan sukarela menawarkan diri untuk mengantar Anjani.

“Biar saya naik taksi saja, Pak. Tidak apa-apa. Terima kasih,” ucap Anjani berusaha menolak. Alasan pertama karena ia tidak ingin merepotkan Dimas. Kedua, karena ia tidak ingin membuat kehebohan di rumah dengan diantar pulang oleh seorang pria. Anjani malas menjelaskan pada kedua orang tuanya jika ia tidak memiliki hubungan apapun dengan Dimas, agar orang tuanya tak salah paham nantinya.

Namun karena hujan yang semakin deras disertai angin kencang justru mengantarkan Anjani ke apartemen Dimas. Anjani memutuskan menerima penawaran Dimas untuk mampir ke apartemen pria itu selagi menunggu hujan reda.

“Saya buatkan cokelat hangat.” Dimas mengulurkan segelas cokelat hangat pada Anjani yang duduk dengan gelisah di sofa apartemennya. Tersenyum kecil, pria berumur tiga puluh lima tahun itu memandangi Anjani yang juga tersenyum kepadanya. 

“Terima kasih, Pak,” ucap Anjani menerima uluran segelas cokelat hangat dari tangan Dimas.

Suasana canggung menyergap keduanya sesaat, hingga Dimas akhirnya pamit undur diri untuk menemani Adinda tidur siang.

Sepeninggal Dimas, Anjani perlahan menyesap minumannya sembari menyusun kalimat di kepalanya untuk mengomeli Fitri dan Ami yang sudah dengan tega meninggalkannya. Ia kesal setengah mati pada kedua sahabatnya itu.

Anjani tersenyum melihat Dimas muncul dari kamar Adinda. “Dinda sudah tidur, Pak?”

“Sudah, barusan saja.” Dimas duduk di ujung sofa satunya. Pria itu lantas menoleh pada jendela di sisi barat ruangan memastikan hujan. Dan hujan masih turun cukup deras. “Masih hujan,” gumamnya kemudian.

“Iya masih hujan, Pak.”

“Kalau Miss Jani mau istirahat sembari menunggu hujan reda, bisa istirahat di kamar saya.” Dimas menawarkan.

“Saya di sini saja, Pak. Tidak apa-apa.”

“Atau istirahat di kamar Adinda, silakan.” Dimas memberikan opsi yang lain pada Anjani. Berusaha membuat tamunya merasa nyaman.

“Tidak, Pak. Terima kasih. Saya di sini saja.” Tepat selesai mengatakan kalimat itu, Anjani mendengar dering suara ponselnya. Ia pun segera meraih ponsel tersebut dari dalam tas dan seketika keningnya berkerut mendapati nomor asing yang menyala-nyala di layar ponsel.

Dimas yang ingin memberikan privasi pada Anjani akhirnya memutuskan untuk ke dapur. Pria itu duduk di meja makan, sembari menyesap kopi hitamnya. Sementara Anjani yang ingin memutuskan rasa penasarannya, akhirnya menjawan panggilan dari nomor asing tersebut.

“Selamat sore, dengan Anjani,” ucapnya membuka pembicaraan.

“Jani.”

Anjani sangat hapal dengan suara itu. Suara dari pria yang ia cintai dan ia benci secara bersamaan—Arjuna Fusena.

“Maaf salah sambung.” Ketus Anjani yang tidak ingin memperpanjang obrolan dengan Arjuna.

“Jani, saya tunggu di lobi. Kita pulang bersama.” Kali ini suara Arjuna terdengar dingin di rungu Anjani.

“Jani bisa pulang sendiri. Om Juna silakan pulang saja.”

“Kita pulang bersama, atau saya akan ke atas.”

“Kenapa Om Juna maksa-maksa Jani? Om Juna bukan ….” Anjani tidak meneruskan kalimatnya begitu ia sadar tengah berada di apartemen Dimas. Ia tidak mungkin mengatakan Om Juna bukan siapa-siapa Jani, sedangkan hubungan mereka adalah paman. Ia tidak ingin membuat Dimas bertanya-tanya dengan kalimatnya yang terdengar ambigu.

“Saya Om kamu, Jani. Dan saya berhak khawatir ketika kamu berada di satu ruangan dengan pria asing yang bukan siapa-siapamu. Turun lah Jani, kita pulang bersama.”


Bab 9

Cinta Seorang Anggita

Karena tidak ingin membuat Dimas bertanya-tanya mengenai hubungannya dengan Arjuna, akhirnya Anjani menerima permintaan Arjuna untuk pulang bersama pria itu. Dengan gondok, Anjani masuk ke dalam mobil Arjuna yang terparkir di basement apartemen.

Hujan masih cukup deras ketika mobil yang dikendarai Arjuna bergerak meninggalkan gedung apartemen. Arjuna mengendarai mobilnya dengan hati-hati karena jalanan yang licin dan beberapa bagian jalan dipenuhi genangan air. Pria itu hanya ingin mengantar Anjani pulang ke rumah dengan selamat. Awalnya ia tidak sengaja melihat story IG Anjani yang tengah berenang dengan menandai sebuah lokasi gedung apartemen tak jauh dari tempat tinggal mereka. Hujan yang kemudian mengguyur daerah tersebut menerbitkan perasaan khawatir pada hati Arjuna. Arjuna lantas menghubungi salah satu sahabat Anjani untuk memastikan keberadaan wanita itu. Ia sama sekali tak menyangka Anjani justru berada di sebuah apartemen pria berstatus duda anak satu yang juga klien Love Daycare.

Namun ada satu kalimat yang diucapkan oleh sahabat Anjani yang masih terus terngiang di kepala Arjuna. “Kalau Om Juna benar-benar sayang Anjani, biarkan Anjani menemukan pria yang tulus mencintainya, Om. Sebagai sahabat, kami hanya ingin melihat Anjani bahagia. Bukan terus-terusan mengharapkan Om Juna, yang bahkan tidak bisa memberikan jawaban ya atau tidak ketika Anjani mengutarakan perasaannya.”

Anjani yang kesal pada sikap Arjuna memilih untuk diam sepanjang perjalanan mereka menuju rumah. Ia kesal dengan Arjuna yang sok perhatian padanya, padahal dulu pria itu dengan tega meninggalkan dirinya dengan luka hati yang sekarang masih berdarah-darah. Ia semakin kesal karena jalanan di depan sana justru tersendat entah karena apa. Berdecak kesal, Anjani memilih memejamkan mata.

Arjuna bukan tidak mengetahui kekesalan Anjani. Namun pria itu juga memilih untuk diam, karena tidak ingin membuat Anjani semakin kesal padanya. Yang terpenting saat ini, ia hanya ingin mengantar pulang gadis di sampingnya dengan selamat.

Jalanan yang macet entah karena apa juga membuat Arjuna kesal. Ia berulang kali mengumpat lirih ketika hingga bermenit-menit mobil tidak bisa bergerak sama sekali. Pria itu semakin kesal, ketika Anggita berulang kali meneleponnya. Padahal ia sudah denga jelas mengirim pesan, sedang mengantar Anjani pulang.

Anjani yang terganggu dengan dering ponsel milik Arjuna pun membuka mata. Dengan amarah yang sejak tadi coba tahan, ia berkata sinis, “ponselnya dibuang saja Om, kalau nggak mau jawab telepon. Ganggu orang tidur aja!”

Jalanan yang mulai lancar kembali membuat Arjuna urung menjawab, yang membuat Anjani semakin kesal karena merasa diabaikan. 

“Dasar om-om nyebelin!”

Arjuna tersenyum kecil mendengar umpatan Anjani. Menoleh sekilas, ia berucap, “maaf ya.”

“Om Juna sadar nggak sih kalau Om Juna tuh nyebelin!” gemas Anjani menatap Arjuna. 

“Saya tahu.”

“Kalau sudah tahu kenapa masih nyebelin? Bisa nggak, Om Juna balik ke luar kota lagi supaya enggak merecoki hidup Jani lagi.”

“Kamu tidak ingin saya di sini?” Arjuna bertanya lirih. 

“Ya!” Anjani menjawab cepat setengah berteriak. “Jani nggak mau Om Juna ada di sekitar Jani lagi dan Jani juga nggak mau bertemu Om Juna lagi sampai kapan pun!”

Arjuna menoleh sekilas pada Anjani yang menatapnya nyalang. Pria itu sama sekali tidak terkejut dengan pernyataan Anjani. Ia memakluminya. Karena sekali lagi ia sadar, hubungannya yang memburuk dengan Anjani karena sikap pengecutnya di masa lalu.

Hingga tiba di kediaman orang tua Anjani, Arjuna memilih untuk tidak menimpali kalimat Anjani. Karena ia tidak ingin membuat gadis itu semakin kesal padanya.

Arjuna tiba di kediaman sang ibunda ketika hujan hanya tinggal menyisakan rintik-rintik kecil, setelah memastikan Anjani tiba di rumah dengan aman. Meski ia harus menahan diri untuk tidak berkata-kata yang justru akan semakin memancing amarah Anjani.

 Arjuna memasuki rumah disambut wajah cemberut Anggita. Namun pria itu tetap tersenyum dan tak lupa mendaratkan kecupan ringan pada surai Anggita. Rutinitasnya selama enam tahun ini. Meski mereka hanya terikat sebuah pernikahan kontrak, namun Arjuna tetap berusaha memenuhi kebutuhan lahir dan batin Anggita secara baik.

“Ibu mana, Git?” tanya Arjuna berusaha mencairkan suasana, meski hingga mereka memasuki kamar, Anggita masih tetap cemberut.

“Ibu sedang istirahat. Kelelahan tadi habis jalan-jalan ke taman dengan Malik.” Anggita menjawab sembari menyiapkan pakaian bersih untuk Arjuna.

“Maaf tadi tidak menjawab teleponmu, Git. Saya sedang di jalan. Ada apa?” tanya Arjuna kemudian.

Anggita membalikkan badan dan menatap Arjuna dengan sendu. “Tadinya aku ingin meminta diantar ke dokter.”

“Kamu sakit?” Arjuna seketika berdiri dan menempelkan punggung tangannya pada kening Anggita. Detik selanjutnya ia bisa merasakan jika sang istri tengah terserang demam. “Kamu demam. Kita ke dokter sekarang ya,” ajak Arjuna kemudian.

“Aku sudah tidak apa-apa.” Anggita menolak. Sejujurnya ia hanya terserang demam biasa. Ia menghubungi Arjuna hanya karena ingin diperhatikan oleh pria itu. Namun nyatanya, waktu enam tahun tidak cukup membuat dirinya menjadi penting bagi Arjuna. Karena Anjani masih menempati posisi pertama sebagai orang terpenting di hidup pria itu, selain ibunda Arjuna.

Arjuna lantas menuntun Anggita ke tempat tidur. “Kalau begitu kamu istirahat,” ucapnya setelah membaringkan Anggita ke tempat tidur mereka. “Kamu perlu apa? Biar saya siapkan.”

“Aku nggak perlu apa-apa, Ar. Aku hanya butuh kamu di sampingku saat ini.” Anggita menarik lembut lengan Arjuna yang membuat pria itu mau tak mau duduk di samping Anggita.

“Kenapa kamu melow sekali hari ini, Git? Ada apa?” tanya Arjuna khawatir.

“Kamu mau dengar ceritaku, Ar?”

“Kapan saya nggak pernah dengarkan ceritamu, Git? Katakan, ada apa?”

“Dua hari lalu, orang tuaku menelepon.” Anggita menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. Karena mungkin Arjuna tidak menyukai topik pembahasan kali ini. “Mereka bilang, kalau kita berencana melakukan program bayi tabung, mereka siap membantu biayanya, Ar.”

Arjuna terhenyak mendengar penuturan Anggita. Tentu lah siapa pun mengira, jika salah satu diantara dirinya dan Anggita ada yang bermasalah dengan kesuburan. Karena setelah meninggalnya bayi Anggita, Anggita belum kunjung hamil kembali hingga kini. Sehingga membuat orang tua Anggita berpikir agar mereka melakukan program bayi tabung. Padahal kenyataannya memang mereka selalu memakai alat kontrasepsi setiap kali berhubungan. Dan rutinitas panas tersebut pun jarang mereka lakukan, karena Arjuna kerap memikirkan Anjani ketika melakukannya. Arjuna tetap memenuhi kebutuhan batin Anggita, karena tak ingin menjadi suami dzalim, meski status pernikahan mereka hanya sebuah pernikahan kontrak.

“Aku bingung harus jawab apa pada orang tuaku, Ar. Orang tuaku tidak tahu pernikahan seperti apa yang sedang kita jalani. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada mereka. Kamu tentu tahu, aku adalah anak tunggal. Dan orang tuaku saat ini sudah semakin berumur. Mereka sangat mengharapkan cucu dariku, Ar.”

“Kita tidak bisa memiliki anak, Git.”

“Apa perasaan cintamu pada Jani benar-benar tidak bisa dihapuskan, Ar?”

“Saya masih mencintainya. Maaf.”

“Lalu bagaimana denganku, Ar?”

“Kita berpisah saja kalau begitu.” Arjuna menjawab pelan. “Kamu bisa menikah dengan pria lain yang mencintaimu dan kalian bisa memiliki anak.”

“Apa hanya itu solusinya, Ar?” tanya Anggita dengan raut kecewa. Ia masih menyimpan harapan Arjuna bersedia melupakan Anjani dan mulai belajar mencintainya. Namun sepertinya itu mustahil.

“Kamu ingin bagaimana, Git?”

“Aku ingin memiliki anak darimu, Ar.”

“Anggita ….”

“Aku mencintaimu, Ar. Maaf.”


Bab 10

Insiden Bioskop

Anjani memblokir nomor yang ia ketahui sebagai nomor Arjuna. Ia benar-benar marah pada pria yang sudah seenaknya mematahkan hatinya. Lalu datang kembali seperti tanpa dosa dan justru merecoki hidupnya. 

Om Juna nyebelin memang!

Anjani membuka buku hariannya. Mengambil selembar potret dirinya bersama Arjuna ketika ia masih berumur 14 tahun. Ia mengamati foto tersebut selama beberapa saat. Dadanya kembali berdenyut nyeri, ketika kenangan menyakitkan enam tahun lalu kembali melintas di ingatannya. Entah sebutan apa yang pantas ia berikan pada Arjuna. Pria itu benar-benar pengecut dan sore ini justru bersikap seperti seorang pria yang tengah cemburu dengan kekasihnya. Padahal faktanya, pria itu yang telah membuatnya trauma untuk jatuh cinta lagi pada pria manapun.

 Anjani lantas merobek lembaran foto itu menjadi potongan kecil-kecil lantas melemparkan potongan itu pada tempat sampah di samping meja rias. Untuk saat ini, ia begitu membenci Arjuna.

Setelah makan malam dengan kedua orang tuanya dan menceritakan kegiatannya hari ini, Anjani pamit kembali ke kamar. Gadis berkulit putih itu membaringkan tubuhnya di ranjang miliknya yang nyaman. Ia lantas meraih ponsel dan membuka room chat yang beranggotakan dirinya, Fitri dan Ami. Ia akan meminta pertanggung jawaban pada Fitri dan Ami karena telah meninggalkannya seorang diri di restoran. Hingga membuatnya terpaksa pulang bersama Arjuna.

Me: Kalian kenapa ninggalin aku sendirian di restoran?

Fitri: Yakin, sendirian?

Ami: Bukannya sama duren yaaak?

Me: Oh, jadi kalian sengaja ninggalin aku biar aku bisa berduaan sama Pak Dimas, begitu? Makasih kalau begitu. Berkat kalian, sore tadi aku diantar pulang sama Om Juna.

Lalu panggilan video dari Fitri memenuhi layar ponsel milik Anjani. Anjani pun segera menjawab panggilan tersebut, yang seketika muncul wajah Fitri juga Ami.

“Apa? Puas kalian bikin gue pulang bareng Om Juna?” tanyaku sewot.

“Kok bisa sama Om Juna?” Ami berseru kaget.

“Iya, kok bisa sama Om Juna? Kita ninggalin elo tuh tujuannya supaya elo bisa pulang bareng sama Mas Duren. Kenapa jadi sama Om Juna?” Fitri mengimbuhi.

“Mana gue tahu.” Anjani mengendikkan bahu. 

“Tapi memang Om Juna sempat telepon kita sih. Terus gue jawab aja, elo lagi ngobrol sama Pak Dimas di resto apartemen,” terang Ami.

“Kok Om Juna bisa punya nomor telepon kalian?” tanya Anjani terheran-heran.

“Ya mana gue tahu.” Terlihat di layar ponsel, Fitri mengendikkan bahu.

“Terus kenapa Om Juna juga bisa tahu kalau gue di apartemen Pak Dimas?”

“Eh, kok lo bisa di apartemen Pak Dimas sih?”

“Waaah gercep dong, Pak Dimas, langsung ngajakin lo ke apartemennya.”

Tentu saja keterangan Anjani membuat kedua sahabatnya heboh. Fitri dan Ami sudah lama menantikan waktu di mana Anjani bersedia membuka hati pada seorang pria. Keduanya sangat berharap, Anjani dan Dimas bisa menjadi sepasang kekasih bahkan menikah jika memang berjodoh. Dan Fitri lah, yang berandil besar mengenalkan Anjani dan Dimas. Fitri yang merekomendasikan daycare milik Anjani pada Dimas. Kebetulan kekasihnya—Yogi cukup kenal baik dengan Dimas.

“Nggak usah mikir aneh-aneh!” judes Anjani mengingatkan. “Karna hujan deras dan angin kencang, jadi gue terpaksa mampir ke apartemen Pak Dimas sambil nunggu hujan reda,” terangnya. Karena tak ingin kedua sahabatnya salah paham.

“Oh, jadi kepaksa ya? Nggak kepaksa juga nggak apa-apa kok. Kita ikutan seneng. Iya nggak, Mi?”

“Iya lah. Aku juga ikhlas deh dikurung sama hot duda macam Pak Dimas.”

“Nggak usah mikir aneh-aneh deh, kalian. Pak Dimas itu walinya Adinda, anak asuhku. Udah, titik.”

Obrolan kemudian berganti topik membahas tentang film horror yang mengisahkan sekumpulan mahasiswa yang tengah menjalani program Kuliah Kerja Nyata di sebuah desa terpencil. Anjani dan kedua sahabatnya bersepakat untuk menonton film yang tengah menjadi pembicaraan khalayak ramai itu, akhir pekan nanti.

Tiga hari kemudian, ketika Anjani baru saja menyelesaikan makan siang di luar bersama beberapa pengajar daycare, Arjuna sudah menunggu di ruang khusus tamu. Pria dewasa itu segera berdiri dan tersenyum tipis begitu Anjani muncul dari pintu utama daycare.

Air muka Anjani berubah masam mendapati Arjuna berada di daycare-nya. Tanpa repot-repot membalasa senyum Arjuna, gadis itu mendekat dan berdesis pelan namun penuh penekanan. “Ada perlu apa Om Juna ke sini?”

“Tadinya saya mau mengajak kamu makan siang.” Arjuna menjawab lugas sembari mempertahankan senyumnya.

“Kita bicara di ruangan Jani,” ajak Anjani yang berjalan ke ruangannya dan Arjuna mengekor di belakangnya.

Begitu Arjuna sudah sepenuhnya memasuki ruangan pribadinya, Anjani segera menutup pintu. Ia kemudian berbalik, menatap nyalang pada Arjuna yang berdiri dengan tenang di tengah ruangan.

“Nomormu tidak bisa dihubungi,” tukas Arjuna. “Apa kamu berganti nomor?”

“Nomor Om sudah Jani blokir,” terang Jani ketus.

Wajah Arjuna berubah pias. “Kenapa?” tanyanya dengan nada kecewa.

“Kenapa? Om masih tanya kenapa?” tanya Anjani diselingi tawa frustrasi.

“Jani ….” Arjuna bingung harus berkata apa, karena tiga hari lalu Anjani jelas-jelas sudah mengatakan tak ingin bertemu lagi dengannya.

“Lebih baik Om Juna pergi dari sini sekarang! Sebelum orang-orang di sini curiga,” usir Anjani akhirnya.

Arjuna menghela napas sebelum akhirnya ia meninggalkan ruangan Anjani tanpa berkata apa-apa lagi. Namun ia tak akan pernah menyerah untuk menemui Anjani demi memperbaiki hubungan mereka.

Akhir pekan pun tiba. Ketiga sahabat itu sudah bersiap menuju bioskop menggunakan mobil milik Fitri. Berangkat dari kediaman Anjani, ketiganya bertukar cerita sembari bernyanyi sepanjang perjalanan. 

“Nanti kalau Yogi udah datang, kalian nggak boleh gangguin kita pacaran lho ya,” ucap Fitri setelah memastikan mobil terkunci sempurna.

“Iya, Nyonyah, kita nggak akan ganggu kalian pacaran.” Ami yang menyahuti dengan senyum menggoda.

“Tapi masa kalian nge-date nonton film horor sih. Nggak romantis amat.” Anjani turut mencibir.

“Mau horor atau film romantis, tetap bisa romantis kok, Jan. Kan nanti bisa bikin film sendiri di dalam begitu lampu dimatiin.” Ami kembali menggoda Fitri.

“Enak aja lo pada. Gue nggak semurah itu mau nganuan di bioskop,” sergah Fitri tak terima.

“Berarti kalau di tempat lain sering nganuan dong ya.” 

“Enak aja lo, Mi. Gue masih bisa jaga diri dong.”

“Sudah, Mi. Kasihan Fitrinya digodain terus,” ujar Anjani menengahi.

Setibanya di bioskop mereka hanya menunggu selama sepuluh menit sebelum masuk ke sisi gedung teater satu yang menayangkan film yang akan mereka tonton. Anjani yang memang penakut, sepanjang film diputar menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Begitu film berakhir, Anjani bernapas lega dan langsung mendapat cibiran dari kedua sahabatnya.

“Ya kali kamu kalah sama sepupu gue yang masih SMP, Jan. Sepupu gue aja tiap ada film horror selalu nonton lho.”

“Jangan disamain dong, Mi. Anjani mah beda. Dia sih hati dan jiwanya udah terkontaminasi sama film dan drama cinta-cintaan. Nonton thriller aja Jani nggak berani kan? Tapi mending lah tadi, Jani nggak pipis di celana.”

“Sumpah gue nggak kebayang kalau Jani sampai pipis di celana tadi.”

“Kalian kok Jahat banget sih,” protes Anjani cemberut karena sejak tadi menjadi bahan bully—an kedua sahabatnya.

“Sudah-sudah. Kasihan tuh Janinya diledek terus.” Yogi menengahi karena tak tega melihat wajah mengenaskan Anjani. 

“Anjani.”

Panggilan dari seorang wanita dari sisi kanan kelompok Anjani mengalihkan perhatian keempat orang dewasa itu. Anjani dan kedua sahabatnya yang terkejut melihat si pemilik suara itu yang ternyata adalah Anggita. Di sisi wanita itu, berdiri Arjuna yang menatap Anjani dengan pandangan sendu. 

“Gila, itu si Tante sama Om Juna.” Ami berbisik. 

“Mereka ngapain di sini?”

“Main gundu,” sahut Ami asal. “Ya nonton lah, Fit. Mau ngapain lagi memang.”

Anjani yang tak tahu harus merespons bagaimana, karena ini adalah kali pertama ia bertemu langsung dengan Anggita hanya mampu tersenyum tipis.

“Kalian habis nonton Sang Penari juga?” tanya Anggita yang sudah berdiri tepat di hadapan kelompok Anjani dengan tangan yang bergelayut manja di lengan Arjuna.

“Iya, Tante.” Ami dan Fitri menjawab serempak.

“Waah, tapi nggak ketemu ya tadi di dalam. Di teater satu juga, kan?”

“Iya, Tante.” Lagi, Fitri dan Ami menjawab serempak.

“Jani, habis ini mau ke mana? Mau pulang bareng sama kami?” Anggita kali ini menatap Anjani yang sejak tadi diam.

Anjani menggeleng tegas sebelum menjawab. “Makasih, Tante. Jani mau pulang sama teman-teman Jani aja,” tolak Anjani berusaha menampilkan senyum ramahnya. Karena meski sudah berusaha mengalihkan tatapannya dari sepasang suami istri di depannya kini, maniknya sesekali tertuju pada tautan lengan Anggita pada lengan Arjuna. Sulit dipungkiri, jika hal tersebut menimbulkan nyeri yang tak seharusnya ia rasakan. 

Makanya move on, Jani!

Bersambung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya I Love You, Uncle! Bab 11-15
13
1
Tentang Jani yang mencintai Juna, yang tak lain adalah paman tirinya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan