
Deskripsi
keBAB 28: PENERJEMAH DAN PENGGELAPAN
Pagi, Kelabu! Sesampainya di Dammam, disambut cuaca mendung.
Aku memberikan dua puluh riyal kepada sopir taksi. Hari ini aku dijadwalkan satu shift dengan Dongo. Tapi mobil sedan Amerika yang biasa terparkir di depan toko belum tampak batang knalpotnya.
Aku membuka sistem, memasukkan uang ke laci kasir, menyusun kue-kue, menggiling kopi, me....
“Halo, are you Indunisi?” suara superbas mengejutkanku. Rupanya seorang pemuda berambut pirang ikal telah berdiri di depan...
YALLA VIBI! Kisah Valiant Budi Jadi TKI di Arab Saudi
5
2
4
Selesai
Toko-toko di sebelah mulai mematikan lampu satu persatu, sementara aku masih perlu mencuci dua tumpukan piring yang tingginya hampir mengalahkanku. Hari ini aku kebagian bertugas dengan supervisor yang setiap lima menit teriak-teriak yang tidak perlu. “WHERE IS VIBI?!”Dia tahu kok, aku lagi sibuk di dapur. Jadi kudiamkan saja. Teriakan si supervisor itu kembali menggelegar, kali ini dengan jeda di setiap kata, mengisyaratkan ketidaksabaran dalam kadar kemarahan tak terbendung.“I am here, at the kitchen, washing dishes!” jawabku, tak kalah nyaring.“Look at these tables, so dirty. Clean them now! Yalla, Vibi!” Aku bergegas mengambil lap dan semprotan, membersihkan meja di ruang sebelah.“Keparat, ini kenapa meja bar tumpahan susu? Kamu dari tadi kerja apa? Ayo bersihkan! Yalla! YALLA!”Saat pertama kali mendengar ‘yalla’, kukira itu ‘ya Allah’ seperti yang sering kita, orang Indonesia, sisipkan dalam percakapan. Rupanya ‘yalla’ (يلا) adalah ungkapan untuk mengajak melakukan sesuatu, seperti ‘ayo’ atau ‘mari’. Dalam obrolan pertemanan, ‘yalla’ bisa jadi saling menyemangati, tapi kalau dari mulut supervisor-ku, jadinya terdengar ‘buruan bangsat!’ Setelah meja bersih bersinar, aku segera menuju meja bar, tapi teriakan gila itu kembali bergaung dari toilet, “Kamu sudah cek toilet ini, belum?!! Bersihkan sekarang! Yalla, Vibi!”Aduh, jadi mana yang mesti kubersihkan terlebih dulu, sih? Belum beres bingungku, teriakan-teriakan itu malah makin bertubi-tubi!“Lap meja ini! Gosok toilet itu! Semprot barnya! Pel lantainya! Yalla, Vibi!!"
Yalla Vibi adalah serial kisah Kedai 1001 Mimpi edisi blog, dengan ekstra kisah dan foto yang sebelumnya rahasia. Serial terdiri dari 4 bagian. Bagian pertama bisa kamu baca gratis, bagian lain bisa kamu beli ketengan senilai masing-masing espresso, atau beli paketan senilai 2 latte. Selamat membaca!
Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Sebelumnya
#YallaVibi Thalaatha (3)
0
0
keBAB 17: TAK TIKSaat kubuka pintu apartemen, aroma mi goreng menyerbu indra penciumanku. Rupanya Benny sedang asyik masak. Ia terbangun karena lapar.“Lo udah denger kabar belum? Kita bisa ngambil cuti bulan Desember ini?”Aku terbelalak, “Bukankah dalam pengajuan cuti itu hanya bisa kita ajukan setelah setahun bekerja?”“Nah, kata Antonio, Muhammad pengen semua karyawan menghabiskan jatah cutinya tahun ini, termasuk buat kita para karyawan baru.”Kalau memang benar, berarti satu lagi kengawuran dalam pelaksanaan kontrak kerja, tapi ini ngawur yang enak.“Besok lo tanya saja sama Alfredo, karena dia yang ngatur jadwal cutinya,” imbuh Benny sambil menuangkan air ke dalam gelas.Aku mengangguk-angguk. Sebenarnya agak malas tanya-tanya sama makhluk berkepribadian ganda itu, apalagi setelah dia tahu kemarin aku ingin mengundurkan diri. “Bro, kalo ternyata Desember ini kita bisa cuti pulang, gue yakin gak akan balik ke sini lagi.”“Serius lo?” Benny membeku persis saat sendoknya akan masuk mulut, persis iklan mi goreng di media cetak.“Banyak yang gak sesuai sama hati. Sama badan juga, sih,” ucapku tersenyum.“Tapi, Bro, kalau kabur gitu bukannya mesti bayar denda?”“Kalo resign memang bayar denda, tapi kalau kabur, sih, mereka mau minta denda ke mana? Kalo mereka niat mau nyari kita ke Indonesia juga pasti butuh biaya lebih banyak ketimbang denda yang mesti kita bayarkan. Soalnya gue pernah tanya-tanya Arfan, teman-temannya banyak juga yang cuti gak balik lagi. Sampai sekarang aman-aman saja.”“Tapi katanya setelah kabur nama kita bakal dicekal oleh departemen tenaga kerja Saudi selama lima tahun?”“Kayaknya gue emang gak tertarik kerja di Saudi lagi, sih. Lagian jangan takut. Dunia gak Saudi doang, rezeki ada di mana-mana,” jawabku nyengir, penuh harap.***Setelah mengalami dan melakukan banyak tipu daya dalam perusahaan ini, aku tak bisa lagi memercayai seorang pun. Kalau bosnya iblis, gak heran karyawannya setan semua. Aku harus lebih memercayai firasatku sendiri. Dan kali ini instingku berkata, bila aku menghubungi Alfredo seputar pengajuan cuti, ia bisa berdalih macam-macam untuk menyulitkanku. Ia pasti yakin kalau aku tidak akan kembali lagi.Untuk mengalahkan anak-anak setan, aku harus mengalahkan si iblis tertuanya terlebih dahulu. Iblis tertua yang aku kenal tentu sang District Manager. Sambil berpikir, aku melihat-lihat buku catatanku. Saat halaman terbuka pada gambar silsilah orang-orang yang kukenal, ada nama yang membuatku tertegun. Hey, ada yang lebih tinggi dibanding si Iblis Tertua! Fadel Shaker, sang regional manajer! Aku segera membongkar isi dompetku untuk melihat kartu namanya. Di antara suara ngorok Benny dan bulir keringat yang membanjiri raga, aku menyalakan laptop. Aku akan mengirimkan e-mail sebagai langkah awal penyeranganku.Halo Fadel, Saya Vibi, barista Indonesia yang bekerja di Al Rashid Mall. Maaf mengganggu waktu Anda, saya hanya ingin berbagi ide yang semoga bisa menjadi penyegaran di toko tercinta kita.>> Customer exclusive boardSaatnya lebih dekat dan bersenang-senang dengan pelanggan! Bagaimana kalau kita sediakan papan eksklusif tempat mereka berekspresi dengan bertestimoni dan menggambar minuman kesukaan atau bahkan wajah barista favorit mereka. Untuk kreasi terunik bisa kita berikan voucher minuman atau pastry. Untuk memperkaya konten, kita juga bisa bersenang-senang dengan ‘curtomer lucky shot’. Secara diam-diam, kita foto pelanggan yang sedang ‘tertangkap basah’ menikmati minuman kita. Tapi sesuai dengan tradisi setempat, mungkin foto hanya bisa dilakukan di single section.>>> Customizing CakeBila pelanggan bisa meracik minumannya sendiri, mengapa mereka tidak bisa membuat kreasi kue favorit? Kita bisa mulai dari puding dengan varian rasa vanila, cokelat, karamel, dan tentu kopi. Pelanggan bisa menambahkan whipped cream, saus karamel, cokelat, atau bubuk kayu manis. Saya rasa akan menjadi pilihan lezat yang menyenangkan! Untuk sementara 2 ide ini saja yang ingin saya sampaikan, semoga berkenan.
Salam hangat!
Valiant Budi
Aku membaca e-mailku berulang-ulang, memeriksa tata bahasa dan pengejaannya. Lalu, kuputuskan menembuskan e-mail ini ke Muhammad. —Toh pada akhirnya, Fadel akan menghubungi Muhammad, dan Muhammad akan merasa dilangkahi’ jika aku tidak turut mengirimkan surat kepadanya. Yah, lebih baik kuhindari friksi dalam drama ini. Semoga mereka tertarik dengan ideku. Tapi seandainya tidak tertarik, aku yakin mereka akan menaruh perhatian padaku. Memberikan ide akan disukai tipe bos mana pun, ketimbang mengirimkan keluhan. Semoga saja. Amin!***
Khobar Agustus 2009Minggu depan memasuki bulan Ramadan. Hatikus sedikit waswas. Dengan cuaca seperti ini aku bisa puasa gak ya? Teringat, kamar kami belum ber-AC. Dan dalam sehari, selama berdiam di kamar, aku bisa menghabiskan segalon air. Padahal cuma duduk bego doang.”Siap-siap saja, puncak musim panas bakal terjadi pas pertengahan Ramadan tahun ini, bersyukurlah kita yang kerja di dalam ruangan,” ujar Mas Blitar sambil mengambil botol sambel. Sore itu aku, Mas Blitar, Yuti, dan Bambang berkumpul kembali di Restoran Buah Mango Emperor untuk saling melaporkan apa saja yang kami alami.“Tapi berarti kamu gak perlu lagi ngelayanin para madam gatalmu itu, kan?” Tanya Yuti dengan ekspresi wajah jail.Mas Blitar memelototi Yuti. Bambang tertawa terbahak-bahak. “Wah, kayaknya bakal ada cerita baru, nih, Mas?” pancingku.Mas Blitar menyalakan rokok lalu mengaduk jus mangganya.“Loh, Mas?” Aku menepuk tangannya, memastikan ia mendengar pertanyaanku. Jangan-jangan dia menganggapku nyamuk.“Saya sudah janji gak mau cerita lagi. Tiap saya cerita tidak ada yang percaya, saya malah disuruh sumpah macam-macam.”“Sama, kok, Mas, saya pernah cerita beberapa pengalaman saya via online, eh malah dimarahin orang-orang,” aku menumpang curhat. “Iya, sih, kalau saya gak ngalamin sendiri, denger cerita-cerita di sini bakal gak percaya.”“Jadi gimana ceritanya, Mas?” Aku senyam-senyum; tetap gigih memancing. Mas Blitar menarik napas sejenak.Majikan perempuan saya, si Madam, kalau suaminya pergi, mendadak liar. Di rumah seliweran cuma pake daleman. Mas Blitar akhirnya membuka cerita dengan nada suara rendah, Dia tiba-tiba jadi minta dibuatin macem-macem;. teh manis, susu stoberi, jus pisang, rendang. Emang gak ada orang lain, Mas, di rumah? Gak ada pembantu, gitu? tanyaku setengah berbisik, mencoba menyamakan level suaranya. Aku ingin penjelasan yang lebih terperinci dan detail, lengkap dengan foto 10 R kalau bisa.Ada, banyak malah, ada tiga keluarga besar. Tapi masing-masing keluarga punya jatah area masing-masing. Si Madam kalo ngegoda saya pasti nyanyi-nyanyi melengking dengan cengkokan kaya penyanyi India.Wah, aku langsung teringat si wanita menor yang hobi nongkrong di Sky Rabbit. Jangan-jangan cara populer wanita untuk menggoda di sini itu memang bernyanyi, ya?Kadang sambil joget-joget ngelilingin meja makan. Saya jadi risih sendiri... abis badannya gede banget. Dari belakang kayak Tuan pake gaun. Sampai suatu sore pas saya lagi istirahat di kamar, Madam tiba-tiba nyamperin. Cuma pake jas handuk. Mukanya menor banget. Saya pikir setan. “Kok dulu pas cerita ke kita gak sedetail ini, sih?” sela Bambang sambil tertawa memecah kekhusyuan.“Seumur-umur saya baru lihat mata perempuan seliar itu. Eh, udah gitu dia langsung terjun bebas meluk saya. Gak tau kenapa, saya gak bisa ngelawan. Tenaganya kuat sekali. Gak bisa ngelawan apa gak bisa nahan, Mas? candaku tertawa lepas. Tapi rupanya Mas Blitar tak menganggap itu lucu. Aku pun pura-pura kelilipan. Maaf, Mas. Dia langsung cium-cium muka dan leher saya. Ya, saya kerangsang, lah, ucapannya membuat semua bentuk buah di sekeliling kami mendadak sensual. Saya jadi gak inget apa-apa lagi. Belum pernah liat perempuan senafsu itu. Loh, katanya si Madam kayak Tuan pake gaun. Kok bisa kerangsang, siiih? tanya Bambang memancing-mancing. Loh, itu kan dari belakang, kalau dari depan sih, ya seimbang. Sama-sama besar, mata Mas Blitar menerawangi buah pepaya yang berselonjoran saling tumpuk di meja sebelah kami.Tapi giliran saya yang nyerang Madam, dia langsung lemas, lanjut Mas Blitar. Masa baru saya pegang tangannya saja sudah ngelenguh-lenguh. Apalagi kalo saya maenin bagian yang lebih intim, dia langsung ngejerit-jerit kayak kesetrum. Mas Blitar menguraikan pengalaman ranjang ternodanya secara terperinci. Kita melakukannya setiap sore, kecuali akhir minggu, karena Tuan pulang dari Bahrain. Kalo ketahuan, saya bisa dipancung. Saya juga suka gak enak, Tuan sering beliin Madam baju-baju seksi. Tapi dipakenya pas maen sama saya. Terus pas hampir jalan sebulan, kita main di ruang nonton. Si Madam lupa ngunci ruangan, eh tahu-tahu ada yang batuk di belakang! Kita langsung loncat dari sofa. Saya bersembunyi di bawah meja. Siapa? Si Tuan?! Eh, gak mungkin juga ya, secara kepala Mas Blitar masih ada. Adiknya yang perempuan! Dia teriak-teriak memaki-maki kami. Madam langsung lari ke kamarnya. Saya sibuk nutupin badan pake bantal. Si adik madam setelah puas meneriaki saya langsung pergi. Beberapa hari setelahnya, Mas Blitar dan Madam tak pernah bermain gila lagi. Mas Blitar pasrah dan waswas, siap menerima hukuman berat. Di suatu sore, ancaman itu pun tiba. Adik si Madam menghadang Mas Blitar yang sedang mencuci mobil. Saya tidak akan melaporkanmu ke polisi. Dengan syarat, kamu harus melayani saya sekarang juga!! ujar sang adik sambil berlalu masuk rumah. ““Ah, Mas? Masa?! Yang bener?! Aku mulai merasa Mas Blitar berhalusinasi.““Tuh, kan. Ini kenapa saya malas cerita. Saya juga gak butuh kamu percaya, kok. Mas Blitar mengangkat alisnya.Aku lantas meminta maaf. Meskipun dalam hati masih berharap ini hanya bualan. Mas Blitar meneruskan kisah. Pada sore itu pun sebuah ranjang kembali ternoda. Dengan pemain berbeda. Kalau adiknya Madam ini masih gadis, belum menikah. Jadi kita maen belakang. Di sini kan kalau nikah ketahuan tidak perawan bisa menggagalkan perkawinan dan kena hukuman. “Oh… begitu ya.” Hanya itu komentar yang bisa kulontarkan. Banyak keterkejutan yang membuat otakku butuh waktu untuk mencerna semua yang kudengar. Setelah sore penuh gelinjang itu, Mas Blitar terpaksa melayani para saudari dan relasi Madam yang lain secara bergantian—dari menantu, sepupu, keponakan, tante, teman arisan, guru senam, sampai tak terdeteksi lagi. Caranya hampir selalu dengan modus operasi sama; bermula dari memergoki, mengancam, berakhir goyang ranjang. “Saya sempet kepikiran mau lapor, tapi liat pengalaman temen saya malah banyak yang difitnah balik. Mending kalau langsung dideportasi, ujung-ujungnya malah dipenjara.”Untuk bisa keluar dari kemelut ini, Mas Blitar harus menunggu kontrak kerja berakhir yang entah kapan.“Anehnya setiap saya mau pulang, selalu ada halangan ini halangan itu, saya cuma disuruh tanda tangan kertas aja.”Wah, aku tertegun, ingat sesuatu. “Kertas? Kontrak maksudnya, Mas?”“Saya gak tahu, pake Bahasa Arab, mereka selalu minta ditandatangan cepat, seperti terburu-buru terus.”Aku memukul meja, kembali kesal teringat saat dipermainkan dengan kontrak berbahasa yang tidak kumengerti di hotel itu.“Lain kali, Mas, jangan pernah tanda tangan apa pun, di mana pun ya? Apalagi tanda tangan kontrak, harus pake bahasa yang dimengerti. Jangan pernah percaya meskipun dibacain orang lain.”Pantas banyak berita TKI tertahan tidak bisa pulang, atau gaji dipotong dan tidak mendapat perlindungan hukum, mungkin karena diam-diam mereka terpaksa menyetujuinya dengan menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti. ”Itu emang gak bisa diurusin ya?” tanya Bambang.“Di Indonesia, sih, kita bisa melakukan pembatalan perjanjian dengan syarat tertentu. Tapi kalau di sini gak tahu, deh. Secara kayaknya posisi kita sebagai TKI di sini, lemah banget di mata hukum, ya?”Kami semua kompak mengangguk-angguk.Saya datang buat mempertebal iman, bukan jadi dalang setan, ucap Mas Blitar begitu lirih, menunduk dengan tatapan kosong.Aku terpukul mendengarnya. Mas Blitar tidak sendirian, banyak yang terkejut kok. Termasuk aku.”Yang saya heran, sudah banyak korban penyiksaan pembantu di sini, tapi kok tiap harinya TKI masih banyak berdatangan ya?” Bambang menaruh dagu di atas kepalan tangannya.“Yah, banyak faktor, lah. Misalnya diiming-imingi uang, terlibat utang,” jawab Yuti.“Dan gak semua orang di Indonesia baca berita juga kali ya? Terutama yang di kampung terpencil. Tiba-tiba ditawari agen plus—ya itu tadi; iming-iming kaya raya mendadak,” aku menambahkan faktor dari berita yang pernah aku baca.Yuti menepuk punggung tanganku, “Sialnya, banyak agen keparat yang asal ngirim pekerja tanpa dikasih bekal yang jelas—persis ngirim barang saja. Makanya sampai di sini banyak TKW bingung gak tahu cara pake penyedot debu, gak tahu cara nyalain AC....””Harusnya mereka juga dibekali siasat agar majikan biar jadi suami ya?” timpalku yang untungnya disambut tawa membahana. “Tapi mungkin memang ada benarnya, pekerja yang akan dikirim ke Arab Saudi selain dibekali keterampilan juga harus bisa ilmu bela diri. Atau tenaga dalam sekalian,” sambungku semakin sok tahu.“Waduh, kalau ketahuan punya tenaga dalam atau hal-hal klenik justru bakal lebih gawat lagi, saudara saya pernah kena fitnah!” Yuti mendadak dramatis.Tersebutlah saudari Yuti bernama Ningsih, pahlawati devisa asal Cirebon. Ningsih bekerja di sebuah keluarga yang mempunyai anak mahasiswa tampan nan rupawan. Setiap pagi Ningsih menyiapkan teh manis dan roti bakar madu sebagai sarapan sang mahasiswa. Entah karena teh manis roti bakar atau senyum manis nan mekar, lama-lama si mahasiswa mulai menaruh perhatian lebih pada Ningsih. Ia mengajaknya makan bareng, minum bareng, nonton TV bareng, bahkan kalau terpaksa sampai harus push up pun pasti bareng.Ningsih pun tak menampik segala perhatian sang majikan muda karena menurutnya masih sebatas hubungan wajar. Seperti dapat tertebak, hubungan gelap ini mulai tercium sang majikan besar. Asmara yang mereka sulam perlahan terpaksa koyak. Drama dimulai. Kamar Ningsih diobrak-abrik. Sang Majikan menuduh Ningsih sebagai penyihir! Perempuan penggoda di sini memang lebih dikenal sebagai ‘witch’ ketimbang ‘bitch’. Pasukan majikan yang dipimpin Madam mencari segala barang yang dicurigai sebagai alat bantu sihir. Sampai akhirnya sang Madam membongkar tas Ningsih dan, Apa ini, Ningsih?! bentak sang Madam penuh kemenangan sambil menunjuk serbuk putih dalam plastik bening. Ningsih terhenyak. Mukanya merah padam. Perlahan ia membuka mulut, Itu bedak tabur untuk ketiak, Madam. Sang Madam tidak menyerah, ia bersikukuh membongkar dan menuduh berbagai barang-barang yang menurutnya tak lazim. Sampai akhirnya madam menemukan sebuah plastik yg membungkus dua helai kertas dan beberapa helai rambut. Sang Madam melotot hebat sambil membongkar kertas dengan beringas. Ini dia jampi-jampinya! Bawa dia ke penjara! Tanpa diberi kesempatan membela diri, Ningsih diboyong ke kantor polisi. Diinterogasi. Dicerca. Dimaki.Ningsih terdiam pedih membayangkan sang Ibunda yang menulis dalam surat betapa ia merindukan Ningsih. Gak usah kerja di Saudi atuh, Eneng. Yang penting mah kita kumpul lagi. Rejeki ada di mana aja, termasuk di kampung kita.Iya. Tulisan itulah yang tertera dalam kertas berselipkan helaian rambut sang Ibunda yang terbungkus plastik─ yang membawa Ningsih teraniaya di penjara. Saudi rupanya menindak keras segala bentuk praktik sihir, termasuk guna-guna. Sehelai kertas bertuliskan huruf asing dan helai rambut bisa dipertimbangkan sebagai perantara jampi-jampi. “Agen-agen penyalur TKI harus rajin mengingatkan calon pekerja biar gak bawa kertas-kertas berisi tulisan meskipun itu hanya... katakanlah lirik lagu Kangen Band,” tambah Yuti.Untunglah atas campur tangan KBRI, Ningsih dapat terselamatkan. Meskipun kini menimbulkan trauma mendalam. “Kita mesti nyontoh Filipina. Mereka mengirimkan tenaga kerja yang terampil. Bahasa Inggrisnya jauh lebih baik. Makanya mereka merajai sektor formal kayak perawat.”“Juga penghibur di kawasan apartemen saya,” timpalku sambil terkekeh.“Pssst,” Yuti menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil memainkan mata secara jenaka menunjuk-nunjuk Bambang.“Ehem, gue sih maennya eksklusif ya, pilih-pilih, gak semua diembat,” Bambang mengembuskan asap rokoknya dengan santai.Mas Blitar tiba-tiba menghabiskan minumannya sambil buru-buru beranjak keluar. Yuti tertawa lebar, ”Dia ini selalu alergi kalo giliran Bambang yang cerita, tapi gak mau ngaku!”Mas Blitar tak menggubris, lalu melengos. Bambang hanya senyum mesem. “Woi, siapa juga yang mau cerita?” teriaknya lantang agar didengar Mas Blitar.“‘Eh, gue masih sangat ada waktu kalo lo mau cerita, loh!”“ ujarku sambil melirik jam tangan.Sayang, justru sang pelayanlah yang tidak ada waktu, ia ‘mengusir’ kami karena sudah saatnya sholat magrib. Kami pun bergegas keluar sambil jalan menuju persimpangan depan. Kami masih berbincang-bincang membahas kisah-kisah aneh yang terjadi di negeri ini.“Mereka ini kenapa kesannya suka sekali dengan kita; orang-orang Asia Tenggara ya? Maaf, Mas Blitar, maksud saya apa majikan-majikan itu sebegitu tidak sabarnya menunggu suaminya pulang?”“Kalau saya perhatikan, kebanyakan mereka lebih menyukai tubuh kita yang lebih mini, jelas Yuti.“Kenapa?” tanyaku. Karena yang kecil punya cengkeraman dahsyat! OH! “Kalau para wanitanya sih, lebih suka tipe-tipe lelaki asia karena katanya mampu melayani dengan full service. Ibarat makanan, mereka menyajikan makanan pembuka sampai pencuci mulut.“Itulah kenapa agama diturunkan di sini!” ujar Mas Blitar bergemuruh.Aku terdiam mendengar pernyataan yang seolah memberikan pemakluman atas kejahiliyahan orang-orang di sini. “Eh, tapi kalau seperti itu dasar pemikirannya, nanti akan ada pernyataan lanjutan, berarti agama tidak berhasil membawa perubahan pada umatnya. Kok, sampai sekarang orang-orang jahilnya tetap berkembang biak.”Aku melanjutkan, “Ini sama saja dengan pertanyaan kenapa Kabah mesti di Mekah? Nanti ujung-ujungnya ada pertanyaan kenapa Adam mesti diturunkan di India atau Afrika atau di mana pun, deh.” Kini giliran mereka yang diam, balas menatapku dengan pandangan ‘terus?’ atau mungkin ‘anak ini sok tahu sekali’.”Kalau menurut pemikiranku yang dangkal, sih, di mana pun letaknya bakal selalu jadi pertanyaan dan sanggahan. Seandainya Nabi Adam diturunkan di Tanjung Priok, lalu Kabah misalnya didirikan di Kemang, terus Jakarta ada kerusuhan atau banjir bandang, pasti tanggapan itu akan keluar juga, ‘makanya agama diturunkan di Indonesia!Yuti tertawa terkikik-kikik di balik cadarnya. “Iya sih, tapi penjelasan logisnya ada, kok. Karena di sini kan tempat persilangan dunia. Jadi pada masa itu, dari titik inilah penyebaran ilmu paling cepat bisa dilakukan ke segala arah ke penjuru dunia.”Bambang tampak khusyu mendengarkan penjelasan Yuti. Ia lalu bertanya, “Tapi ada satu pertanyaan besar yang dari dulu gue gak pernah berani tanya, kenapa wujud Nabi Adam sering digambarkan sixpack? Siapa pelatih fitnesnya?”Sebuah tamparan halus Yuti daratkan di pipi Bambang.“Sudah ya, kita berpisah di sini, nanti muttawa nyangka kita persekutuan setan!” kata Yuti sesampainya di persimpangan jalan.“Hati-hati ya!” Maksudku bukan hanya hati-hati di jalan, tapi juga hati-hati dengan segala tindak tanduk di negeri yang penuh kejutan ini.“Kamu juga, Vibi! Sampai bertemu minggu depan!” Yuti menyalamiku dengan hangat.Aku menunggu mereka sampai benar-benar hilang dari pandangan. Persis saat mereka menghilang, aku tersadar kalau aku baru saja menemukan anggota keluarga baru.***
keBAB 18: TERMAKAN UMPANHi, Gorgeous! sapa seorang pelanggan berwajah entah India atau Pakistan mengagetkan aku dan Andrew yang lagi asyik serius coffee tasting. Andrew bergegas melayaninya, aku siap jaga di depan mesin espresso. “Berapa harga blueberry cheesecake ini?” tanyanya dengan gagah gemulai. Ia mengedip-ngedipkan bulu matanya yang lebat. Dua puluh riyal, jawab Andrew ramah. Kalo harga ini? Harga itu? Harga ini itu? Si Om semakin gencar menanyakan harga segala rupa, padahal setiap produk telah tertera label harga. Lalu pertanyaan berakhir sadis, Kalau harga kamu, berapa? Ia tertawa genit sambil mengelus-elus tangan Andrew. Duh! Hatiku deg-degan membayangkan apa yang bisa terjadi setelah ini.Hebatnya, Andrew tetap ramah sambil geleng-geleng perlahan. Izinkan saya untuk membuat minuman yang sangat spesial untuk Anda. Tuh kan! Hatiku semakin gelisah sekaligus penasaran ingin tahu sespesial apa minuman yang akan ia buat.Andrew memompa saus cokelat ke dalam gelas plastik, lalu membanjirinya dengan shot espresso plus susu dingin. Kemudian ia berlari ke arah dapur. Aku segera berjalan ke condiment bar di mana aku bisa mengamatinya dari sudut mata elang. Oh, apa kali ini racikan spesialnya? Koreng? Kutil? Gigi geraham?! Dan... oh SIAL! Begitu di depan dapur, Andrew tiba-tiba menoleh ke arahku! Aku mendadak sok sibuk membersihkan gula, merapikan brosur. Pyuh! Taktik berhasil. Ia tak tampak curiga. Tapi loh, dari belakang, ia tampak sedang membuka... ritsleting celananya? Aku seketika memalingkan pandangan sambil menutup mata. Memang sebaiknya ada hal-hal yang tak perlu aku ketahui atau aku lihat. Aku kembali siap siaga di bar dengan dada berdebar. Andrew yang berulah, aku yang malah salah tingkah. Aku melirik si Om yang ternyata sedang tersenyum genit padaku.Hai, Filipiniii..., sapanya sambil melambaikan tangan. Dengan gobloknya aku malah balas melambai, mungkin sebagai kompensasi atas apa yang akan dialaminya nanti. Aku berpikir keras bagaimana cara agar ia segera lari dari sini, tanpa merasa terusir. Andrew keburu keluar dari ruang belakang, lalu memberikan bongkahan es batu pada minuman nahas itu. Silakan menikmati, ucapnya. Si Om menerima minuman spesial itu dengan semringah, menyedotnya penuh gairah. Ouh, kalau yang bikinnya cowok ganteng seperti kamu, pasti rasanya dahsyat. Si Om terkekeh sambil mengedip-ngedipkan mata kanannya. Andrew terkekeh imut. Aku tersenyum kecut.Telepon di ruang belakang berbunyi, aku berlari mengangkatnya. Kami diajarkan untuk menerima telepon sebelum dering ke empat. Selain untuk menjaga standar pelayanan konsumen juga untuk jaga-jaga bila yang menelepon adalah si Pembeli Misterius yang diam-diam memberikan kami penilaian itu.“Selamat sore, terima kasih telah menghubungi Sky Rabbit-two Al Rashid Mall, dengan Vibi di sini, ada yang bisa saya bantu?” Aku menyapa penelepon dengan ucapan standar.”Pibi!” Ah, pasti Albert. “Bersihkan toko sekinclong mungkin, semua kembali ke standar! Besok Muhammad dan Padel akan datang berkunjung untuk menemuimu!””Wah, ada apa?” Hatiku bergejolak, berharap ini mengenai lamaran ide yang kukirimkan. Meskipun agak sangsi; masa respons sampai segitunya, kan bisa balas lewat e-mail? “Ya, Padel meneleponku dari Riyadh, katanya ingin berbagi ide denganmu. Dia khusus datang besok untukmu.”Wow, pertanda aku harus menyiapkan umpan-umpan selanjutnya! Sebuah harapan menguatkan diri. Sebuah doa terselip di hati. ***Tamu kehormatan telah datang. “Hai, Vibi!” Fadel menyapaku dengan tatapan hangat, ”Ayo duduk bersama kami.” Ia mempersilakanku duduk di meja sudut sebelah Muhammad.“Kamu terlihat kurus sekali dibanding pertama kali datang?” Muhammad menatap perutku.“Oh ya?” Sungguh, aku pun tak menyadari itu. Baju-baju memang terasa kedodoran, sih. Mungkin gara-gara sauna setiap hari. Tapi di luar itu, tumben ya, Muhammad hari ini tampak jinak, berbasa-basi sedemikian rupa.”Saya sangat berterima kasih sekali atas e-mail yang kamu kirimkan. Kamu tahu, ini e-mail pertama seputar ide dari partner yang kami terima selama bekerja di sini,” sambut Fadel terkekeh sambil melirik Muhammad seakan minta pembenaran.“Wah, tidak masalah, kebetulan saya senang berbagi ide. Banyak sekali yang dapat kita kembangkan di sini,” aku mulai meracau kegirangan, merasa diperhitungkan. Mereka akan segera tahu, aku lebih dari sekadar babu! “Itu yang ingin kami dengar di sini,” Fadel mengangguk, mengisyaratkanku untuk meneruskan pembicaraan seputar ide.“Kalau saya perhatikan, dan tentunya Anda sudah tahu, karakter pelanggan di sini sangat maniak dengan gula. Seseorang bisa mencampurkan sepuluh sachet gula di dalam secangkir kopinya. Kita bisa memanfaatkan ini untuk bermain-main dengan menu minuman dan kue kita. Kalau tidak keberatan, saya ingin Anda mencoba kreasi minuman yang saya buat.” Diam-diam aku mencoba mengartikan sinar mata mereka untuk meyakinkan apakah tertarik dengan ideku atau hanya sekadar terpana karena ‘ada 'pekerja Indonesia yang punya ide'? Ah, terserah lah ya, aku harus tetap semangat. Kan katanya salah satu faktor keberhasilan ide ditentukan oleh cara penyampaiannya.Selang beberapa menit, aku datang membawa nampan dengan membawa dua minuman dalam gelas plastik dan beberapa cangkir kecil.“Kita kan terkenal dengan minuman yang bisa dikustomisasi dengan sirup atau whip cream. Sekarang bagaimana bila kita perluas bahan kustomisasinya; dengan kue-kue yang kita punya.” Aku lalu menuangkan dua minuman dari gelas plastik itu ke cangkir-cangkir kecil. “Minuman pertama, saya mencampur chocolate cream blended dengan chocolate chip cookies, dengan sedikit taburan kue di atas whip cream. Minuman kedua dulche de leche saya blender dengan caramel waffles.”Mereka berdua lalu mencoba racikan minumanku. “Semoga kalian tidak punya penyakit diabetes,” candaku. Mereka senyum manggut-manggut sambil menyeruput minuman. ”Hhhm, renyah!” Fadel memberikan testimoni pertama.“Terlalu manis untuk saya, tapi oke,” lanjut Muhammad.“Konsep dari minuman ini, pelanggan bisa bermain-main dengan minuman sekaligus kue favorit mereka dalam satu rasa. Dan yang paling penting, kita bisa menaikkan keuntungan berganda dengan kustomisasi ini, selain menambah poin ekstra harga juga meningkatkan penjualan kue yang sering terabaikan. Karena sayang sekali kalau harus basi dan membuangnya. Kita tentu tak bisa menggunakan produk basi, kan?”Muhammad agak terbelalak mendengar ucapanku. Aku tetap tersenyum manis dengan tatapan mata antusias menatap Fadel dan Muhammad bergantian.Bagaimana, Muhammad? Masih kurang manis? “Saya ingin kamu menuliskan idemu dalam sebuah proposal, kami akan membahasnya dalam sebuah rapat manajemen.” Fadel menjulurkan tangannya pertanda kesepakatan.Batinku orgasme. Target berhasil tergaet!***Angka 515 terpampang di papan digital sebuah kantor bank. Aku memijit tombol untuk mendapatkan nomor antrean. Kemudian sebuah kertas menjulur bertuliskan angka 517. Ah, berarti tinggal dua antrean lagi. Tiga puluh menit menunggu, kok angka antrean tidak bergerak maju ya? Mungkin ada pelanggan bermasalah yang begitu rumit.Enam puluh menit akhirnya tiba giliranku mengadu. Begitu duduk, si Customer Service yang berpakaian thawb khas Saudi ini tidak memberikan kalimat sapaan, ia malah sibuk memainkan ponselnya.“Assalamu’alaikum, apa kabar?” sapaku terlebih dahulu sambil menatap heran.“Wa'alaikum salam,” jawabnya sambil menguncupkan jemarinya.Aneh sekali. Aku mengalihkan pandangan ke meja sebelah. Ternyata nasibnya tidak jauh berbeda, sang pegawai asyik bercanda dengan pegawai di sebelahnya yang tampak sibuk sendiri. Pantas saja untuk satu nomor antrean memakan waktu begitu lama.Aku celingukan mencari pegawai berwajah Asia Tenggara, yang tentunya selalu murah senyum, murah hati, berbaik sangka, mendahulukan kepentingan umum di atas pribadi. Sayangnya tidak ada sama sekali. Bila begini caranya, program saudisasi sepertinya akan menjadi buah simalakama. Ternyata tidak hanya kepada pelanggan, menghadapi pegawai Saudi pun harus sabar, tahan mental, dan jago karate.Aku memutuskan untuk bertingkah laku seperti mereka; menggebrak meja. Si pegawai agak kaget, tapi tetap menguncupkan jari. Bah, tiba-tiba saja aku berharap punya payudara montok dan bibir menor. Hush, cukup. “Siapa manager on duty Anda? Apa perlu saya lapor ke perusahaan induk internasional? Saya tahu nama Anda,” ancamku sambil menunjuk lencana nama yang tertera di pakaiannya.Dia tiba-tiba tersenyum lebar dan meminta maaf. Sayang aku keburu kesal dan lupa tujuan kedatanganku. Aku bergegas meninggalkan mejanya, “Tunggu saja pengaduanku. Pengaduan yang mungkin diabaikan. Aku tahu ini sangat kekanakan, tapi aku lelah dipandang rendah. Aku bersumpah lain kali datang ke tempat ini akan memakai seragam muttawa!Aku jadi ingat pengalaman kakakku saat umroh beberapa tahun lalu. Ketika sim card lokalnya rusak, ia mendatangi langsung kantor pelayanan provider. Setelah beberapa saat tidak diacuhkan, akhirnya kakakku dengan panjang lebar menjelaskan permasalahannya. Ternyata solusi yang ia dapatkan sungguh singkat dan genius: Oh, silakan telepon nomor operator kami. Semuanya akan dijelaskan di sana.... Kakakku tentu mengamuk, ibarat ke bengkel untuk membenarkan mesin rusak malah disambut montir dengan perkataan, Oh, baca buku manualnya aja, dijelasin kok cara ngebenerinnya. Entah karena malas atau mereka tidak menguasai pengetahuan produk yang mereka jual, ya? Atau mungkin ini imbas mengejar program saudisasi yang terburu-buru, sampai mengenyampingkan keterampilan utama? Aku menghentikan taksi, menuju Al Rashid Mall. Aku telah meminta izin Albert untuk datang terlambat seputar karena urusan bank ini, dan tak menyangka akan seterlambat ini.Meskipun sadar sangat terlambat, aku berjalan santai kala memasuki gerbang mal. Hilang semangatku bekerja untuk hari ini. Semoga bukan pertanda buruk.Langkahku terjegal pemandangan seorang bapak membentak anak perempuan kecilnya yang berusia sekitar tujuh tahunan. Aku tidak mengerti arti perkataannya, tapi suara yang menggelegar, pelototan mata dan jemari yang menunjuk-nunjuknya itu, rasanya terlalu berlebihan bila ditujukan untuk anak kecil.Aku kembali melangkah perlahan, sambil menjaga pandangan agar tetap terpaut pada wajah si anak kecil. Hatiku terkoyak melihat matanya berkaca-kaca memendarkan kalut. Melihat tangis yang tertahan jauh lebih menyakitkan ketimbang tangis berderai. Jemarinya saling terpaut bergemetar hebat. Belum lepas pandanganku, si Bapak sekonyong-konyong menjambak rambut lalu menampar anak kecil itu! Siapa pun yang melihat pasti ingin melindungi, memeluk anak kecil itu! Termasuk aku. Ya. Tanpa berpikir panjang—secara otomatis aku langsung memeluk si anak kecil yang tak berdaya itu. Dan entah dari mana keberanian muncul, aku membentak balik Si Bapak, “Kok memperlakukan anak kecil kayak ke hewan, sih? Bahkan hewan pun tidak pantas diperlakukan dengan kekerasan!”Bulu kudukku bergidik saat si anak balik memelukku sangat erat. Si Bapak semakin murka, menarik paksa anaknya lalu meneriakiku sungguh kasar. Terselip kata-kata haram dan kafir di antara makiannya. Ah, semoga aku salah dengar, karena itu bukan ucapan yang layak didengar. Saat si anak diambil alih Si Bapak, ia menatapku dengan tatapan merana, jemarinya meronta-ronta di udara seakan ingin aku mempertahankannya dalam pelukan.Aku bergegas ke kamar mandi, menyalurkan emosi. Selama ini aku selalu berhasil sok kuat atas apa yang telah kuhadapi selama tinggal di negeri ini. Lagi pula, segala ‘kesialan’ku tak sebanding dengan apa yang dialami ribuan pekerja Indonesia di sini. Tapi melihat anak kecil yang mengalami kekerasan di depan mata membuatku goyah. Setetes air mengalir dari ujung mataku. Entah bagian mana yang sedang kutangisi. Entah emosi apa yang sedang bergejolak di dalam hati. Aku rela dihujat kafir asal si anak itu, siapa pun yang sedang tertindas, bisa bebas siksa. Aku membasuh wajah, mengalihkan pikiran, mencoba membuat lelucon sendiri; satu-satunya terapi jiwaku. Andai adopsi semudah menanak nasi, aku akan boyong anak-anak yang teraniaya itu ke Indonesia. Aku rawat, didik, lalu tawarkan ke produser sinetron.Eh, sepertinya ada yang salah. Diam-diam aku sering memaksakan guyonan dalam kepala sendiri agar tidak terlalu depresi. Tapi sudahlah, yang penting aku bisa kembali tersenyum. Ternyata saat berjalan menuju toko, aku belum sepenuhnya dapat mengalihkan pikiran. Melihat tabiat bentak-jambak ini, aku jadi agak mengerti plus prihatin, kenapa saat sang anak dewasa, mereka menyalurkan dendam dengan cara menyiksa pembantu, misalnya.Aku lantas memperhatikan para ABG yang sedang bersantai di sepanjang kafe yang kulalui. Kebanyakan dari mereka memang bergelagat bak ratu sejagat. Kadang mereka minta dibersihkan sepatunya, dibersihkan kacamatanya, dicukurkan jenggotnya, padahal lagi di restoran, bukan barbershop! Mungkin mereka pikir harga sebuah produk sudah termasuk harga sebuah jiwa pegawai. Perbudakan masih tercium sengit. Tapi kalau lebih ditilik-tilik lagi, anak-anak manja ini sekali semprot langsung kempot. Banyak gaya tapi tak berdaya. Atas apa yang telah kualami selama ini, aku pun bertekad. akan membuang jauh-jauh budaya timur yang penuh sopan santun itu di negeri ini! Kalau lewat, tak akan membungkuk permisi. Kalau bersalaman tak perlu mengangguk. Kalau bersin jangan ingusan! Sopan versi mereka ternyata berbeda dengan sopannya kita. Kesantunan kita bisa diartikan kelemahan. Aku berjanji akan menyamakan level suara dan pitch control saat berbicara dengan mereka. Kalo perlu lebih tinggi! Aku lalu berjalan tegak dengan dagu terangkat, berjanji pada diri sendiri, untuk tidak mau lagi direndahkan!***Sesampainya di toko, Albert dan Alfredo sedang berbincang-bincang di sebuah meja. Aku melambaikan tangan. Di ruang belakang Andrew sibuk mengutak-atik komputer. Seperti biasa aku menyimpan dompet, menandatangani absensi, lalu memakai celemek dan topi, kemudian menyiapkan segala bahan baku.“Vibi? Apa ini?!” Alfredo menunjuk isi charger oksigen untuk botol isi ulang whip cream yang tergeletak di atas microwave. “Sudah berapa kali kubilang, jangan simpan ini di atas microwave, suhu panas bisa membuatnya meledak!”“Lah, bukan saya yang menyimpan! Kan saya baru datang!”“Jelas-jelas saya melihatnya ini ada di dekat kamu!”Hah, dia sedang mabuk logika ya? Aku menghela napas, mencoba menyetel nada suara sedatar mungkin,” “Ada di dekat saya, bukan berarti saya yang melakukannya, kan? Kalau ada mayat yang kebetulan tergeletak di sebelah saya, apakah itu sudah pasti saya pembunuhnya?” tanyaku sambil berusaha tersenyum setengah mati.“Permisi?” Perseteruan kami terputus oleh kedatangan pelanggan. Aku segera melayaninya.“Saya sebenarnya alergi kopi, tapi ingin mencari minuman dingin yang mengandung cokelat, ada?”“Tentu! Anda pasti suka chocolate chip cream blended. Kalau Anda mau, saya bisa campurkan biskuit cokelat yang renyah ini!” tawarku sambil menunjuk deretan kue dalam etalase.Kepuasan seorang barista adalah saat pelanggan begitu tampak menikmati minuman buatan kami, plus memesannya kembali. Lagi dan lagi! Kali ini tidak tanggung-tanggung, lima gelas berukuran terbesar sekaligus!“Untuk kakak dan adik-adikku, saya yakin mereka suka dan akan saya pastikan selalu membeli padamu.”Selang beberapa menit kemudian, aku melihat Saleh berjalan dari jauh. Aku segera menyiapkan minuman favoritnya sepanjang masa, tall raspberry americano. Ini adalah pelayanan ekstra untuk pelanggan tetap yang selalu setia pada satu menu; saat dia baru melangkah, kami telah membuatkan minumannya!“Vibi! Apa kabar!” Ia menyalamiku. “Kapan kau libur? Ada pesta seru lagi, nih!”“Wah, libur di sini seperti malaikat maut, masih misteri kapan hari kedatangannya. Malah kadang setelah ditentukan pun tiba-tiba harus kembali datang kerja,”” candaku sambil membersihkan gelas espresso.“Kalau libur, seperti biasa telepon saya saja, ya! Kita bersenang-senang!”Aku membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjukku sambil mengedipkan sebelah mata. “Vibi!” Alfredo meminta aku mengikutinya ke balik dinding penyekat luar. Duh, apa dia ingin memperpanjang pertempuran ‘superpelik’ tadi? Baiklah, siap atau tidak, aku datang!Aku segera menghampirinya yang sedang sibuk menyalakan rokok.“Vibi, mungkin kamu sudah dengar kalau saya punya istri yang baru melahirkan,” ucapnya secara perlahan. Matanya menyipit.Apaan, nih, tiba-tiba ngomongin istri dan bayinya? Apa dia menuduh aku yang menghamilinya?! Dan kenapa tiba-tiba nada bicara dan sorot matanya kembali tampak selayaknya manusia normal yang tak pernah membanting-banting barang?“Saat ini perekonomian saya benar-benar sulit, saya butuh uang sekitar dua ribu riyal. Kamu bisa bantu?”?!!?!!!?!!!!!***“Sama, Bro! Ke gue juga dia pengin pinjem duit! Giliran ada butuhnya langsung baik banget. Memang kelainan jiwa, tuh, orang!” timpal Benny setelah kuceritakan keanehan hari ini sepulang bekerja.“Aneh ya, store manager pinjem duit ke barista? Apa nggak malu? Udah gitu kenapa gak pinjem ke kabayan-nya yang seabreg-abreg itu?” tanyaku sambil geleng-geleng.“Karena utangnya udah banyak. Dia dan temen-temennya itu udah terkenal hobi foya-foya dan pinjem uang. Banyak korban yang utangnya belum dibalikin,” timpal Rendi yang ikut mendengar kekalutan kami, sambil membuka minuman ringannya. “Ati-ati aja, deh. Mending jangan dipinjemin, susah nagihnya,” tambahnya.Aku mengangguk-angguk. *** ”Saya cuma bisa bantu tiga ratus riyal, semoga berguna.” Aku menyerahkan amplop putih pada Alfredo.“Makasih, kuya, saya akan ganti begitu gajian nanti,” Alfredo menjabat erat tanganku dengan senyum penuh persahabatan.Itulah pertama kalinya ia memanggilku kuya; bahasa tagalog yang berarti ‘saudara’. Untuk sebuah umpan, kita memang harus berkorban.***
keBAB 19: KISAH KELAMHari libur telah tiba, begitu pun dengan Saleh yang mengajakku berpesta.“Kamu yakin polisi tidak akan menggerebek tempat ini?” tanyaku waswas ketika memasuki sebuah apartemen khusus family di kota Dammam.“Tidak, sih.” jawab Saleh menyengir. “Tidak yakin!“Kalau gitu, saya lebih baik pulang!” Aku berhenti menaiki tangga basement, khawatir akan termasuk golongan ‘datang berpesta pulang dipenjara’.“Kau lihat saja dulu ke dalam! Kalau tak suka, baru pulang!”Aku mengangkat bahu, sempat bimbang, lalu memutuskan untuk mengikutinya ketika pintu lift terbuka. Di pintu nomor 403, Saleh mengetuk pintu. Tidak terdengar ada ingar bingar musik atau tawa riang membahana. Lama tak dibuka, Saleh akhirnya menghubungi sang pemilik kamar melalui ponsel.Tak lama pintu dibuka seorang pemuda berambut gimbal berkacamata lensa kuning. Ternyata kita disambut langsung oleh sang DJ. Ia dengan sigap meminta kami menutup pintu dan menuju ruang tengah.Saat pintu ruang tengah terbuka, aku terpukau dengan konsep pesta yang mereka pakai; matang dan merangsang! Benar-benar pas untuk mereka yang nekat berpesta di tengah kota untuk meminimalisasi kemungkinan digerebek polisi atau tetangga yang tak terundang!Suasana di dalam ruangan relatif hening. Tapi orang-orang asyik grabag grubug goyang kesetanan. Sang DJ memberikan kami wireless headset. Wow, brilian! Pesta bisu! Musik hanya ingar bingar di kuping masing-masing. Tetangga tak ada yang terganggu. Polisi tak ada yang curiga. Selamat tinggal cambuk! Jeniusnya lagi, sebagian besar dari mereka memakai piyama dengan tujuan bila polisi tiba-tiba datang menyergap, mereka tidak akan terlihat sedang berpesta. Kamar apartemen ini memang terlihat sudah dipersiapkan untuk berpesta. Ruangan untuk berdansa dilapisi karpet yang lumayan meredam suara hentakan sepatu saat mereka loncat-loncat. Untuk tempat camilan dan minuman tersedia di ruangan sebelah yang lebih kecil.”Apakah semua minuman ini mengandung alkohol?” tanyaku pada seseorang yang sedang mengambil minum.Dia mengernyitkan mata lalu berkata, Kalau kamu mau mabuk, tak perlu takut, menginap saja di kamar belakang.”“Oh, saya memang tidak mau minum,” jawabku sopan.Ia mengerutkan alis seperti ingin berkata, ’terus ngapain kemari?’ “Coba saja saudi champagne,” ia menunjuk sebuah pitcher berisi cairan kuning bening berisi potongan buah lemon, apel, dan daun mint. Saudi champagne? Namanya kontradiktif dan terdengar provokatif. Apakah ini trik sejenis soubiya? Aku menuangkannya pada segelas kecil, lalu meneguknya perlahan.Hmm, rasanya seperti yang terbayangkan; segar dengan sedikit kejutan manis di kerongkongan. Aku mengangkat gelas tinggi-tinggi kemudian mendekatkan ke arah mataku. Sepertinya bahan dasarnya terbuat dari sparkling water.Tiba-tiba orang-orang berhamburan masuk ke ruangan sambil menyimpan wireless headset masing-masing di sebuah lemari kecil di ujung ruangan. “Ayo sebagian ke kamar! Kata resepsionis, polisi berkeliaran di lobi bawah!”Mampus! Baru juga datang, sudah terhadang! Aku belum siap bila pantatku dipecut! Ruangan berubah gelap. Sebagian tidur di kasur, aku rebahan di sofa. Saleh telungkup di karpet. Aku bisa mendengar degup jantungku sendiri. “Wow, suasana mencekam seperti ini terakhir saya alami sekitar lima tahun lalu,” bisik Saleh. ”Kamu pernah tertangkap saat berpesta?” tanyaku.“Bukan, terorisme.”“Terorisme?!” Nadaku lepas kontrol. “Ya. Apa karena kau pikir ini ’negara Osama Bin Laden' kita jadi bebas diserang teroris?”Saleh membalikkan badannya, mengambil salah satu bantal di sofa untuk ia taruh di bawah kepala. Ia pun mulai menceritakan kisah yang tak pernah kudengar atau kubaca sekalipun.“Tahun 2004 adalah tahun kelabu bagi kota Al Khobar. Aroma trauma masih tercium sampai hari ini. Kericuhan berawal dari suara tembakan di gerbang Al-Khobar Petroleum Centre. Penjaga ditembak mati. Sang teroris tanpa tedeng aling-aling membunuh beberapa pegawai lain yang kebetulan nongkrong di sekitar situ.”Degup jantungku berdetak dua kali lebih kencang. “Untungnya polisi dengan sigap segera datang dan menangkap dua dari tiga teroris ini. Tapi ternyata tragedi berdarah pagi itu cuma awal petaka. Selang setengah jam kemudian, penyerangan terjadi di Apicorp Compound. Korbannya jauh lebih banyak, termasuk pemimpin perusahaan. Ia ditembak, diculik, dan dibuang di tengah jalan.”Aku semakin waswas, tiba-tiba ingin berbaring di bawah sofa.“Suasana mencekam kemudian menjalar di tempat saya menginap saat itu; Oasis 3 Compound. Teroris keluar dari sunroof mobil, menembak penjaga gerbang dan bis sekolah yang berada di belakang mereka. Tembakannya benar-benar jelas terdengar oleh telinga saya!”Sialan. Intonasi Saleh membuat cerita yang ia lontarkan begitu dramatis. Aku sekarang jadi ingin terjun ke atas kasur; menyelinap di antara orang-orang asing itu! “Pembantaian berlanjut di perumahan. Aksi mereka lebih santai tapi sadis, gak main bom bunuh diri. Malah ada yang asyik sarapan dulu. Setelah kenyang, langsung dar der dor! Suasana kalut menyelimuti kota. Sekolah-sekolah internasional menutup gerbang rapat-rapat dan melarang murid berkeliaran di luar.””Apa motivasi para teroris ini? Apa karena banyak ekspatriat di kota ini?” tanyaku.“Iya, kamu tahu kan di Al Khobar ada perusahaan minyak terbesar di dunia? Yang tempo hari kita main-main ke compound itu? Nah, para ekspatriat berbagai negara bekerja di sini. Menurut media, para teroris ini merasa terganggu dengan keberadaan mereka yang dianggap telah mencuri sumber minyak yang melimpah ruah itu. Korban yang dibunuh juga tampak terpilih selektif oleh teroris. Hampir tiap bangsa ada korban satu nyawa.”Glek. Kalo mereka tiba-tiba mengulangi aksinya dan membutuhkan orang Indonesia, Aku pasti terpilih tanpa audisi. Eh, iya, aku pasti disangka orang Filipina ya? Ada untungnya juga. Duh, apa sih? Aku terganggu pikiran dan kekalutanku sendiri.Tiba-tiba terdengar pintu digedor. Aku sontak membalikkan badan! Oh, aku jadi berharap itu polisi, bukan teroris!Untuk bernapas pun aku mendadak tidak berani. Pintu kembali digedor berkali-kali. Bunyinya berlomba dengan detak jantung kami. Seharusnya aku percaya firasatku saat di lift tadi! Aku berjanji ini adalah pesta terakhir yang akan aku datangi! Eh, kecuali kalau pestanya di compound Amerika itu, tidak apa-apa, deh.***“Bangun, sudah pagi!”” Saleh menampar-nampar pipiku. “Kirain kamu pingsan, tapi semalam ngorokmu kencang sekali!” ujar Saleh sambil memakai sepatu.Aku melihat jam tanganku. Pukul delapan?! “Keadaan di luar sudah aman?” Aku memeriksa keadaan sekeliling.“Ya, resepsionis bilang, polisi semalam menangkap pasangan bukan muhrim di lantai atas.”“Lalu kenapa mereka menggedor-gedor kamar kita?”“Mungkin cuma orang iseng, karena tahu kita sedang berpesta.”Aku menggeliat mengucek mataku, “”Saya benar-benar akan menulis tentang kejadian ini di blog,”” ucapku perlahan.“Apa maksudmu?” Saleh terdengar terkejut. Mimik wajahnya terperanjat. Apa aku salah ngomong ya?“Gak, saya ingin menceritakan pengalaman ini pada teman-teman,” terangku sambil berhati-hati memilih kataku.“Apa yang terjadi di sini lebih baik tak perlu diceritakan ke mana-mana. Apalagi di internet. Bahaya jika tercium polisi. Kamu tahu, di sini banyak blogger dipenjara.”“Tenang saja, saya biasanya hanya berkomunikasi lewat facebook, itu pun lewat akun yang terkunci,” aku berbohong, mengingat aku biasa menulis di blog yang bisa dibaca siapa saja. Tapi kan aku mengetiknya dalam bahasa Indonesia yang tidak begitu resmi. Semoga tidak terdeteksi alat penerjemah.Saleh terdiam. Aku tak menyangka ia se-paranoid itu. Mungkin ia menyimpan kisah tragis lain selain kasus terorisme yang ia ceritakan semalam.Ternyata kota ini begitu banyak menyimpan luka yang masih menganga.***Sahur pertama di Saudi tidak terasa istimewa, karena aku dan Benny memang terbiasa makan menjelang subuh. Kabar menyenangkannya, jam kerja berubah menjadi pukul enam sore sampai satu malam. Kabar menyebalkannya, hanya ada satu shift. Padahal beberapa tempat kerja lain tetap dua shift, jadi hanya bekerja sekitar empat jam saja. Sebenarnya ada lagi kabar menyenangkan di perusahaan ini: ‘karyawan muslim diliburkan/dapat jatah libur lebih banyak selama bulan Ramadan.’ Kabar buruknya: ‘khusus karyawan muslim berkebangsaan Saudi.Ah! Ternyata satu agama pun belum cukup untuk dapat disetarakan. Andai pindah suku bangsa semudah pindah agama. Lah, jadi ngawur!Kabar buruk lainnya, aku kembali ditransfer ke toko pertama karena kekurangan karyawan. Ketimbang makin terpuruk, aku akan mencoba lebih konsentrasi pada kabar baik yang lain; jam tidur akan lebih lama.Ternyata aku salah sangka. Pukul delapan pagi aku terbangun dengan tubuh yang jauh lebih basah dari biasanya disertai kerongkongan tercekat dan mata berkunang-kunang. Sepertinya musim panas telah mencapai puncaknya. Dua kipas angin terasa hanya desahan napas nyamuk. Kulihat galon air di sebelah pintu begitu merangsang tenggorokanku.Tapi kalau batal sekarang, sayang juga ya? Tapi akan lebih sayang lagi bila batal menjelang buka. Aku pun menyerah. Dua liter air mengaliri kerongkonganku. Disusul shawarma. Diakhiri sepotong paha ayam goreng.Oke, aku berjanji kentang goreng ini yang terakhir masuk mulut dalam pembatalan ini.Semoga batal di hari pertama bukan pertanda buruk Ramadan perdanaku di Arab Saudi ini. Amin.***Malu sekali rasanya, akhirnya terpaksa mengakui bila ternyata bulan puasa ini adalah Ramadan terburukku. Selain aku sering menyerah pada dehidrasi, sekalinya bisa puasa rasanya tidak senikmat kala di tanah air. Saat adzan magrib berkumandang, aku dan Benny kadang hanya sempat makan sepotong roti karena harus menyiapkan segala tetek bengek pembukaan toko.Dan ternyata jadwal jam pulang pukul satu malam itu hanya hiasan tinta di atas kertas. Kenyataannya, kami kadang selesai pukul dua malam, kemudian menunggu bis sampai setengah tiga, sampai di apartemen sudah terdengar adzan subuh. Sahur paling nahas adalah ketika kami baru saja mengarahkan sendok ke arah mulut kami, adzan Subuh terdengar berkumandang. Kami lantas bertatapan bimbang lalu menatap makanan kami yang apa adanya. Yah, hanya lima potong kebab, dua jus sirsak, dan tiga puding karamel.Ya Allah, bolehkah aku extend sahur sampai lima belas menit setelah subuh? Aliran sesat.Sayang bila kebab ini terbuang percuma. Alasan busuk.“Wah, Ben, puasa pake sahur saja gue sering batal. Apalagi tanpa sahur? Dan gue gak yakin ini sebenernya sahur apa buka, secara pas maghrib tadi cuman makan sebatang cokelat doang.”Benny mengangguk-angguk. Kami pun melanjutkan makan dengan perasaan penuh ironi. Terlebih saat ibuku menelepon, Hai, gimana puasanya di Arab? Pasti khidmat ya? Aku terdiam sesaat. Entah ingin jawab apa. Bulir keringat terasa makin asin. I..iya, Bu. Puasa di sini asyik banget. Orang-orangnya makin baik saja atuh yah, kalo Ramadan gini? Aku tertawa, ““Sama-sama saja, kok.”Kami pun berbincang-bincang ringan seputar kabar terbaru anggota keluarga lain.Syukurlah kalau kamu seneng. Kita di rumah kangen pengen sahur-buka bareng kamu! Ibu menutup obrolan. ................ Aku juga rindu, Ibu...*** Hari libur benar-benar kumanfaatkan menikmati Ramadan. Akhirnya bisa berpuasa penuh! Di sebuah malam setelah shalat Tarawih, aku dan Yuti ngopi bareng di Al Rahmaniya Mall. Bulan puasa di sini gak seheboh Indonesia ya? tanyaku sambil membubuhkan kayu manis pada foam cappucino. Yuti sibuk membersihkan batu hijau pada kalung Cartier-nya, lalu menjawab, Kamu ngarepin apa? Sinetron reliji pertobatan? Ngabuburit keliling kota? Di sini kalau bulan puasa semua orang tidur siang. “Iya sih. Pas lagi bukan bulan puasa saja jam tidur siangnya ekstra, apalagi Ramadan ya? Terus, si Baba suami teteh yang superhorny itu tersiksa, dong? Lah, ujung-ujungnya ke situ situ lagi ngobrolnya ya!Yuti mengernyitkan bibir dan mendadak mengembuskan napas. LOH? Matanya terpicing miring. Kamu memang paling jago mancing ya? Bener nih, mau denger lagi cerita keanehan Baba? Yuti memintaku mendekat rapat. Oh, jangan. Kita non-muhrim! Nanti tergoda syahwat! Aku berlagak panik melihat sekeliling.Heh, mau diceritain, gak?! Yuti mulai berkisah, “Selama jam-jam puasa, suami meminta saya tinggal di kamar terpisah. Alasannya: takut batal. Tapi kalo mau batal juga kayaknya susah; dari subuh sampai magrib dia mah ngorok terus, lanjut Yuti sambil membakar rokok mentol. “Begitu sore, saya mulai nyiapin makanan berbuka.”“Loh, gak ada pembantu?” potongku.“Ada, tapi khusus beres-beres aja, itu pun di ruangan yang jarang kita tempatin. Khawatir bakal diganggu si Baba lagi.Yuti melanjutkan ceritanya. Ia lalu membuat sorba atau sop daging kambing dan puding korma. Untuk makanan utamanya ia telah memesan nasi kabsa kiriman sebuah restoran khusus. Menjelang magrib, Yuti menghela napas sambil merapikan rambut, lalu menyemprotkan parfum ke sekujur tubuh. DUG DUG DUG!Eits, itu bukan suara bedug! Secara Arab Saudi tidak punya budaya mukul bedug. DUG! DUG!“Yuti sayaaaang! terdengar suara Baba penuh aura kasur diselingi suara-suara ketok meja. Yuti membawa nampan berisi gelas besar untuk aseer (jus buah) yang dilengkapi berbagai potongan buah segar. Ia lalu berjalan menuju kamar. Tepat begitu Yuti meletakkan nampan di meja samping kasur, adzan Magrib berkumandang. Baba secepat kilat mendadak telanjang! Yuti tanpa aba-aba langsung ditariknya ke atas ranjang!Ya Allah, Baba! Minum dulu kenapaaa?! Yuti mereka ulang teriakan yang ia lontarkan kala buka puasa.Ya ampun, Teh, sabar ya?"Ah, gak apa-apa, saya akan selalu sabar, jawabnya sambil sengaja memain-mainkan untaian kalungnya. Juga anting dan cincin berliannya. Jadi kalau di Indonesia berbuka dengan yang manis-manis. Di Saudi teteh berbuka dengan berbuat najis, candaku, serius. ”Hei, ingat! Kami sudah halal!” Yuti melemparkan tisu ke wajahku.Kami tertawa terbahak-bahak sampai seorang baba Arab berjanggut panjang masuk restoran. Yuti mendadak terdiam. Aku pura-pura mengelap meja. Tapi kemudian aku sadar ini bukan tempatku bekerja.Itu muttawa bukan ya? Kok, jarang-jarangnya ngecek mal ini? tanyaku, waswas.Sebelum kita terkena razia non-muhrim, kami melipir buru-buru menyingkir. Saat kami berjalan keluar mal menuju taksi, beberapa pria bersiul-siul bau bisul. ““Hei, mau dia atau saya?”” tanyaku iseng, sambil mengedip-ngedipkan mata penuh kejailan pada mereka. Yuti mengepal-ngepalkan tangan sambil tertawa-tawa. Kami pun buru-buru masuk taksi karena agak sedikit ngeri juga ya kalau tiba-tiba dibantai beramai-ramai.Kami minta diturunkan di Lulu Hypermarket; pusat berbelanjaan segala ada berharga relatif lebih murah dibanding tempat lainnya. Bila Al Rahmaniya Mall didominasi oleh warga Filipina, Lulu dikuasai orang-orang India. Sementara Yuti mengambil keranjang untuk membeli keperluan sahur, aku tertarik dengan deretan kue yang terlihat lezat, persis kue-kue yang dijual di tokoku, tapi harganya bagai Merkurius dan Pluto; terpaut jauuuh sekali. Untuk blueberry cheese cake seharga dua puluh dua riyal, di sini cukup enam riyal saja. Mungkin rasanya berbeda. Aku pun membelinya.“Kamu lihat bapak-bapak yang duduk di kursi itu?” Yuti mendepak lenganku sambil mengarahkan pandangan pada seorang bapak yang sedang memutar-mutar tasbih bagai koboi sedang memainkan tali laso. Matanya bersorot tajam bagai prajurit pengintai musuh di medan perang. ”Ada sebagian orang yang menggunakan gerakan tasbih sebagai kode rahasia.””“Misalnya?“Saya lupa.“Loh?! Aku menatap Yuti penuh kenistaan.“Ini ilustrasinya saja ya, misalnya gerakan memutar ke kiri berarti ‘saya single, cari teman kencan'. Gerakan memutar ke kanan: ‘saya udah beristri tapi mau nyari lagi.’ Seperti itulah. Menurut saya sangat konyol, jadi tak perlu diingat lagi.Aku lantas jadi memperhatikan gerakan tasbih yang diputar si Bapak itu. Ia memutar ke kiri dua kali - kanan tiga kali - kiri satu kali - atas atas- bawah bawah. Aku mendadak migren. Pasti si Bapak itu hatinya sedang gundah gulana.”Eeeh, kumaha damang?!”Sekonyong-konyong aku merasa kembali berada di Pasar Simpang Bandung. Yuti bertemu dengan salah satu temannya yang menetap di Riyadh. Si temannya ini memakai jilbab, bukan burqa yang gampang dicopot seperti yang dipakai Yuti. Aku masih sibuk memilih-milih kue yang akan segera hijrah ke ususku, tapi masih mendengar jelas obrolan mereka.“Duh, masa ya, kemarin kita pilih-pilih compound, semuanya nolak hanya karena saya pakai jilbab!””Heuh? Aku baru dengar di Saudi ada yang melarang pemakaian jilbab.“Compound yang punya si Pangeran Saudi itu, bukan?” tanya Yuti.”Iya, salah satunya. Alasannya lucu pisan, soalnya kalau saya pake jilbab, nanti disangka pembantu. Terus saya bilang, ah ya gak apa-apa, sebodo amat. Tapi mereka tetep nolak.”Deretan kue di depanku jadi tampak kalah lezat dibanding obrolan mereka. Tapi aku tidak mengalihkan pandanganku dan memasang indra pendengaran lebih tajam.“Pas di compound yang lain, alasannya juga kayak dibuat-buat; soalnya mereka punya banyak kolam renang, nanti saya jadi tidak nyaman. Lah, pas saya bilang saya nyaman-nyaman saja, eh malah mereka yang berkeberatan.””Ya, saya juga pernah ngalemin pas lagi ngunjungin teman di compound milik si Pangeran itu. Kita lagi makan di restoran, tiba-tiba disamperin manajer yang meminta saya lepas burqa. Meskipun saya memang belum pake jilbab, tapi tetap terganggu dengan pelarangan itu,” ujar Yuti bergeleng-geleng.“Iya, alasannya karena itu adalah western compound. Perasaan pas saya di Amerika gak ada satu pun orang yang ngelarang saya pakai jilbab,” timpal temannya ikut menggeleng-geleng.“Oh iya? Waktu saya ke Jepang juga gak ada yang larang. Pas di Italia juga, bebas kok?!”Lah loh, ini masih membicarakan larangan jilbab atau kompetisi negara yang telah mereka kunjungi ya? Obrolan pun beralih ke topik urus-mengurus anak. Kuping-menguping pun selesai. Aku mengeluarkan ponsel untuk mencari data-data yang tadi kudengar. Aku memasukkan kata kunci riyadh - compound - remove - hijab. Tercantum beberapa tautan yang merujuk blogger ekspatriat. Sayangnya ketika aku klik tautan yang bersangkutan, tiba-tiba saja muncul tanda dilarang masuk dengan pernyataan ‘akses ditolak.’ Yah, kena blok. Tapi dari tautan tersebut kudapatkan informasi salah satu compound yang jadi bahan perbincangan tadi adalah Kingdom Compound yang dimiliki oleh salah seorang keponakan dari raja Abdullah. Beberapa tautan tentang desas desus perilaku keluarga raja pun bermunculan. Tapi seperti telah kuduga, tak ada satu pun laman yang dapat diakses. Ah, tenang! Ada seribu satu cara untuk mengakses situs yang diblokir. Aku jadi tak sabar pulang ingin memperbaharui tulisan di blog-ku. Aku menoleh pada Yuti dan temannya yang ternyata masih asyik bercengkrama.“Aduuh, kalo Hawaii, sih, saya udah bosen. Justru yang deket-deket kayak Venesia, nih, cuma sekali-tiga kali aja dikunjungin...”Baiklah, tampaknya malam ini masih akan panjang. ***
keBAB 20: TERTANGKAP BASAHSemakin hari, semakin tersadar, Arab Saudi memang negara kaya raya. Saking kayanya, fasilitas sauna dan body scrubbing menyebar merata di seluruh kota. Setiap baru sampai toko, aku membersihkan butiran pasir yang menempel pada kausku. Lalu mencuci wajah. Dan... hei, kulitku terasa halus! Setelah puas memandangi mematutkan diri sendiri di kamar mandi, aku berlari menuju toko. Suasana mal masih teramat sepi, termasuk Sky Rabbit. Tapi pintu toko telah terbuka, berarti ada orang di dalam. Saat aku melangkah ke ruang belakang, ada pemandangan yang begitu memuakkan mata.Entah mana yang memuakkan; adegannya atau pelakunya. Carlos berdiri menungging membelakangi Alfredo yang duduk di bangkunya sambil—entahlah, meremas-remas bagian tubuh Carlos?! Yang paling membuat enek adalah mimik mereka berdua yang tampak sama-sama merem-merem geli. Aku segera berbalik ke bar di single section, menyibukkan diri membersihkan ini-itu. Ah, yah mungkin mereka hanya bermain-main saja, toh masih pakai baju lengkap, kok. Apalagi mengingat Alfredo kala ‘sedang 'baik hati'’ rajin menggelitiki pinggang kami.Tiba-tiba Alfredo keluar dari pintu, membuatku sedikit terlonjak. “Hari ini kamu kerja di toko dua lagi, ucapnya datar lalu kembali masuk ruangan.Yah, selain hobi menggelitiki pinggang, ia juga hobi mengatur jadwal kerja semena-mena. Selain kita diminta masuk shift pagi disuruh kembali malam (dan sebaliknya, plus jadwal libur dibatalkan), dia juga kadang tampak seenak mood-nya saja menentukan tempat kita kerja. Sudah jadi pengetahuan umum, bila Alfredo sedang kesal dengan pegawai, biasanya akan mengirimkan si bersangkutan ke toko dua. Karena itu, kami menyebut toko dua sebagai toko pembuangan. Ah, tapi apa pun itu selama dijauhkan dari Alfredo, aku akan menerima dengan lapang dada.Saat berjalan menuju toko dua, dari kejauhan aku melihat Saleh sedang berbincang-bincang dengan Andrew di dalam toko. Aku mempercepat langkah, khawatir Andrew memberinya macam-macam ekstra bonus dari anus.”Hey, Shanab!” Aku menepuk pundak Saleh. Tidak seperti biasanya pandangannya agak bengis bersenyum tipis. “Saya tahu siapa kamu,” ujarnya tiba-tiba.“Siapa saya? Saya siapa?” tanyaku heran.“Kau penulis kan?”Oh. Sial. Aku tahu arah pembicaraan ini. Aku memberinya kesempatan untuk mencecar.“Seorang teman Indonesia telah menerjemahkan tulisan-tulisanmu pada saya. Jadi selama ini kamu memata-matai kami? Kenapa kamu begitu ambisius membongkar aib di negeri ini?” Ia menebalkan intonasi saat menyebutkan ‘teman Indonesia’. “Oh ya? Gimana komentar teman Indonesia-mu itu saat baca tulisan saya?” Aku membalasnya dengan kembali memainkan nada saat menyebut kata yang sama, dengan nada gurauan, berharap ia akan melembut.“Bukan urusanmu.”“Temanmu itu memang gak cerita, ada puluhan ribu warga bangsa kami di negeri ini yang datang ingin meraih mimpi malah berakhir tersangkut berbagai kasus? Tolong juga tanya teman Indonesia-mu itu, apa gak tersiksa mengetahui setiap tahun selalu ada saja pekerja bangsa kami yang pulang tanpa nyawa? Atau tetap hidup tapi hilang akal?Saleh mencibir. Entah mencibir perkataanku atau ia baru tersadar akan fakta ini.“Andai ada yang memberi tahu situasi sebenar-benarnya di sini, mereka tentu akan lebih tahu kondisi medan perang sebelum bertarung jadi pekerja di negeri tercintamu ini,” lanjutku.“Dan kau pikir setelah baca laporanmu mereka masih mau datang kemari?” Tantang Saleh.”Tidak ada satu pun tulisan saya yang menghimbau mereka agar tidak datang ke sini. Justru mereka yang kebetulan baca tulisan saya kurang lebih akan punya sedikit gambaran, biar lebih siap lahir batin.”Oke, aku berbohong. Sejujurnya bila bisa memilih, aku ingin para pekerja migran Indonesia memilih negara lain saja untuk bekerja, di sektor formal. Jadi perawat misalnya. Tak perlu berbabu ria.“Teruskan saja aksi sok pahlawanmu. Ingat, kami ini banyak uang.” Saleh pun mengangkat dagunya bagai memenangkan piala dunia akhirat. Ia berlalu dengan langkah belagu.Kasihan. Ternyata Saleh salah satu gerombolan berhak sombong karena ‘banyak uang’.“Aku menghalangi langkahnya. Aku tak suka bila pembicaraan diakhiri dengan ‘kemenangan’ lawan bicara. “Bagaimanapun, saya tetap berterima kasih.” Terima kasih telah memberikan kontribusi untuk bahan tulisanku.Kami kemudian sama-sama melengos. Serasa putus pacaran. “Ada apa, sih?” Andrew menghampiriku sambil membuka sarung tangan plastiknya.Aku menggeleng, “Ah, seharusnya dari tadi saya biarkan kamu yang membuatkannya minuman.”“Jadi kamu ini lagi nulis buku tentang Arab Saudi ya? Nanti nama saya ada juga, gak?” Tanya Andrew penuh harap......................................***Saat waktu istirahat menunggu sholat, aku mengakses blog catatan harian lewat ponsel. Ada notifikasi beberapa komentar yang perlu dimoderasi; untuk ditampilkan.Dari : Tanpa namaPesan : Kamu tidak perhatikan, banyak orang MATI karena terlalu BANYAK TAU?! Aku membaca pesan itu berulang-ulang. Atas bawah. Bahkan dari kanan ke kiri. Komen yang lainnya bernada serupa, bahkan ada yang menyuruhku mengucapkan kalimat syahadat.Diserang warga Arab Saudi hatiku mendidih. Namun, diancam sesama bangsa batinku jauh teramat perih.***Aku ingin bilang 'tak terasa Ramadan segera berakhir'. Tapi jujur, sangat terasa sekali perjuangannya.“Jadi Lebaran besok ya?” Aku memastikan kebenaran berita itu pada Benny sambil menyalakan kipas angin.“Iya, sepi ya?” Benny menjawab dan bertanya, sambil potong kuku kaki. ”Gak kedengeran gema takbir.””Gak ada ketupat.””Apalagi gule.””Apa kita ngibrit ke KBRI di Riyadh aja?”“Kan kita besok tetep kerja?”“Oh iya, baru inget. Kan besok yang libur cuma muslim doang. Muslim Saudi maksudnya.”“........***Niat sholat Ied hancur lebur saat kulirik jam weker menunjukkan pukul dua siang. “Bangun, Ben!” Aku menepuk-nepuk betis Benny, “Selamat Lebaran! Maaf lahir batin!! Ayo makaaan!!” Benny mengucek mata sambil menggeliat. “Ada makanan apa?”“Apa lagi selain...,” Aku mengeluarkan kantong plastik dari tasku, “Shawarna!!” ujarku bagai penyulap ber-abrakadabra.Kami berusaha menghibur diri dengan segala keironisan ini. Setidaknya dalam berbagai kekurangan, kami masih ada teman berbagi. Alhamdulillah.***Setibanya di toko, tidak ada kemeriahan sama sekali. Lupakan umbul-umbul berbentuk ketupat. Orang-orang tetap memasang wajah cemberut. Rekan kerja pun tak ada yang bersalam-salaman, tapi memang kebanyakan mereka tidak merayakan.“Selamat Idul Fitri! Semoga hari ini penuh berkah!” Aku akhirnya heboh sendiri daripada tidak sama sekali─memborbardir pelanggan yang datang. Sepertinya mereka menyangka aku sedang mabuk.Kemudian datanglah sekawanan remaja berpeci, berbaju taqwa, sambil membawa-bawa tasbih . Aku secara otomatis memperhatikan cara ia memutar-mutar tasbihnya. Duh, kemakan omongan Yuti, nih. Mereka melihat koleksi sirup yang berjejer rapi di rak depan. Salah satu dari mereka memintaku mendekat.“Fi alkuhul?” bisik mereka sambil nunjuk-nunjuk sirup dengan binar mata penuh harap.Haha! Gak salah, nih? Mereka menanyakan ada alkohol atau nggak?“Oh, tidak ada.” Kalau kita jual, tentu pantat kami penuh bekas cambukan.” “Tuh, kan? Kita lebih baik ke Bahrain saja!” ujar temannya—disambut anggukan berjamaah. Mereka pun meninggalkanku.Wow, aku ternyata masih belum terbiasa lihat orang yang berbaju takwa, berpeci, dan bertasbih mencari-cari minuman beralkohol, saat Lebaran pula. Tampaknya aku tidak se-'open minded’ yang aku pikir. Tapi memang inilah 'keuntungan' warga Saudi yang tinggal di perbatasan seperti di Al Khobar; saat mereka merindu semua yang diharamkan, tinggal menyeberang ke negara tetangga—Bahrain, yang menjanjikan lebih banyak kebebasan.Eh, ngomong-ngomong, hari kebebasanku kapan ya? Sepertinya aku harus menebar umpan-umpan baru. Pengunjung mulai ramai berdatangan, rata-rata bersama sekeluarga belanja di supermarket depan. Beberapanya mulai memenuhi family section toko. Di antara bunyi adu cangkir dan gemericik bibir, datanglah seorang bapak-bapak gagah berkumis kikir. Magandang hapon, Pare! Kumusta kaaah! sapanya riang gembira; mengucapkan ‘selamat siang’, padahal sudah menjelang malam.“Hai, saya dari Indonesia, apa kabar?” balasku menyamakan level kerianggembiraan dengannya.Seperti biasa, reaksinya tentu saja, “Indunisi?! I love your country!” Tapi gerakan tubuhnya tidak biasa. Saat menyebutkan ‘love’, ia meremas-remas dadanya sendiri, memberi ilusi seakan berpayudara. Setiap musim panas, Indonesia selalu jadi pilihan saya berlibur! katanya sambil mengelus-elus udelnya sendiri. Oh ya? Ke mana biasanya? tanyaku mulai terganggu oleh gerakan tangannya yang terlalu atraktif.Saya pasti selalu ke... Puncak! HAHAHA! Entah apa yang membuatnya terpingkal-pingkal. Setiap di Puncak, saya selalu mendapatkan wanita cantik yang…. Tangannya lalu melengkung-lengkung di udara, menggambarkan gitar konyol. Saya nikahi mereka semua! Hahahaa! Kali ini dia menepuk-nepuk penis. Setelah puas, saya ceraikan dan saya pulang kembali. Hahaha! Senyumku lenyap seketika. Tangan mulai bergemetar hebat. Aku memalingkan pandangan ke arah Andrew. Sayang dia sibuk melayani pelanggan lain. Wanita negaramu cantik-cantik! Biaya tidak mahal!! Hahahaha! Cukup! Darah bergejolak mendidih.Aku mungkin juga binal terkadang begundal, sering bercanda garing kelewat batas, tapi ada hal-hal yang tetap aku jaga dan junjung tinggi. Di sela tawanya yang membahana, amarahku semakin merasuki jiwa. Kugebrak meja bar. Dengan segala hormat, bisa Bapak bayangkan, puluhan juta jiwa warga negara Indonesia datang ke Saudi untuk mensucikan hati. Dan Bapak datang ke Indonesia cuma buat menganiaya para saudara wanita kami?! Entah mengapa, aku menyelipkan banyak kata f**king di hampir setiap tiga kata. Ternyata diam-diam Alfredo menginspirasiku. Kuakui akhir-akhir ini aku mendadak jadi pemarah ekstra gerah. Kalau aku bertemu diriku versi dua tahun yang lalu mungkin bakal tak saling kenal.Si Bapak pecinta Puncak ini tentu terkejut. Bibirnya berubah kecut. Sorot mata mendadak kacrut. Tanpa menunggu lama, dia memaki-makiku memakai bahasa Arab. Aku langsung menotok balik bernada suara tiga oktaf lebih tinggi, Bapak tahu ada berapa bayi yang lahir terlantar akibat hobi kawin wisata Anda itu? Ratusan! Itu baru yang ketahuan. Dan itu juga belum termasuk bayi yang diaborsi karena sang ibu tak mau kalo anaknya tahu punya ayah yang pengecut!Ya ampun, aku benar-benar mengeluarkan kata-kata yang selama ini kupendam.Namun, sepertinya omonganku sia-sia karena kami saling bicara pada saat bersamaan. Di antara hujatan-hujatan bahasa Arabnya, hanya satu kata yang sering kutangkap; haram. ”Ayat suci dan hadis mana yang bilang menghargai wanita itu haram?!”Aku semakin terpancing mengumbar amarah. Aku pasti dapat hukuman karena menyebutkan ayat suci dengan nada suara setan. Ia lalu membalas umpatanku, kini dengan bahasa Inggris, tapi yang kutangkap hanya hell dan fire. Tipikal sekali. Kenapa bila kita melawan orang yang sering membawa nama Allah, kita sering dikira melawan Tuhan? Apa dengan begitu mereka merasa menjadi Tuhan?“Pardon me, I'm against morons, not God!” teriakku. Perseteruan kami dilerai oleh Andrew. Aku dimarahi dan disuruh memohon maaf. Edan, aku lebih baik menelan bulu ketiak sendiri daripada bermaafan dengannya. Pelanggan adalah raja. Kecuali yang berkelakuan kecoak!Aku pun diamankan di ruang belakang. Si Bapak Puncak masih bernapsu meneriakiku lewat Andrew. Ia pun melancarkan aksi kacangan pasaran khas pelanggan cetek yang gembar-gembor bahwa mereka adalah relasi dekat Muhammad dan Fadel dan akan melaporkanku. Kembali terpancing, aku keluar ruangan. Andrew berusaha menghalangiku, tapi aku berhasil menepisnya. Sudah lama aku ingin mengatakan orang yang gemar mengancamku seperti itu.Hey, dengar! Dari hari pertama saya di sini, dipecat adalah ambisi saya! Ayo laporkan sekarang! Saya punya kehidupan yang jauh lebih baik di negeri saya!”Dia terkejut sampai keriput. Mungkin belum pernah ada yang mengatakan hal ini kepadanya. So, why the hell are you coming here?! tanyanya dengan nada mengejek. I'm here to tell to the world about f*ckin' snobishly hell people like you! Mungkin itu adalah teriakanku yang tertinggi. Leherku terasa tercekik.Seorang sekuriti datang. Andrew menarikku ke ruang belakang sembari menenangkanku. Beberapa pengunjung mulai mengerumuni toko kami.Setan benar-benar menguasaiku, entah dari mana pekikan di mulutku bisa berbunyi, “Mau apa kalian? Mau alkohol?! Mau cari pelacur?!”***Seumur hidupku, seingatku, aku belum pernah marah semengamuk ini, di depan publik pula, terjadi di hari raya, di negeri impian.Sungguh, aku rindu Lebaran khidmat di tanah air.****“Pare, kalau mau, kamu bisa pulang, biar saya kerja sendiri saja.” Andrew memberikanku segelas sparkling juice di ruang belakang.“Mana paspornya? Biar bisa pulang ke Indonesia,” kilahku mencoba bercanda. “Maaf untuk kejadian tadi. Saya sudah sering berusaha menahan marah sekuat tenaga, tapi kali ini gagal.”Suasana hening dengan kekalutan masing-masing.“Tahu gak, saya dulu sering berharap neraka itu cuma hoax. Tapi melihat para pemerkosa dan penindas sesama yang kebal hukum, saya jadi berharap neraka benar-benar ada,” aku akhirnya memecahkan kehampaan.“Sejujurnya saya kagum dengan keberanianmu. Diam-diam saya bertepuk tangan dalam hati pada setiap perkataanmu tadi.” Andrew tersenyum tipis menatap bak cuci. “Seandainya saya bisa ngomong kayak gitu ke pelanggan yang menyebalkan. Tapi keluarga di Manila sangat mengandalkan saya. Saya membiayai kedua orang tua juga istri dan dua anak saya,” lanjutnya sambil menggesek-gesekkan hidung. “Akhirnya saya mengalihkan amarah dengan cara lain.””Oh, begitu! Aku mendadak memeriksa botol sparkling juice yang ia beri. “Tenang, saya tidak akan menjaili apa pun untuk teman sendiri,” Ia terkekeh, menelanjangi kecurigaanku.“Jadi kamu sudah tahu kalo saya tahu?” tanyaku sedikit terkejut.“Tentu, seperti si teman Arabmu bilang, kamu memang mata-mata ulung,” ujar Andrew sambil belagak mencolok-colok kedua bola matanya sendiri. Aku jadi sedikit memaklumi alasan tindakannya, tapi tetap tak setuju bentuk perbuatannya. Sayangnya, aku pun tak punya solusi lain untuk pengalihan amarahnya. Hmm, hubungan kerja ini semakin terasa rumit.***Malam itu aku kembali menulis, tapi tidak untuk dipublikasikan. Aku akan cuti dari menulis blog atau apa pun yang dapat dikonsumsi orang lain, untuk sementara waktu. Masih banyak emosi yang perlu kukeluarkan. Kali ini menulis lebih untuk kelegaan diri, bukan untuk berbagi.Lagipula sku perlu beristirahat dari umpatan, makian, atau cercaan. Ada sedikit rasa waswas.Yah. Berani karena benar, tapi yang salah bisa jauh lebih sangar. ***keBAB 21: PESTA KERUSUHANAda yang berbeda dengan dandanan para pengunjung mal hari ini. Beberapa pria dan anak kecil berpakaian serba hijau sambil mengibarkan bendera Saudi berukuran mini. Mereka yang memilih bergamis ria mengaitkan kedua ujung bendera Saudi di lehernya; bergaya ala Superman. Beberapa wajah dihiasi lukisan kehijauan. Para wanita pun tak tertinggal memukau; memakai abaya berbordir hijau.Ada pertandingan sepak bola, ya? tanyaku pada penjual donat yang berjualan di dekat supermarket.“Hari ini perayaan Hari Nasional Saudi.“Hari kemerdekaan? Eh, Saudi kan gak pernah dijajah, ya?Sambil mendengarkan jawabannya, aku sekalian kros-cek di internet. Oh, jadi pada tanggal 23 September 1932, Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Sa'ud memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Ia lantas didaulat menjadi raja pertama.“... karena itu Saudi diambil dari nama keluarga Raja Abdul Aziz as-Sa'ud.”Wah, si Penjual donat ini hebat! Informasi yang ia terangkan sejalan dengan data yang kudapat. “Menurut surat kabar online ini bakal ada parade penuh warna keliling kota. Bakal ada tiga ratus lima puluh kendaraan hias, mobil-mobil modifikasi, seratus lima puluh motor dan kuda-kuda. Wow! Tampaknya hari nasional bakal lebih meriah dibanding Lebaran ya? Berarti tidak semua perayaan di negara ini diharamkan, dong?”“Iya. Dan saat ini Raja juga sedang meresmikan universitas barunya di Jeddah, jadi hari ini memang banyak perayaan di setiap kota penghujung negeri.”Universitas yang sedang digembar-gemborkan berbagai media masa itu bernama King Abdullah University of Science and Technology (KAUST). Sang Raja menanamkan modal 12,5 miliar US dollar untuk perguruan tinggi yang dilengkapi laboratorium tercanggih di dunia ini. Rencananya, sih, di kampus ini tidak akan ada perbedaan ruangan wanita dan pria karena dua per tiga bangku kuliah ditujukan bagi mahasiswa internasional. Diam-diam aku menaruh harapan pembaruan pada universitas ini. Di negeri ini aku semakin tersadar bila uang banyak tanpa pendidikan akan menjadi sebuah ketololan luar biasa. Aku sering merasa sedang bermain dalam serial komedi hitam; banyak orang lucu pengen dipukul palu. Kita mulai dengan seorang pelanggan wanita bertas Prada yang beberapa hari terakhir ini sering berkunjung ke toko kami. Saya mau latte, pake whip cream, tapi sedikiiit aja. Saya lagi diet, pintanya sambil menempelkan telunjuk dan jempol saat mengatakan ‘sedikit saja’. Ia pun mengamatiku secara saksama, sampai saat aku menyemprotkan sedikit whipped cream, si Wanita Prada teriak, Lagi..! Aku semprot lagi sedikit. Lagi!! Semprot lagi. LAGI!! Begitu seterusnya sampai whip cream menggunung mengalahkan ukusan gelas. Entah diet ajaran sesat mana yang dia anut. Bila berhasil, aku mau ikut! Hari ini ia datang kembali, masih memakai tas yang sama. Aku buru-buru bersiap-siap-berdandan demi menjadi barista tertampan di dunia. Saya mau cappucino tapi jangan pake susu. Saya lagi diet!”Dengan hati ikhlas nan suci aku pun menjawab, Maaf, cappucino terdiri dari espresso dan susu campur foam. Kalau Anda tidak ingin susu, bisa pesan espresso-nya saja atau Americano─espresso campur air. Tatapan si Wanita Prada tiba-tiba berubah bagai Mak Lampir, Jangan mengajari saya! Saya tahu apa yang saya mau! Cappucino tanpa susu! T I T I K. Aku akhirnya hanya tersenyum penuh kutuk sambil membuat ‘cappucino tanpa susu’. Jargon pelanggan selalu benar tampaknya harus direvisi. Aku diam-diam menatap wanita itu. Jangan-jangan Prada-nya bukan memakai huruf P. Setelah pesanannya selesai, dia menuju tempat duduk sambil melirak-lirik poster yang terpampang di dinding, bertuliskan FREE WIFI. Tiba-tiba ia berbalik lagi menuju bar, Hey, mana laptop-nya? Aku tentu saja manyun, Laptop? Laptop apa-siapa? Si Wanita lantas menunjuk-nunjuk poster tadi, Ini katanya beli kopi dapet laptop?! ...................... Aku hampir menelan amandelku sendiri. Jakunku bagai terjun ke lambung saking terkejutnya. Aku pun mencoba menjelaskan,Oh, maksudnya di sini bisa wifi─internetan gratis. Yah, laptop-nya bawa sendiri. Ia kembali menampilkan tatapan Mak Lampir-nya. Kemudian melipir.Sepertinya orang-orang ini lebih suka melihat gambar ketimbang tulisan keterangannya. Seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu, seorang anak muda berambut punk & berjenggot pirang belang membeli kemasan biji kopi. Kebetulan kami mempunyai promosi beli kemasan biji kopi gratis secangkir americano.Setelah diberikan secangkir kopi, ia terlihat kecewa, HAH? Cuma kopi? Mana tekonya?!Aku lalu menjelaskan maksud isi promosi tersebut sambil tetap senyum pengen menyetrum. Si Mas Jenggot Belang malah beringas,Kalo begitu, jangan ada gambar tekonya, dong! INI PENIPUAN namanya!! Kesucian hatilku lenyap seketika. Senyum hilang. Aku terpaksa menjawab lantang, Anda pernah lihat iklan bank yang hadiahnya mobil? Yang foto mobilnya dipenuhi keluarga besar? Apa hubungannya? tanya Si Mas Jenggot Belang, nyolot. Jadi menurut Anda, kalau memenangkan mobil itu, mesti sekalian dapet si keluarganya juga? Ujarku tertawa. Si Mas Jenggot Belang mengangkat sebelah alisnya.Terus kalau ada iklan supermarket hadiah setrika yang dipegang unta, kalau menang, untanya mesti diambil juga?! Mimik si Mas Jenggot Belang semakin tak terdefinisikan. Andai raut muka itu ada dalam museum seribu wajah, pasti akan diberi judul ‘tertangkap tolol’. “”AFA?!”” Terdengar suara panik Albert bertelepon ria.Aduh aduh, apa lagi itu? Dari intonasinya aku memastikan ada sesuatu yang tak beres. Terlebih ada beberapa selipan umpatan bahasa Tagalog‘ putang ina mo’ dengan tatapan mata kalut. Ini pasti bukan ngobrolin artis Korea. Oh iya, tidak ada satu pun teman Filipinaku di sini yang tidak memakai nada dering ponsel lagu asal Korea. Memang, sih, genrenya bermacam-macam; dari disko, rock sampai irama gambus, tapi lagunya hanya satu macam; Nobody dari grup Wondergirls. Dan saat ini mereka sedang membangga-banggakan salah satu warga Filipina bernama Sandara Park yang tergabung dalam grup Korea papan atas 2ne1. Eh, ini kenapa jadi membahas K-pop ya?Setelah memutuskan pembicaraan di telepon, Albert bergegas menghampiriku, “Bersiaflah! Kalau ada segerombolan berandalan datang merusak kafe, segera tutuf ruangan! Selamatkan uang kasir dan merchandise!” ujarnya panik dengan kata-kata berentetan.“Lah, ada apa memangnya?”“Sky Rabbit cabang Corniche dihancurkan ratusan orang! Semua kaca pecah, meja dan kursi hancur! Mereka meramfas barang-barang dan hamfir menjarah uang kas!” ujarnya berapi-api. Aku gak salah dengar, nih? Bahkan di negara kaya ini pun ada kerusuhan? Anehnya, entah mengapa kala mendengar kepanikan Albert, aku malah merasa senang ketimbang waswas. Kalau gerombolan rusuh itu datang kemari, aku mau ikut menghancurkan rak berisi deretan susu basi juga, ah! Eh, tapi bagaimana kabar teman-teman yang bekerja di wilayah Corniche itu ya? Dan bukannya lokasi itu hanya berjarak dua kilometer dari tempat tinggalku? Panik mulai membanjiri perasaanku. Bagaimana jika saat pulang nanti dihadang diramai-ramai? Moga-moga si geng yang pernah mengejarku malam-malam itu tidak turut serta dalam kerusuhan ini! Saat-saat tanpa ada kerusuhan saja sudah mencekam, apalagi ada vandalisme ini?Saat sepi, aku duduk di pojokan toko, mencari tahu siapa yang bekerja di daerah sana. Oh iya, Si Bambang Kusuma itu kan supervisor restoran cepat saji di Corniche! “Hai, Bambang! Denger-denger ada...”“Iya, boooo!” Aku belum kelar ngomong, Bambang sudah menyambar. “Serem gila, ini hampir kayak kerusuhan tahun ‘98 Jakarta, deh! Tadi ada segerombolan orang teriak-teriak ‘ hancurkan koloni Israel segala! Tiba-tiba kaca toko dipecahin, barang-barang dan makanan dijarah!”“Haa, memangnya mereka berandalan kampung atau gimana, sih?”“Pada bawa mobil keren, kok! Gayanya juga berusaha modis gak jelas gitu. Biasalah kayak yang pada pake kacamata item tengah malem!”Tiba-tiba segerombolan pemuda bermuka penuh lukisan bendera mendatangi single dan family section. ”Woman! Woman!” teriak mereka sambil memeriksa ruangan. Aku lantas memutuskan pembicaraan dengan Bambang. Aku gelagapan, bagaimana jika tiba-tiba mereka memecahkan etalase? Sudah sangat terlambat kalau aku menutup pintu sekarang. Atau nekat tutup saja sehingga bila terjadi apa-apa mereka akan tetap terperangkap di dalam? Tapi berarti aku harus keluar terlebih dulu. Tapi Albert mana ya? Nanti siapa yang akan menutup? Ah, aku pusing!Aku siap-siaga di depan kasir.“Hey, mana, nih? Tidak ada seorang pun wanita di sini?!” ““Tidak ada, ini tempat ngopi, bukan tempat pelacuran,” jawabku sambil siaga berjaga-jaga. Semua bola mata mereka menghunjam kompak ke arahku. Diam-diam aku menggenggam botol whip cream. Kalau sampai mereka berbuat onar, aku tidak akan segan-segan menghajar! Mereka mulai bergumam dalam bahasa Arab diselipi tertawa usil. Salah satu dari mereka mendekati kasir dan sambil mulai menunjuk-nunjukku. Tiba-tiba musik berdentam, terdengar sayup-sayup teriakan para wanita. Para begundal terkesiap bermuka harap. Mereka saling berpandangan lalu berlari menuju keriuhan. Pyuh! Aku menyeka keringat di kening. Rasanya seperti baru selamat dari serangan gerombolan binatang buas. Volume musik semakin membesar. Apa pihak manajemen mal ini tidak mendengar adanya kerusuhan di Corniche? “”Hey, ada apa? Semua baik-baik saja?”” Albert tiba-tiba muncul di belakangku.“Lima menit yang lalu, sih, nggak ya...” ***Tumben-tumbennya jalanan menuju apartemen agak terhambat. Untuk yang terbiasa dengan kemacetan kota Jakarta atau Bandung di kala akhir pekan, semacet-macetnya lalu lintas di Al Khobar masih termasuk lancar jaya. Seringkali saat naik taksi sekitar pukul lima sore, aku ditolak sopir dengan alasan semacam “jam segini macet, tunggu sejam lagi.” Dan ternyata 'macet’'nya itu cuma padat merayap. Yang biasa butuh lima menit jadi delapan menit. Aku yakin bila para sopir taksi ini tiba-tiba dipindahkan ke Jakarta pasti akan pensiun seketika. Sama seperti malam ini, aku tidak tega menyebut antrean mobil ini sebagai sebuah kemacetan. Jalan-jalan protokol menuju Corniche dijaga ketat polisi. Beberapa pemuda heboh bernyanyi-nyanyi sambil duduk di jendela mobil diiringi dentuman musik hingar bingar. Beberapa mobil membunyikan klakson berulang-ulang. Aku jadi curiga, mereka ini benar-benar semangat merayakan hari nasional atau sekadar melampiaskan jiwa raga yang selama ini terkekang?Ah, persetan. Aku pun membuka jendela mobil, ikut-ikut teriak-teriak kesetanan bersatu padu dengan keriaan malam. ***Keesokan paginya, sambil berjalan menuju toko, aku membolak-balik koran. Tidak ada satu pun berita tentang kerusuhan tadi malam. Begitu pun di internet, belum ada satu tautan pun yang membahas kejadian itu. Masa semua bungkam, sih? “Selama ini kalau ada kasus-kasus kriminal yang pelakunya orang Saudi, jarang ada di koran-koran lokal. Biasanya malah muncul di koran luar,” kata si penjual donat sambil ikut melirik koranku.“Iya, sih, berita penyiksaan pekerja migran juga kayaknya lebih sering di koran Indonesia ketimbang di koran sini,” aku menguatkan pendapatnya. “Tapi masa sih, dari sekian banyak toko yang hancur tidak ada satu pun milik orang Saudi juga? Atau setidaknya investor lokal?”“Bisa jadi para reporter masih menelaah duduk permasalahannya apa, tidak bisa tiba-tiba melaporkan sembarangan,” katanya sambil menyusun donat-donat hangat di rak pajang kaca. “Wah, kalah canggih sama media di negara saya, kadang peristiwanya belum terjadi, sudah ramai dibahas massa.”Dari jauh Albert melambai-lambaikan tangan pertanda memintaku cepat datang. Jangan-jangan dia memergoki sekeranjang plastik berisi gelas kertas yang lupa kubuang kemarin malam? Atau ada laporan dari si Bapak Puncak yang sempat kubentak-bentak itu? Aku harus menyiapkan argumen untuk semua kemungkinan ini.Albert lanntas memberikanku secarik kertas. Wah, surat deportasi? Hatiku bergejolak riang.““Selamat, Fare!””Apakah Albert sedang bersarkastik ria? Aku segera mengambil kertas itu, pandanganku langsung tertuju pada bagian yang dilingkari spidol kuning. Charming Award Congratulations to: partner Valiant Budi. Being a new partner, Valiant strives to deliver excellent customer service & mantain store cleanlinessApakah ini lelucon? “Toko kita mendafatkan fenilaian tertinggi baik untuk segi felayanan dan kebersihan. Nilai ini komfilasi dari laforan felanggan dan fembeli misterius. Namamu sering disebut mereka,” Albert menjelaskan.“Bagaimana mereka tahu namaku?”“Sebenarnya mereka tidak tahu, hanya menyebut 'Si Indonesia yang tinggi besar' saja.”“Hah? Gak pake tambahan ‘ganteng’?” candaku sambil diam-diam bangga dengan babu award ini. Yah, setidaknya ada pengakuan atas kerja keras mengepel lantai selama ini.Kertas pengumuman itu Albert tempelkan pada sebuah papan pengumuman, bersanding dengan kertas bertuliskan visi misi yang sering kami langgar.Bisa jadi ini dangkal, tapi melihat namaku tertera di situ rasanya membuatku bisa bekerja seribu tahun lamanya......................AH! Aku sekonyong-konyong merasa bodoh. Apakah mereka pikir bisa membeliku dengan award-award-an ini? HA! Aku mengikatkan tali celemek sekuat tenaga. Mari saling lomba memberikan umpan. Kita lihat siapa yang sering termakan!***keBAB 22: KATA TERLARANGSalju turun. Berwarna cokelat. Yah, aku berkhayal. Badai pasir kembali melanda Dhahran. Tapi sepertinya sopir taksi di sebelahku tidak terpengaruh oleh pandangan kabur ini. Kakinya dengan santai menginjak pedal gas dalam-dalam. Kualihkan pandangan melihat langit saking takutnya.Sampai di Dhahran Mall, aku bersiap memberi kabar pada Yuti bahwa aku telah sampai lewat SMS.Baru akan memijit nomornya, ada sebuah panggilan masuk.Kusuma, Bambang“KUSUMA!” teriakku lantang penuh semangat. Seketika alam raya hening. Para pengunjung sekitar mendadak memelototiku. Seorang ibu-ibu menatap waswas. Seorang sekuriti memandang ganas.“Eh, kok tiba-tiba orang di sini pada melototin gue ya?”Terdengar tawa Bambang begitu membahana.“Lagian ngapain manggil nama belakang gue segala? Pasti mereka nyangka lo nyebutin kuz umak yang artinya vagina ibu! Sudah, buruan ke sini!”Uups! Aku menutup mulut. Tatapan tajam mereka semakin terasa menusuk. Aku mempercepat langkahku.Bambang kemudian menyambutku di foodcourt—masih terpingkal-pingkal. “Untung lo masih selamat! Tau gak, si Mas Blitar sempet kena masalah gara-gara salah kaprah juga!”Sambil menunggu Yuti datang, Bambang pun menceritakan kebiasaan Mas Blitar yang gemar mencampurkan tiga bahasa dalam setiap kalimat; Arab-Inggris-Indonesia. Saat itu Mas Blitar lagi jalan-jalan asoy di Al Rashid Mall. Setelah merasa lelah, dia bergegas menuju bangku peristirahatan yang dipenuhi bapak dan anak kecil. Mas Blitar lalu mendekati sebuah bangku yang dipenuhi barang belanjaan salah satu bapak itu. Ia pun berkata, Afwan, Ana want DUDUK here, please.. Persis setelah dia berhenti berbicara, tiba-tiba terdengar petir menggelegar, burung berhenti berkicau. Eh, ini mal apa hutan ya. Anak-anak kecil yang asyik berkeliaran di sekitar bangku sontak memeluk ayahnya masing-masing. Sementara para ayahnya memelototi Mas Blitar.Excuse, me. What did you say?! tanya salah satu dari mereka. Mas Blitar malah agak nyolot dengan logat Jawa yang kental, Ana want DUDUK! DU-DUK!! Ia lantas memeragakan adegan duduk; meneplok pantat sambil menunjuk-nunjuk bangku. Seorang anak kecil menangis. Tiba-tiba saja sebagian bapak-bapak itu berdiri dengan muka gahar, lalu membentak-bentak Mas Blitar. Why?! I can't DUDUK here?! Suasana semakin kalut sampai-sampai seorang satpam datang menjemput. Mas Blitar dibawa ke ruang sekuriti ditemani beberapa saksi. Berbagai pertanyaan berkecamuk di hatinya, Kenapa pengen duduk saja bikin mereka ngamuk? Apa karena saya orang Indonesia? Apa karena kita dianggap lebih rendah derajatnya? Setelah debat kusir, jajak pendapat, plus voting sinting, diketahuilah asal muasal tragedi bangku berdarah ini. Ternyata di sini, dugdug berarti senggama!Ayo kita putar ulang adegan tadi.Permisi, saya ingin bersenggama di sini, boleh? tanya Mas Blitar sampil menepuk-nepuk pantatnya.“Wah Mas Blitar beruntung ya, coba kalau ternyata si bapak-bapak itu doyan, pasti habislah dia!”” ujarku membayangkan mimik tragis Mas Blitar.“Duh, kalo sampai iya, pasti gue bakal rajin datengin tuh tempat,” balas Bambang tertawa penuh kebinalan. “Eh, maaf ya kalo jijik, gue ini memang gay,” ujarnya kembali terbahak-bahak. Aku menikmati sekali caranya tertawa, begitu lepas dan tanpa beban.”Lah, dari awal kenal kan lo udah ngasih banyak isyarat, kok. Selama lo gak pamer-pamer penis ngapain gue mesti jijik?”Bambang tiba-tiba tersedak. Waduh, apa aku salah ngomong ya?Yuti datang di tengah-tengah obrolan kami, ia lalu memesan makanan. Bambang meneruskan obrolan. “Gue jadi inget cerita lo yang ada customer pamer anunya itu. Dia suka pake kacamata item gak?”” tanyanya membangkitkan rasa trauma.Waduh, ketemu cuma sekali doang. Seinget gue, sih, gak pake kacamata item, ya? tanyaku agak heran kenapa Bambang tampak bimbang. Kelopak matanya melebar, Logatnya dia medok gak? Aku mengernyitkan dahi. Bambang lalu menirukan suara yang terdengar seperti menahan dahak tapi ingin berak. Ada lengkingan tinggi pada akhir setiap katanya. Iya! Lo kenal?! Tanyaku. Padahal aku masih tidak mengingatnya. Aku ingin pembicaraan segera sampai pada titik persoalannya.“Iya, gue pernah sama dia.”Aku tertegun,” “Sekarang... gue jadi agak jijik, nih, sama lo. Apa nggak pilih-pilih ya?””Gue juga jijik ngingetnya. Dan gue juga kapok, kok. Abis si Om Cokelat ini punya kelainan. “Haa, ada kelainan apa lagi selain hobinya pamer-pamer itu?! Aku tertegun.Jadi waktu itu kita pernah check in. Terus dia kayak sibuk sendiri di kamar mandi. Gue nonton TV. Saking lamanya, akhirnya gue agak-agak ketiduran,” Bambang lalu menyalakan rokoknya. Tampak akan bercerita panjang, nih. Yuti menghampiri kami membawa burger ikan dan segelas jus lemon.“Tiba-tiba pas gue mulai nyenyak-nyenyaknya, ada yang ngegoyang-goyangin badan. Taunya...,” tenggorokan Bambang tercekat. Ia sepertinya masih menyimpan trauma. Atau mungkin ini bagian dari drama.Aku dan Yuti mendadak berpegangan tangan. Tapi sekejap lepas lagi. Bukan muhrim. “...tiba-tiba ada sesosok bercadar bangunin gue! Bambang agak histeris. APA? Jadi dia ngajak istrinya? timpal Yuti. Cepat tanggap juga ya, dia. Kalian threesome?! Aku pun menggebrag meja; tak ingin kalah dramatis. BUKAN! Ini lebih parah! Ujar Bambang. Jadi itu bukan istrinya?! Yuti histeris. Jadi lo threesome bukan dengan istrinya? saya ikut miris Tenang, tenang! Jangan keburu ngambil kesimpulan, dong! Pas si perempuan itu ngomong, gue lebih kaget lagi!! tatapan Bambang berubah tajam. Suara dia persis kayak si Om Cokelat!! teriak Bambang. HAH?! Loh? Maksudnya? Jadi? Tapi? Kami saling bingung saling pandang—apakah juga saling sayang.Iya. 'Perempuan' itu adalah Om Cokelat pake cadar!! Suara Bambang naik tiga oktaf. Yuti terbatuk. Aku mengelus tengkuk. Mas Blitar yang baru datang bergabung langsung mengutuk.Apa-apaan itu?! Yuti menghentikan kegiatan santap burgernya. “”Ah! Rusak total selera makan saya!”” Teriak Yuti sambil melempar tisu. ““Terus?” Loh, kok masih ingin lanjut?Pas gue mau tarik cadarnya, dia marah langsung nampik. Dia minta dibuka dulu abayanya. Dan setelah gue buka abayanya, ada yang lebih menakutkan lagi. Bambang celingak-celinguk seakan takut ketahuan seseorang.Hah! Apa lagi yang lebih menakutkan dari ini semua?! Tanyaku benar-benar sudah tak bisa menebak-nebak lagi. Selama gue nyoba ngelepas abaya, dia kayak yang gelisah sambil mendesah, 'la... la... oh ...la! laaa! ”Itu maksudnya nyanyi atau ‘tidak’ ? Tanyaku lagi mengingat ‘la’ dalam bahasa Arab berarti tidak.Pokoknya jadi terkesan kayak gue yang lagi ngerjain dia. Ngomong 'la la la' tapi tangannya ngejenggut kepala gue. Yuti mulai kipas-kipas. Mas Blitar ambil napas. Aku tiba-tiba merasa memakai berlapis-lapis jas. Panas!Untunglah acara pelepasan abayanya cepet beres. Dan ternyata pas gue narik cadar masih ada yang jauh lebih aneh. Pantes saja dia lama di kamar mandi!“Saking banyaknya keanehan dia, jadi gak akan aneh lagi ya,” Ujar Yuti mulai terdengar kesal. ”Apalagi kali ini? Mukanya bilatungan?”“Atau upilan sewajah-wajah?” tanyaku ikut meramaikan suasana. Bambang menggeleng-geleng, “Wajahnya menor semenor-menornya. Full make up!”Aku dan Yuti kembali berpandangan untuk seribu kalinya. “Sudah ah, Bambang! Sepertinya kami gak ingin tahu kelanjutannya,” Yuti menggeleng-gelengkan kepala dan tangannya. “Kelakuan kamu kayak gini, nih, yang bikin citra TKI jadi miring!“Memang gak berlanjut, kok. Gue kabur,” timpal Bambang, merajuk. “Lagian kan aku melakukannya mau sama mau, gak memaksakan kehendak?”“Ya, tetap saja toh, dinilai melanggar hukum di sini?” Mas Blitar akhirnya bersuara. Pelan, tapi dalam. “Si Om Cokelat ini ternyata ‘unik’nya stadium empat ya? Kalo memang pengen bergenit-genit ria pake pakaian perempuan, kenapa milihnya abaya bercadar? Kenapa nggak pake baju balet, kutang jaring-jaring atau kostum kelinci misanya?” Tanyaku sambil agak sebal membayangkan Om Cokelat memakai semua pakaian yang kusebutkan tadi. “Kamu baca gak di koran beberapa bulan yang lalu ada seorang perempuan bercadar ditangkep polisi di kota sebelah,” Yuti kembali mengigit burgernya, “Orang-orang pada curiga sama si perempuan ini karena gerak-geriknya kelaki-lakian. Setelah ditangkap dan diinterogasi polisi ternyata isinya memang laki-laki! Dan si laki itu adalah seorang profesor dari sebuah universitas ternama.” “Wah, jangan-jangan si Om Cokelat tuh? Dia profesor bukan?“Waduh, gak tahu dan gak mau tahu,” Bambang menggeleng cepat.“Berarti kasihan para perempuan tomboi, dong ya? Mau gak mau gerak-geriknya mesti diper-feminin biar gak disangka laki ya?” Aku membayangkan bagaimana jika si perempuan tomboy ini akhirnya malah dipaksa membuka cadar dan abayanya. Cadar ini juga bikin bingung kalo para majikan saya kalo minta antar pergi, Mas Blitar akhirnya urun suara. Sudah gitu bau parfumnya sama semua, sambung Mas Blitar. Saya jadi sering bulak-balik dari mal ke rumah karena majikan ketinggalan atau ketuker.Hahaha! Akhirnya ada juga bahan tertawaan yang tidak mengandung unsur seksual dalam pertemanan ini.Misalnya si Madam wanti-wanti pengen dianterin belanja. Saya manasin mobil sambil nunggu dia dandan. Pas madam naik mobil, ya udah saya langsung tancap ke mal. Pas di tengah jalan, taunya madam nelepon. Saya kira HP-nya kepencet, kan dia ada di belakang saya—ngapain nelepon-nelepon? Pas saya angkat madam marah-marah kenapa ditinggal. “Jadiii...siapa perempuan bercadar yang duduk di belakang?” Tanya kami beramai-ramai dalam berbagai nada horor. Ya itu adik si madam, jawab Mas Blitar. Kenapa dia gak minta tunggu Madam sebelum pergi? Tanya Yuti Yah, tahu sendiri, lah... Keluarga majikan saya kan keluarga jahiliyah, Mas Blitar tertawa getir. “Tenang, Mas, ada yang nasibnya lebih buruk,” timpal Yuti. Yuti lalu menceritakan sebuah kasus yang terjadi di negara tetangga; Uni Emirat Arab; negara dengan sensasi padang pasir nan eksotis selayaknya Arab Saudi tapi masih memungkinkan untuk pamer paha. Cerita berawal dari seorang diplomat Arab yang mau menikahi seorang gadis. Untuk mematuhi tata krama, sang diplomat tak boleh melihat rupa sang gadis secara langsung; hanya lewat selembar foto. Setelah haqul yakin, mereka pun menandatangani kontrak perkawinan. Lalu tibalah malam pertama yang dinanti yang ditunggu. Sang diplomat membuka baju, merayu istri baru untuk bercumbu. Kemudian si istri secara perlahan membuka cadarnya... dan... ternyata gadis pujaannya berjenggot dan bermata juling! Sang diplomat langsung membatalkan kontrak. Dia juga menuntut ganti rugi lima ratus ribu dirham atas segala perhiasan dan tetek bengek kemewahan lainnya demi menikahi si gadis berjanggut itu. Pengadilan syariah mengabulkan pembatalan pernikahan mereka, tapi gugatan ganti ruginya ditolak. “Wah, kasus ini rasanya seperti pembalasan untuk para pria yang gemar melakukan pemerasan ya?“Eh, ngomongin pembalasan, sudah tahu perkembangan kasus kerusuhan Corniche kemarin? Kemaren lebih dari seribu orang volunteer meminta maaf atas kejadian vandalisme itu, Bambang bertanya kemudian menjawab sendiri.“Oh yaa? Secara simbolis atau pernyataan di media?” tanya Yuti─persis pertanyaan dalam benakku.“Mereka ini yang terlibat atau orang-orang bersimpati?” Aku menambahkan pertanyaan.“Mereka mendatangi toko yang menjadi korban kerusuhan, satu satu. Mereka kayaknya, sih, mewakili teman atau saudaranya yang sekarang ditangkap polisi.”“Jadi sebenarnya alasan kerusuhan kemarin ini apa ya? Protes sosial atau…?”” tanyaku lagi, seakan-akan menginterogasi Bambang sebagai salah satu pelakunya.“Laporan sejauh ini, sih, ya mereka adalah anak-anak orang kaya raya haus perhatian...”Sinting. Memang, tidak ada satu pun alasan yang baik untuk sebuah kerusuhan. Tapi alasan tadi benar-benar nggak banget!Tapi di balik itu, ada rasa lega berganda. Pertama, mereka yang berbuat onar ditangkap polisi. Kedua, ternyata masih ada orang-orang yang gemar meminta maaf di negeri ini. Mengapa mereka jarang ngopi di tokoku ya?***
Pelanggan pahit favorit
Sebabu-babunya jadi pelayan kalau dapet senyuman puas dari pelanggan, rasa lelah bisa lenyap sekejap secepat hilangnya perawan dalam malam peraduan. Pelanggan favorit saya adalah seorang wanita separuh baya asli Inggris yang selalu memesan secangkir hazelnut latte dan cheese croissant hangat buat menemaninya membaca novel tebal. Setiap selesai menyesap minuman yang saya bikin, dia gak segan-segan ngasih pujian dengan pilihan kata 'elegan' semacam, This is so scrummy, my brilliant boy! sambil melengkungkan telunjuk dan jempolnya membentuk lingkaran sempurna; bikin hidung ini kembang kempis. Tapi gak semua pelanggan favorit ini manis-manis; banyak juga pelanggan pahit yang awalnya sih, bikin napas mampet, tapi kalau diinget-inget ternyata bikin senyum empet.Bermula di suatu pagi buta, bahkan onta saja masih tertidur lelap habis dugem di padang pasir, saya lagi siap-siap buka toko, datanglah seorang...→ Pelanggan nasionalis!Dia adalah seorang laki-laki muda berjubah ala Neo Matrix warna putih dan penutup kepala khas arab (ghutra) plus kacamata hitam, menyelonong masuk bar sambil teriak-teriak, Cappucino! Cappucino!We're not open yet, Sir. jawab saya setengah kaget sambil berusaha menerawangi kaca mata hitamnya.. yang ternyata keperak-perakan.Moya! Moya! teriaknya lagi, kali ini minta air mineral.You can order at 9. Duh, kok gak ngerti juga, sih? I don't speak English! bentaknya sambil melotot.Lah, barusan ngomong apa?!Emang ada saja pelanggan yang gak mau (bukan gak bisa) ngomong selain bahasa Arab, termasuk orang asia yang udah lama tinggal di sini. (wih, ini sih nyebelin pengen ngelempar ubin). Tapi ya berhubung kami TKI di sini cuma numpang ngeruk duit, ya sudah lah ngalah saja, dikit-dikit emang mesti belajar bahasa Arab. Pelanggan nasionalis ini bakal extra-ngejengkelin kalau dia juga...→ Pelanggan arogan!Seorang bapak-bapak beruban lagi asyik ngerokok cerutu di wilayah non-smoking, bikin saya ambil langkah seribu babu sambil grasa-grusu. Smoking is not allowed here, Sir! ujar saya sambil menyodori asbak darurat buat mematikan cerutunya sambil menunjuk ke larangan merokok yang jelas-jelas nongkrong di meja.Don't worry. This is my country! Jawabnya anteng sambil tetap mengepulkan asap yang seakan-akan membentuk trofi kemenangan... santai kayak di kebun petai!Heuh, memang sih, di Saudi Arabia ada anekdot yang bisa bikin kepala kejedot; segala macam peraturan dibuat untuk pendatang, bukan penduduk asli. Jadi mereka tampak kebal hukum, dan kita cuma bisa diharap maklum.Tapi semaklum-maklumnya umat, bakal gerah juga kalo ketemu...→ Pelanggan haram!Haram! HARAM!!! ujar salah seorang pelanggan pria sambil melototin cangkir supermini di telapak tangannya. Saya tentu aja kaget, jangan-jangan gak sengaja nyemplungin daging babi di espresso-nya?! Can I help you? Tanya saya sok kalem.You gave me my coffee (espresso) ONLY THIS SIZE??? sambil memelototi cangkir yang supermini di telapak tangannya. Lah.... di mana-mana porsi espresso yah memang 'seemprit' kali?!Menghadapi pelanggan kayak gitu, biasanya kita balas semprot saja pakai pertanyaan penggores ego; Is this your first time drinking espresso, Sir? Biasanya sih, pertanyaan ini manjur buat bikin dia pasrah walaupun tetep ngasih sumpah serapah. Bodo, ah!Jenis arogan lainnya saya temui pada seorang lelaki remaja dengan dandanan tabrak warna bikin pusing kepala. Hey, you know what... (sambil ngangkat kacamata hitam frame putihnya ke jidat)... I've been to all of your cafes at USA and Europe....Oke. Terus?... and all of them gave me free drinking water before I order, you know. So can you just give me one?Ya ampun, mau air putih gratis saja, mesti nyombong dulu, haha! Dan kelakuan dia mengingatkanku dengan...→ Pelanggan tersesat! This is my first time coming here. So what do you suggest? tanya seorang wanita bermata blueberry.Do you like Hot or Cold? saya mencoba membantunya memilih.Euuh, I'm not sure, jawabnya sambil bergeleng-geleng.Which one do you prefer; sweet or strong?I don't know.., geleng-geleng lagi, lebih lambat dari sebelumnya. Akhirnya saya menerangkan produk satu persatu dengan hati lapang dan sabar sentosa, hingga dia pun tampak mulai menetapkan pilihannya.Okay... (mata birunya kembali menerawang menu) just give me mineral water.Lah, hahaha! Makin deh bingung, kayak...→ Pelanggan linglung!Mereka adalah, yang entah memang banyak maunya, atau gak tau maunya apa.I want Mocha Fraps with extra vanilla, extra caramel, extra chocolate sauce... but please make it not too sweet!Waduh, kenapa gak sekalian minta jus jengkol tapi gak pahit?!Chocolate frap, one grande and one tall! pesan seorang cewek berambut pirang kepang samping. Setelah minuman datang, dia memeriksa satu persatu pesanannya dengan tatapan kecewa.So, the difference between grande and tall is only on its size?!Lah. Iya. Jangan-jangan dia mengira 'grande' dan 'tall' itu sejenis saos ya?Can I have a cold caramel macchiatto without caramel and no ice?Eh, gimana!?*Can you be a man without penis?*Di antara beragam permintaan yang 'unik-unik' itu, paling malezzz kalau menemukan...→ Pelanggan yang juga pelayan!Give me one grande java chip frappucino-cream base with two pumps of vanilla and caramel drizzle on the three spirals of whipped cream, but please dont spiralize the caramel, just make it like two circles such a way-like we... ups... you do on the caramel macchiatto.Duh.. ini entah mau pesan minuman apa pamer pengetahuan, ya?Dan memang sih, suka ada pelanggan yang hobi mengkustomisasi minumannya jadi 'pelik', tapi akhirnya ketahuan sok begaya doang, contohnya adalah... → Pelanggan amnesia!Give me one small hot latte, with two shots; one decaf, other regular, non fat milk, no foam!Pardon? Could you repeat your order? Hot latte.... with...... (jeda 7 detik)... euh.... tampak merengut mencoba mengingat-ingat pesanan sebelumnya. Tuh kan, saking banyak gaya jadinya malah lupa, hehe!Tapi gak tahu, nih, mendingan lupa atau gak punya sikap kayak... → Pelanggan plin-plan!Can you make me a small cup of XXXX* tea? (*samar-samar terdengar kayak 'milk')Milk tea? sambil geleng-geleng memberikan isyarat kalau kita lagi gak punya menu teh susu.No, no, MINT tea!Oh, MINT TEA.. yes, I will make it for you! What size do you want?“.... (diam sesaat).. mmh, so do you have MILK tea?Loh kok?!Pelanggan plin-plan punya pesaing ketat, yaitu...→ Pelanggan sok tahu!I wanna dry cappucino*, with extra Irish cream! pinta seorang bapak berkumis jabrig yang nyambung sampai jambang.Srot! Cangkirpun saya semprot dengan sirup Irish cream.Sorry, can I change the syrup to vanilla?"No problem, saya langsung mengganti mug, pompa sirup vanilla, terus siap-siap memanaskan susu.Can you make it to wet cappucino*? pintanya lagi.Yes, sure, sambil mengubah posisi steamer susu biar gak terlalu menghasilkan foam.Hhmm, can you make less foam on the top? Really really little foam! Pintanya lagi sambil mendempetkan telunjuk dan jempolnya; menandai kalau foam yang ia inginkan benar-benar sedikit. *mulai jengah*So, It's gonna be latte*, then, saya tetap tersenyum, demi menghilangkan jengah.Aah! I don't like latte! Just make my drink on that way without becoming latte!Permintaan itu bagai ingin hamil tanpa perut membesar. Bagaimana, ya?Memang cara terbaik menjadi babu teladan adalah tetap diam dan turuti saja apa kata tuan! *Catatan:Wet Cappucino = espresso + 75 % steamed milk + 25 % foam.Latte = espresso + steamed milk + 1/4 inci foam.Dry Cappucino = espresso + foamOh ya, rumus ini tergantung 'kebijakan' cafe masing-masing, sih.Nah, kalo ini lain cerita, tapi sama deritanya...I wanna a large cappucino without milk! Semprot seorang bujangan berkumis zig-zag sambil nunjuk mug paling besar. So, I can make you an Americano*, Sir, saya menunjuk ke arah gambar cangkir berisi kopi hitam.No! Didn't you hear me? Make me Cappucino WITHOUT MILK!...... * Catatan:Mungkin saja belum ngeh, cappucino dan latte merupakan perpaduan espresso dan susu (plus foam). Kalau gak pakai susu, ya berarti espresso doang, dong, ding. Kalo mau dapet segelas gede, ya sudah espresso bisa kita tambahkan air panas; jadilah sebuah menu bernama Americano. Begitu!
Give me an Iced cappucino!So sorry, we have iced latte* here? No no no noh!! ICE CAP-PU-CI-NOH! YA SUDAH DEH TER-SE-RAH E-LOH *Catatan:Seperti telah kita ketahui bersama, salah satu esensi penting cappucino kan foamed milk; yang bisa didapatkan dengan memanaskan susu. Nah, kalau tanpa foam, jadinya ya Iced Latte. Jadi cappucino 'se-ja-ti-nya' memang panas. Sepanas hati pada...→ Pelanggan posesif!Terlalu akrab dengan pelanggan tetap, bisa bikin kita terjebak dalam keadaan terjepit. Apalagi kalau mereka datang berdampingan secara kebetulan.Have a great day, Sir! sapa saya kelar menyerahkan secangkir black coffee ke seorang pelanggan asal Perancis yang selalu berbaju necis.Tiba-tiba pelanggan sebelumnya yang lagi sibuk merampok gula berbalik ke arah saya sambil ngomong, Why didn't you say 'have a great day' to me?Hah? Hmmm.. but I gave you my biggest smile! tangkas saya sambil memberikan senyum yang lebih lebar daripada jidat ini. Tanpa disangka tak dinyana, pelanggan perancis necis malah gantian cemberut, So how come I got your small smile?! .....tiba-tiba saja saya pengin kabur plus pakai cadar, bersama...→ Pelanggan sok kebarat-baratan!Ini biasanya pelanggan yang keseringan salah nonton film Hollywood. Cara mengenali tipe pelanggan ini cukup mudah, gayanya cenderung pasaran; petantang-petenteng, memakai T-shirt bertuliskan umpatan semacam what d f*ck r u lookin' at?, berkacamata hitam, dan rambut menantang gravitasi.Hey, Dude! Gimmeh some fuckin' coffee frap! perintahnya dengan logat arab kental; frap dibaca frab.Banyak sih, rekan kerja yang tersinggung dan minta si pelanggan mengoreksi the annoying F word-nya, sampai pernah berakhir berantem plus lempar-lemparan gula pasir segala. Tapi berhubung kita sebagai orang Asia yang santun penuh pantun, akan lebih baik kalo tetep memilih membuatkan minuman sambil memanggil, Hellouw, Asshole... Your fuckin' fraps is fuckin' ready! dengan intonasi suara yang tetap manis dan senyum rupawan. Yah, begitulah sekelumit kisah para pelanggan pahit terfavorit saya. Sepahit-pahitnya mereka, kadang tiada pilihan lain untuk selalu tersenyum lebar, berhubung pelanggan selalu benar. Benar-benar kurang ajar!Dan saya sekarang mulai menangkap maksud pesan mutiara dari seorang TKI senior yang bilang, Kalau mampu bertahan bekerja sebagai pelayan di Arab Saudi, kita bakal tahan banting bekerja di mana saja.
A M I N ya Allah, AMIN!
keBAB 23: SEMANGAT BARUDalam gelap, aku mencoba menggapai-gapai sesuatu. Sesuatu yang aku lupa namanya. Sesuatu yang selama ini terabaikan. Sesuatu itu adalah...SELIMUT?!Loh, sejak kapan aku mencari benda yang hampir tak pernah aku sebut di negeri ini? Kenapa kamar ini terasa dingin? Apakah AC-nya sudah kembali menyala? Aku menyalakan lampu, ternyata Benny sudah asyik berselimut dalam kedamaian tidurnya. Dan dapat kupastikan dingin ini bukan berasal dari AC.Hatiku mendadak waswas, berharap sesuatu yang kuharapkan. Gundah yang begitu kuimpi-impikan selama ini. Aku membuka pintu kamar, hawa sejuk menyeruak masuk ruangan. Aku berlari turun tangga keluar apartemen.Semilir angin segar menyambutku saat berada di luar. Secara otomatis aku merentangkan kedua tanganku; seakan ingin memeluk alam raya. “Oh, selamat datang musim dingin!***Kulilitkan syal sampai menutupi semua bagian leher. Lalu kukenakan jaket biru untuk menghangatkan tubuh. Memang, musim dingin di Arab Saudi tidak bersalju, tapi embusan anginnya mampu membuat bulu dada meringkuk. Untuk ukuran negeri bermusim panas yang membuat semua pori-pori kita mengeluarkan cairan sebadan-badan, suhu dingin ini sungguh sebuah kejutan. Aku kira dinginnya hanya basa-basi, ternyata sanggup menggetarkan hati. Menggigil, maksudnya.“Tahun kemarin, awal Januari lebih brutal lagi dinginnya. Listrik sampai mati karena kabelnya membeku. Saya sampai mengungsi ke hotel,” kata Rendi saat kami menuju tempat jemputan masing-masing.“Wah, sampai berapa derajat suhunya, Mas?”“Pernah sampai minus tiga derajat celcius. Siap-siap saja menggigil.”“Waks! Berarti harus siap selimut lebih tebal dan perlengkapan musim dingin ya?” ujarku penuh semangat. Tak sabar belanja dengan alasan tepat. Kami lalu berpisah di persimpangan menuju tempat tujuan masing-masing; yang padahal di satu tempat. ***Pada musim dingin suasana kota menjadi semarak. Bukan karena dekorasi kota, tapi karena para pakaian warga lebih berwarna. Para lelaki memakai baju thowb berbahan lebih tebal berbeda warna, seperti cokelat atau biru tua. Beberapa dari mereka juga ada yang memakai farwa; jaket lebar yang membuat pemakainya bagai raja-raja dalam pertemuan elegan. Atau memang yang kulihat itu keluarga raja ya? Lalu para wanita pun, meskipun tetap memakai cadar dan abaya hitam, terkadang memakai jaket warna-warni. Ternyata ada satu hal lagi alasan kenapa aku mencintai musim dingin ini. Kutengadahkan wajah untuk memastikan bahwa aku tidak berhayal. Aku sampai lupa kapan terakhir kali merasakan ini!Lagi-lagi kurentangkan tangan ini, menikmati kesegaran di alam terbuka, “Apa kabar, hujan? Sudah lama tidak bertemu!”Bagi yang sering dihadang badai pasir, hujan adalah hadiah yang tak terkira.***Albert mondar-mandir di belakangku sambil menempelkan ponsel di telinganya. Ia terlihat seperti peragawan yang tersesat di catwalk. Keringatnya membasahi pelipis, padahal suhu ruangan sangat dingin.“Angkat! Angkaat!! Aaah!” ujarnya sambil sesekali melihat jam tangan.Ada apa ya? Kerusuhan lagi? Apa para anak-anak orang kaya itu telah dibebaskan dari penjara?“Ada sesuatu yang tak beres!” Albert kembali memijit-mijit ponselnya, “Jeddah terkena banjir bandang. Baik istri dan anak-anakku tak ada yang mengangkat telefon.”Aku melirik kaca untuk mengintip keadaan di luar. Ternyata hadiah ini berbuah petaka di kota lain. “Saudara-saudara yang lagi naik haji juga tak bisa saya hubungi. Mereka dari hari fertama ibadah kemarin sudah terguyur hujan,” Albert meneruskan keresahannya.“Semoga mereka baik-baik saja,” ucapku ikut khawatir, sambil siap-siap membuka internet browser di ponsel.Oh, wow! Ternyata tragedi ini lebih dari sekadar banjir bandang! Di kota Jeddah ada sebuah jembatan runtuh dan serangan air bah mengepung jalanan raya kota menyebabkan beberapa warga terjebak di dalam mobil. Sampai saat ini puluhan orang dilaporkan meninggal dan ratusan orang hilang. Bencana ini diklaim sebagai banjir terburuk dalam dua puluh tujuh tahun terakhir. Untungnya di kota Mekah belum ada laporan korban; semoga tidak akan ada. Meskipun ibadah haji sempat sedikit terhambat, tetapi beberapa satuan keamanan lebih sigap dalam menanggulangi kemungkinan badai.“Saya harus ke Jeddah beberapa hari, mungkin kamu akan bekerja non-stop shift pagi sampai malam.”Aku tentu terkejut. “Euh, bukannya tidak bersimpati atas kekalutanmu, tapi memang tidak ada yang bisa menggantikanmu di shift pagi?”“Akan saya usahakan, tapi Alfredo kan lagi vacation.”Ah, si Kampret itu sepertinya baru kemarin cuti, sekarang sudah liburan lagi? “Wah, saya kira dia mengalami masalah keuangan. Ternyata masih sanggup pulang kampung ya,” aku bergumam.“Loh, dia pinjem kamu juga? Bersiap-siap saja. Utangku dari beberapa tahun lalu selalu tak terbayar, ada saja alasannya.””Oh, pantas. Pasti dia malu terlalu banyak piutang pada kabayan-nya, makanya memperluas jaringan untuk berutang,” ujarku terkekeh-kekeh.Sambil menyiapkan saus karamel, mataku menangkap seorang pelanggan─gadis cantik sedang asyik menjilat-jilat stik pengaduk kayu. Aduh, semoga itu stik bersih. Pengaduk baru di toko ini tidak dibungkus plastik, jadi aku tidak tahu kalo rekan lain sering mencuci ulangnya atau tidak. Eh, tapi saat melihat raut wajahnya yang begitu menikmati stik pengaduk yang tentu tak berasa itu, aku jadi terpikir sesuatu yang begitu menggairahkanku!Aku segera merogoh saku celana, mengambil ponsel untuk mencatat garis besar ideku.***Hai Fadel,Saya baru saja memergoki pelanggan sedang asyik menjilati stik pengaduk kayu—saking nikmatnya minuman kita. Dari kelakuannya itu, saya tiba-tiba terpikir ide untuk membuat ‘edible stirrer’. Untuk langkah pertama, kita bisa memakai pengaduk dari biskuit berbentuk stik. Akan lebih menggairahkan bila stik itu dilapisi cokelat atau karamel. Sehingga saat pelanggan mengaduk kopinya, diam-diam si pengaduk memperkaya rasa kopinya. Terima kasih, salam hangat!Valiant Budi ***Tepat setelah surat elektronik terkirim, seorang wanita masuk ruangan yang dikelilingi partisi. Beberapa saat kemudian ia memanggilku ke dalam ruangan yang dipenuhi sofa-sofa empuk bikin gemuk itu. Aku menghampiri dan sedikit menjaga jarak. Beberapa pelanggan wanita kadang marah jika aku berdiri terlalu dekat. GR, deh. Tapi si wanita itu melambai-lambaikan jari-jemarinya pertanda 'kemarilah mendekat'. Ya apa boleh buat. Setelah kami berdekatan, ia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu jari-jemarinya melengkung-membundar seakan-akan sedang menggenggam mikrofon. Perasaanku mulai tidak enak. Jari-jemarinya kemudian bergerak perlahan; maju-mundur, tepat di depan mulutnya yang membentuk huruf O! Hah, adegan horor apa ini? Dia mengajakku oral seks?! Di ruangan publik ini?? Eh, bukan berarti di kamar kos-kosan mau ya. Tapi kan... Belum lenyap keterkejutanku, wanita itu semakin kencang menggerak-gerakkan jari-jemarinya, kali ini disertai dengan lenguhan pelan! Astagfirullah, nekad sekali mengajakku berbuat keji di sini? Jangan-jangan salah satu majikannya Mas Blitar? Biarpun binal, aku masih punya moral! Eh, kok ganjil ya. Aku mundur perlahan. Eh, ia malah bilang, Syukulataa... syukulataaaa! Tiba-tiba saja aku teringat tragedi Om Cokelat yang dahsyat itu! Aku mendadak pening. Untuk menghindari hal-hal yang didambakan, aku keluar ruangan dan segera meminta pertolongan Andrew, Tolong, ada istri superhorny minta oral seks di dalam. Kalau mau, buatmu saja! Andrew langsung semangat masuk ruangan.Tak lebih dari semenit, dia keluar ruangan dengan muka asam. Cepet banget? Andrew menghampiriku dengan mimik gusar. Dia itu minta ini, bodoh! Andrew mengambil sebuah lolipop rasa cokelat.........Aku tentu malu. Ada yang salah dengan cara berpikirku. Semoga ini yang terakhir, karena sebelumnya kejadian serupa telah terjadi beberapa kali.Pernah saat aku sedang asyik-asyik mencampur adonan cokelat, seorang om-om tambun beralis ulat bulu nongol di meja bar dengan tatapan liar. ”Hai, apa kabar?” sapanya tersenyum nakal. Lagi-lagi pelanggan binal. Aku lantas pasang siaga satu tolak syahwat; menyiapkan kuda-kuda anti rangsang. Bisa minta nomornya? Tuh kan. Selalu, deh. Tiada hari tanpa goda. Aku tarik napas dalam-dalam; mengumpulkan tenaga. Maaf, tolong hargai kami. Tidak semua asia seperti saya ini adalah pelacur.”Si Om Tambun manyun. Alisnya turun. Tampangnya mendadak culun. Maksudmu? Ah, kau pasti sudah paham maksud saya, timpalku. Sudah hapal, deh, bau busuk berkelakuan gorila garong. Apa maksudmu? Saya minta nomor untuk kata kunci wifi ini, ujar si Om Tambun sambil memperlihatkan iPhone. Aku mendadak ingin ketiban pohon. Aku lalu meminta maaf sambil memastikan, “Euh, jadi yakin gak mau nomor saya?” Untunglah dia tertawa. Entah dalam hatinya.Kejadian berikutnya saat aku sedang seru-serunya iseng mendesain tumbler, seorang mbak-mbak India menclok di meja sambil menyodorkan kertas kuning agak lecek bertuliskan huruf-huruf India. Duh, mana aku bisa mengerti? Setelah saya tanya isinya, ia cuma geleng-geleng ala India—yang sampai sekarang aku tidak tahu artinya 'iya' atau 'tidak'. Saya tidak bisa membaca ini, kataku. ... it....from... me.. bos, jawabnya dengan Inggris terbata-bata. Mee... boss... want... you! Katanya lagi. AHA! Antena ke(sok)gantenganku kembali memancang. Gila, nih bosnya, masih zaman ya, ngasih pesan cinta lewat surat –via pembantu lagi. Oke, makasih. Aku menyimpen kertas di laci, meneruskan gambar-gambar mug & tumbler. Semenit-dua puluh menit, LOH, si mbak India masih menungguku! Menangkap kebingunganku, ia bersuara, Me... boss.. waiting... you! HEUH?! Surat cintanya harus dibalas sekarang juga?!Bilang bosmu, aku tidak bisa membaca surat ini, pekikku. Ia mengeleng-geleng lagi. Aku lalu mengembalikan kertas sambil melambaikan tangan. Si mbak India pun mengambil kertas cinta itu, geleng-geleng, lalu pergi dengan tatapan masygul. Eh, setengah jam kemudian ia balik lagi, kali ini bareng mas-mas gundul dengan tatapan sok cool. Oh ini bosnya—yang menitipkan surat cinta itu. CUIH! Sang bos gundul tanpa basa-basi malah memberikan kertasnya lagi. Si mbak India sebelahnya tetap setia geleng-geleng. Oalah, tampak minta tempeleng. Sorry, Sir, with all my respect... aku mulai pasang aksi. Hah, so you're not an Indian? potong si Mas Gundul. Kini giliranku yang menggeleng-geleng waswas. Perasaanku benar-benar sangat tidak enak. Oh sorry, Man! I just WANT YOU to make one latte, one cappucino, one mocha... APA?! Jadi surat cinta itu isinya pesanan kopi?! Ini tidak mungkin! Semua orang tergila-gila padaku! Ini pasti surat cintaaa! Ini konspirasi! Aih, malunya!Mungkin karena terlalu sering dikasih kotoran, begitu ada yang tampak bau dikit langsung curiga itu tahi. Itulah pembelaan diriku dari semua kasus GR ini. Aku berjanji tak akan tertipu lagi. Kenyataan menamparku... ternyata aku tidak selaku itu, ya!***
Dari : Tanpa namaKomentar : Kau jangan berbohong! Selama saya umroh dan naik haji saya tidak pernah mengalami kejadian yang anda gambarkan di Saudi! Ingat dosa!Lama-lama pesan berisi caci maki tak beridentitas ini seperti angin kentut. Bau tapi segera berlalu. Lagi pula pesan yang terakhir tadi lucu sekali. Andai si pengirim pesan menyertakan alamat surat elektronik, aku akan bertanya sopan padanya, apakah ia pernah mencoba tinggal lebih lama selain umroh atau naik haji? Jika iya, apakah ia memilih kota yang sama denganku? Jika iya, apakah ia bekerja dan bertempat tinggal yang sama di lingkunganku? Beda lokasi, beda orang, tentu beda nasib. Sudahlah, aku tak ingin merusak hari liburku ini. Makin hari, hawa dingin semakin menjadi-jadi. Syal dan jaket saja tidak cukup! Kini sebuah kupluk bertengger di kepalaku. Tapi yang menyenangkan, aku jadi sering berjalan-jalan di luar ruangan. Tempat favoritku adalah yang sedang kudatangi saat ini; pesisir pantai Corniche.
Kursi-kursi berderet rapi menghadap pantai membuatku betah duduk berlama-lama sambil membaca buku. Suasana semakin terasa hangat oleh banyaknya keluarga yang piknik di rerumputan hijau yang berbukit-bukit. Hati terhibur dengan canda tawa anak-anak dan aroma daging barbeque yang mereka bakar.Sambil menunggu Yuti dan Bambang datang, aku berjalan-jalan sepanjang lintasan jogging sambil sesekali memotret pemandangan. Dari kejauhan tampak jembatan ‘kebebasan’ menuju Bahrain yang terlihat bagai sebuah titik. Ah, andai buku paspor tidak ditahan perusahaan, pasti aku tiap libur jalan-jalan ke sana.Saat melihat foto-foto di kamera, seorang bapak tiba-tiba menghardikku,” “Kenapa kau mengambil foto istriku?!”Aku kaget, “Aku tidak pernah mengambil foto siapapun? Apalagi istrimu?”Ia lalu merampas kameraku. Tapi kemudian tampak bingung sendiri. Aku rampas kembali, “Kau ingin melihat foto-foto yang kuambil? Nih, perhatikan baik-baik,” aku pun memamerkan satu persatu foto dalam kameraku.“Ini dia!” ujarnya menunjuk salah satu foto saat aku berusaha memotret jembatan. “Mana istrimu?” Aku bingung mencari sosok istrinya. Apa istrinya ini tembus pandang?“Ini!” Ia menunjuk sebuah garis hitam kecil—yang bahkan kalau ia tidak bilang itu istrinya aku akan menyangka tiang listrik. Sambil menahan tawa, aku pun berucap, “Baiklah akan saya hapus bila itu mengganggumu.”Setelah terhapus ia pun meloyor pergi. Bah, aku pikir istrinya yang tak sengaja terpotret itu sedang diam-diam berbikini berbaring di atas pasir. Ponselku lalu berdering. “Kus.. eh, Bambang!” Aku hampir teriak ‘vagina ibu’ lagi. Bo, lo udah di Corniche? Ada kejadian genting, nih! Gue lagi di hotel 10th street. Bisa ke sini, gak? Kamar 412! Sosornya tanpa jeda napas.Wah maaf, Bang. Kalo sampai gue mau pun, lo bukan tipe gue, candaku sambil mengarahkan kaki ke jalan yang ia tadi sebutkan.Sumpah, serius! Iqama gue dicolong si Om Tambang Minyak! Ia menyebutkan 'pacar' yang memang bekerja di perusahaan minyak itu. Kok bisa dicolong?” Ternyata gentingnya benar-benar penting. Iqama kadang lebih penting dari harga diri, terlebih buat kami para pekerja migran.Buat kita yang terbiasa dengan mental tinggal bayar langsung kelar, bisa terperanjat dengan seputar prosedural KTP ala Saudi ini. Pembuatan atau pembaruan iqama bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan. Biaya yang harus dikeluarkan kalo sampai KTP ini hilang bisa memakan seribu tujuh ratus riyal! Bisa beli iPhone delapan giga bagi yang menyukai gadget. Bisa makan dua ratus delapan puluh empat buah kebab bagi yang rakus. Bisa facial sebadan-badan sekeluarga bagi yang hobi nyalon. Gimana ceritanya bisa sampai dicolong si om? tanyaku sambil terus berjalan. Kebetulan letaknya masih area Corniche juga.Semalem pas kita nyampe di sini, check in-nya pake KTP gue. Nah, pas barusan gue molor, si Om udah pergi duluan. Pas gue ke lobi, ternyata dia udah check out dan ngambil iqama gue. Dan anehnya sampai sekarang HP-nya mati. Lah, kalo udah check out, ngapain lo masih di sana? tanyaku. ”Dan apa fungsi gue ya? Buat nenangin lo doang, nih?” Haha, ternyata aku bukan teman yang terlalu baik.Gue di lobi, gak berani keluar! Ntar kalo tiba-tiba ada razia polisi gimana! Oh iya, satu lagi seramnya Arab Saudi. Pergi ke kios depan yang cuma semeter saja, kita harus selalu bawa iqama. Kalau lupa dan kebetulan ada polisi iseng meriksa, bisa langsung dipenjara. Tapi yah kalau sampai tertangkap, lihat sisi positifnya saja, selera lo kan semacam polisi gitu? Ini mungkin kesempatan buat lo lebih dekat dengan mereka? GAK LUCU.Iya maaf. Aku mempercepat langkahku. Sesampainya di lobi hotel, sang teraniaya Bambang sudah tiada. Aku coba meneleponnya, tak diangkat. Kalau ini adalah sebuah lelucon, sungguh aku tak akan memaafkannya.Filipini? tanya sang resepsionis berkebangsaan tampak India. Oh, hai, lihat temen saya gak; rambut agak merah, matanya..., belum selesai aku mendeskripsikan Bambang, si resepsionis langsung menyambar. Oh yes yes! Temanmu itu yang semalam meeting bersama bosnya itu ya?”Aku otomatis senyum sinis. Bambang kalau check in pasti alasannya meeting kantor. Meeting kok berdua ya, tengah malam pakai celana hawai pula.Bambang pun pernah cerita demi menjaga keparipurnaan kebohongan, sebelum melakukan adegan panas mereka menyiapkan laptop menyala di samping buku-buku tebal. Ini buat jaga-jaga kalau tiba-tiba ada yang menggerebeg, mereka bisa langsung siap siaga pura-pura rapat. Semoga bila itu terjadi, mereka tidak lupa memakai celana. Si resepsionis bilang kalau si terduga Bambang habis menelepon berlari ke sebuah mobil Jepang dengan muka bimbang.Warna mobilnya apa? Mereknya? Aku mencari tahu identitas mobil secara detil, lalu mencoba menelusuri jalan; berharap menemukan Bambang yang kini HP-nya mati. Tembok-tembok di sepanjang jalan membuatku semakin paranoid; penuh dengan pengumuman orang-orang yang kehilangan iqama. Mahalnya biaya pembuatan baru iqama ini menginspirasi beberapa orang untuk melakukan pemerasan. KTP tampak lebih menggiurkan ketimbang HP. Orang pun jadi rela bayar sampai seribu riyal demi menebus Iqama yang hilang ini. Lebih murah kan, ketimbang seribu tujuh ratus riyal plus harus menunggu lama.Ponselku bergetar. SMS baru datang. Eh sorry sorry! lo gak usah dateng deh. Gue udah dijemput temen gue. Ntar gue kabarin.-Bambang Kampret! Aku berani bertaruh teman yang menjemputnya itu 'pacar’ yang lain'. Bahkan di saat genting, antene birahinya tetap melenting.Aku memutuskan makan di sebuah restoran cepat saji sambil menunggu kabar dari Yuti. Sambil berjalan ada seorang yang terlihat Filipina baru diturunkan dari mobil yang dikendarai seorang om-om gendut. Lalu di seberang jalan seorang asia lainnya sedang dipameri lembaran uang oleh segerombolan bapak-bapak. Kemudian ia pun naik mobil bersama gerombolan baba itu. Aku jadi ingat cerita Antonio tentang beberapa kabayan-nya yang tak tahan godaan atau tercekik di akhir bulan tiba-tiba 'mendadak Bambang'. Selain bayaran menjadi pekerja seks komersil lelaki di sini cukup mahal, bila para ‘pelanggan’ suka dengan pelayanan dan keramahan kita yang truly asia itu, mereka tak akan segan-segan memberikan barang-barang mewah. Aku kadang iri, sih, dengan Bambang yang begitu berlimpah gadget. iPad-nya saja sudah dikalungkan depan-belakang. Malah ada yang dipakai untuk mengganjal jendela. Dan sialnya untuk pria alim lurus suci sepertiku ini *ehem*, malah sering jadi tertuduh pezina kalo beli barang baru.Waah, kamera baru, nih? Berapa lenguhan biar bisa beli ini? Atau “Wah, laptop baru! Dipakai berapa malam biar bisa beli ini?Di sisi lain, aku menemukan ironi lain; kenapa kelakuan mereka ini justru terasa paling edan di negara yang paling keras menghukum para pelaku homoseksualnya ini. Seumur-umur hidup di Indonesia, tidak pernah aku mengalami dikejar-kejar om-om sedemikian rupa.Aku sempet curiga kalau area tempatku tinggal dulunya adalah kota Soddom - Gomorrah. Aku sampai cek peta dunia dari zaman purbakala. Tapi tentu saja hasilnya nihil. Beberapa pendapat tanpa bukti bilang kalau kota Soddom-Gomorrah berada di bawah laut mati. Mereka yang beringas ini mungkin bukannya tidak takut hukuman, tapi lebih karena tidak kuat menahan libido. Aku menyimpulkan hal itu karena mengingat kelakuan si Carlos. Bila aku iseng cerita porno, tiba-tiba tangannya ranudi; raba-raba anu sendiri. Sudah deh, kelar.Sebuah getaran di sakuku membuyarkan lamunan, SMS dari Bambang:Jadi Si Om Tambang Minyak akhirnya nelepon. Dia minta maaf karena udah ngejarah iqama gue. Ini alasannya; I do this because I want to meet you again, I love you.”Oalah! Aku tidak bisa menentukan apakah itu romantis atau najis! Tapi hari ini aku banyak mendapatkan pelajaran berharga, salah satunya adalah tip untuk percintaan ala Saudi: Sebelum menguasai hati, kuasailah iqama-nya terlebih dahulu. ***Sembari menunggu shawarma berisi kefta—semacam bakso ala lebanese, seperti biasa aku mengutak-atik ponsel untuk mengecek blog catatan harianku. Dari : [email protected] : Kalo ane liat tulisan-tulisannya ente kayaknya punya misi untuk menghancurkan Islam. Semoga ente dimaafkan Allah SWT!
Aku tersenyum sambil geleng-geleng. Bahkan saat aku berhenti mempublikasikan tulisanku, komentar-komentar bernada cacian dan tuduhan tetap eksis. Pasti diam-diam mereka rindu padaku. Tapi tumben-tumbennya komentar yang terakhir ini disertai dengan alamat surat elektronik. Semoga bukan alamat palsu. Setelah berpikir beberapa saat, aku mulai menulis surat pembelaan diri.
Halo Mas Achmad, terima kasih telah berkomentar di blog saya.Begini, Mas, kalau memang benar-benar mempelajari Islam, pasti akan lebih bisa membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya atau tindak-tanduk lokal Arab dibanding saya. Sejujurnya saya masih sangat minim pengetahuan akan agama. Tapi perbedaan ini sangat terlihat mencolok dari hal-hal yang terjadi sehari-hari; prosesi pernikahan di Saudi Arabia misalnya—yang makin hari biaya mas kawin dan resepsi pernikahannya semakin menggila. Bayangkan, syarat biaya mas kawin 50000 riyal. Biaya resepsi 20000 riyals. Ini belum termasuk pihak lelaki harus punya minimal rumah sewa full furniture dan akan sangat digemari bila punya kendaraan pribadi. Coba Mas Achmad cari-cari infonya, di sini sampai ada kampanye di internet untuk tidak menikahi wanita Saudi, loh. Biarkan mereka jadi perawan tua! Begitu kurang lebih isi kampanyenya. Saking mahalnya, ada bank lokal yang membuat program kredit buat mas kawin. Sementara yang saya tahu di Islam biaya mas kawin disesuaikan dengan kemampuan finansialnya. Tidak ada biaya minimal apalagi rumah sebesar mal. Dan gara-gara biaya mahal mas kawin ini juga ada penyelewengan-penyelewengan yang begitu mengoyak hati. Sebuah organisasi yang mengatasnamakan Hak Wanita Saudi Arabia saat ini sedang gencar-gencarnya meminta pemerintah buat membatasi usia layak pernikahan. Alasannya karena banyak kasus calon penganten perempuan bocah. Selain itu organisasi ini juga menginvestigasi penyebab lain dari maraknya pedofilia terselubung ini. Latar belakang beberapa perkawinan dengan gadis di bawah umur ini ternyata lebih kepada transaksi jual beli. Biasanya terjadi pada kasus orang tua yang terlibat hutang atau memang gila uang. Pemikiran kasarnya adalah, Mas kawin mahal. Anak kita cantik. Mari berbisnis!” Lalu yang terakhir, apakah Mas Achmad mengetahui adanya al jawaz al siyahi alias kawin wisata yang sering terjadi di musim panas?Mereka biasanya mengawini gadis atau wanita setempat yang mereka datangi kala wisata. Perkawinan pun berakhir dengan selesainya musim wisata—mereka pun kembali ke Saudi seperti tidak terjadi apa-apa. Kok, kayak prostitusi terselubung ya, Mas? Sementara di sini banyak yang dicambuk loh karena dianggap berzinah. Kalo Mas Achmad tidak percaya, mungkin sesekali bisa periksa daerah Puncak di Jawa Barat. Siapa saja yang menyewa villa-villa di sana, dan periksa kenapa palang-palang berbahasa Arab bermunculan di sana. Segitu saja surat dari saya, maaf bila ada kata-kata yang salah dan meresahkan. Percayalah, saya pun masih kaget.
Valiant Budi.***Tepat setelah suapan kefta terakhir, Yuti meneleponku.“Genting, nih!” ujarnya tiba-tiba, menyerupai kekalutan Bambang tadi.“Duh, kenapa? Iqama-nya ditahan juga?”“Ha? Siapa juga orang goblog yang mau Iqamanya ditahan?”Uups!“Saya menuju Al Rashid Mall, nih; dianter sopir. Ketemu di sana saja ya? Si Sopir India ini sudah mulai berani bilang-bilang Baba kalau saya kadang pergi di antar ke mana—terus minta jemput malah di tempat lain. Nanti uang taksi kamu saya ganti!”“Ah, gak perlu. Ganti uang makan sama TV tiga dimensi itu,” pintaku. Lagian ganti ongkos taksi saja pasti terlalu murah untuk Yuti. Aku ingin jadi lelaki materialistis.”Ih, kamu mah, mulai kayak Bambang. Ayo ah, ditunggu!”*** Kalau aku pecinta makanan khas Lebanon, Yuti penggila pakaian karya desainernya; Elie Saab yang sedang naik daun di Hollywood. Saat aku menghampiri Yuti di Al Rashid Mall, kiri kanannya sudah dipenuhi jinjingan. Yuti berhasil menghancurkan image saya tentang (mantan) TKW selama ini. Selera dan gaya bicaranya bisa membuat Putri Indonesia mengundurkan diri seketika. Do you have white one sleeve embroidered boiled wool mini dress from the Elie Saab collection? Tanyanya dengan gaya elegan ke penjaga butik.Belum apa-apa si penjaga butik asal Mesir itu geleng-geleng. Padahal mencari juga tidak. You don't have or you don't know? Yuti mengangkat alisnya dengan pandangan mata menyapu seluruh sudut butik. Emang kayak gimana sih, bentuknya? Coba tolong terjemahkan ke bahasa Indonesia yang lebih sederhana, tanyaku. Gaunnya kaya yang dipakai Kristen Stewart pas premiere pelem The Twilight Saga Eclipse,” jawab Yuti datar sambil meraba-raba gaun berpayet silet. Oh. Tapi... mmh... apa gak kemudaan, tuh, bajunya? Otakku langsung membanding-bandingkan Yuti dan Kristen Stewart.Ini bukan buat saya, mau saya kirim ke Tasik buat si bungsu. DUAR!Sambil menemani Yuti berkelana mengelilingi mal, aku ‘mengemil’ kebab, shawarma, burger, kebab lagi... sampai akhirnya pencernaanku protes kepenuhan. Maka larilah aku ke toilet terdekat. Dan dikala penyiksaan perut, aku menemukan keganjilan pada lambang toilet. Lambang gendernya memang tak berkerudung’, tapi kok tulisannya?
Jadi toilet ini untuk laki-laki atau perempuan datang bulan? Ah, sudah, gak perlu ngegaring. Aku menyeruak masuk ke bilik kosong. Dan ah, sayang sekali aku lupa benda terpenting kala menggunakan toilet umum; earphone!Ada keadaan yang semula aku kira hanya kebetulan, tapi setelah kejadian ini berulang-ulang, aku jadi curiga itu adalah suatu kebiasaan. Entahlah, mungkin karena kurang kebebasan akan berekspresi, jadi mereka menyalurkannya ketika sedang buang air besar; ribut melenguh. Kadang aku menyangka mereka sedang pesta seks di toilet, karena kalau kamar terisi semua jadi terdengar persis paduan lenguh. Dan lagi-lagi saat ini aku kembali mendengar lenguhan yang menyayat hati. Baru aja selesai membuahi toilet, eh mulesku datang lagi. Aduh, jangan-jangan ada yang salah dengan kefta yang tadi kumakan. Akhirnya kuputuskan pergi ke farmasi terdekat.Aku memeriksa kandungan beberapa obat yang dianjurkan apoteker. Memilih obat di sini harus rajin memerhatikan dosis kandungannya. Merek sama, dosis bisa beda. Katanya, sih, kandungan disesuaikan dengan bentuk tubuh rata-rata. Jadi jangan heran kalo total dosis parasetamol untuk obat sakit kepala di Saudi bisa sampai empat ribu miligram perharinya. Atau jangan-jangan itu kerjaan dokterku yang gila saja?Tak berapa lama Yuti menyusulku dengan jinjingan yang semakin bertumpuk. Tiba-tiba terdengar nada dering lagu remix Britney Spears berjudul Three dari ponselnya. Aku mendadak waswas. Saat itu farmasi penuh pengunjung. Aku memberikan sinyal lirikan mata kepada Yuti agar mengangkat ponselnya secepat mungkin. Kalau terlambat bisa gawat! Yuti tampak panik bin ribet karena semua jari-jemarinya terkait kantong belanjaan. Sementara lirik lagu sudah hampir sampai ke bagian yang bisa terdengar laknat.’ Ayooo angkaaat! ANGKAAT!!! Aahh... terlambat! Terdengar lenguhan dahsyat, membuat semua mata pengunjung berpaling ke arah kami berdua. Bapak-bapak berjanggut menatap sangar. Ibu-ibu bercadar menatap... ah entahlah... cadarnya semuka-muka, sih, ya. Tip berbelanja di farmasi...eh... di mana pun—sedang apa pun di Saudi: jangan memakai nada dering lagu yang mengandung lenguhan! Sayangnya Yuti tidak belajar dari kesalahan, peristiwa ini setidaknya sudah tiga kalinya saat bersamaku ia kecolongan. Nada dering pertama adalah lagu Agnes Monika yang berjudul Godai Aku. Penjarakan jiwaku dengan mata nakalmuh... ituuuuuhh ituuuuuuuuuuuuhh.. Yuti pun mendapat sanksi dipelototin Muttawa. Tragedi nada dering berikutnya; lagu Syahrini berjudul Bohong: Kamu, kamu teganya. Aaaaaah, aaaah... Kami pun dihujani tatapan interogatif.Dan inilah tragedi ketiga; kami berdua masih dalam posisi membeku-terjerat tatapan nista. Sementara lirik lagu akan segera kembali ke bagian lenguhan. LARI!!! Sebelum kena hujatan ‘kafir’, kami pun berhasil melipir. “Habis ini saya bakal ganti lagu-lagu instrumental irama padang pasir!” Janji Yuti yang semoga ia tepati. “Lagu Arab juga penyanyinya suka melenguh-lenguh padahal,” ujarku sambil memijit perut.”Beda dong, kalau itu lenguhan halal.”?!??Belakangan aku mengetahui, ada hal yang lebih menyebalkan dari segala koleksi ringtone lagu lenguhannya itu; Yuti sengaja ingin membuatku panik! Ternyata melihatku kalang kabut celingukan itu hiburan tersendiri buatnya. Huh!***keBAB 24: BERITA BURUK DAN KABAR BAIKSepulang ke apartemen, kulihat selewat dari celah pintu Rendi sedang melamun di kamarnya. Raut wajahnya menyimpan kekhawatiran. Tidak biasanya ia seperti itu. “Mas Rendi,” aku mengetuk pintu perlahan, “sudah makan belum?” tanyaku sambil memamerkan nasi kapsa yang kujinjing.“Belum. Ini ada makanan tapi belum saya bongkar. Mau makan bareng?” Rendi membuka pintu lebar mempersilakanku untuk masuk. Ia lantas menggelar sufrah. Lalu aku ikut menaruh makananku di atas plastik itu.Di beberapa suap awal, kami masih membisu, sibuk dengan pikiran masing-masih saat mengunyah makanan. Sampai akhirnya Rendi mengawali percakapan dengan berita buruk, “Maaf ya, kayaknya kita harus cari apartemen baru. Kecuali kamu bisa narik orang lain tinggal di sini.”Belum juga selesai terhenyak, Rendi menceritakan penyebabnya yang tidak kalah mengagetkan, “Saya dituduh menggelapkan uang sama perusahaan,” lanjut Rendi. Aku menganga, jari-jemari berhenti mengais nasi.“Ini permainan atasan-atasan saya, tapi saya yang jadi korban. Akhir bulan saya akan ditransfer ke Riyadh untuk menyelesaikan kasus ini,” Rendi menunduk sambil menggeleng-geleng kepala.“Mas, apa gak bisa lapor ke mana... atau gimana gitu?” Sungguh aku tak punya saran yang lebih baik. Lagipula aku yakin, Rendi sudah mempertimbangkan segala kemungkinannya.“Waktu itu rekan dari Filipina pernah ada kasus serupa, dia lapor ke kedutaannya. Ternyata perusahaan sudah berancang-ancang dengan memutarbalikkan fakta, jadinya dia keburu ditangkap polisi dan sekarang masih di penjara.”Aku tak bisa berkata-kata. Tubuhku terasa lemas sekali. “Tapi gak usah mikirin saya, yang penting gimana caranya kamu bisa dapet apartemen yang lebih murah, atau itu tadi—cari teman baru. Kan, akhir bulan ini kebetulan mesti bayar perpanjangan.”Aku hanya mengangguk, menatap wajah Rendi. Aku ingin berkata ‘sabar ya, Mas’ atau semua akan baik-baik saja’, tapi entah tenggorokku begitu tercekat. Sepanjang menyantap makanan, kami hanya saling terdiam dengan kekalutan masing-masing. ***Aku dan Benny langsung bergerak cepat; setiap ada kesempatan luang pasti mencari apartemen baru. Setiap kertas yang tertempel di dinding mana pun, kami baca; berharap ada kamar kosong. Bila ada, langsung aku potret untuk bahan diskusi bersama Benny.Pencarian apartemen di Al Khobar ternyata lebih rumit dari pencarian jodoh—yang tidak akan lari kemana itu. Ada yang murah terjangkau, tapi khusus keluarga. Sempat terpikir salah satu dari kami akan menyamar memakai cadar. Ada yang berfasilitas lengkap, murah dan full furnished, tapi terletak di Thuqbah yang dipenuhi kumpulan preman hobi tusuk itu.Yang paling menyebalkan, saat menemukan ada pengumuman apartemen idaman yang setiap baris keterangannya membuat kami berdecak kagum dan yakin, sayang baris terakhirnya ada tulisan supertebal; PINOY ONLY. Apa kita perlu kursus bahasa tagalog dulu?***Sehabis shalat Jum’at, Benny mengajakku mengecek sebuah apartemen yang telah ia datangi sebelumnya untuk survey. Tempatnya tak begitu jauh dari tempat kami sebelumnya dan lebih dekat dengan pantai Corniche! Sang pengelola kemudian menunjukkan kamar di lantai satu. Ternyata bentuknya lebih mirip kamar kos-kosan di tanah air, kamar mandi di luar pula. Pantas murah dan bisa bayar perbulan.“Gimana, Bro?” tanya Benny.“Seandainya waktunya gak mepet, gue masih pengen nyari yang baru, sih.” Sebenarnya di atas ada yang kosong berfasilitas lengkap, tapi harganya sama dengan apartemen yang kami tempati sekarang.“Ya sudahlah, Bro. Sementara kita ambil saja. Lumayan daripada mesti ngegelandang di jalan?” Benny meyakinkanku.“Iya, siapa tau nanti ada orang di atas yang butuh teman kamar baru,” ujarku diamini Benny.Kami pun berjanji pada pengelola akan segera kembali untuk membayar uang muka. Kala keluar dari pintu, seseorang asia berpeci berpapasan dengan kami. Benny lantas menyapa “Tinggal di sini, Mas?”“Iya di lantai dua, tinggal di sini juga?” Jawabnya sambil bertanya.“Hampir, Mas. Ini baru lihat-lihat kamarnya,” jawab kami hampir serempak.“Wah kebetulan, di apartemen kita ada satu kamar kosong, kebetulan kita cari dua atau tiga orang lagi! Mau liat-liat dulu?”Aku dan Benny berpandangan, tak percaya doa telah dikabulkan secepat ini.***
keBAB 25: KEMBALI KERJA RODIBeberapa karyawan Saudi mengundurkan diri. Rasanya aku tidak pernah melihat para pekerja lokal baru yang bertahan lebih dari dua bulan. Malah ada yang hanya bertahan tujuh jam. Ia kabur begitu tahu bahwa ternyata seorang barista juga harus bisa menyapu dan mengepel. Yang paling konyol, perusahaan ini sering menerima staf lokal yang tidak bisa berbahasa Inggris. Jadinya mereka tidak bisa berkomunikasi dengan pelanggan ekspatriat dan tentu kebanyakan rekan kerja. Resign, deh. Sialnya, lagi-lagi aku yang kena getahnya. Mendadak ada jam operasional baru untuk toko kedua; jam kerjanya diringkas hanya satu shift. Aku sempat melonjak kegirangan mendengarnya. Ternyata aku tetap bekerja sepanjang shift. Okelah, tidak apa-apa. Eh TERNYATA satu shift-nya dimulai pukul 11 siang, sampai 11 malam.“Jadi aku kerja lembur lagi?” tanyaku bernada protes kala Albert memberitakan kabar busuk ini.”Akan dikomfensasikan fada hari liburmu,” jawabnya dengan muka galau. Ia pun pasti tak setuju dengan pembagian shift ini. “Tapi uang lemburku saat libur lebaran juga belum kuterima. Apakah ini termasuk akan dikompensasikan untuk bonus liburku nanti?”“Alpredo tidak mengurus uang lemburmu?”Aku menggeleng dengan malas. “Akan kuurus, tenang saja,” Albert meyakinkanku. Sayang gagal. Albert memang tipikal atasan yang menenangkan, tapi saking tenangnya tidak melakukan apa-apa. Jadilah aku mulai bekerja dua belas bahkan sampai lima belas jam perhari. Tidur hanya serasa sekedip mata. Kadang aku pergi dan pulang selalu mendapati Benny sedang tertidur pulas. Jangan-jangan Benny juga menyangka aku tidak pernah pulang, ya?Selama bekerja rodi ini, aku menerima berbagai ‘penghargaan’; dari pelayanan terbaiklah, senyum termanislah, pantat terbahenollah. Mereka pikir dapat membeli rasa lelah dan gundah dengan pujian-pujian dan pin-pin kehormatan yang membebani kaus kerja ini. Sampai suatu hari Fadel kembali mengunjungiku di toko. “Saya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung untuk ide-idemu selama ini. Saya ingin tahu pendapatmu, bagaimana kalau kamu masuk tim kreatif perusahaan, sehingga kamu bisa lebih konsentrasi lagi dalam menyumbang berbagai idemu, langsung di bawah Muhammad?”Wah. Hal ini tidak pernah terpikirkan olehku; setidaknya dalam jangka waktu secepat ini. Dan ini bukan tujuanku saat ini. Tapi pernah terpikirkan saat melamar pekerjaan ini. Bagaimana ini?Aku menggangguk tanpa ragu. ***Lain Fadel lain Muhammad.Karena kekurangan karyawan, Muhammad menggagalkan jadwal cuti yang asalnya akan diberikan akhir tahun. Beberapa karyawan termasuk aku dan Benny tentu saja kecewa. Impian pulang kampung pun lenyap. Untuk daftar cuti di tahun 2010, berarti harus antre dengan karyawan lain yang tentu kepentingannya akan didahulukan dari kami.Tapi diam-diam kekecewaanku sedikit terobati ketika mengingat sesuatu; janji Fadel. Eh. JANJI FADEL. Kayak judul sinetron ya? Semoga kehidupanku di sini tidak akan sekacau sinetron kejar tayang.***Tumben-tumbennya Albert terlambat datang. Berhubung dia yang pegang kunci, aku lantas melipir ke supermarket sebelah, melihat promo harga murah. Pegawai supermarket ini ‘unik’ karena memakai kaus bertuliskan ‘just ask me if you need help’, tapi giliran pelanggan asing tanya ini tanya itu, mereka geleng-geleng tidak mengerti. Yah, mirip-mirip dengan perusahaan tempatku bekerja sih, skala internasional dengan pegawai berstandar lokal.“Perhatikan matamu!” Hardik segerombolan bapak-bapak kepada pemuda bule yang sedang mendorong troli. Seorang ibu-ibu bercadar mengelus-elus pantatnya. Oalah, ini pelajaran bagiku; memakai troli di supermarket mesti ekstra waspada. Kalo menyenggol pantat wanita, siap-siap kena damprat para muhrimnya: suami, ayah, kakak, om, dan lain lain. Yang kena satu, yang ngamuk seribu!Aku lalu melanjutkan acara window shopping-ku. Seperti halnya memilih obat, memilih produk kemasan pun benar-benar harus diperhatikan secara mendetil. Jika semua informasi berbahasa Arab, sudah pasti akan kutinggalkan. Hal ini bermula ketika aku memborong paket hemat mayonnaise berharga hebat. Ya, aku adalah penggemar berat nomor satu saus mayo. Dengannya, apapun bisa kumakan; bahkan sendal jepit pun bila perlu. Saat itu yang kuperiksa hanya tanggal kedaluwarsanya, yang ternyata masih lama. Sesampainya di apartemen, aku pun masak-masak bahagia. Yah, menu-menu sederhana saja kok, semacam Tarte a l'Oignon, Beef Bourguignon, Galette des Rois. Haha, tentu saja aku bohong. Aku hanya jago membuat sayur pelacur; semua yang tampak sayur mayur aku campur aduk jadi satu dan tinggal tumis. Rasa? Terkadang najis. Lalu aku pun cocolkan potongan sosis pada mayonnaise kemudian memakannya dengan lahap agak kalap. Belum juga pencuci mulut menempel di bibir, lekukan pantat serasa menyibir. Ooh, supermulas kuadrat pangkat lima dengan gerakan longitudinal dalam anal! Mulas yang sungguh biadab itu membuatku bolak balik toilet lebih sering dari jumlah suapan makan. Kenapa ini? Padahal tanggal kedaluwarsanya masih lama; tanggal dua bulan tujuh tahun depan, kok?! Eh, yakin tahun depan? Oh, tahun tiga puluh. Eh?!Di tengah serangan mulas, aku membuka situs yang bisa mengkonversi kalender hijriah ke kalender masehi. You entered: 2 / 7 / 1430The conversion result is: Thursday 25 June 2009 C.E APA?! Sudah basi enam bulan? Masa? Apa salah label? Pantas asamnya agak eksotis?! Sehubungan dengan salah paham seputar tragedi kalender hijriah versus masehi ini, kadang ada yang baru menyewa rumah seminggu mendadak ditagih biaya bulanan macam-macam. Bentuk tagihannya juga gak kalah seru! Tagihan paling spektakuler yang kudapatkan adalah tagihan listrik. Entah angka mana yang harus kubayar.
Namun, sisi positif dari adanya kalendar hijriah, kita bisa ulang tahun dua kali dalam setahun! Betapa beruntung! Dan keberuntunganku berakhir kala kulihat Alfredo sedang berjalan menuju toko. Aku segera berlari di antara rak-rak barang agar dapat sampai terlebih dahulu. Berhasil!“Albert ada rapat manajemen mendadak, jadi kau bekerja sendiri dulu. Saya akan bukakan sistemnya,” Alfredo membuka rolling door toko dan segera masuk ke ruang belakang.Sudah tahu kami kekurangan karyawan, masih sempat-sempatnya Albert diajak rapat mendadak.Entah kutukan atau cobaan, begitu Alfredo hengkang dari penglihatan, toko mendadak dipenuhi pelanggan. Ada tiga pria di single section. Dua wanita di family section. Semuanya datang bersamaan. Setelah sempat celingak-celinguk bodoh, aku memutuskan melayani pelanggan wanita terlebih dahulu. Saat aku sibuk mencatat, para pria di single menggebrak-gebrak meja sambil meminta aku lebih cepat. Aku pun dengan santai menguncupkan jari jemari dengan tampang jumawa. Oh, enak sekali menjadi orang Saudi!Semakin pelanggannya tak sabaran dan kasar, aku semakin ogah-ogahan. Semakin sopan dan santun serta ramah nan sabar, aku semakin ingin membuat semuanya sempurna. Dan kali ini baik di ruangan single maupun family. semua pelanggan serba sopan. Aku jadi berbalik panik. Sementara di single section ada yang minta diambilkan koran, di family section ada yang minta mejanya dibersihkan. Lalu datanglah sekeluarga besar bersama anak-anak kecilnya yang langsung mengubrak-abrik condiment bar. Puluhan sedotan dijarah, lalu dihempaskan ke lantai. Tak ketinggalan gula-gula beterbangan ikut meramaikan suasana.“Sura! Yalla!” Oh, ternyata segerombolan bapak teriak-teriak dari single section.“Permisi? Mana hot chocolate saya?” Belum sempat aku melangkah, seorang wanita bercadar menjegalku.“Eh, bukannya anda tadi sudah ambil?” tanyaku waswas.“Tidak, tuh?”“Aduh, jadi wanita bercadar mana tadi yang ambil?!”Prang! Gelas pecah terdengar di sudut ruangan. Kriiing! Telepon berbunyi di ruang belakang.Perang telah dimulai!Bagai peragawan menjabat atlit lari, aku tunggang langgang ke sana kemari sesuai jeritan para pelanggan yang kian meraja. Saking banyaknya order, tangan kiri membuat espresso, tangan kanan memanaskan susu. Kaki kanan memijit tombol microwave. Perut memikirkan shawarma.Kriing! Telepon berbunyi lagi! Ya Allah, gimana cara mengangkatnya? Pakai kaki kiri? Nanti selangkanganku robek? Semua anggota tubuh sudah sibuk. Untunglah adzan isya berkumandang. Pelanggan satu persatu mundur perlahan. Hanya telepon yang masih giat berperang. Aku akhirnya bisa mengangkatnya.“Dari mana saja kau, Pibi?!”Aku hening sesaat. Kemudian tertawa, Apa maksudmu dari mana, Albert? Aku kerja sendiri di sini!” Menyedihkan sekali mendengar nada suaraku sendiri.“Bagaimana fenjualan kita? Fersentase rata-rata? Ekstra? Fastry?!”“Memuaskan,” jawabku sambil memutar-mutar mata.“Saya tadi rafat bersama Muhammad, kami semua membahas frofosal idemu.” Wow, ini lebih membuatku tersanjung daripada penghargaan-penghargaan itu. “Kami telah berdiskusi tentang karirmu. Kamu akan memulai training suverpisor secefatnya, bersiaflah,”” sambung Albert mengejutkanku “Supervisor?!””Ya, kamu harus bangga menjadi orang Indonesia fertama yang jadi suverpisor di sini.....Loh, kok berbeda dengan janji Padel.. eh.. Fadel ya?!”Satu lagi berita besar, Pibi. Saya juga akan difromosikan jadi store manager.”“Wah, selamat, Albert! Berarti toko ini akan terbebas dari campur tangan Alfredo?”“Oh, saya belum selesai. Saya jadi store manager di cabang Dammam.”“Dammam?!”“Ya, dekat comfound para eksfatriat. Felanggan-felanggannya delafan fuluh fersen warga Amerika dan Eropa. Kamu akan suka,” pekik Albert, antusias.”Hah, saya akan suka? Maksudnya?””Saya ingin membawamu kerja di sana.”Aku mendadak pening. Terlalu banyak yang harus kucerna dalam perbincangan karir ini, ”Jadi aku akan dilatih sebagi supervisor di toko cabang Dammam?” tanyaku memastikan.“Ya, bila kamu setuju. Tapi, masa tidak?””Bagaimana dengan transportasi? Denger-denger bis antar jemput nggak ada yang mengantar ke daerah sana? Ongkos pulang pergi naik taksi pasti mahal sekali?”“Kamu bisa ikut mobil saya.”“DEAL!”Tahun baru. Apartemen baru. Toko baru!***Hari-hari menjelang kepindahanku ke cabang baru, Alfredo jadi sering bertandang ke toko. Entah ada hubungannya atau tidak, sih. Biasalah, mendadak sapa-sapa ramah sambil menggelitiki pinggang. Jijik, deh. Sampai akhirnya ia menanyaiku, ””Apakah kamu benar-benar akan meninggalkan toko ini?””Aku menikmati sekali mimiknya yang diam-diam tidak ingin ditinggalkan. Aku tersenyum, sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Jawaban singkat, padat, pasaran dan penuh kemenangan, ”Aku penyuka tantangan. Jadi kenapa tidak?””Blah*** Kulingkarkan handuk cokelat di leher sambil sesekali melompat dan mengayunkan tangan; mengikuti irama lagu via earphone. Ombak-ombak kecil yang memecah batu pasir di pesisir Pantai Corniche ikut memeriahkan hati ini.Padahal niat awalku hanya membaca buku di pinggir pantai hingga matahari terbenam. Tapi cuaca sejuk dan semangat orang-orang berolah raga membuatku terpancing mengelilingi pantai. Lalu terlihat sebuah gedung misterius mirip menara alien di tepi pantai yang menyerupai tanjung. Tiap aku tanya apa isi gedung itu, jawaban orang berbeda-beda; ada yang bilang hotel, ada yang bersaksi restoran dan ada yang meyakini sebagai menara mata-mata.
Tiba-tiba serombongan bapak-bapak berpakaian tradisional mengacung-acungkan pedang sambil memelototiku! Aku terkejut setengah mati. Apa salahku kali ini? Aku jadi memeriksa pakaian sendiri, apa ada warna atau potongan yang tidak pantas?! Aku mundur perlahan, berbalik dan.. AAHH! Ada yang lebih mengerikan di belakangku! Bambang memakai kaus ketat tanpa lengan berkacamata hitam. Tampak akan casting film di Hongkong.”Apaan, sih, sok kaget segala?” Bambang mendengus.Aku melihat ke arah gerombolan bapak-bapak berpedang tadi.“Itu mereka lagi tari perang; tari tradisional Saudi,” Bambang tergelak-gelak.“Tarian tradisionalnya, seram juga, ya? Pedangnya gak bisa diganti kemoceng atau bunga terompet—apa gitu?” Aku lantas mengeluarkan kamera, tapi mengurungkan niat mengingat tidak ada satu pun yang foto-foto. Nanti aku benar-benar dikejar lagi?“Ngomong-ngomong, lo mau jogging apa 'jualan', nih?” tanyaku usil.Bambang tersenyum tipis, merapikan rambutnya, kemudian mengambil ancang-ancang berlari.Sebuah mobil berisi para pemuda berlagu disko melewati kami sambil mengklakson-klakson liar. Mereka tiba-tiba meneriakiku meminta berdansa mengikuti lagu. “Come on dance! Dance!” Saat aku menggeleng mereka pun teriak kecewa. Ya elah, mereka pikir aku penari latar? Aku melengos menjauh.Tidak lama mereka bersorak sorai. Musik terdengar semakin kencang. Astagfirullah! Bambang mendadak jadi Shakira. Goyang pinggul tak kira-kira. Para pemuda semakin kesetanan teriak kegirangan. Anehnya, aku ikut bertepuk tangan.Mungkin karena bosan, Bambang kemudian beralih ke lintasan jogging. Diam-diam aku memerhatikan gerak-geriknya terus, sekalian mengamati orang-orang yang diam-diam mencuri lirik pada Bambang. Wow. Menakjubkan! Ternyata wilayah ini juga dipenuhi om-om jalang. Bila tertarik pada Bambang, mereka membuka kacamata hitamnya. Perlu insting khusus untuk membedakan mana lirikan pengundang birahi dan mana lirikan sakit kaki. Kalau kebanyakan orang kan, biasanya menggoda dengan mata sayu agak mengedip-ngedip, kalau om-om ini malah melotot tanpa kedip. Bambang pernah berteori, bila pelototan matanya berlangsung lebih dari tiga puluh detik, berarti pertanda buah siap dipetik. Saat ada buah mulai mekar di lintasan jogging ini, Bambang melambatkan larinya dan membuka kaca mata hitamnya. Ia lalu menyeka peluh keringat di jidat secara perlahan. Bibir sang target yang sedang asyik bersantai di atas tikar sedikit menganga! Bambang mendadak bergerak perlahan seperti sedang melakukan peregangan otot; dimulai dari tangan, perut, kaki dan bokong. Ah, aku menyesal tidak membawa camilan sebagai peneman tontonan cabul ini.Lalu hidung si om kembang kempis! Aku tak tahan untuk tidak tertawa. Segera kuambil ponsel lalu beraksi kupelototi layarnya sambil tertawa terbahak-bahak. Semoga orang-orang percaya aku sedang menertawakan sms atau foto lucu. Bambang tidak kehabisan gaya, ia mengelap keringat dengan lipatan bawah kaus putih ketatnya hingga perutnya kelihatan. Oke, untuk adegan ini kuputuskan sebagai tontonan berakhir. Aku lalu kembali memasang earphone, memilih-milih lagu, kembali bersiap-siap mengelilingi pesisir pantai. Saat kepala kembali kutengadahkan, sebuah tikar yang tergelar pun mendadak kosong. Buset, ternyata proses mengelap keringat tadi berakhir dahsyat ya?Suara pekikan burung yang wara-wiri di atas pantai begitu mendamaikan hati. Makin sore suasana pesisir pantai makin ramai. Gelak tawa riang dan ... loh, kok aku mendengar suara tangis?“Ibuu... ibuu...”Eh, Bahasa Indonesia pula? Sepertinya terdengar dari belakang bangku dempet yang saling memunggungi ini. Di belakangku ada tiga wanita bercadar, jadi yang mana yang sedang menangis ya? Oh, tentu yang bahunya tersentak-sentak. Aku sedikit bergeser mendekati belakang punggungnya. Aku menempelkan telepon di telinga, lalu menanyainya, ”Mbak, ada apa? Kok nangis?”Isak tangisnya langsung terhenti.”Jangan noleh, ya, Mbak. Kita ngobrolnya sambil pura-pura nelepon aja. Soalnya banyak yang jenggotan, takutnya muttawa.”Hening. Tidak ada jawaban.“Ya sudah, kalau gak mau cerita, gak apa-apa, tadinya saya pikir mungkin bisa bantu.” “”Sa.. saya kabur dari rumah majikan. Ti... tiap hari saya disiksa, dijambak, ditempeleng. Ma..majikan bilang saya pembantu bodoh, karena tidak mau diajak..., Tangisnya kembali berderai. Aku mencoba berkonsentrasi penuh menangkap perkataannya yang kurang jelas.Kasihan. Dia tentu syok dihujat bodoh karena menolak berzinah.“Paspor saya ditahan. Ke..kemarin saya lari ke KBRI di Riyadh. Orang yang menerima saya malah mintain saya sejumlah uang. Akhirnya saya kabur ke sini.”Ya ampun, lebih pelik dari kuduga. Kukira ia tersesat atau sekadar kangen ibu. Ini tentu butuh pertolongan yang lebih dari sekadar ‘imbauan 'harap sabar'’.“Kamu catat identitas orang di KBRI itu, nggak?“Sa.. saya gak tahu.”Sungguh menyakitkan, ada saja oknum gadungan yang mencari keuntungan dari penderitaan para TKW.“Saya gak tau mesti lari kemana. Uang hampir habis...”“Tenang dulu, ya, saya akan coba hubungi orang yang pernah berpengalaman dengan ini semua. Insya Allah ia bisa membantumu.” Aku mulai memijit-mijit nomor telepon. ”Teh Yuti, bisa ke Corniche gak? Sumpah ini mah genting.” Bukaaan. Gak ada hubungannya sama Bambang!***keBAB 26: TOKO BARU DAN KELAINAN ANEHApartemen Albert rupanya hanya berjarak setengah kilo dari apartemen baruku, dan ia selalu memarkirkan mobil di area pasar ikan yang terletak di tengah-tengah antara jarak kami berdua. Kok tahu? Karena ini adalah hari pertamaku bekerja di toko baru, cabang Dammam! Saat mobil melewati Al Rashid Mall, aku melambaikan tangan tanda perpisahan. Lalu saat mobil melewati Dhahran Mall, aku mengecupkan sun macho jarak jauh. Sementara Albert tetap sok cool dengan kacamata lensa kuningnya yang tampak sangat 90-an. Lalu di sebelah kanan jalan raya terdapat sebuah dealer mobil berpapan reklame raksasa; beli satu gratis satu! Ya ampun, beli mobil persis beli odol ya? Dan yang lebih bikin iri, harga bensin di sini lebih murah ketimbang harga sebotol air mineral!Kami mulai memasuki area perumahan berbentuk khas kotak-kotak tanpa genteng, juga sekolah-sekolah internasional, dan jejeran rumah toko yang berderet rapi. Albert menyalakan lampu sen kanan. Oh, ternyata di sini tempatnya! Terlihat palang berlampu neon Sky Rabbit di bawah restoran, terapit restoran cepat saji dan restoran pizza. Pertanda baik! Ini adalah toko pertamaku di luar mal; memiliki pintu masuk-keluar sendiri. Saat masuk ruangan single section, indra penciuman serempak disambut semerbak wangi kopi bercampur muffin cokelat. Ooh, aku langsung jatuh cinta toko ini pada penciuman pertama. Sayangnya pandanganku tak menyetujuinya. Banyak bekas telapak tangan di kaca, baik kaca tempat pajangan kue, kaca pembatas ruangan, dan kaca dinding pintu. Daerah bar pun berantakan oleh barang-barang yang tidak pada tempatnya; majalah, celemek, cangkir bekas, kaleng minuman ringan, dan... handuk?!Aku berlari mengambil handuk dengan seujung telunjuk dan jempol, “Apa-apaan, nih?”“Ini salah satu alasan Muhammad meminta kita mengurus toko ini,” Albert tertawa kecil. ”Toko ini sebelumnya dikelola rekan-rekan Saudi. Jadinya kurang fengawasan dan sering dapat laforan dari felanggan. Fadahal seferti fernah saya bilang, kebanyakan felanggan di sini eksfatriat.” “Siapa saja rekan kerja kita di sini?” tanyaku mulai risau. Melihat ukuran toko yang besarnya tiga kali lipat dari toko sebelumnya dan dipenuhi ornamen pelik mudah berdebu ini tak mungkin kan hanya aku dan Albert? “Halo! Selamat datang di Sky Rabbit Dammam!” Seseorang berperawakan besar berkulit hitam legam menyambut kami. Hey, sosok itu—aku pernah melihatnya! Aku menunjuk-nunjuknya berusaha mengingat namanya. Muttawa gadungan-tisu berbau aneh-Dhahran Mall. Aha!”Cengo?!” Aku menghentakkan telunjukku ke arahnya.”Dongo!” Ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya. Oops, salah dikit. Kami pun bersalaman penuh keakraban. Ternyata Dongo sudah lebih dulu dipindahkan ke cabang ini.“Yang harus diperhatikan di sini adalah waktu shalat, tidak boleh ada satu pelanggan pun yang ada di dalam.” Dongo memberikan kiat pertamanya.“Okay, Pibi, siap dilatih sebagai suverpisor?” Albert memotong keakraban kami sambil melengos masuk ruang belakang.“Sesiapnya kamu saja,” jawabku sambil mengedipkan sebelah mata pada Dongo. Lalu aku mengikuti Albert ke ruang belakang. Eh, di samping ruang belakang ada sebuah pintu, yang ternyata adalah... bah! Toilet! Aku pasti harus membersihkannya juga. Aku menahan napas; karena kesal dan bau amis. Tisu-tisu berserakan dan puntung rokok memenuhi wastafel. Aku segera menutup pintu, pura-pura tidak tahu.Oalah, ruang belakang juga tampak bagai gudang! Rak-rak persediaan bahan baku dan dokumen-dokumen berdebu saling berhadapan. Aku serasa terjebak di sebuah labirin.Banyak sekali PR di toko ini! Dan itu belum termasuk beberapa kecoa berukuran mini melintas di depanku. Hei, untuk negeri dengan warga berukuran jumbo ini kenapa kecoanya imut-imut ya?***Entah kapan terakhir kali lantai toko ini dipel. Maksudku benar-benar dipel memakai cairan khusus. Bercak-bercak kecokelatan jadi tampak hiasan lantai. Aku mulai memeriksa setiap sudut ruangan family section. Ada empat pembatas berkaca untuk empat meja, tapi tak bergorden. Baguslah, jadi insiden tisu bau seperti di Dhahran Mall tak akan terjadi. Aku menelusuri dari ujung ke ujung ruangan dan.. oh tidak! Aku menemukan ruangan yang pasti akan kubenci lagi; toilet khusus wanita! Tak tanggung-tanggung, toko ini punya dua toilet. Segera kubuka pintu; menahan napas dan menyiapkan mental seratus kuintal. Oh, kondisinya lebih rapi. Untunglah. Tapi saat pintu terbuka lebar sepertinya ada yang menghalangi tembok. Saat kulirik, di baliknya ada tong sampah penuh dengan... pembalut.Aku segera keluar dari toilet menutup pintu rapat-rapat; berdoa yang tadi kulihat hanya sebuah fatamorgana.***Minggu yang sungguh melelahkan. Tapi tak menghalangi langkahku berkumpul saat hari libur.“Kasihan, sekujur tubuhnya biru lebam. Bahkan pas tidur ia menangis sambil terus-menerus memanggil ibunya,” tangan Yuti memeluk dirinya sendiri. Ini pertama kalinya aku melihatnya penuh dengan kecemasan, menceritakan pertemuannya dengan TKW yang kabur itu.“Suami sudah bantu lapor polisi dan saya sudah lapor kenalan saya di KBRI—yang pasti bukan oknum gadungan ya,” tambahnya sambil meraba-raba cangkir. ”Untuk sementara, ia Insya Allah aman di rumah sakit. Untung ia masih memegang iqama. Kemarin ada perempuan ditemukan di tempat sampah tanpa iqama. Ada bekas kekerasan di tubuhnya. Diduga sakit tapi ditolak rumah sakit karena tak beridentitas, Yuti menghela napas sejenak. “Ah, untung ia kabur di saat yang tepat, terlambat sedikit mungkin meninggal. Kan kasihan kalau dikirim pulang ke Indonesia dengan keterangan 'kematian yang wajar’.“Alhamdulillah ya, ia ditangani orang yang tepat kayak teteh. Terlambat dikit mungkin udah dikerjain sama orang lain.”Yuti menghela napas. “Ini cuma satu dari ribuan atau bahkan lebih pekerja kita yang kepaksa kabur, atau bisa terpaksa jadi pelacur karena gak bisa pulang dan gak ada uang.”“Saya jadi gak bisa ngeluh,” timpalku malu, “mengingat keluhan terakhirku hanya karena harus membersihkan toilet.”“Saya juga sebetulnya ingin mengeluh, tapi mungkin gak pantes saya keluarin sekarang.”“Gak apa-apa, Teh. Mumpung kita lagi ketemuan sekarang.” Entahlah, mungkin ini salah, tapi mendengarkan keluhan orang selalu berhasil membuatku bisa lebih bertahan.“Biasalah si Baba dan kelainannya,” ujarnya menyengir.“Eh, ada kelainan yang lain lagi?” Kelopak mataku otomatis terbuka lebar, “Oh, maaf, Teh, tapi kesedihanmu adalah hiburanku,” candaku tapi ada sedikit benarnya. Euh, banyak, sih.Yuti menyeringai sambil menggerakkan jemarinya seakan ingin menoyorku.“Suami saya ini kan, arab banget, ya. Badannya ekstra EXTRA besar. iPad saja tampak iPod kalo dipegang suami saya—pokoknya ukuran badan sesuai nafsunya, Yuti memulai curhatnya. Aku lantas memusatkan perhatian pada indera pendengaran dan ruang imajinasi.Kalo ‘main' sama Baba, saya tinggal diam saja. Dia yang sibuk bolak balik saya sambil puter oper sampai gol. Kadang dia gak sopan, saya lagi tidur pules taunya kebangun ada yang nindih. Serasa nikah sama jin iprit. Aku menatap Yuti secara saksama. Kukira selama ini dia kurus karena diet.Tapi paling gak tahan kalo kelainannya kambuh. Hah, jadi yang tadi hobi nindih pas Yuti tidur itu bukan kelainan ya?!Yuti melanjutkan cerita. Si Baba ternyata penggemar penari tiang. Dan Yuti sering dijadikan korban. Anehnya, Baba yang menjadi tiangnya, sementara Yuti harus sibuk meliuk-liuk menggelinjang kayang mengelilingi tubuh tambun sang jin. Kala Baba terangsang, ia lalu memereteli pakaian Yuti satu persatu. Adegan yang lebih aneh akan terjadi. Saat ia melucuti pakaian dalam Yuti, Baba lantas memakai pakaian dalamnya itu.Ha? Apa gak robek bra-nya dipake Baba? Dan Bi Yuti gak ilfil liat jin iprit pake BH?!” Ternyata cara memakai pakaian dalamnya tidak seperti yang aku bayangkan, tapi tidak lebih mendingan. Setelah Baba merampas celana dalam Yuti, ia memakaikannya di kepala layaknya bandana. Lalu bra diikat di leher laksana syal!Lalu hidung si Baba kembang kempis, sambil komat kamit bahasa Arab. Apa artinya? tanyaku, tegang.Itu doa sebelum bersetubuh, jawab Yuti. Wow, salut. Bahkan dalam ritual binal pun, si Baba tetap relijius. Dan ternyata itu hanya ritual binal versi pertama. Ada edisi sequel yang lebih bikin gatel. Hampir setiap sebulan sekali, si Baba selalu membelikan Yuti lusinan baju abaya ukuran XXXL, padahal Yuti berbodi minimalis.Abaya super jumbo itu wajib dipakai Yuti di atas peraduan. Saat Yuti terlentang di atas ranjang, si Baba menyelonong masuk abaya dari lobang bawahnya. Teh Yuti!”” Aku terkesiap. “”Bohong, kan, Teh?! Pas dia sudah di dalam abaya, si Baba makin beringas gak keruan. Ya jelaslah abayanya robek sana sini, Yuti tetap berlanjut menceritakan kisah malam binalnya. Tampaknya ia sudah tak peduli dianggap bohong atau tidak. “Semakin abaya terkoyak, hasrat si Baba makin bergejolak. Dan saat mencapai puncak, si Baba merentangkan tangan sampai abayanya benar-benar terkoyak sempurna. Lalu setelah itu dia komat kamit lagi; doa selesai bersetubuh.Aku tak bisa berkomentar apa-apa, masih sibuk dengan imajinasi liar. Diam-diam aku mencari di internet doa anti disetubuhi penyetubuh yang aneh untuk Yuti. Yuti ikut memelototi ponselnya, “Sudah ya Baba menuju kemari, sampai minggu depan.”Aku langsung panik beres-beres.“Eh, tak usah sibuk drama, kok. Saya sudah bilang kamu saudara sekampung. Malah ia mengajakmu makan malam kapan-kapan.” Yuti menyalamiku dan segera bergegas keluar.Setelah beberapa saat berlalu, aku mengendap-endap mengintip Yuti. Benar saja, sesosok tubuh 'raksasa' sedang menggandengnya. Ia menjinjing sebuah tas besar bertuliskan 'MiaMia - Beauty Abaya Store.'Tampaknya akan ada abaya yang kembali terkoyak malam ini. ***
keBAB 27: PENJARA DAN TAHANAN KOTADammam 2010Aku menebarkan pandangan ke seluruh sudut toko, tak percaya kalau aku benar-benar telah membereskan ruangan ini sampai bersih tuntas. Bahkan bagian bawah kursi yang tak terlihat dan tak terjamah pun bebas debu!Albert sibuk di ruang belakang; memindah-mindahkan rak dan membuang dus-dus rusak serta dokumen yang tak terpakai. Sesekali terdengar barang jatuh disusul dengan lengkingan kesal ala Albert.Ternyata memang benar, tiga dari lima pelanggan yang datang memang berkebangsaan Amerika dan Eropa. Beberapa pemuda Saudi yang datang pun membawa buku-buku diktat atau laptop untuk belajar. Melihat karakter pengunjung yang terpelajar itu sedikit memendam keinginan untuk pulang.Adzan isya mengumandangi malam, semua toko pun mematikan lampu dan menutup pintu. Aku melihat dengan jelas golongan manusia lantas terpecah menjadi dua, sebagian melangkah menuju mesjid, yang lainnya berlari sembunyi ke tempat sempit. Ada yang buru-buru mengambil air wudhu, ada juga yang tunggang langgang memesan minuman. Segerombolan ibu-ibu bertubuh tambun menjelma bagai atlit lompat jauh plus balap karung; berlari kencang, berguling-guling lalu split demi melewati pintu yang akan kami kunci. Aku pun terpaksa menolak kedatangan mereka. Yang aku bingung, justru yang hapal jadwal dan tertib keluar saat waktu sholat adalah para ekspatriat. Sedangkan para penduduk lokal malah sering memaksa masuk ruangan dengan berbagai alasan. Alasan terlucu adalah ‘malas’ kena tegur si polisi religius yang sering muncul secara misterius itu. Setelah beres ‘mengusir’ semua tamu dan mematikan lampu, aku memanaskan caramel waffle di microwave sebagai peneman irish cream latte favoritku. Selang sepuluh menit kemudian—tepat setelah aku selesai sholat, pintu family section diketuk. Aku pun segera memberitahunya bahwa sekarang masih waktu sholat.“Maaf, dompet ibuku tertinggal di dalam dan aku harus pergi sekarang juga,” ujar seorang pemuda berkacamata dengan muka memohon dari sela-sela pintu yang kubuka sedikit.“Tadi duduk di mana?” tanyaku, “akan saya ambilkan.”“Di meja yang berpartisi, tapi aku lupa meja kedua atau ketiga, biar aku yang mengambilnya, aku buru-buru sekali!”Aku membuka pintu mempersilakan ia masuk sambil celingak-celinguk keluar. Udara dingin menyeruak menusuk pori-pori bagai pisau belati mini. Mataku menangkap sinar kecil dari dalam sebuah mobil sedan yang terparkir persis di depan trotoar toko, namun tubuhku menolak untuk diam lebih lama di luar ruangan. Si pemuda lantas menuju meja yang ia tuju, lalu meraba-raba kursi. Lalu merangkak ke kolong.“Kok, tidak ada ya?””Tadi saya membereskan meja ini, memang tidak ada barang tertinggal, kok? Yakin tertinggalnya di sini?” jawabku sedikit waswas; jadi teringat tuduhan maling itu.“Bisa tolong nyalakan lampu sebentar?” Pintanya.Aku berlari ke ruang belakang untuk memijit lampu di family section. Saat aku kembali menuju ruangan, tiba-tiba terdengar seseorang menggedor-gedor pintu single section dengan ganasnya. Seorang bapak menunjuk-nunjukku dan gagang pintu secara bergantian. Aku pun menyilang-nyilangkan tangan setengah berteriak, Masih saatnya sholat, kita masih tutup! Tiba-tiba dia terlihat semakin beringas dan balik meneriakiku, Saya seorang muttawa! Anda melanggar peraturan! Dan saya punya buktinya! Ia memamerkan camcorder kecil dalam genggamannya. “Kamu akan masuk penjara malam ini juga!” ujarnya lantang menggema mengejutkan jiwa!Apa-apaan, nih? Pasti ini salah paham akibat memasukkan pemuda yang mencari dompetnya tadi.Kenapa kau tetap berjualan saat waktu sholat? Hardiknya menyadari aku masih mencerna situasi.Berjualan? Anda tidak melihat semua lampu gelap? ujarku, berusaha tenang, sambil menunjuk langit-langit yang dipenuhi lampu gantung yang tengah padam.Saya perhatikan kamu telah mempersilakan pelanggan masuk saat waktu sholat dan kamu tetap berjualan! Ujarnya dengan tatapan mata tajam membekukan hati. “Pemuda itu hendak mengambil dompet ibunya yang ketinggalan! Silakan tanya dia! Dan aku bersumpah tidak berjualan selama waktu shalat! Silakan periksa rekaman transaksi penjualan di komputer!”HALAS HALAS! bentaknya yang berarti kurang lebih jadi 'sudahlah jangan banyak cingcong!'. Dari balik pintu kaca, aku melihat pemuda yang tadi mengambil dompet itu berlari menuju mobilnya. “Hei, lihat! Itu orangnya! Kau bisa tanya dia!!” Bajingan, bukannya membantuku, ia malah langsung kabur. “Meskipun alasan kamu ini benar, kamu pun tak boleh tinggal di dalam saat sholat! Meskipun kau non muslim!” Ujar si muttawa menambahkan daftar fitnah.“Saya muslim, dan tadi saya sholat di dalam,” bantahku.“Kau muslim? Kalau begitu kau harus sholat di mesjid! Tak bisa di dalam sini!” Oh, sepertinya aku malah semakin menambah daftar dosa saja.“Loh, itu kan pilihan saya mau sholat di mesjid atau di ruang kerja?” Entah mengapa di saat-saat seharusnya diam, aku malah membantahnya. Memang sesekali aku pernah sholat di mesjid terdekat, tapi karena udara yang sangat dingin aku memutuskan sholat di toko saja. ”Kau harus menghormati hukum di sini! Tim kami telah menuju kemari, kamu harus menutup toko ini secepat mungkin! Dan ikut kami ke penjara! Hati terasa teriris. Hukum negara ini membuat hukum agama tampak rumit dan sulit. Semakin aku melawan, muttawa semakin bernafsu memenjarakanku. Aku memerhatikannya baik-baik, berharap ini hanya lelucon. Tapi aktingnya terlalu natural bila ini adalah sekadar main-main.Aku menoleh ke belakang, Albert mengapa tak tampak batang hidungnya? Apakah dia terlalu asyik di ruang belakang sampai tak mendengar kericuhan ini?Muttawa meminta iqama-ku sambil sibuk bertelepon. Aku segera lari ke ruang belakang. Kudapati Albert menatap komputer dengan pandangan waswas.“Ada afa, Pibi?!””Tahi unta bau kampret! Aku yakin dia hanya pura-pura tidak tahu. Tak kusangka ia sepengecut itu. “Kamu gak dengar? Muttawa menuduh saya berjualan saat waktu sholat. Dan dia akan mengirimkan saya ke penjara. Oh ya, dia juga minta kita menutup toko ini!”“Tenang, Pibi, saya akan menemanimu ke fenjara.”BAH! Ogah, mending sendiri! Biarpun sudah tertebak, tapi aku masih tidak percaya dengan reaksi Albert. Alih-alih membelaku, dia dengan tenang ingin ikut menggiringku ke penjara.“Aku akan menelefon Muhammad, kita akan segera membebaskanmu dari fenjara, jangan khawatir.”Terserah! Sambil membereskan barang, aku jadi agak-agak miris juga memikirkan nasib di penjara nanti; terbayang ditanya teman satu sel, Kenapa bisa ada di sini? Pesta seks di kebun pisang? Atau menusuk majikan pakai obeng kembang?Apa jawaban keren yang bisa kupakai? Penyelundupan manusia dalam ruang gelap? Atau mungkin jawaban lebih 'elegan'’ macam human trafficking?! Kurang lebih lima menit kemudian, si polisi kembali bertandang bawa pasukan, kembali menginterogasi. Beberapa orang dan pegawai toko tetangga mulai berkerumun menontonku. Bau jeruji besi semakin tercium pekat. Diam-diam aku berdoa semoga di penjara ada wifi. Aku harus meminta pertolongan kepada dunia!Aku kembali dinasihati oleh muttawa yang lain, “Kau harus menghormati hukum di negara ini, juga hukum agama Islam. Atau kami akan mengembalikanmu ke Filipina!”Duh, mereka ini benar-benar memeriksa iqama-ku, gak ya?Hell-ouw, I'm Indonesian and am Moslem."Indunisi?! Siapa namamu? tanya si muttawa dengan mata terbelalak lalu mengambil iqama-ku yang ada di rekannya. ”Kalau kamu seorang muslim, kenapa namamu tidak mencerminkan keIslamian?”Aku menahan geram mendengar pertanyaannya. “Lalu kenapa? Apa hukumanku akan bertambah berat karena namaku tidak terdengar seperti orang muslim?” Dan bolehkah aku bertanya, kenapa di sini aku sering menemukan manusia bernama moslem tapi berkelakuan biadab? Aku tercekat menahan perih. Aku menguatkan diri setangguh mungkin agar tidak ada sebulir airpun keluar dari mata. Aku tidak ingin mereka menganggapku pengecut.Tiba-tiba salah satu muttawa yang lain menarik muttawa yang sedang menginterogasiku, mengajak berbincang-bincang sebentar.Aku ingin sekali mengusir orang-orang yang sedang menatapku dengan tatapan hina. Aku tiba-tiba ingin memerosotkan celana dan memamerkan pantatku. Sering dituduh hina, biar sekalian saja pamer cela sekalian. Bodo amat! Si muttawa kemudian kembali menghampiriku, “Khusus kali ini—kau beruntung! Kami hanya akan memberikanmu surat peringatan tapi kamu tetap akan menjadi prioritas dalam pengawasan kami,” ujarnya sambil menunjuk lensa kamera saat menyebutkan kata 'pengawasan' .”Kalau sampai sekali lagi saja kau melanggar aturan, tidak ada satu alasan pun yang bisa membebaskanmu dari penjara,” ancamnya dengan nada suara horor ala Freddy Krueger keselek burger. Lalu aku diberi berbagai petuah yang lebih bernuansa ancaman berupa macam-macam hukuman. Dan tentu hukuman yang paling menyenangkan adalah deportasi. Bagiku, ancaman yang terakhir adalah ibarat sedang sekolah ada guru ‘mengancam’ pulang cepat plus memberikan uang jajan. Benar-benar hukuman idaman!Aku lalu menandatangani sejumlah dokumen dan beberapa surat perjanjian. ”Apa yang membuat anda berubah pikiran? Apa hanya karena saya seorang muslim?” Tanyaku pelan-pelan pada muttawa yang membebaskanku.“Seorang imam mesjid terdekat memberitahu kami bahwa kau orang baru di sini dan belum paham aturan,” jawabnya.Ada setitik rasa sejuk dalam hatiku. Pandanganku lantas menyeruaki kerumunan orang yang masih setia menontonku itu. Aku berharap bisa melihat sosok imam itu.“Dia sudah kembali ke mesjid,” si muttawa menangkap maksud gerak-gerikku. Malaikat memang tak pernah ingin terlihat sayapnya. Aku masih tak percaya telah diselamatkan oleh seseorang yang bahkan sosoknya aku tak ingat. Ah, andai imam itu adalah manajerku. Searah dengan tubuh para muttawa yang berbalik meninggalkanku dalam ruang remang-remang, aku tertegun.Aku benar-benar tinggal di negeri impian. Berbagai peristiwa aku alami yang bahkan mimpi pun tak pernah memainkannya. ***Ternyata saat aku lepas dari ancaman penjara, ada teman yang justru terperangkap jeruji besi. “Dipenjara? Bambang? Kenapa?” jantungku berdetak cepat kala mendengar Yuti mengabarkan kabar buruk itu lewat telepon. Kalau Bambang sampai tertangkap basah melakukan kegiatan seksual, sepertinya akan mendapatkan hukuman terberat... yaitu... oh, aku tak kuasa membayangkannya!“Katanya dijebak oleh polisi yang menyamar jadi teman kencan di pantai Corniche!”“Hah? Jangan-jangan pertemuan itu pas lagi jogging bareng saya, ya?” Tapi jika polisi itu sedang dalam samaran, kok, mimik terangsangnya benar-benar nyata ya? Aktingnya pol banget. Apa sebenarnya ia polisi yang mencari kesempatan dalam kesempitan? Aku jadi sibuk dengan asumsiku sendiri.“Mungkin. Ia tadi menelepon saya, katanya malu kalau harus ngabarin perusahaannya.Tapi yah, tetap saja pihak sponsor yang lebih berhak menjamin dia. Mungkin Bambang pikir saya bisa menyelamatkan semua yang TKI bermasalah?”Aku menahan geli mendengar nada panik campur amarah dalam ucapan Yuti, seperti seorang ibu yang kesal dengan anaknya. Walaupun Bambang seringkali menyebalkan, Yuti akan tetap menolong saking sayangnya. “Kamu punya nomor rekan atau tempat ia bekerja?” Tancap Yuti langsung pada tujuan ia meneleponku.“Euh, nggak ada, Teh, tapi tenang! Saya akan cari tahu secepatnya!”Saat genting seperti ini google dan facebook memegang peranan penting. Oh, bertahanlah Bambang!*** Setelah menyerahkan nomor rekan dan kantor perusahaan tempat Bambang bekerja ke Yuti, aku kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku. Pelatihan supervisor dimulai. Langkah pertama dalam pelatihan ini adalah pembukaan sistem penjualan di komputer; yang berarti masuk shift pagi—yang mana aku harus bersiap-siap dari pukul lima subuh, mengingat toko baru ini buka pukul setengah tujuh pagi. Aku diberi nomor kunci boks penyimpan uang, kata kunci sistem, dan berbagai nomor rahasia yang harus kucatat. Langkah-langkah yang harus kulakukan sesungguhnya tidak begitu sulit karena semua panduan telah kutulis dalam buku catatan, sebagai pegangan kalau hilang ingatan. Satu-satunya yang menjadi kendalaku adalah menghitung jumlah uang yang tersimpan dalam boks—yang jumlahnya bisa mencapai belasan ribuan riyal.Berkali-kali aku harus menghitung ulang karena tidak sesuai dengan laporan pembukuan semalam. Tumpukan uang dibagi ke dalam beberapa amplop. Aku hitung lagi. Kali ini satu persatu. Jumlahnya tetap tidak sama.“Sudah selesai? Kau lama sekali?” Tanya Albert sambill menunjuk-nunjuk jam tangannya.“Maaf, saya sudah menghitung jumlah uang untuk amplop kas, tapi selalu berbeda dengan laporan. Selisihnya lima ratus riyal.”“”Yang fenting jumlah total pada amflof fenjualan kemarin tidak salah. Ayo cepat selesaikan. Sebentar lagi fetugas Bank akan datang mengambil uang setoran dari fenjualan ini,” Albert menghitung ulang uang pada amplop penjualan.Aku menghitung ulang uang untuk amplop kas. “Ada kemungkinan tidak ya, kalo kemarin malam Dongo salah membuat laporan? Karena sudah saya hitung berkali-kali selisihnya selalu sama.”“Tulis saja nominalnya sama dengan semalam, lalu kau tandatangani.””Loh? Meskipun ada selisih lima ratus riyal; tidak akan apa-apa kalo saya tandatangani?”“Nanti kami ganti,” ujar Albert.Apa maksudnya 'kami ganti'? Apakah uang yang hilang itu telah sengaja terpakai? Meskipun ragu, aku menandatangani laporan keuangan yang tidak singkron dengan jumlah aslinya itu.***Berhubung masuk pukul enam pagi, aku bisa pulang pukul tiga sore. Aku memakai kesempatan berjalan-jalan di pesisir toko-toko yang berseberangan dengan pesisir pantai.Aku sekonyong-konyong bergabung dengan segerombolan orang yang berkerumun di depan sebuah pintu. Seingatku terakhir kali seperti ini ketika akan menonton sebuah konser. Di Saudi, momen ini adalah menunggu pintu toko buku terbuka setelah waktu sholat. Di iklannya, sih, toko ini adalah toko buku terbesar dan terlengkap di Saudi Arabia. Lucunya orang-orang lebih ramai memenuhi lantai satu yang menyediakan barang-barang elektronik, sementara area buku tampak sepi.“Hei, kenapa ini gak bisa dilipat?!” Tanya seorang bapak-bapak kala mengutak-atik iPad. “Mana keyboardnya?! Bagaimana aku bisa mengetik?” tanyanya lagi. Aku melempar senyum pada sang pramuniaga; mengirimkan pesan ‘untuk 'sabar yaaa!'’Bagian paling menghibur dari toko buku ini adalah sebuah majalah bergenre entertainment terbitan Dubai. Tiba-tiba saja semua artis dalam majalah ini ber-legging ria dan memakai kaus dalam. Pertama kali melihat majalah itu kupikir di Hollywood memang sedang trend pakaian rangkap ganda, sampai kulihat keganjilan kala seorang model playboy memakai baju serupa.Tapi tentu di atas langit ada langit. Ada yang lebih absurd dari majalah hiburan tadi, yaitu majalah impor. Dari cover sampai isi halamannya dipenuhi tempelan-tempelan stiker mirip salonpas; menutupi aurat para foto tokoh manusia. Jadi bayangkan bila ada halaman liputan peragaan busana, mendadak para peragawati memakai pakaian kardus hitam. Kala aku membaca majalah impor ini ada beberapa halaman yang robek. Rupanya ada yang begitu menggebu-gebu ‘menelanjangi’ para artis yang tertutupi sticker ini. Sensor ini juga berlaku untuk cover CD atau DVD. Tiba-tiba para wanita bergaun serba tertutup. Ada yang rapi karena memakai komputer, ada yang asal; penuh coretan spidol.Anehnya, kala benda dua dimensi penuh sensor, manekin manekin butik kadang berpostur seksi, lengkap dengan puting menonjol. Kadang aku memergoki beberapa pria termangu tolol di depan etalase. Air liurnya seakan siap membanjiri lantai. Eh... dan aku kenapa jadi ikut memandangi manekin berdada rendah di depanku ini? Aku mengusap mukaku sambil mempercepat langkah menuju restoran Puncak. Yuti dan Bambang telah menungguku di sana. Yeah, kami akan merayakan kebebasan Bambang pasca dipenjara.***“Gue mau berhenti jadi homo,” ujar Bambang lantang. Aku tersedak baso goreng. Yuti terbatuk-batuk sampai asap rokok terburai-burai dari mulutnya.Restoran Puncak sedang penuh pengunjung. Meskipun kami tertutupi tirai, tapi tentu saja orang-orang diluar akan sangat bisa mendengar percakapan kami.Bambang menurunkan level suaranya. Ia tampak masih syok. Jadi ceritanya, setelah Bambang dan si om jalang yang ternyata menyamar itu saling merayu berbasa-basi busuk, Bambang diajak masuk mobil. Setelah kunci terpancang dan seatbelt dipasang, senyum si om jalang itu berubah brutal. Bukannya tiba di hotel melati, mobil berhenti di kantor polisi. Niat hati adu birahi, apa daya hukum cambuk menanti. “Denger-denger, sekarang ini ada semacam program double reward untuk para polisi yang bisa menangkap pelanggar,” Yuti menyisipkan rambut ke belakang telinganya, “makanya ada yang memanfaatkannya dengan cara menjebak.””“Juga bisa untuk memfitnah, ya?” Aku melihat jalanan di luar jendela. Buas sekali kehidupan ini. Aku jadi teringat Rendi. Semoga dia baik-baik saja di Riyadh.“Tapi saya suka lihat kamu depresi. Terlihat macho, Bam.” Yuti mencoba menghibur. Bambang tampak ingin melempar dubur.***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan