
Kisah pilu tak selalu milik yang bernyawa.
Ini roman pertama dan terakhir yang aku punya. Si Kopi dan Si Susu (aku) yang sudah tinggal bersama selama sepuluh tahun. Tinggal di rak sederhana, namun terawatt karena Mama apik dan resik. Berdampingan di toples kaca, kami dulu hidup bahagia.
Tiap pagi kami punya cerita. Cerita asmara. Bersimpuh hormat kepada Papa yang hendak pergi bekerja, Kopi memulai harinya dengan cangkir cokelat milik Papa. Terkadang aku menemani Mama yang nonton telenovela—Mama kadang bercucuran air mata menontonnya.
Aku menemani di mug merah muda milik Mama. Atau di gelas tinggi bersama Es Batu dan Soda jika hari terlalu panas. Kopi dan Rokok, yang bersahabat sejak dulu, bergantian menjaga Papa yang larut dalam pekerjaannya di depan komputer.
Kami bahagia. Hingga petaka itu tiba.

Papa tiba – tiba jarang meneguk Kopi. Kopi yang dibuat Mama dengan penuh cinta. Dua sendok tanpa gula dengan sesendok perasaanku, dibiarkan begitu saja--dingin hingga sore menjelang. Papa jarang pulang. Mama mulai menduga – duga. Adakah kasih sayang lain di hatinya…?
Aku tahu kenapa, namun aku tak tahu cara beritahu Mama. Petaka itu bernama Dia. Aku pernah melihatnya waktu Mama sedang tak di rumah. Di dapur saat rak terbuka, aku melihat Dia.
Rambutnya merah bergelombang. Berombak – ombak di ujungnya. Dia menyuguhkan Kopi tanpa aku. Kopi meronta. Mungkin tidak rela. Dibuatnya pahit sampai lidah siapapun berkerut jika mencobanya.
“Mas, kopi ini aneh. Makin banyak aku kasih gula, dia semakin pahit rasanya.”
Papa tersenyum padanya lalu bilang, “Tak sembarang orang yang bisa bikin kopi itu selain istriku.”
“Mas beli dimana?”
“Entah. Cuma istriku yang tahu.”
Dia membuang Kopi dalam cangkir. Melempar juga cangkirnya hingga muncul belah – belah. Menaruh satu mug hitam miliknya di rumah kami.
Dia mencibir, lalu membuang isi toples kekasihku ke tempat sampah. Mengisinya dengan Coffee yang dibawa jauh dari luar negeri--mahal dan anggun sekali, katanya. Coffee yang sombong mengisi toples kekasihku. Duduk di sebelahku. Aku ingin menangis. Aku tahan saja.
Mama lambat laun tahu. Cangkir Papa retak, ditemukan teronggok bersama barang rusak lainnya. Racikan Kopi dan Susu yang dibuatnya tak lagi sama. Mama marah. Mama kehilangan perasaannya. Aku sedih. Papa berkilah. Hingga akhirnya hari itu tiba. Mama pergi. Meninggalkan rumah. Meninggalkan aku. Papa kemudian ditinggal juga Dia yang tak ingin hidup terlalu sederhana.
Rumah jadi sepi. Papa menua lebih cepat. Tak ada lagi tawa kami—Kopi dan aku, atau kecup mesra Mama di paginya. Racikan ’Kopi-Susu’ itu tak lagi sama. Hambar. Hilang rasa. Hilang jiwa.
Kopi menghilang. Mama tak kembali. Tinggal menunggu sampai diriku juga tak diinginkan. Berjamur. Tengik. Basi. Terbuang sia – sia.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
