
Deskripsi
Kota Nan Centang Perenang adalah sebuah puisi terbaik pilihan editor antologi cerpen bertajuk “Sendirian" yang diterbitkan oleh Sila Project dan Penerbit Kalana.
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Sebelumnya
Solilokui Rinai Hujan
0
0
Tatkala hujan mereda, itulah saat dimana tangisku menggema. Menjejali relung hati yang seperti diiris-iris sebilah pisau bernama peristiwa. Duhai, apakah dia di ujung sana, masih melihatku seperti sedia kala?Masih melekat dalam dinding ingatanku bagaimana wajah tirusnya yang sudah berisi menegang menampakkan rahang yang sejatinya selalu tersembunyi di balik senyuman. Matanya yang sayu melebar seketika dan berhenti berkejap, seolah saraf-saraf di sekeliling bola matanya menjadi tali-temali yang tertarik sampai ke belakang retina. Duhai, apakah dia serupa jasad tanpa sukma yang ruhnya dibetot malaikat pencabut nyawa?Masih pula ingatanku memutar ulang romansa hujan kali pertama kami bersama. Tak ada kata-kata, Tak ada rasa kantuk. Dalam tempo lebih dari tujuh ribu dua ratus detik degup jantungku seolah melompat-lompat, tidak beraturan, berdentam tak karuan. Romansa di atas roda dua yang melaju tanpa ragu meski derai hujan telah menjadi lagu yang bahkan sama sekali tidak merdu. Entah darimana keberanian memeluk tubuhnya yang ramping menyeruak hadir. Seolah naluri memberangus logika. Pikirku semua bisa saja mati saat hujan berhenti nanti karena dinginnya ditajamkan angin dan diasah gigil. Kubenamkan rahangku yang gemetar pada punggungnya yang berselimut jaket beludru basah. Kupejamkan mataku dalam-dalam, berharap bumi berhenti berputar dan waktu berhenti berjalan. Aku tak ingin pulang. Duhai, apakah dia masih mengingatku seperti sosok adiknya yang telah lalu, yang meregang nyawa di atas aspal berselimut debu?Nostalgia yang manis bersamanya selalu saja tersapu mudah oleh parasnya yang menampilkan kekecewaan. Kesalahan yang kulakukan, meski tidak ada sangkut paut dengan dirinya, mau tak mau menyeret namanya pula. Dia, mau tak mau, merasakan getirnya corengan nama sebagai imbas sosokku yang selalu membayangi kehadirannya. Dia, mau tak mau, melupakan cara bertutur lembut dan menggantinya dengan diam sebagai bahasa amarah. Sementara aku, meskipun tak mau, tersiksa oleh penyesalan sedalam palung Mariana yang membuatku terus merana. Duhai, tahukah dia bahwa aku sungguh tersiksa?Jika aku mendapat kesempatan untuk hidup sepanjang zaman ke depan, maka mungkin akan ada rinai hujan yang setiap rintiknya memukul-mukul ruhku, meronta-ronta membanjiri tangisku yang tak berisak dan beriak air mata. Duhai, sanggupkah aku memilin jiwa ini saat mengenang sosoknya di setiap derai hujan? Depok, 18 Agustus 2019
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan