Perihal Akhir

0
0
Deskripsi

Akhir yang selama ini hanya angan, kini jadi kenyataan. Tepat di depan mata yang berair, kami saling mengais takdir. 

“Hei, aku baru landing. Kos kamu masih yang lama?’ katanya malam itu lewat telepon setelah sebelumnya kami tidak bertukar kabar hampir sebulan.

“…” aku hening, tidak menanggapi. Mungkin terlampau malu karena sebelumnya kupu- kupu di perutku menolak untuk tenang setelah melihat namanya muncul di layar telepon.

“Ra? Aku jemput, ya?” katanya lagi sebelum aku sempat menjawab.

“Mas, aku udah pindah. Sekarang udah di kantor baru,” jawabku datar, berusaha menyembunyikan suara gemetar.

“Kok ga ngabarin aku?” tanyamu dengan nada tinggi. Aku memutar bola mataku, mengingat pesan singkat yang terakhir kukirimkan padanya hanya berbalas ‘hehe’ tanpa arti yang jelas.

“Mas, aku lagi ga di kosan, lagi di luar. Nanti telepon lagi ya,” aku menjawab sekenanya, mencoba menyudahi percakapan kami untuk sementara.

“Malem gini kamu masih di luar ngapain? Kamu kos deket kantor baru kamu, kan? Pulang sekarang terus kirim lokasi kos baru biar aku jemput,” perintahnya saat itu. Aku marah.

“Suka suka aku dong, Mas. Kamu kok jadi ngatur? Lagian kamu juga tau aku gimana. Aku bisa jaga diri kok,” jawabku kemudian hampir memekik.

“Aku udah di jalan. Kamu pulang, ya. Aku tunggu kiriman lokasinya,” katanya tanpa menghiraukan ucapanku.

“Kenapa emang kalo kamu udah di jalan? Aku harus ngapain?” tanyaku pura-pura bodoh untuk memancingnya.

“Bentar lagi aku sampe di apartemen Ajo. Kamu pulang sekarang, ya,” sekali lagi dia berkata dengan tegas memintaku pulang.

“Mas, kamu dengerin aku ga sih!?” Aku nyaris berteriak.

“Bodo amat kamu di sini apa engga. Udah ya, mas. Capek,” aku menjawab dengan lemas, berusaha menghindari pertemuan kami kali ini.

“Udahan apa? Coba udahan apa?” dia menjawab dengan cepat. Tangisku hampir pecah mendengarnya. Diyan brengsek. Lebih brengsek lagi semua kenanganku dengannya yang tiba-tiba saja terlintas masuk ingatan. Sial, mataku berair.

“Oke. Selesai ya, Mas. Bye,” kumatikan telefonku. Buru-buru kublokir nomornya dari semua layanan aplikasi kirim pesan. Kuhapus dia dari daftar pengikutku di media sosial dan kumatikan gawaiku.

***

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat aku tiba di kamar. Wajahku kusut, lelah setelah makan dengan keadaan emosi. Semua gara-gara Diyan brengsek.

Setelah merebahkan diri di kasur, kembali kunyalakan teleponku, cukup lama sampai gawaiku kembali bergetar. Namanya kembali terlihat di layar. Setelah aku merasa cukup tenang, baru kugeser gambar telepon warna hijau pada layar.

“Ra, ayolah. Kamu udah besar gini. Kenapa lagi?” suara lembutnya terdengar begitu telepon kutempelkan ke telinga.

“Kamu yang kenapa, Mas. Kita cuma ketemu kalo kamu mau doang. Aku juga punya hidup sendiri, aku..” jawabku menggantung dengan bibir bergetar, tak mampu melanjutkan kalimat yang sudah ada di ujung lidah.

“Ra, aku jarang-jarang ke Jakarta. Waktu kita sama- sama pulang juga ga bisa ketemu. Ke depannya kamu tau aku bakal jarang pulang. Kapan lagi kita ketemu?” Dia menjawab dengan lemah.

“Lagian kenapa kita harus ketemu?” tanyaku berusaha menantangnya. Aku tak mau melembut hanya karena nada memohon pada jawabannya tadi.

“Kenapa nanya begini sih, Ra? Dari dulu kayaknya biasa aja deh,” dia menjawab dengan nada santai.

“Tinggal jawab aja mas. Mungkin karena dulu aku masih kecil dan kamu dateng ngajak main, terus-terusan sampai sekarang. Serasa kebiasaan dan aku ketergantungan. Kamu tau itu, kan?” tanyaku dengan mata yang mulai berair.

“Ra, kamu bukan anak kecil lagi, sedari dulu kita kenal aku tau kamu bukan sosok anak kecil. Thats why aku mau sama kamu,” jawabnya lemah dengan nada memelas.

“Mas jangan gini dong. Jangan biarin aku kecanduan. Udah ya, udah malem. Aku mau tidur dulu. Capek,” kataku kemudian berusaha menyudahi percakapan kami karena merasa tak sanggup lagi menahan tangis.

“Ga adil kalo kamu cuma nyalahin aku, Ra. Kamu blok aku seakan-akan aku yang salah di sini dan kamu tau dengan pasti itu semua ga bener. Kita udah cukup gede lah buat sama-sama tau dan paham,” Masdi dengan cepat menjawab sebelum aku menekan tombol merah pada layar teleponku.

“GAK MAS. AKU GATAU. KITA DARI DULU INI NGAPAIN AKU GA PERNAH TAU!” Tangisku akhirnya pecah.

“Aku barusan lewat depan kantor baru kamu. Kos kamu sebelah mana? Ayo ngobrol dulu,” katanya lembut, berusaha menenangkanku.

***

Aku turun tangga menuju dengan wajah yang kusut karena menangis. Sesaat kemudian kulihat mobil berhenti di depan pagar. Kaca jendela penumpang bagian depan mobil itu turun, wajahnya muncul, terlihat tak kalah kusut. Segera kubuka pintu pagar kosku dan berjalan menuju mobil bercat hitam itu. Kubuka pintu mobil penumpang depan dan masuk.

Setelah beberapa saat aku masuk dan duduk disampingnya, kami hanya saling menatap. Setelah senyumnya tak kunjung kubalas, dia segera ia melajukan mobil dengan santai karena jalanan ibukota yang cukup lengang, mengingat sudah hampir tengah malam.

Jika kalian mengira aku hanya diam dan melempar tatapan ke luar jendela, kalian salah besar. Semenjak aku masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman, aku terus menatapnya. Aku lihat tiap sudut wajahnya. Rupawan? Tidak. Sesuai kriteria yang kumau? Juga tidak. Namun senyuman aneh di wajahnya mampu membuat kupu-kupu di perutku tak tahu malu.

“Tadi kenapa tiba-tiba marah, sih?” tanyanya memulai percakapan setelah beberapa saat keheningan melingkupi kami.

“Masdi duluan tadi bentak- bentak. Aku tuh tadi lagi sama temenku cari makan. Malu tau aku nahan nangis,” jawabku sambil memukul pelan lengannya.

“Mau makan apa?” tanyanya kemudian sambil memperhatikan lampu lalu lintas.

“Aku udah makan. Terserah kamu mau ke mana. Gausah nanya aku.” Akumenjawab sambil menatapnya. Entah tatapan apa yang kuberikan saat itu. Niatku adalah tatapan tajam, tapi sepertinya yang keluar adalah luapan rindu yang mendalam. Dasar bodoh.

Hening kembali menguasai kami. Namun pandanganku tetap kuarahkan padanya.

“Kenapa sih ngeliatin gitu? Serem tau,” katanya jengah setelah beberapa saat masih kuperhatikan.

“Mas, cari yang ga rame, ya. Ada yang mau aku omongin,” aku menjawab sambil akhirnya memalingkan wajah dan mulai memandang lengangnya jalanan ibukota malam itu.

***

Setelah sampai di sebuah bar yang parkirannya tak terlalu ramai,  dia menepikan dan memarkirkan mobil di pojok area parkir yang kosong. Tanpa kata, kami berdua turun dari mobil dan kuikuti langkahnya masuk ke dalam area bar.

“Mas, kita ini sebenernya ngapain sih?” tanyaku sesaat setelah pelayan berlalu setelah mencatat pesanan kami.

“Ya kan emang biasanya juga gini. Dari dulu kan?” dia menjawab sambil mengambil tanganku dan membawa ke dalam genggamnya. Sial, kupu-kupu ini mulai tak mau diam.

“Pacarmu tau ga kalo kita temenan sebegininya?” tanyaku lagi, berusaha menjejakkan kaki ke bumi.

“Tau, kok. Dulu waktu sama Intan, dia tau kamu adiknya temenku dan kita temenan,” jawabnya datar lalu mengalihkan pandangan ke layar proyektor yang kala itu menayangkan siaran Piala Dunia. Dasar laki-laki.

Satu pitcher bir datang. Buru-buru kutuangkan bir ke dalam gelas hingga penuh dan kutenggak tak bersisa.

“Santai, Ra. Minum, kok, ga pake aturan gini sih?” katanya protes berusaha mengambil gelasku sembari menjauhkan pitcher.

Aku memandangnya marah dan berusaha merebut gelasku kembali. Diisinya kembali gelasku hingga penuh. Lucu memang, baru saja dia protes akan cara minumku. Langsung saja kutenggak lagi hingga habis.

Sesaat kami diam. Aku mengikutinya memandang layar tanpa fokus.

“Apa Mbak Intan juga tau kalo tiap kamu ke Jakarta, kamu selalu ketemu sama aku tengah malem gini? Apa Mbak Intan tau kalo tiap kamu ke Jakarta, kita selalu jalan-jalan sepanjang hari? Apa Mbak Intan tau kalo tiap kamu ke Jakarta, aku dengan selalu siap siaga nungguin dan nemenin kamu? Apa Mbak Intan tau kalo tiap kita jalan bareng, aku dengan ringannya bisa ngegandeng kamu, sandaran sama kamu di mobil, kamu nginep di kamarku, aku nginep di apartemen Mas Ajo, apa Mbak Intan tau?” cecarku langsung setelah kami hanya berdiam diri.

Jangan tanya dari mana semua keberanian itu muncul. Aku sendiri heran bagaimana bisa pertanyaan itu kulontarkan padanya. Entahlah. Mungkin ini akibat perasaan kecil yang dipendam sejak lima tahun yang lalu kini telah menggunung, mungkin juga ini efek bir yang langsung kuhabiskan tanpa aturan, seperti katanya tadi.

“Ra, udah dong. Aku ke sini, kita ketemuan, kan buat seneng-seneng,” dia tersenyum.

“Ini rambut kamu dikeriting gini lucu deh. Mentang-mentang udah gede, nih?” jawabnya berusaha mencairkan suasana.

Sesaat kemudian dia pindah duduk ke kursi sampingku sembari berusaha mengacak-acak rambutku. Sial, aku ingin menghindar, tapi hatiku juga rindu rasanya berantakan. Diyan brengsek.

“Iya, Mas. Gua udah gede. Cukup gede buat sadar kalo gue gamau alay gini lagi ke lo. Karena gua udah gede mas, gua tau ga ada orang yang temenan tapi perlakuannya kaya lo ke gua atau gua ke lo. Tiap gua keinget cerita lo ama pacar lo, begonya gua sakit hati. Semua ini bikin gua penasaran sama perasaan lo sebenernya ke gua gimana, tapi sialnya lo tau persis gimana perasaan gua ke lo. Ada memang temen deket yang lain, tapi lo ga pernah ngelepasin gua sepenuhnya. Gua tau lo juga punya pacar di sana, tapi gua bisa apa?” tanpa sadar aku mulai memakai lo gua, seperti dulu saat belum ada kisah apa apa antara aku dan dia, berusaha memancing emosinya untuk bergerak.

“Ra, kalo kamu gini, kok seakan- akan aku yang salah ya? Kamu tau jelas ini bukan cuma salah aku. Trus perasaan kamu bilang? Kita tau sama tau, kan? Ga bisa kita begini aja? Selama ini baik-baik aja, kan?” Berhasil. Otot wajahnya menegang sambil menatapku marah.

“GAK. GUA GA BISA GINI-GINI AJA. LO ENAK GA BAPER, MAS. GUA BAPERAN!” tangisku pecah, akhirnya.

“Ra jangan nangis gini, ah. Aku minta maaf. Tapi tolong jangan mojokin aku kaya gini,” katamu sambil berusaha menghapus air mataku, tapi kutepis dan berusaha menghindar.

“Lo ga bisa giniin gua terus, Mas. Tiap gua lagi sama cowo lain gua ngerasa bersalah, bersalah ke lo ataupun mereka,” tangisku tak mau reda. Sial. Kuarahkan wajahku padanya, wajahnya masih tetap tegang, menahan emosi juga kurasa.

“Ra, gua kasih tau sekarang sama lo. Lo pikir sebelum kita gini, gua seneng ngedengerin cerita lo ama cowo-cowo itu? Lo lebih jahat, lo tau itu? Lo pikir gampang buat gua ngedeketin adek temen gua? Lo pikir ga ada beban buat jalan sama yang jelas-jelas ga bisa gua ajak sholat bareng? Wish that u know how it felt when the first time I realized this feeling,” katanya kemudian dengan lemah.

“Dari awal lo emang ngegampangin semua kok,” jawabku kemudian sambil menahan isak.

“Inget waktu lo ngabarin gua pas lo keterima di Jogja? Gua seneng banget, ga tau kenapa. Padahal kita dulu ga sedeket ini, ngebayangin kita bakal gini aja gua engga. Lo pikir gampang buat gua waktu dulu mulai ketemuan sama lo sampai akhirnya kita deket gini? Gak gampang juga, Ra, buat gua,” jawabnya sambil menunduk dengan nada lemah.

Aku luluh, akhirnya aku kalah, kurangkum wajahnya dalam genggamku.

“Sorry. Gua gatau ternyata ini bikin lo susah juga,” kataku kemudian sambil mengarahkan jemariku ke alisnya yang tegas.

Dia memejamkan mata. Sial. Wajah lemahnya melemahkanku juga. Aku tak tahan untuk mengecupnya. Aku berjanji ini adalah akhir dari semua ini. Ini adalah salam perpisahan.

“Ini yang lo bilang mau biasa aja?” ledeknya sambil tersenyum aneh setelah kutarik wajahku menjauh darinya.

“Ini perpisahan ya, Mas. Gua gamau lagi kita ngejalanin something that I dont even know how to call it,” kataku lemah sambil menggigit bibirku, berusaha untuk menyimpan tiap rasa dari salam perpisahan kami.

“Pelan-pelan ya. Sama-sama berusaha,” jawabnya kemudian dengan tenang sambil meraih tanganku yang masih merangkum wajahnya ke genggamannya. Sensasi itu kembali lagi. Sama seperti saat pertama dia menciumku di stasiun kala itu. Kupu- kupu dalam perutku makin banyak. Padahal ini hanya sebatas genggaman tangan. Sial.

“Mas, ga ada loh temen biasa yang pake genggam plus elus-elus begini,” kataku kemudian sambil berusaha menarik tanganku dari genggamannya sembari mengalihkan wajahku darinya.

Tangannya bergerak cepat bergerak hingga tanpa sadar wajahku sudah dirangkumnya.

“Ini perpisahan dari gua ya, Ra,” katanya berbisik di kupingku.

Aku memejamkan mata. Mulai kurasakan wajahnya kian mendekat. Bibirnya mengecup wajahku, mulai dari kening, mata kanan dan kiri, pipi kanan dan kiri, dan akhirnya tiba di saat bibir kami bersentuhan. Ingin rasanya kubalas, tapi untung akalku masih cukup sehat untuk tetap sadar.

“Udah, ah, Mas. Ada yang ngeliatin tau,” kataku setelah beberapa saat dia tak juga menjauhkan bibirnya dari bibirku.

Aku kemudian berusaha melepaskan wajahku dari rangkuman tangannya.

“Yuk, makan,” katanya kemudian sambil tersenyum.

“Tapi kita tetep temenan kan, Mas?” tanyaku kemudian sesaat setelah aku mencicipi makanan miliknya.

“Iyalah. Enak aja lo mau kabur dari gua,” jawabnya sambil berusaha bercanda.

“Tapi gua gamau tiap lo ke sini kita harus ketemu. Kalo gua ketemu lo terus kapan gua ketemu cowo gua?”

“Ra, lo bisa ketemu cowo lo kapan aja. Tapi gua ga ke sini kapan aja,” dia menjawab sambil meneguk bir dari gelasnya.

“Tapi ga ada gandeng-gandengan, lendot- endotan alay kaya biasanya, ya,” sambungku segera setelah dia meletakkan gelasnya.

“Pelan-pelan, ya. Kan tadi gua bilang pelan-pelan,” dia menjawab sambil memegang tanganku.

“Kalo ga ada hal penting gausah chat-chat gua. Gua sekarang udah sibuk kerja tau! Kalo mau telfon jangan sembarangan. Tanya dulu!”

“Asli ini? Yakin lo?”

“Iya ah, bawel.”

“Anjir, Ra. Gimana bisa, sih?” katanya sambil mengacak rambutku.

Masdi sudah kembali, aku juga. Namun tidak dengan kisah kami, yang entah apa sebutannya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Perihal Mencoba
0
0
Mencoba eksklusif walau tidak seberapa. Semoga ada yang berkenan. Sekian perkenalan pertama. Terima kasih. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan