
Langit biru mulai berganti kelabu, seperti ingin menangisi sesuatu. Mungkin langit tahu saat ini Keenan sedang sendu. Akhirnya hari ini aku bisa mengunjungimu. Berdiri di sisi jendela kamarmu, tepat di sebelah kursi favoritku. Bahkan setelah lima minggu, aku yakin kursi ini masih lekat dengan aroma parfum kesukaanku. Aku benar-benar rindu!
Keenan ada di sebelahku, duduk di kursi itu. Melamun memandangi kolase foto kami di dinding dan sama sekali tidak menghiraukan kehadiranku. Sesekali kami...
Langit biru mulai berganti kelabu, seperti ingin menangisi sesuatu. Mungkin langit tahu saat ini Keenan sedang sendu. Akhirnya hari ini aku bisa mengunjungimu. Berdiri di sisi jendela kamarmu, tepat di sebelah kursi favoritku. Bahkan setelah lima minggu, aku yakin kursi ini masih lekat dengan aroma parfum kesukaanku. Aku benar-benar rindu!
Keenan ada di sebelahku, duduk di kursi itu. Melamun memandangi kolase foto kami di dinding dan sama sekali tidak menghiraukan kehadiranku. Sesekali kami tersenyum, mengingat jutaan kenangan yang tergambar di sana. Aku berjalan mendekat, hari ini aku hanya ingin melihatmu.
“Alia...” Suaranya lirih.
Aku di sini, Ken.
Keenan terdiam, ia tidak lagi berisik seperti dulu. Tersenyumlah, anak nakal!
“Alia,” Tatapannya kosong, “Aku minta maaf.”
Mungkin ini permintaan maafnya yang keseribu. Hey, ini bukan salahmu. I’m okay, Ken.
Aku kembali mendekat, berdiri di hadapan Keenan sambil bersandar pada meja kerjanya yang berantakan. Dia tidak seperti Keenan yang dulu. Wajah murungnya kini tepat berada di hadapanku. Dunia harus tau, lima minggu adalah waktu terlama kami untuk tidak saling ketemu. Dulu aku pikir selalu bersama Keenan selama lima belas tahun adalah kutukan. Tapi, aku tidak pernah menyangka akan seperti ini rasanya berada sangat jauh darimu, Ken.
“Ken, sesungguhnya aku benci kalau Ibumu meneleponku setiap saat aku pergi bersama pacarku hanya untuk menanyakanmu.”
Itu pengakuan pertamaku. Dengarkan aku ya, Ken, aku akan menyampaikan pengakuan panjang. Aku tau kau tidak akan mendengarku meracau. Tapi, aku akan tetap berbicara.
“Aku benci pada diriku sendiri setiap aku setuju dengan ajakanmu untuk pergi ke mana pun itu! Kamu bikin aku merasa tidak butuh orang lain di hidupku karena kamu selalu ada untuk aku, Ken. Aku benci itu. Aku benci kenyataan bahwa aku menyayangi Ibumu seperti aku sayang terhadap Ibuku. Aku benci saat Ibumu selalu membelaku setiap aku bertengkar denganmu. Aku benci ketika aku meneleponmu saat sedang mabuk. Aku benci menangis di pundakmu. Aku benci menerima fakta bahwa kamu selalu merapikan segala hal yang kubuat berantakan. Aku benci saat kamu selalu bersedia meminjamkan sepatu besarmu setiap aku lelah menggunakan high heels-ku. Aku benci semua yang kamu lakukan kepadaku selama aku menjadi sahabatmu.”
Keenan masih terdiam. Aku tau, dia tidak mendengarku. Sejak kita masih kecil dulu, mengeluh kepada Keenan selalu terasa seperti berbicara dengan dinding di ruangan kosong. Suaramu hanya akan menggema dan kembali masuk ke dalam telingamu sendiri. Keenan adalah pendengar yang sangat amat buruk.
“Dan...aku benci karena aku lebih memilih pergi dengan laki-laki brengsek itu saat kamu menyatakan cinta kepadaku, Ken. Aku memang tidak mencintaimu, tapi, harusnya aku tau kalau kamu tidak akan memukuliku sampai mati seperti yang dilakukan kekasihku...”
Untuk pertama kalinya, aku sangat berharap Keenan bisa benar-benar mendengarkanku.
“Keenan, kematianku sama sekali bukan kesalahanmu.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰