Suami 500 juta - Bab 2 Bantuan yang Mengejutkan

0
0
Deskripsi

“Kalian mesra sekali.” Tante Frederika berkomentar.

"Sudah kuduga tanteku ini bermuka dua, mana mungkin dia bersedih dengan kematian kakak tirinya. Aku yakin ada maksud tertentu sampai dia pulang ke Indonesia untuk melayat." Pikir Narada terus berguman dalam hati.

Tiba-tiba saja tante Frederika  duduk di sebelah mereka lalu dengan centilnya mencoba berbicara dengan baik kepada Narada dan kedua adiknya.

“Kalian mesra sekali.” Tante Frederika berkomentar.

"Sudah kuduga tanteku ini bermuka dua, mana mungkin dia bersedih dengan kematian kakak tirinya. Aku yakin ada maksud tertentu sampai dia pulang ke Indonesia untuk melayat." Pikir Narada terus berguman dalam hati.

Tiba-tiba saja tante Frederika  duduk di sebelah mereka lalu dengan centilnya mencoba berbicara dengan baik kepada Narada dan kedua adiknya.

“Tante, ingin menunjukkan sesuatu kepada kalian. Tante rasa waktu berkabung kalian tujuh hari saja sudah cukup, kan?” Masih dengan senyuman yang terlihat menjengkelkan.

"Apa maksudnya dengan berkata tujuh hari? Kita berkabung dan kehilangan untuk selama-lamanya, kenapa tante bisa bilang tujuh hari itu cukup." Narada membatin dengan jengkel melihat ke arah tantenya.

“Oke, Langsung kepada intinya saja. Kalian harus membaca surat perjanjian ini!” Tante Frederika mengambil sebuah amplop dokumen dari dalam tasnya lalu memberikan amplop itu kepada Narada.

Narada pun menerima amplop itu, Narada mulai membuka amplop dokumen lalu melihat sendiri apa isinya. Narada menemukan satu bendel kertas lalu dikeluarkannya dari dalam amplop. Narada membaca perhalaman hingga membuat keningnya berkerut, adik laki-lakinya pun ikut membaca walaupun tidak semua. Narada terkejut, mulutnya mulai menganga lebar membaca dokumen itu lembar demi lembar.

“Apa maksud tante?” Narada ingin penjelasan nyata dari mulut tantenya yang tidak punya perikemanusiaan ini.

“Tante yakin kamu sudah paham dengan isi surat perjanjian itu, kamu bukan mahasiswi yang bodoh, kan?Rumah dan tanah ini otomatis menjadi milik tante ketika ayah kalian meninggal. Itu resikonya jika berani berhutang dengan tante. Jadi—“

“Jadi tante ingin mengusir kita dari rumah ini?” sahut Narada sedikit meninggikan suaranya, perasaan yang berkecambuk bercampur dengan emosi yang ditahannya kuat-kuat. Narada ingin mengetahui maksud yang sebenarnya dari tantenya ini.

“No, no, no ... tante tidak mungkin berbuat sejahat itu dengan keponakan – keponakan tante. Tante akan membawa kalian ke Paris. Rumah ini akan tante jual, karena mungkin tante tidak akan pernah kembali lagi ke Indonesia, begitu juga dengan kalian bertiga. Kehidupan kalian akan jauh lebih baik disana. Pendidikan dan kehidupan kalian akan sangat terjamin,” Penjelasan Tante Frederika terlihat sangat meyakinkan tapi tidak sedikitpun menggoyahkan Narada untuk tergiur dengan tawarannya.

Narada tersenyum menyeringai. “Sudahlah Tan, tidak usah bersandiwara di depan kami. Jaminan yang tante berikan itu pasti tidak gratis, kan?Aku yakin pasti ada maksud di balik semua ini.” Narada sedikit menjelaskan pikirannya kepada tante Frederika.

Tante Frederika langsung berdiri tertawa dengan begitu keras. “Ha, ha, ha, ha ... itulah mengapa tante ingin membawamu dan adik-adikmu ke Paris. Kalian terlahir dengan kecerdasan dari ayah kalian, tante yakin kalian bisa bekerja untuk tante di sana. Memang betul sekali, jaminan kehidupan kalian di Paris itu tergantung kerja keras kalian, kita harus berfikir realistis karena semua tidak ada yang Gratis.” Senyuman Tante Frederika adalah sesuatu yang paling di benci oleh Narada, itu bukan tanpa alasan. Karena, senyuman Tante Frederika selama ini selalu menyimpan sesuatu yang buruk untuk Narada dan keluarganya.

Narada tidak banyak berfikir lagi. “Bagaimana jika aku menolak tawaran tante?Apa yang akan tante lakukan?” Narada mencoba peluang untuk bernegosiasi, ia ingin sekali tetap tinggal di Indonesia. Ia takut mendapatkan kesialan yang lebih banyak ketika hidup dengan seseorang seperti Tante Frederika.

“Well, tante sudah menduga kalau kamu pasti akan menanyakan hal ini. Okey, tante tidak keberatan, kamu tetap bisa tinggal di Indonesia dan tetap bisa tinggal di rumah ini dengan syarat kamu harus membeli rumah dan tanah ini seharga lima ratus juta. Tapi ... kamu harus memberikan uang itu selama dua minggu,” jelas Tante Frederika sambil memainkan kuku jemari di kedua tangannya.

Narada menggeleng-nggelengkan kepalanya dengan perasaan kesal masih duduk di sofa. “Tante memang licik.”

“Apa kamu bilang?” Tante Frederika mendekati Narada. Sifat asli Tante Frederika muncul dalam sekejap sambil mencengkeram dagu Narada dengan cukup keras.

"Apakah aku salah?Tante memang sangat licik." Narada mengulangi ucapannya lagi. Tangan Tante Frederika yang mencengkeram dagu Narada semakin kuat, Narada mencoba menahan dan masih terus menatap tajam mata tantenya sambil menutupi wajah Sifana dengan telapak tangannya agar Sifana tidak melihat kekerasan yang dilakukan tantenya ini kepadanya.

Melihat Tante Frederika menyakiti kakaknya. Taro mencari cara untuk menghentikan tantenya ini. Ia berdiri dari tempat duduknya mendekat ke arah tantenya lalu dengan tiba-tiba menggigit dengan cukup kuat pergelangan tangan tantenya hingga membuat tantenya ini berteriak.

“Aww!” Tante Frederika spontan melepas tangan kanannya yang sedang mencengkeram dagu Narada, lalu melihat luka gigitan yang sedikit mengeluarkan darah di pergelangan tangan kanannya. Tante Frederika terlihat kesal dengan membabi buta tante Frederika mendatangi Taro kemudian menjambak rambutnya dengan sangat keras.

"Jadi kamu berani dengan Tante?" Suara menggertak mulai terdengar.

Narada memerintahkan Sifana untuk masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Sifana pun menurut karena ia sangat takut melihat kejadian ini.

“Aww, sakit tante, ampun, lepasin Tante!” teriak Taro sambil memegangi rambutnya.

Narada mengumpulkan segenap tenaganya lantas mendorong tubuh tantenya dengan sekuat tenaga untuk menjauh dari adiknya dan tantenya berhasil jatuh ke lantai. Narada sudah benar-benar emosi, untuk pertama kalinya dia melawan orang yang lebih tua dari dirinya.

"Mulai detik ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai tanteku lagi. Kamu bisa menyakitiku sesuka hatimu, tapi kamu tidak bisa menyakiti kedua adikku, Ingat itu!" Gertakan itu membuat Tante Frederika terkejut dan terdiam sejenak, anak yang begitu manis bahkan tidak pernah marah ini bisa meperlihatkan emosinya dengan begitu mengerikan.

Tante Frederika perlahan berdiri. Ia mengatur nafasnya lagi untuk mulai berbicara dengan Narada yang sepertinya sudah bersiap siaga untuk menghantamnya kapan saja.

"Baiklah, sekarang beri aku jawaban!Apa yang akan kamu pilih?" Tante Frederika mencoba mengalah dan menahan emosinya.

Kebimbangan mulai terlintas di benak Narada, tapi ia tidak boleh terlihat lemah disaat seperti ini. Ia adalah seorang kakak sekaligus orang tua untuk kedua adiknya sekarang.

"Aku memilih untuk membayar lima ratus juta dalam waktu dua minggu." Narada mengucapkan dengan mantap walaupun terselip kebingungan yang teramat sangat di dalam benaknya saat ini. Ia sadar bahwa uang lima ratus juta bukanlah uang yang sedikit.

"Kamu cukup berani mengambil resiko. Aku tunggu pembayarannya dalam waktu dua minggu, jika uang itu belum sampai ke tanganku dalam waktu dua minggu, aku akan mengusirmu dengan paksa dari rumah ini dan kamu akan tidur beratapkan langit bersama kedua adikmu di luar sana. Aku tidak akan pernah peduli lagi dengan kalian." Tante Frederika mengambil tasnya di sofa lalu pergi begitu saja tanpa menunggu tanggapan dari Narada.

Tanpa terasa malam hari pun tiba, Narada menemani adik-adiknya yang sudah terlelap di kamar mereka. Narada memutuskan untuk tinggal di kamar mereka berdua dan tidur bersebelahan dengan kedua adiknya. Namun, mata Narada tidak mau terpejam. Ia hanya mampu berguling ke sana ke mari sambil memikirkan cara untuk mendapatkan uang lima ratus juta.

Akhirnya, Narada memilih untuk beranjak dari tempat tidur dan kembali ke kamar tidurnya. Ia duduk di meja belajar lalu menyalakan laptop kesayangannya. Tampilan awal laptopnya adalah foto keluarga yang lengkap ketika mereka liburan ke puncak.

Perlahan air matanya menetes membasahi kedua pipinya, bayangan kebahagiaan ketika masih ada orang tuanya muncul di dalam benaknya, dia meratapi nasibnya sendiri, dia sedikit frustasi dengan keadaannya ini.

"Ayah ... Ibu ... Tolong aku! Apa yang harus aku lakukan?"

Sejenak Narada berfikir, mencoba berdoa dalam hati dan menenangkan pikiran di dalam kepalanya saat ini. Ia mengusap air matanya perlahan dengan tisu yang ada di meja belajar, ia mulai berfikir dan mencari cara melalui media internet. Ia mencoba mempraktikkan beberapa cara yang ia temukan di interner seperti menghubungi beberapa temannya untuk meminta pertolongan mereka dan mencari pekerjaan. Narada mulai melakukan cara pertama.

Satu persatu Narada mencoba menghubungi tapi detik itu juga teman-temannya menolak. Sampai suatu ketika dia menghubungi sahabat baiknya yang memang anak orang kaya dia bernama Leri.

Narada : "Halo Ra, tumben telpon pagi – pagi ada apa?"
Leri : "Aku bingung harus meminta pertolongan siapa, apa kamu bisa meminjamkan aku uang lima ratus juta, Ler?"
Narada : "Apa? Lima ratus juta?Buat apa uang sebanyak itu?!” nada suara Leri terlihat sangat terkejut.
Akhirnya Narada menceritakan semua masalahnya kepada Leri tentang ucapan tante Frederika dan semua yang harus ia tanggung saat ini.
Leri : "Gila tuh tante, dia tega banget sama kamu, Ra. Tapi, uangku nggak ada kalau segitu banyak, Ra. Mungkin, kalau kamu pinjem satu juta sampai lima juta aku ada."
Narada : " Aku bingung banget, Ler. Apa yang harus aku lakukan?Kamu bisa bantu aku mencari ide?"
Leri : "Tunggu!Gimana kalau aku bicarain ini ke Papa? Nah, gimana kalau nanti kita ketemuan aja jam sebelas di cafe biasa?" Leri mencoba memberikan harapan kepada Narada.
Narada : "Iya, boleh. Makasih banyak ya Ler bantuannya, semoga kamu bisa memberikan kabar baik buat aku."Narada sedikit menitipkan harapannya kepada Leri.
Leri : "Sama-sama Narada. Aku tahu pasti hal ini sulit buat kamu, oke aku ngobrol dulu sama papa, ya?"
Narada : "Oke Ler, see you!"
Leri : "See you, too."

Percakapan telepon itu pun berakhir. Narada langsung bergegas ke dapur, mengesampingkan segala kesedihannya dan mencoba untuk menjadi seorang kakak yang begitu tegar. Narada membuat sarapan untuk adik-adiknya, membangunkan mereka berdua, memandikan adiknya yang masih kecil, mengantarkan Taro ke sekolah. Ia membawa Sifana untuk melamar pekerjaan paruh waktu agar bisa menyambung  kehidupannya kini, beberapa tempat Narada datangi sambil menggendong Sifana untuk memasukkan surat lamaran pekerjaan.

Tabungan peninggalan ayah dan ibunya sudah di wariskan ke tangannya saat ini. Tabungan orang tuanya yang tidak terlalu banyak, digunakannya untuk membiayai kebutuhan mereka sehari-hari sambil menunggu dirinya mendapatkan pekerjaan.

Tanpa terasa sudah pukul sebelas, Narada dan Sifana menaiki taksi yang baru saja di hentikannya saat dirinya berdiri di pinggir jalan. Mereka pun masuk ke dalam taksi dan berangkat menuju ke Cafe yang di maksud oleh Leri.

***

Di Cafe, leri sudah memesan tempat duduk untuk mereka berbincang nanti. Ia sudah memesan beberapa minuman dan makanan untuk mereka. Narada pun sampai di depan cafe, ia turun dari taksi lalu masuk ke dalam cafe. Dari kejauhan Leri sudah melihat Narada menggandeng adiknya Sifana, Narada juga sudah melihat keberadaan Leri, mereka saling melambaikan tangan lantas membuat Narada dan Sifana segera menghampiri Leri.

“Hai Ler, nunggunya lama ya? Maaf, tadi macet juga di jalan.” Narada sedikit memberikan penjelasan.

“Nggak kok, Ra. Aku sangat paham suasana di Jakarta seperti apa, aku juga baru aja sampai.” Kemudian Leri melemparkan senyuman ke wajah gadis kecil yang memandangnya sejak tadi.

“Sifana tambah cantik ya? Udah semakin besar sekarang.” Puji Leri sambil mengelus pelan rambut panjang Sifana yang duduk bersebelahan dengannya.

“Makasih, Kak Leri, “ jawaban imut terlontar dari mulut Sifana.

Tiba-tiba minuman dan makanan datang.

“Makasih,” kata Leri kepada pelayan yang mengantarkan.

“Kamu memesan makanan sebanyak ini?” Narada sedikit khawatir karena dia tidak punya untuk membayar makanan dan minuman mahal di Cafe itu.

“Kamu tidak usah khawatir, aku tahu kamu sedang dalam masa sulit. Aku traktir kamu Ra hari ini.” Leri tersenyum sambil membantu Sifana memakai celemeknya untuk memakan kentang goreng kesukaannya. Maklum, Leri juga sudah lama dekat dengan keluarga Narada, sampai adik-adiknya pun sudah menganggap Leri seperti kakak kandungnya sendiri.

“Okey, aku langsung to the point. Aku sudah membicarakan masalah ini ke Papa, tapi mohon maaf banget karena uangnya terlanjur digunakan dalam sebuah proyek. Papa sebenarnya mau membantu kamu tapi nggak bisa dalam waktu dua minggu, mungkin ada uangnya bulan depan. Gimana, Ra?”

Mendengar jawaban Leri ada perasaan putus asa yang tiba-tiba menyelimuti Narada. Ia sangat berharap hari ini akan ada kabar baik yang bisa menolongnya. Tapi, semuanya lenyap seketika mendengar jawaban Leri. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah mencoba menenangkan diri, mengendalikan dirinya sendiri untuk bersabar dan berusaha lagi.

“Makasih banyak, Ler. Kamu sudah membantuku, tapi aku harus mendapatkan lima ratus juta itu dalam dua minggu. Jika tidak ...” Narada terdiam sejenak, ia mencoba menahan air matanya untuk keluar dan tetap tersenyum.

“Jika tidak, kenapa Ra? Apa ada yang belum kamu ceritakan kepadaku?” tanya Leri penasaran.

Narada menarik nafas dalam untuk memulai penjelasannya. “Aku dan kedua adikku akan kehilangan rumah peninggalan ayah dan ibu. Aku juga akan di usir dengan paksa dari rumah itu, aku nggak rela rumah itu jatuh ke tangan orang lain. Banyak kenangan bersama ayah dan ibu di dalam rumah itu, Ler. Terlebih lagi, aku dan adik-adikku harus tinggal dimana?Aku juga belum mendapatkan pekerjaan sampai saat ini.” Air mata Narada akhirnya jatuh juga. Narada mengambil tisu yang ada di meja makan kemudian mengusap kedua air matanya dengan segera.

Leri mendekat ke sisi Narada mengusap punggungnya pelan untuk memberikan penghiburan untuk sahabatnya ini.

“Sebenarnya ada satu solusi lagi yang di tawarkan papa. Tapi, aku ragu kamu mau menerimanya.”

Narada tiba-tiba sedikit bersemangat, seperti ada harapan baru yang bisa membantunya untuk meringankan bebannya saat ini. “Apa, Ler. Katakan saja!”

“Anak temen papa, dia seorang duda kaya raya, dia juga seorang pengusaha di bidang  fashion. Kebetulan keluarganya mendesaknya untuk menikah lagi setelah istrinya meninggal karena kecelakaan satu hari setelah pernikahan mereka. Tapi ...” Leri berhenti sejenak, ia sedikit ragu dengan apa yang akan ia ucapkan kali ini.

“Tapi kenapa, Ler?” Narada penasaran dengan kalimat Leri.

“Tapi, apa kamu mau kalau aku ajukan jadi calon istrinya?”

“Calon Istri?”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suami 500 juta - Bab 3 Memutuskan
0
0
Wajah Narada terlihat sangat terkejut mendengar pertanyaan dari Leri.“Aku yakin, ekpresi wajahmu pasti seperti ini. Tapi, dia pasti mau memberimu lima ratus juta. Itu bukan uang besar baginya. Tapi ya ... kamu harus mau menikah kontrak dengannya.” Leri memberikan penjelasan yang membuat Narada benar-benar dilema sekarang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan