
SINOPSIS
***
Bagaimana perasaanmu ketika seseorang yang kamu cintai dalam diam dan sudah berjalan nyaris sepuluh tahun lamanya, tiba-tiba datang mengajakmu menikah?
Bahagia?
Oh, tentu saja.
Tapi apa jadinya kalau kamu justru dijadikan pengantin pengganti karena mempelai wanita kabur menjelang hari pernikahan?
Sakit hati?
Sudah pasti.
Tapi sialnya, Rania terpaksa menerima lamaran Raffa. Dia yang sudah terlalu bosan dijadikan bahan gosip para tetangga karena belum kunjung menikah,...
PROLOG
***
Hadirmu seperti angin lalu
Yang tak bisa ku dekap namun meninggalkan rindu
Kata orang cinta tanpa balas tak mungkin bersatu
Namun ternyata takdir membawa kita tuk bertemu
Seolah takdir tengah memberi restu
Ternyata bahagia dalam angan hanya berakhir pilu
Lalu kini, haruskah aku melepasmu?
Melupakan segala kisah yang berdiri di atas ragu..
*
"Hai.."
Wanita itu mendongak lalu memberi senyuman manis pada sosok pria yang menarik kursi dihadapannya.
"Yang lain belum dateng?" masih terkejut dengan kedatangan pria si pemilik wajah manis dihadapannya, Rania--nama wanita itu, menggeleng tanpa ekspresi namun hati tengah bersorak bahagia sekarang.
"Wisnu sama Arum masih di jalan, kalau Diana lagi di kamar mandi." pria itu mengangguk yang dibarengi dengan senyuman sejuta pesona di matanya.
Namanya Raffa Ardhana Fahrezi. Teman semasa SMA sekaligus pria yang meraih predikat sebagai cinta monyetnya. Belum genap 17 tahun saat pertama kali mereka berkenalan. Dia pernah membaca sebaris kalimat di media sosial yang mengatakan bahwa tidak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama.
Benarkah tidak ada? Sayangnya dia sudah terlanjur percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar nyata. Karena dia sudah membuktikannya sendiri. Mencintai pria dihadapannya ini nyaris 10 tahun lamanya setelah pertemuan pertama mereka.
Gila bukan? Ya, dia memang segila itu sampai bertahan mencintai seseorang selama bertahun-tahun lamanya. Dan bagian tergilanya adalah dia melakukannya secara diam-diam.
Luar biasa bukan?
"Na,"
Rania tersentak dari lamunannya kemudian menatap pria dihadapannya.
"Kenapa Raf?"
"Aku bakalan nikah dalam waktu dekat ini,"
"Hah?"
"Sebelum ngasih tahu yang lain, aku ingin kamu yang dengar kabar bahagia ini lebih dulu."
Kabar bahagia ya? Tapi kenapa dadanya terasa sesak setelah mendengarnya?
"Na, kenapa melamun? Jangan bilang kamu udah ngantuk?"
Rania memilih mengabaikan candaan Raffa yang biasanya akan dirinya tanggapi dengan suka cita. Hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja.
"Nggak apa-apa, Raf. Cuma rada pusing sih sejak tadi." kilahnya.
"Mau aku belikan obat dulu?" Rania buru-buru menggelengkan kepala. "Nggak usah. Aku ke kamar mandi dulu ya? Sekalian mau nyusulin Diana." melihat anggukkan Raffa, Rania buru-buru beranjak pergi.
Setelah ini, mampukah dia melupakan segala rasa yang telah membuatnya resah? Salahnya sendiri memang, yang sudah tahu jika akhirnya akan seperti ini namun masih berani mencinta.
"Mencintai kamu kenapa harus sesakit ini sih, Raf?" lirihnya sendu.
***
PART 1
***
Rania meraih sebuah bingkai berukuran sedang yang dirinya letakkan di atas meja kerja. Kedua sudut bibirnya seketika melengkung membentuk senyuman manis kala ia menggulirkan pandangan pada foto lawas yang diambil nyaris 10 tahun yang lalu. Dimana dia berfoto bersama keempat teman dekatnya semasa SMA yang masih menjalin hubungan baik sampai sekarang meskipun kesibukan masing-masing membuat mereka jarang bertemu.
Ia usap foto itu penuh kerinduan. Tak menyangka jika waktu ternyata berlalu begitu cepat. Rasanya belum lama dia dan teman-temannya mengambil foto di pinggiran kolam renang setelah selesai ujian renang waktu itu. Namun ternyata sudah nyaris 10 tahun foto itu diambil. Dan ternyata sudah selama itu juga dia menyukai salah satu pria yang juga berada di dalam foto itu. Sayangnya dia melakukannya secara diam-diam. Cukup menyiksa memang, namun untuk menghilangkan rasa itu juga tidak mudah. Nyatanya move on dari seseorang yang belum pernah jadian rasanya sangatlah sulit.
Dia telah mencoba dekat dengan beberapa pria namun tak pernah sampai ke tahap pacaran. Otak dan hatinya tak pernah berhenti membandingkan pria-pria itu dengan Raffa Ardhana Fahrezi. Pria berwajah manis yang berhasil menguasai seluruh ruang dalam hatinya sekalipun pria itu telah memiliki tambatan hati yang sudah dipacarinya semenjak masuk kuliah.
Dia gila bukan? Mencintai pria yang jelas-jelas tidak akan bisa dirinya miliki. Bahkan gilanya, dia masih saja berpikir selama janur kuning belum melengkung, maka masih ada kesempatan baginya menjadi pendamping hidup Raffa. Padahal jelas-jelas dia telah melewatkan banyak kesempatan untuk mengakui perasaannya dengan alasan malu. Sementara mengakui perasaannya itu pada ketiga temannya yang lain terasa begitu mudah.
"Lagi mikirin apa sih, Mbak? Perasaan dipanggilin dari tadi nggak denger-denger."
Rania menoleh ke samping lalu menarik kedua sudut bibirnya begitu mendapati Rani--teman sekantornya datang ke mejanya.
"Lagi kangen aja sama temen-temen zaman SMA," balasnya sembari menaruh kembali bingkai foto ke meja.
"Memang ya Mbak, kenangan waktu masih seragam putih-abu susah terlupa." kekeh Rani yang diangguki oleh Rania.
"Kamu kesini mau ngajak Mbak makan siang?"
"Iya, Mbak. Beli nasi padang yuk? Mendadak ngidam nasi padang warung sebelah deh."
Rania terkekeh kecil sembari beranjak dari kursi.
"Yuk. Mbak juga udah lama nggak makan nasi padang." Rani langsung mengangkat kedua ibu jarinya kemudian merangkul lengan Rania.
"Beruntung banget ya Mbak jadi Mbak Sera. Siapa yang ngira kalau dia bakalan diperistri atasan super ganteng modelan kayak Pak Sena. Duh, padahal aku udah ngarep jadi Nyonya Sena."
Tak.
"Nggak usah kebanyakan mengkhayal kamu, Ran!" Rani mendesah panjang sambil mengusap-ngusap kepalanya yang barusan dijitak Rania tanpa mengalihkan pandangan dari sang atasan yang baru saja berjalan melewatinya.
"Kira-kira sebelumnya Mbak Sera mengkhayalkan apa ya Mbak? Sampai bisa dapetin Pak Sena gitu."
"Justru Sera nggak suka mengkhayal, makanya bisa dapetin yang nyata." seloroh Rania yang membuat Rani langsung meringis sambil manggut-manggut. "Bener juga sih," kekehnya.
"Tapi siapa yang nyangka ya Mbak, takdir kembali mempertemukan mereka dengan cara yang unik seperti di drama. Mbak Sera benar-benar luar biasa membesarkan anak kembarnya seorang diri. Coba kalau Pak Sena tahu kalau pacarnya waktu itu hamil, mungkin kisah mereka nggak perlu menghabiskan beratus-ratus episode ya 'kan, Mbak?"
"Heumm, dan Sera pasti nggak bakalan lewatin masa-masa kehamilannya sendirian." Rania menghela nafas. Dia tidak bisa membayangkan jika berada diposisi Sera. Mungkin dia tidak akan sanggup melewati masa kehamilan seorang diri.
Setelah beberapa bulan yang lalu digemparkan dengan pernikahan sang atasan muda nan tampan bersama salah seorang office girl, kini mereka sudah tahu tentang kisah sebenarnya. Sena dan Sera yang menjalin kasih semasa muda sampai akhirnya melakukan sebuah kesalahan fatal yang menghadirkan si kembar tanpa diketahui keberadaannya oleh sang ayah. Setelah perpisahan yang cukup lama, takdir kembali mempertemukan mereka dan kisah Sena-Sera pun berakhir indah.
"Mbak, kemarin sore aku bikin status di wa 'kan? Terus ada tetanggaku yang minta dikenalin sama Mbak Nia. Nggak ganteng-ganteng amat sih orangnya, tapi rajin ibadah di masjid, Mbak. Mana pekerja keras lagi." oceh Rani begitu mereka tiba di warung nasi padang dan sedang menunggu pesanan mereka dibuatkan.
"Terus Mbak suruh ngapain?" Rania terkekeh pelan sambil geleng-geleng kepala.
"Ya kan siapa tahu Mbak Nia mau nyoba deket gitu loh, biar nggak jomblo terus."
"Kayak kamu punya pacar aja Ran, Ran." Rania menggeleng geli.
"Maunya sih punya pacar Mbak, sayangnya belum nemuin yang kayak Oh Sehun. Giliran ada Pak Sena yang sebelas-dua belas, eh malah keburu ditinggal nikah. Ibarat kata tuh kalah sebelum berperang." oceh Rani lagi yang membuat Rania tergelak lucu.
"Tahu ah, Mbak nggak mau dikenal-kenalin karena ujungnya ya nggak bakalan jadi. Kayak ada yang kurang gitu kalau deket sama seseorang yang belum pernah kita kenal."
"Ah ribet banget sih Mbak. Bilang aja mah masih gagal move on dari cinta monyet 'kan?"
Dan tawa pasrah Rania sudah berhasil menjawab pertanyaan Rani barusan.
*
Setibanya di rumah, seperti biasa Rania selalu disambut dengan senyuman lembut sang ibu. Dia memiliki adik lelaki yang sekarang menempuh pendidikan SMA di Jawa Timur sekaligus mondok disana. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang enggan menjadi anak pondok pesantren, adiknya justru meminta sendiri tanpa paksaan sama sekali dari kedua orang tua mereka.
"Ibu udah siapin air hangat buat kamu mandi."
Rania tersenyum manis sembari memeluk ibunya dari samping.
"Makasih ya Bu." katanya yang diangguki sang ibu.
"Tadi siang Pak Danang kesini sama Ramzi terus nanyain kamu,"
Rania menyipitkan mata. "Pak Danang temannya Ayah yang katanya baru balik dari Kalimantan itu Bu?"
Astri--Ibu Rania menganggukkan kepala.
"Kenapa bisa nanyain Rania? Kami belum pernah bertemu."
"Kamu sama Ramzi seumuran, makanya Pak Danang nanya-nanya kamu sekarang kerja dimana, terus udah punya pacar belum."
"Terus Ibu jawab apa?"
"Yang mana? Bagian kamu udah punya pacar apa belum?" ledek Astri yang membuat sang putri mengerucutkan bibir.
"Ibu bilang kalau kamu nggak mau pacaran, maunya langsung diajak ke pelaminan."
"Ih, kok Ibu bilang gitu?" Rania tertawa lucu. "Malu Nia lah, Bu." cicitnya.
"Bukannya kamu memang maunya pacaran setelah nikah?" Astri menaikkan kedua alis.
"Iya sih, Bu." Rania menyengir lebar. "Biar nggak dosa." ujarnya yang diacungi jempol sang ibu.
"Anaknya Pak Danang udah lebih dulu menetap di Jakarta, terus sekarang udah punya minimarket sendiri. Mana makin ganteng."
"Ohh, ya syukur Bu kalau gitu."
"Eh, tanggapannya kenapa cuma gitu?"
Rania terkekeh pelan. "Memangnya Nia harus gimana Ibu?"
"Kalau dijodohin sama Ramzi kamu mau, Nak?"
Rania memutar kepala menghadap sang ayah yang baru keluar dari kamar.
"Em, bukannya Nia nggak mau Yah. Cuma kan belum tahu orangnya."
"Ya udah besok-besok Ayah kenalin. Nanti Ayah minta Ramzi ke rumah pas kamu libur."
Rania meringis pelan. Merasa tak enak pada ayahnya jika langsung memberi penolakan, wanita itu terpaksa memberikan anggukan kepala.
"Iya Yah. Kalau gitu Rania ke atas dulu ya Yah, Bu." setelah berpamitan, Rania segera naik ke lantai dua dimana kamarnya berada. Alih-alih langsung mandi dengan air hangat yang telah ibunya siapkan, dia justru menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur lalu menghela nafas panjang sambil menatap langit-langit kamar.
Sejujurnya dia tidak mengerti pada dirinya sendiri. Nyaris sepuluh tahun dia menghabiskan waktu untuk mencintai pria yang membuatnya merasakan cinta sepihak alias bertepuk sebelah tangan. Tetapi herannya dia justru menikmati rasa dalam diam itu. Padahal jelas-jelas Raffa sudah memiliki tambatan hati, sementara dia masih betah sendiri.
Dia tidak bohong saat mengatakan pada orang tuanya jika tidak ingin berpacaran seperti teman-temannya yang lain meskipun dia sempat mencoba menjalin kedekatan dengan beberapa lawan jenis. Dia memang ingin langsung menikah dan menikmati masa-masa pacaran usai menjadi suami-istri. Tapi itu berlaku hanya untuk Raffa. Karena jika bersama pria lain, dia tidak yakin sanggup melakukannya.
Dia gila bukan? Dan anehnya dia sangat menikmati kegilaannya itu. Dia memang berniat melupakan Raffa, tapi itu nanti setelah pria itu benar-benar tak mampu lagi dirinya gapai. Dan selagi menunggu masa itu tiba, dia tidak menghalangi pria lain untuk mendekatinya.
Sungguh aneh memang dia ini. Ingin Raffa melihat dirinya lebih dari seorang teman namun enggan berjuang. Hanya bisa pasrah pada takdir Tuhan yang entah bagaimana nanti akhirnya. Tapi yang pasti, dia tidak akan memaksakan ketetapan takdir. Jika memang Raffa bukan ditakdirkan untuknya, dia akan menyerah dan menerima siapapun yang datang ke rumah untuk melamarnya.
Ting. Ting. Ting.
Rania membuka ponselnya yang tiba-tiba dipenuhi notif pesan grup.
Diana Arista :
Gengsss!! Dua minggu lagi gue balik ke Jakarta. Reuni kuy?
Wisnu Pratama :
Bolehlah. Situ yang traktir tapi.
Diana Arista :
Dih! Lakinya Arum emang ye kagak modal!
Wisnu Pratama :
Lah kok ngamuk sih Di.. Hahaha
Diana Arista :
Berisik lo, Nu Panu!
Woy! Yang lain gimana ini? Udah kangen ngumpul.
Rania terkekeh pelan melihat ocehan Diana di grup. Temannya itu bekerja di Jogja dan hanya pulang ke Jakarta beberapa bulan sekali saja. Dan dari semua temannya semasa SMA, Diana lah yang paling dekat dengan dirinya.
Tanpa mengulur waktu, Rania segera memberi komentar di grup yang dinamakan 'Ceriwis' yang entah bagaimana awalnya sampai akhirnya tercipta nama itu.
Rania Zahra S. :
Gue sih yes..
Diana Arista :
Oke zeyeng. Aku jemput kamu ๐
Ini si Arum pasti ngikut 'kan bareng si ayang? Si Raffa mana sih kagak nongol2 perasaan.
Arum Puspita :
Sorry lagi bikin kue makanya baru buka hape. Gue ngikut kok tenang.
Diana Arista :
Siapppp..
Ini Raffa mana sih?
Wisnu Pratama :
Berisik banget sumpah lo, Di.
Ayang Arum, kue nya aku mau.. Nanti aku ke rumah oke sayangkuuuuu
Diana Arista :
Dih ๐คฎ
Rania Zahra S. :
Gue mau mandi dulu deh ya.. Gerah banget baru pulang.
Namun niatan Rania untuk beranjak dari ranjang seketika sirna begitu mendapati balasan dari Raffa di grup. Dia hanya berganti posisi menjadi duduk bersilang di atas ranjang dengan senyuman merekah begitu membaca pesan yang pria itu kirimkan.
Raffa A. Fahrezi :
Gue ikut kok. Sorry baru balik.
Raffa A. Fahrezi :
Pantes Na bau kamu sampai kesini, ternyata belum mandi..
Ya ampun!! Rania merasa tubuhnya terguncang sekarang. Bahkan tanpa sadar dia menggigit ujung bantal yang diraihnya. Berbeda dari orang tuanya maupun teman-temannya yang lain, Raffa memang lebih suka memanggilnya dengan sebutan 'Na' sejak dulu, yang lalu dirinya anggap sebagai panggilan kesayangan.
Wisnu Pratama :
Maunya dimandiin Abang Raffa ya 'kan Ri? Ngaku lo!!
Wisnu sialan!
Dia menyesal memberitahu Wisnu perihal perasaannya pada Raffa. Seandainya dulu dia tidak sedang mengalami patah hati karena Raffa yang tiba-tiba memposting seorang wanita lalu menyebutnya sebagai kekasih, mana mungkin dia mau memberitahu si mulut ember bernama Wisnu Pratama.
Diana Arista :
Bukan Mahram. Dosa. Halalin dulu dong Bang Raffa *uhukkkk
Rania Zahra S. :
Diem deh. Gue mau mandi.
Raffa A. Fahrezi :
Nggak minta dimandiin 'kan Na? Hahaha
Rania Zahra S. :
Enggak!
Wisnu Pratama :
Enggak di mulut tapi iya di hati tuh Raf. Biasalah cewek HAHAHAHA
Sebelum pipinya kian memanas, Rania memilih menaruh ponselnya dan segera beranjak ke kamar mandi. Hanya pesan sesimple itu namun berhasil membuat ribuan kupu-kupu berterbangan di perutnya.
Ah, memang dasar bucin.
***
PART 2
***
"Udah mandi, Na?"
"Hm, udah."
"Ganggu ya aku telpon malam-malam gini?"
"Enggak, Raffa. Aku lagi nyantai kok. Kenapa tiba-tiba telpon? Tumbenan." Dengan wajah sumringah sekaligus malu-malu, Rania menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang sambil memangku bantal.
"Eum, tadi digrup aku sama Wisnu cuma bercanda ya, Na. Kamu nggak marah 'kan?"
Suara Raffa terdengar khawatir disebrang telpon. Sementara di tempat tidurnya, Rania justru tertawa sambil menggelengkan kepala meskipun dia tahu kalau Raffa tidak mungkin melihat apa yang dirinya lakukan.
"Enggak lah, Raf. Nggak usah berlebihan deh kamu."
"Hehehe.. Kan takutnya kamu marah. Ya udah deh aku tutup dulu ya Na? Selamat istirahat. Eum, jangan mimpiin aku loh, hahaha.."
"Nggak usah ge'er!"
Rania senyum-senyum sendiri saat teringat percakapannya dengan Raffa semalam. Padahal dia cuma diledekin biasa, tapi jantungnya serasa mau melompat kegirangan.
Oh, astaga. Kapan sih virus RAF alias Raffa Ardhana Fahrezi, bisa berhenti menyerang dirinya yang sungguh lemah karena cinta ini. Hahaha.
Uh, padahal dia tahu sendiri kalau pria yang dirinya cintai dalam diam itu sudah memiliki kekasih. Tapi hatinya tetap enggan berhenti mencinta. Seolah percaya jika suatu saat takdir akan membawa mereka untuk bersama. Serius, dia selalu dibuat keheranan dengan khayalan yang terlanjur melambung tinggi itu. Disisi lain juga merasa takut akan terjatuh dan membuat hatinya terluka parah.
"Tadi Ibu lihat kamu senyum-senyum sendiri, eh sekarang malah cemberut. Apa yang sedang kamu pikirin?" goda Astri pada sang putri yang sedang membantunya memasak.
"Nggak ada kok, Bu." Rania memamerkan cengiran lebarnya dan kembali melanjutkan memotong sayuran.
"Nanti malem jadi bareng kondangan sama Ibu ke tempatnya Devi, Ran?"
"Jadi Bu. Rania nggak ada temen kondangan soalnya."
Lebih tepatnya, teman-teman seumuran dirinya memilih pergi bersama suami mereka. Ada juga yang menggandeng pacar atau tunangan sebenarnya, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman karena yang lain memiliki pasangan. Jatuhnya dia jadi obat nyamuk nanti.
Uh, jadi jomblo memanglah menyenangkan. Tapi kalau sudah musim kondangan, siap-siap saja berganti jadi menyedihkan. Bayangan pergi ke pernikahan orang lain tanpa menggandeng pasangan terasa sekali sepinya. Belum lagi pertanyaan kapan menyusul yang kian mengganggu saja.
Dan malam ini, Rania benar-benar merasakan kesedihan itu. Dia tidak pernah mempermasalahkan dirinya yang masih sendiri diusianya yang sudah menginjak 26 tahun. Sementara teman-teman sebayanya kebanyakan sudah berkeluarga. Dia merasa cukup bahagia dengan hidup yang dirinya jalani saat ini meskipun tanpa pasangan. Tetapi kenapa orang-orang begitu mempermasalahkannya?
"Si Devi bukannya lebih muda dari kamu ya Ran?"
Rania menanggapi dengan senyuman tipis saat salah seorang tetangga tiba-tiba duduk di kursi sebelah sambil membawa semangkuk bakso.
"Kamu kapan nyusul? Masa kalah sama yang lebih muda."
"Pernikahan bukan ajang perlombaan dimana ada menang dan kalah. Pernikahan itu tentang keberhasilan dan kegagalan. Saya hanya tidak ingin salah memilih pasangan hidup yang akhirnya membuat saya gagal dalam sebuah pernikahan. Alih-alih menanyakan kapan saya menikah, kenapa Bu Emi nggak doain saya saja biar akhir tahun ini bisa jadi pengantin juga?" Rania tersenyum manis yang justru membuat wanita paruh baya disisinya yang terkenal sebagai ratu gosip langsung mendumel dan pindah tempat duduk.
Ia mendesah lega. Lalu kepalanya celingukan mencari keberadaan sang ibu yang katanya mau mengambil minum tetapi justru sedang mengobrol dengan beberapa tetangga yang kebetulan baru datang.
"Eh, Nak Adrian. Pulang kapan? Ibu kira masih di kampung."
"Tadi pagi, Bu."
Rania yang sedang menyeruput teh lantas melirik ibunya yang tiba-tiba memanggil pria si pemilik ruko. Ia hanya mendesah pelan dan kembali menikmati segelas teh di tangannya. Dia tidak terlalu mengenal pria yang sedang diajak ibunya mengobrol itu. Tapi yang ia tahu, salah satu Bulik-nya menyewa ruko milik Adrian. Pemuda yang digandrungi banyak remaja bahkan sampai ibu-ibu kompleks. Memang tampan ia akui, tapi auranya begitu dingin yang membuatnya enggan bertegur sapa kalau tidak sengaja berpapasan.
"Kebanyakan ngobrol ngebuat Ibu lupa kalau bawa anak perawan." kekeh Astri yang sudah kembali duduk di samping kiri Rania yang langsung memasang wajah cemberut.
"Ibu tuh kalau udah ngobrol pasti betah banget sampai lupa sama anak sendiri." Rania menggelengkan kepala dengan kebiasaan sang ibu kalau sudah bertemu para tetangga.
"Kamu sama Adrian cuma beda 2 tahun ya Ran?"
"Mana Rania tahu Bu, kan kami nggak saling kenal."
Rania mengaduh saat sang ibu menyentil dahinya.
"Masa sama tetangga sendiri nggak kenal!"
"Kan tetangga jauh Bu, lagian Rania juga jarang keluar rumah kalau libur 'kan?"
"Ck! Kamu tuh! Makanya kalau libur itu lari-lari keliling kompleks biar kenal sama tetangga, atau tiap pagi sekalian."
Rania menghela pelan.
"Kita pulang sekarang aja ya Bu? Biar bisa gantian sama tamu yang lain." sambil menatap sekeliling yang cukup ramai. Sejujurnya dia lebih menghindari orang-orang yang pasti akan mempertanyakan hal-hal privasi termasuk pasangan hidup. Dia sudah cukup muak dengan pertanyaan yang sudah seperti dijadikan ciri khas setiap ada orang menikah.
"Ini nih yang kadang bikin Ibu sebal pergi kondangan sama kamu. Yang ada malah buru-buru." dumel Astri yang segera menghabiskan minumannya.
"Yang penting kan udah habis bakso semangkuk, Bu." Rania memamerkan cengiran lebar dan kembali mengaduh saat dihadiahi sentilan untuk kedua kalinya.
***
"Eh, eh, eh, kenapa nih motor?"
Rania buru-buru turun dari motor matic miliknya saat merasakan ketidakberesan. Wanita cantik itu lantas berdecak sebal sambil berkacak pinggang begitu mendapati ban motornya yang kelihatannya bocor.
"Dari kemarin kayaknya sial mulu deh nasib gue!" dumelnya jengkel. "Mana udah siang, bengkel juga belum pada buka."
Tidak ada jalan keluar lagi selain menghubungi ayahnya untuk mengambil alih motornya. Beruntungnya dia belum jauh dari rumah, tapi lumayan juga kalau harus balik sambil menuntun motor. Paling tidak dia harus mandi lagi sebelum berangkat dan bisa dipastikan dia benar-benar telat nantinya.
"Motornya kenapa?"
Rania yang mau menghubungi sang ayah seketika mengurungkan niat saat sebuah motor berhenti di dekatnya. Dia tak langsung menjawab. Karena kepalanya justru sibuk celingukan demi memastikan jika dialah yang tengah ditanya pria dihadapannya itu.
"Mas nanya ke saya?" dan dengan bodohnya melemparkan pertanyaan tidak masuk akal bahkan sampai membuat si pria memutar bola mata.
"Disini hanya ada kita berdua, masa iya saya nanya ke setan. Ngomong-ngomong, saya juga bukan cenayangan." pria itu turun dari motor.
Berbeda dari Rania yang masih terkejut sampai harus mengerjapkan mata, pria yang menurutnya memiliki aura dingin itu ternyata tidak sesombong yang terlihat. Meskipun mereka terbilang asing, tetapi pria itu benar-benar peduli. Bahkan tanpa diminta, sekarang sedang mengecek keadaan motornya.
"Cuma bannya aja yang bocor, lainnya aman. Kamu bisa bawa motor saya ke ruko, nanti saya nyusulin. Kebetulan bengkelnya mau saya buka."
"Em, kira-kira lama nggak ya Mas? Soalnya udah siang, saya buru-buru. Takut telat." Rania menyengir tak enak.
Adrian--pria baik hati itu tampak berpikir sejenak.
"Ya udah kamu bawa motor saya dulu ke kantor, nanti pulangnya mampir ke ruko buat ambil motor kamu." salah satu ruko miliknya yang dirinya sulap menjadi bengkel motor.
"Eh, nggak usah Mas Adrian. Biar saya minta Ayah saja kesini, saya bisa naik ojek kok."
Rania mengibaskan tangan tak enak hati. Bukan apa-apa, masalahnya dia sama Adrian tidak cukup dekat. Masa iya sekarang dia harus merepotkan pria itu segala.
"Kamu tahu nama saya?"
"Maksudnya?"
Dahi Rania mengernyit dalam.
"Nggak apa-apa, saya kira kamu nggak tahu nama saya."
Rania kembali mengerjapkan mata begitu melihat senyuman manis pria dihadapannya. Bertahun-tahun mengenal pria itu sebagai tetangga tanpa pernah bertegur sapa, membuatnya baru sadar kalau Adrian ternyata tidak hanya tampan tetapi juga memiliki senyuman manis. Apalagi jika dilihat dari jarak sedekat ini.
Oh, kenapa dia tiba-tiba jadi salah tingkah.
"Daripada harus nunggu lagi, kenapa nggak pakai motor saya saja? Belum tentu Ayah kamu lagi nggak sibuk."
"Tapi.."
Adrian mengambil alih motor Rania lalu pria itu mengedikan dagu ke arah motornya.
"Sudah sana pergi. STNK ada di jok motor, kamu nggak usah khawatir kalau saya bakal jual motor kamu."
Rania meringis pelan. Bukan begitu juga maksudnya.
"Mas Adrian nggak apa-apa dorong motor saya sendirian? Atau biar saya saja yang dorong. Nanti saya bawa motor Mas Adrian pas udah sampai di bengkel."
"Kamu bilang lagi buru-buru 'kan? Motor kamu biar jadi urusan saya. Lagipula saya bisa minta tolong anak buah saya kesini."
"Em, ya udah kalau gitu. Makasih ya Mas, maaf loh jadi ngerepotin gini." Rania merasa semakin tak enak hati.
"Nggak apa-apa."
"Em--saya berangkat sekarang." Rania buru-buru menurunkan tangannya yang sempat terangkat.
"Iya, hati-hati di jalan."
Dengan degup jantung yang masih menggila, Rania segera menjalankan motor milik Adrian. Wanita itu masih saja merasa seperti mimpi. Percakapan pertama mereka setelah bertahun-tahun lamanya menjadi tetangga. Dia yang sempat mengecap Adrian sebagai pria sombong kini harus menjilat ludah sendiri. Karena nyatanya pria itu sangatlah baik hati.
Ouhh, apakah sekarang dia akan menjadi salah satu pengagum Adrian sama seperti gadis-gadis disekitaran rumahnya?
Ah, sial. Kenapa pipinya memanas saat teringat tingkah manis pria itu yang rela meminjaminya motor bahkan bersedia direpotkan dengan urusan motornya.
"Tumbenan siang, Mbak?" adalah Rani yang langsung menghampiri Rania yang tanpa disengaja sama-sama baru sampai di kantor.
"Wihhh,, motor baru nih," godanya begitu melihat motor milik Rania yang berbeda dari biasanya.
"Bukan punya Mbak, Ran. Ini malah dipinjemi motor tetangga gara-gara motor punya Mbak bocor di dekat rumah."
"Pantesan Mbak Nia rada siangan."
Keduanya melangkah bersama memasuki gedung kantor.
"Takut banget tadi telat, untung ada pangeran baik hati yang nolongin." Rania menggandeng lengan Rani dengan cengiran lebarnya. Mungkin Adrian bakal mengutuk dirinya kalau tahu sejak dulu dia melabeli pria itu dengan sebutan dingin dan sombong.
"Jangan bilang yang nolongin gebetan Mbak Nia ya?"
"Bukan," Rania menggeleng. "Kita tetanggan, tapi rumah nggak deket-deket amat sih, dan selama bertahun-tahun baru kali ini ngobrol. Malahan langsung ditawarin bantuan."
"Udah ada pacar tuh cowok Mbak? Siapa tahu masih jomblo jadi Mbak Nia bisa usaha lah dapetin hatinya." Rani terkekeh geli.
"Nggak tahu deh, kayaknya sih udah."
"Positif thinking dulu deh Mbak, siapa tahu beneran jomblo. Cakep nggak orangnya?"
"Lumayan,"
"Dah lah Mbak, coba usaha siapa tahu 'kan kali ini jodohnya."
Rania memutar bola mata. "Dia bantuin kan karena Mbak memang butuh bantuan. Ya kali deketin duluan tahunya si cowok malah murni cuma mau bantu."
"Ya siapa tahu kayak dicerita-cerita wattpad Mbak. Nggak ada yang nggak mungkin kok, contohnya aja kisah cinta Sena Sera."
"Lain kisah kalau sama mereka mah."
Dan yang tidak Rania sangka-sangka, dia bisa melupakan perasaanya sejenak pada Raffa ketika sedang membicarakan tentang Adrian. Uh, padahal selama ini Raffa selalu membayangi dirinya sekalipun dia sedang dekat dengan pria lain.
Selain virus RAF, tampaknya sekarang dia juga terkena virus Adrian setelah percakapan pertama mereka.
***
PART 3
***
Pengirim : +628xxxxxxxxxx
Motor kamu sudah saya antar ke rumah. Kamu nggak usah antar motor saya, nanti biar saya ambil sendiri. Oh iya, tadi saya minta nomor ini ke Ayah kamu.
Rania tersenyum tipis membaca pesan yang dikirimkan oleh Adrian. Dia tidak menyangka karena selain baik, ternyata pria itu juga cukup menyenangkan. Bahkan tadinya dia sempat dibuat bimbang karena merasa malu pergi ke ruko pria itu untuk mengembalikan motor sekaligus mengambil motor miliknya. Bukan apa-apa, dia dan Adrian tidak pernah terlibat dalam sebuah percakapan. Lalu kejadian yang menimpanya hari ini merubah semuanya. Yang paling tidak disangka-sangka, pria itu mengiriminya pesan. Ya, meskipun itu juga untuk kepentingannya. Tapi siapa yang menyangka jika mereka yang tadinya begitu asing kini justru saling mengetahui nomor telpon satu sama lain.
Uh, memang ya rencana Tuhan tidak ada satu orang pun yang tahu.
Kepada : +628xxxxxxxxxx
Oke Mas, makasih.
Setelah memberikan balasan, Rania segera bersiap untuk pulang. Tetapi sebelum itu, dia akan mampir lebih dulu ke minimarket terdekat. Dengan semua kebaikan Adrian hari ini, dia ingin membelikan cemilan sebagai tanda terima kasih untuk pria itu. Sekalian juga membeli untuk dirinya sendiri karena stok di rumah sudah menipis. Oh, jangan lupakan dia juga harus mampir ke pom untuk mengisi penuh motor Adrian yang dipinjamnya ini.
Namun akhirnya Rania menyesali keputusannya yang memilih minimarket yang letaknya tak jauh dari kantor. Bukan karena cemilan disana tidak lengkap atau harganya yang cenderung mahal. Melainkan karena pertemuan tak terduga antara dirinya dengan sesosok pria yang selama ini ia berikan tempat khusus di hatinya. Setelah tadi pagi dibuat terkejut dengan pertemuannya bersama Adrian, maka sekarang dia kembali mengulangainya namun dengan pria yang berbeda.
Kini dihadapannya, Raffa berdiri dengan senyuman lebar setelah tak sengaja lengan mereka saling bertabrakan layaknya adegan di film-film. Lalu saat mendongakan kepala, mereka sama-sama terkejut karena tidak menyangka akan bertemu di minimarket.
"Kamu baru pulang Na?" Raffa melontarkan tanya yang Rania tanggapi dengan anggukan kepala.
"Sendiri apa sama temen?"
"Sendirian." Rania menanggapi singkat. "Kamu juga sendiri?" tanyanya balik sambil celingukan.
"Aku sama Lusi." Raffa menjawab sembari menaruh cemilan yang diambilnya ke dalam keranjang. Sementara Rania langsung terdiam dan hanya manggut-manggut saja.
Harusnya dia tidak usah bertanya saja tadi. Entah kenapa, meskipun sudah tahu kalau Raffa memiliki kekasih yang telah dipacarinya bertahun-tahun, dia tetap saja merasa kesal sendiri setiap pria itu menyebut sang kekasih.
"Habis jemput dia di kantor terus katanya pengin beli cemilan, kebetulan di dekat sini ada minimarket makanya mampir. Aku baru inget kalau tempat kerja kamu juga nggak jauh dari sini 'kan Na?"
Rania menanggapi dengan anggukan tipis lalu pura-pura sibuk mengambil jajanan. Padahal hatinya sedang dongkol sekarang. Entah dia saja yang terlalu cinta atau Raffa yang terlalu bodoh sampai-sampai tidak menyadari perasaannya selama ini.
Sementara Raffa yang tiba-tiba merasa suasana menjadi canggung lantas menggaruk tengkuknya salah tingkah.
"Kamu kenapa sih Na? Perasaan dulu nggak sependiem ini deh."
"Karena semakin bertambahnya umur, rasanya tidak pantas jika masih berperilaku seperti remaja."
Tak.
"Akhh.."
Rania mengaduh sebelum melayangkan pelototan pada Raffa yang justru tertawa puas setelah berhasil menyentil dahinya.
"Apaan sih Raf! Sakit tahu!" omelnya.
"Ya lagian kamu serius banget jawabnya."
Rania segera menyingkirkan tangan Raffa yang merangkul pundaknya. "Nggak usah rangkul-rangkul! Nanti kalau pacar kamu lihat dikiranya aku selingkuhan kamu." dumelnya yang justru membuat pria disisinya tertawa kencang. Beruntunglah karena tidak ada seorangpun yang memperhatikan mereka.
"Nah kalau galak gini kan aku jadi percaya kalau kamu benar-benar Rania. Eh, tapi kamu galak juga gara-gara ketularan Diana ya Na?"
Lagi-lagi Rania menyingkirkan tangan Raffa yang kali ini menyampir di pundaknya.
"Lusi nunggu di mobil kalau kamu ngerasa khawatir dikira jadi selingkuhan." ujar Raffa dengan nada mengejek. "Lagian dia udah tahu tentang pertemanan kita sama yang lain juga." kali ini ia usap lembut puncak kepala wanita disisinya.
"Kamu masih mau lanjut belanja? Biar aku tungguin sekalian aku yang traktir mumpung kita bertemu disini."
Rania menggeleng cepat lalu mendorong dada Raffa.
"Nggak usah, terima kasih. Kamu pergi aja duluan, kasihan Lusi nungguin."
"Yakin nggak mau aku traktir?"
"Aku bawa uang." Rania mengibaskan tangan mengusir Raffa yang masih saja tidak mau pergi. Seandainya sejak awal pria itu pergi sendiri, mungkin dia rela menghabiskan waktunya sedikit lebih lama bersama Raffa. Lalu sepulangnya ke rumah, dia akan menjerit bahagia karena pertemuan tak terduga mereka hari ini. Sayangnya mood nya langsung terjun bebas setelah Raffa memberitahu sedang pergi bersama kekasih pria itu.
"Ya udah kalau gitu aku traktir lain kali."
Rania menahan nafas saat Raffa mengulurkan tangan lalu mengusap puncak kepalanya dengan senyuman lembut.
"Jangan ngebut-ngebut di jalan. Sampai ketemu minggu depan."
Bagaimana dia bisa move on, kalau Raffa selalu saja bertingkah semanis ini setiap mereka bertemu. Orang-orang mungkin akan menganggapnya bodoh karena masih saja mencintai pria yang tidak akan pernah memberikan perasaan serupa, tetapi baginya Raffa jauh lebih bodoh karena pria itu tidak pernah menyadari perasaannya selama ini. Padahal Wisnu sering kali menggoda mereka tapi mungkin si bodoh Raffa hanya menganggapnya sebagai candaan belaka.
Uh, miris sekali nasibnya yang harus jatuh hati pada pria tak sepeka Raffa.
*
Setibanya di halaman rumah, kening Rania langsung mengernyit begitu mendengar suara gelak tawa sang ayah yang lalu disusul suara seorang pria. Tidak ingin menahan rasa penasarannya terlalu lama, ia segera melangkahkan kaki ke dalam rumah. Dan betapa terkejutnya dirinya saat mendapati Adrian sedang duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya.
Sejak kapan pria itu ada di rumahnya?
"Eh, itu Rania-nya udah pulang, Nak Adrian. Kebetulan sekali."
"Assalamu'alaikum." Rania masuk sambil memberi salam yang segera disahut ketiga orang lainnya.
"Wa'alaikumsalam."
"Tumbenan telat Nak?"
"Mampir beli cemilan, Bu." dengan senyuman manis, Rania mengangkat dua kantong cemilan di tangannya. "Ini buat Mas Adrian. Hitung-hitung sebagai tanda terima kasih." ia ulurkan satunya pada Adrian yang menerimanya dengan wajah bingung.
"Terima kasih, Rania. Seharusnya kamu nggak perlu repot-repot gini, karena sesama makhluk hidup sudah seharusnya kita saling tolong-menolong."
Uh, lihatlah betapa wibawanya seorang Adrian yang selama ini Rania kira sedingin es di kulkas.
"Nggak apa-apa kok, Mas. Kalau nggak ada Mas Adrian saya bisa telat ke kantor."
"Udah nggak apa-apa Nak Adrian, yang ada malah Rania yang ngerepotin. Mana dipinjemin motor segala." Rania mengangguki perkataan ibunya.
"Oh iya Mas, ini kunci motornya. Sekali lagi terima kasih ya Mas." ia segera memberikan kunci ke tangan Adrian. "Untuk total perbaikan motornya berapa ya Mas Adrian? Soalnya ini mau saya tinggal mandi. Gerah soalnya." lalu memamerkan cengiran lebarnya.
"Nggak usah, santai saja." Adrian mengibaskan tangan lengkap dengan senyuman manis pria itu. Namun tak lantas membuat Rania luluh sebab wanita itu justru merasa kian tak enak hati.
"Nggak bisa gitu dong Mas, namanya bisnis tetap saja bisnis."
"Kalau gitu anggap saja kali ini saya kasih kamu promo gratis, kalau besok-besok ke bengkel lagi baru saya kasih patokan harga."
"Duh, saya jadi nggak enak gini." Rania menyengir sambil menggaruk rambut panjangnya. "Tapi makasih loh Mas." yang diangguki Adrian.
"Pak, Bu, saya pamit sekarang saja. Terima kasih loh ini tehnya."
"Loh, kenapa buru-buru Nak Adrian? Nggak mau nambah segelas lagi?"
Kedua orang tua Rania ikut beranjak berdiri seperti yang dilakukan pria muda disana.
"Terima kasih banyak Bu, kalau bukan mau maghrib mungkin saya masih betah disini." Rania mengerjap melihat bagaimana luwesnya Adrian mengobrol bersama kedua orang tuanya. Ah, lebih tepatnya sang ibu yang tadi lebih banyak berbicara setelah kedatangannya.
Kemana saja dia sejak dulu sampai baru tahu kalau pria bernama Adrian ini ternyata pria yang hangat?
"Terima kasih buat cemilannya Rania."
"Hah? Ah--iya Mas sama-sama." Rania yang sedang melamun mendadak seperti orang bodoh begitu perhatian Adrian beralih padanya.
"Saya juga berterima kasih buat pertolongannya hari ini Mas Adrian." yang diangguki Adrian bersama senyuman manis yang lagi-lagi membuat Rania harus mengerjapkan mata.
"Ganteng ya Ran sampai diliatin terus?" Astri menyenggol lengan putrinya yang langsung salah tingkah.
Adrian baru saja pergi dengan membawa serta motor pria itu tentu saja. Sementara motor milik Rania sudah masuk ke garasi di samping rumah.
"Namanya juga laki-laki Bu, ya pasti ganteng."
"Tapi Ayahmu biasa aja."
Arman yang mendengar suara bisik-bisik sang istri langsung berdehem kuat yang membuat dua orang wanita di dalam rumahnya itu salah tingkah dan memberinya cengiran lebar.
"Ayah ganteng kok, cuma emang nggak ada setengahnya dari mudanya Nak Adrian." Astri mengusap lengan suaminya yang tak lagi sekekar dulu. Namun alih-alih merasa senang, yang ada Arman semakin mengelus dada dan membiarkan saja sang istri mau mengatakan apa tentangnya. Sementara Rania hanya mampu meringis mendengar rayuan ibunya yang justru terdengar salah kaprah.
"Yah, Bu, Rania ke kamar duluan ya? Mau mandi. Soalnya ini udah gerah banget."
Niat hati ingin langsung pergi, Rania malah dibuat bad mood karena perkataan sang ayah.
"Minggu ini Ramzi katanya mau ajak kamu keluar, Ran. Kalau kamu ada urusan, sebaiknya ditunda dulu. Nggak enak sama Ramzi."
Rania bisa apa selain memberikan anggukan kepala. Seperti Ramzi yang menopang hidup mereka saja sampai ayahnya merasa tak enak hati. Sebenarnya dia malas kalau harus mengenal pria dengan jalur dikenalkan. Bukan apa-apa, hanya saja dia itu tipe wanita yang gampang ilfeel jika dikenalkan dengan pria yang menurutnya kurang cocok. Entah sudah berapa kali teman-temannya mencoba menjomblangkan dirinya namun pada akhirnya semuanya gagal.
Dia tahu maksud sang ayah yang ingin dia dan Ramzi menjalin pertemanan dulu namun tak bisa dipungkiri juga jika ayahnya memang berniat menjodohkan mereka sejak awal.
"Gini amat sih nasib jadi jomblo sejati." Rania menjatuhkan tubuhnya ke ranjang empuk miliknya yang sudah menggoda sejak dirinya masuk ke dalam kamar. Alih-alih pergi ke kamar mandi seperti inginnya sejak diperjalanan tadi, dia justru tampak menikmati kenyamanan yang menyapa punggungnya saat ini.
Ting.
Rania meraih ponselnya di dalam tas lalu membuka pesan yang baru saja masuk. Dan kenyamanan yang baru dinikmatinya langsung sirna setelah tahu siapa yang mengiriminya pesan.
Pengirim : +628xxxxxxxxxx
Assalamu'alaikum Rania, ini saya Ramzi. Hari minggu saya ke rumah mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu nggak keberatan 'kan?
Astaga.. Mendadak Rania merasa perutnya mual seketika. Pesan yang Ramzi kirimkan memang tidak aneh-aneh, dia juga sudah tahu dari ayahnya lebih dulu. Tapi entah kenapa setelah membacanya sendiri dia langsung lemas. Entahlah, dia memang tidak pernah cocok jika tidak mengenal orang itu sendiri.
"Kalau kayak gini terus, kapan gue nikahnya coba?" gumamnya bermonolog sendiri. "Udah Ran, tahan, tahan. Kali ini lo kudu bener-bener nyoba. Kalau gagal lagi, mending nikmatin kejombloan lo nyampai Song Joong Ki dateng ke rumah buat ngelamar."
Dan sialnya mustahil. Artinya dia bisa menjadi perawan tua kalau setiap dikenalkan dengan seorang pria memilih untuk undur diri.
Penerima : +628xxxxxxxxxx
Wa'alaikumsalam. Saya tidak keberatan.
Rania menghembuskan nafas panjang setelah mengirim pesan balasan ke nomor asing kedua yang hari ini mengiriminya pesan. Setelah itu dia benar-benar pergi ke kamar mandi. Dia perlu mendinginkan kepalanya sekarang juga.
***
PART 4
***
Entah sudah berapa lama keduanya saling diam. Tampaknya tidak ada yang tertarik membuka obrolan atau justru bingung memulainya darimana mengingat ini kali pertama mereka bertemu. Tapi Rania sendiri, dia memang tidak tertarik membuka suara lebih dulu. Bukan apa-apa, pria dihadapannya lah yang meminta pertemuan ini sejal awal. Masa iya, pria itu yang mengajak tapi tidak mau mengatakan apapun begitu mereka bertemu. Pria itu--Ramzi, jelas memiliki tujuan bukan?
Rania menghembuskan nafas bosan lalu melirik Ramzi yang justru menundukkan kepala. Pria yang mengenakan kemeja putih dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam itu, membuatnya tampak seperti atasan yang sedang mewawancari calon pekerja. Bagaimana tidak, tingkah pria itu bahkan tidak terlihat seperti seseorang yang sedang melakukan kencan buta. Ya, meskipun yang mereka lakukan sekarang hanya makan siang biasa. Tapi anggap saja begitu.
"Mau sampai kapan kita diam-diaman begini?"
Rania yang sudah tidak tahan lantas mengeluarkan protes. Makanan pesanan mereka bahkan sudah tiba sejak lima menit yang lalu, tapi Ramzi tidak ada niatan mengucap satu patah katapun.
Astaga. Dia lelah sungguh. Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik dia menghabiskan waktu liburnya untuk menonton drama daripada mengiyakan ajakan Ramzi.
"Kalau tidak ada yang mau dibicarakan, lebih baik saya pulang saja." ujarnya dengan nada mengancam. Padahal dalam hati menyayangkan makanan yang belum sempat ia sentuh.
"T--tunggu!"
Mendesah pelan, Rania kembali duduk lalu meraih gelas minumnya dan nyaris menandaskan isinya. Dia benar-benar dongkol dengan pria pendiam dihadapannya itu tapi bertingkah sok berani kalau di chat. Ngomong-ngomong, Ramzi tidak jadi datang ke rumah. Dia yang meminta pria itu untuk bertemu langsung di resto.
"Em, sebenarnya saya bingung mau memulainya darimana."
Mulut Rania langsung melongo. Jadi waktu yang terbuang tadi hanya karena bingung memulai pembicaraan?
Oh, astaga.
Sontak bahu Rania terkulai lemas.
"Ya sudah kita makan dulu saja," putusnya dengan wajah lesu.
Setelah menghabiskan jatah makan siangnya, kali ini Rania tidak mau menunggu Ramzi buka suara. Dia juga sudah bosan dan ingin pulang secepatnya. Jadi untuk mengakhiri pertemuan pertama sekaligus menjadi yang terakhir--begitu harapannya, kali ini dia berinisiatif membuka percakapan.
"Kalau boleh saya tahu, apa ajakan Mas Ramzi hari ini karena Ayah saya?"
Pria dihadapannya menggelengkan kepala.
"Murni keinginan saya." Ramzi menyudahi acara makannya lalu melemparkan senyum pada wanita pemilik senyuman manis dihadapannya.
"Mungkin kamu sudah mendengarnya kalau para orang tua ingin menjodohkan kita?"
Rania menelan saliva sambil mengepalkan kedua tangan di bawah meja. Kenapa sekalinya bicara, Ramzi tampak begitu menyebalkan? Atau hanya perasaannya saja yang sudah terlanjur dongkol dengan tingkah diam pria itu sejak awal?
"Yang saya tahu perjodohan itu baru wacana." Ayahnya memang sempat menawarkan menjodohkan antara dirinya dan Ramzi, tapi saat itu baru sebuah penawaran. Belum tentu akan dilakukan. Karena dirinya pun tidak langsung mengiyakan.
"Wacana yang kemudian akan terealisasikan menjadi nyata."
Wah, kenapa pria dihadapannya ini semakin menyebalkan saja?
Menghembuskan nafas perlahan, Rania berusaha menyetok kesabaran menghadapi pria yang ternyata tidak benar-benar pendiam itu.
"Em, sebelumnya saya meminta maaf. Tapi saya pikir pertemuan hari ini untuk menjalin sebuah pertemanan."
Ramzi mengangguk sembari membetulkan kacamatanya.
"Ya, memang benar Rania. Tapi bukan hanya sebuah pertemanan yang saya harapkan. Karena saya benar-benar ingin menjalin kedekatan dengan kamu lebih dari seorang teman. Kamu tahu maksud saya 'kan?"
Iya tahu. Tapi dia ingin pura-pura tidak tahu saja.
"Maaf, tapi untuk lebih dari sekedar teman saya tidak bisa."
Rania tidak ingin memberikan harapan pada Ramzi. Pertemuan hari ini sudah bisa membuatnya mengambil keputusan. Kalau pria itu ingin tetap menjalin pertemanan dengannya, dia akan menerima. Tetapi jika menginginkan lebih, maka jangan harap dia mau bertemu lagi.
Sungguh, dia memang sering kali berkhayal memiliki suami setampan Song Joong Ki, semanis Song Kang, atau sekeren Ji Chang Wook. Tapi sungguh, itu hanyalah khayalan semata yang tak mungkin berwujud nyata. Dia tentu sadar diri karena dirinya pun tak secantik Song Hye Kyo ataupun Bae Suzy. Jadi dia tak pernah menetapkan secara khusus kriteria suami masa depan. Baginya, bertanggung jawab dan membuat nyaman sudah lebih dari cukup. Tapi Ramzi, pria itu benar-benar tidak bisa membuatnya nyaman sama sekali.
Setelah merasa tidak ada lagi yang dibicarakan, Rania pamit pergi. Dia tidak langsung pulang melainkan mampir ke kedai es krim lebih dulu demi mengubur semua kekesalannya. Ternyata bertemu Ramzi cukup menguras tenaga juga meskipun tak banyak yang mereka bicarakan. Entah kenapa berbicara dengan pria seperti Ramzi yang tingkat kepedeannya cukup tinggi--menurutnya, sungguh melelahkan.
"Loh, mana Ramzi?"
Rania memberikan gelengan lemah begitu tiba di rumah dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tamu yang kemudian diikuti Astri--Ibunya.
"Rania pulang sendiri, kan tadi bawa motor."
"Kenapa Ramzi nggak kamu ajak kesini Ran?"
Ibunya memang menyuruh Rania membawa Ramzi ke rumah begitu acara mereka selesai. Dia hanya mengiyakan saja tadi sebelum pergi, mana tahu kalau ibunya benar-benar serius. Tapi dia bersyukur juga karena tidak mengajak Ramzi ke rumah.
"Sibuk, Bu."
Astri menghela nafas. Wanita setengah abad itu bisa apa kalau memang si calon mantu--begitu harapannya, tidak bisa mampir.
"Gimana pendapat kamu tentang Ramzi, Ran?" kali ini reaksi Astri berganti menjadi penuh semangat sembari menunggu jawaban sang putri yang justru memasang wajah masam.
"Nggak banget, Bu."
"Hushh!! Nggak boleh gitu."
Bibir Rania langsung manyun. "Ya emang gitu, Ibuuuu.. Mana tingkat kepedeannya setinggi atap rumah." gerutunya sebal sendiri.
"Pokoknya Rania nggak mau dijodohin sama Ramzi ya Bu? Rania mau nyari sendiri aja, nggak mau dicariin. Titik. Nggak pakai koma."
"Bukan Ramzi yang jadi masalah, tapi kamunya saja yang memang nggak mau membuka diri." untuk kedua kalinya, ayahnya tiba-tiba muncul dari dalam dan ikut menimbrung.
"Ramzi pria yang baik, punya usaha juga dia. Kalian baru bertemu sekali mana bisa langsung cocok."
Baru mau membuka suara, ayahnya berhasil membuatnya mengurungkan niat.
"Kalau cuma temenan, Rania mau. Tapi untuk dijadikan suami, Rania nggak bisa." Rania tetap kekeuh dengan keputusannya. Karena kelak yang akan menjalani rumah tangga adalah dirinya bukan ayah maupun ibunya. Dia tidak ingin menyanggupi di saat hati merasa tidak sanggup menerima.
"Rania tahu kekhawatiran Ayah sama Ibu, tapi bukan berarti bisa memaksa Nia untuk menerima seseorang yang memang sejak awal tidak pernah Nia inginkan. Ramzi memang pria yang baik, tapi Nia nggak mau sama Ramzi." Rania mengusap sudut matanya yang berair. Entah kenapa setiap pembahasan mengenai pernikahan selalu membuatnya nelangsa. Sebagian teman-temannya sudah menikah dan memiliki anak, hal itu lah yang terkadang menjadi kekhawatiran kedua orang tuanya meskipun mereka tidak mengatakannya secara gamblang.
"Sudah, sudah. Kalau memang Rania ngerasa nggak bahagia bersama Ramzi, kita sebagai orang tua nggak boleh memaksakan. Lagipula jodoh, maut, semua sudah digariskan. Nanti kalau sudah waktunya pasti akan dipertemukan." Rania langsung memeluk sang ibu sambil sesenggukan.
"Makasih Bu."
Arman--Ayah Rania hanya bisa menghembuskan nafas pasrah sebelum melangkahkan kaki pergi ke teras rumah.
*
Diana Arista :
RANIAAAAAAAAA.. JADI SELAMA INI LO PUNYA PACAR TERUS NGGAK NGEMENG-NGEMENG KE KITA???
Wisnu Pratama :
Halahhh, bilang aja ngiri nggak ada temen jombloooooo
Diana Arista :
Diem deh lo Panu! Kalau bukan mantan juga udah gue tempeleng *sorry rum jadi buka kartu hihihi..
Wisnu Pratama :
KAMPRETTTT!! Nggak ada ya gue mantanan sama tarzan kayak lo, Di. Yang ada lo naksir gue tapi sayangnya gue cuma cinta sama Bebeb Arum tercinta ๐
Diana Arista :
Nggak usah songong ya Nu! Nyesel banget dulu bilang suka sama lo. Ih jijik! ๐คฎ
Raffa A. Fahrezi :
Ini mau bahas Rania apa masa kelam kalian??
Diana Arista :
Nah kan jadi lupa. Gara2 lo sih Nu Panu!
Eh, gue dapet info dari Sarah, adik sepupu gue. Kata doi yang tadi siang lagi ke resto si pacar, katanya dia liat Rania lagi makan siang sama cowok donggggggg
Wisnu Pratama :
Udah mup on Neng Nia?? HAHAHAAAAAA
Raffa A. Fahrezi :
Emang Rania gagal move on dari mantannya ya? Baru tahu gue.
Diana Arista :
Diem lo Raf! Bete gue jadinya..
Raffa A. Fahrezi :
Lah apa salah gue coba? Kan cuma nanya.
Diana Arista :
Pertanyaan lo bikin gue mencrettttt
Wisnu Pratama :
Jijik sumpah lo, Di ๐คฃ๐คฃ๐คฃ
Raffa A. Fahrezi :
Jadi ini Nana udah punya pacar?
Diana Arista :
Ya nggak tahu pacar apa gebetan. Ini pelakunya belum memunculkan diri buat klarifikasi.
Diana Arista :
Eh, Abang Raffa jangan sembarangan manggil nama anak orang ya.. NAMANYA RANIA BUKAN NANA!
Raffa A. Fahrezi :
Orang yang punya nama juga kagak keberatan. Kenapa situ yang ribut??
Diana Arista :
Dih, efek perombakan nama menjadi salah satu alasan utama cewek2 mudah baper tauuuu :(
Wisnu Pratama :
Hushhhh.. Berisik banget lo, Di.
Ini Rania mana sih?? Awas aja ya nongol2 ngirimin foto undangan. Nggak lucu Ran. Nggak lucu. Abang nggak siap HAHAHAAAA
Rania memijit kepalanya yang tiba-tiba pening begitu membuka grup 'Ceriwis' yang ternyata sedang menjadikannya sebagai topik utama.
Uh, kalau tahu pemilik resto yang dikunjunginya tadi siang ternyata milik kekasih Sarah--sepupu Diana, dia tidak mungkin kesana. Atau seandainya sahabat bermulut tarzannya itu tidak koar-koar di grup, mungkin tidak akan seheboh ini.
Diana dan mulut tarzannya benar-benar membuatnya stress.
Rania Zahra S. :
Bukan pacar. Itu anak temennya ayah. Suruh ketemuan kita, ya udah nurut.
Kalau sudah terlanjur dibahas, dia bisa apa selain jujur. Tidak berselang lama setelah memberi jawaban kepada teman-temannya, ada telpon masuk dari Diana yang segera Rania angkat.
"Assalamu'alaikum. Lo dijodohin Ran?"
Diana langsung to the point.
"Wa'alaikumsalam. Tepatnya gagal dijodohin Di, soalnya gue nggak mau. Nggak cocok sama tuh cowok."
"Kenapa sih? Jangan bilang masih gagal move on dari si kutu kupret Raffa ya Ran!"
"Nggak. Bukan itu. Cuma ngerasa nggak cocok aja sih sama cowoknya. Kepedean akut dia."
"Ouh, gue kira. Eh iya sorry tadi koar-koar di grup hahahaaaa.. Soalnya sengaja sekalian pamer sama Raffa."
Rania memutar bola mata meskipun dia tahu kalau Diana tidak bisa melihatnya.
"Kampret banget emang lo, Di. Eh, tapi gue baru tahu kalau Sarah udah ada pacar. Terakhir ketemu perasaan dia curhat masih jomblo."
"Nah itu makanya gue balik ke Jakarta. Si Sarah tuh mau tunangan, Ran. Kaget nggak lo?"
"Hah? Demi apaaaa??"
"Dia sempet ke Jogja dadakan waktu itu. Katanya ada temennya nikah, eh tahu-tahu paginya ke rumah bawa calon. Belum lama mereka jadian, tapi karena udah kenal dari SMA makanya mutusin seriusan."
"Kenapa sih jodoh orang tuh jalannya mulus-mulus banget, Di."
"Santai aja kali Ran, jodoh mah nggak kemana. Kayak gue gini santuy aja tuh. Pokoknya puas-puasin nyenengin diri sendiri dulu sebelum disibukkan ngurus anak sama suami."
"Iya sih jodoh emang nggak kemana, asal pas udah nikah jangan nggak kemana-mana ya 'kan?"
"Hahahaaaa.. Sialan. Eh, tapi ngomong-ngomong lo masih cinta sama Raffa, Ran?"
Kali ini Rania menghela nafas.
"Jadi beneran belum move on?" Diana menegaskan sekali lagi.
"Bukan nggak mau move on, Di. Gue udah usaha dan semua itu nggak gampang." Rania mendesah berat.
"Saran gue ya Ran, mending kasih tahu perasaan lo yang sebenarnya ke Raffa. Dengan begitu hati lo bakalan tenang sekalipun yang lo dapet cuma permintaan maaf. Gue jamin habis itu lo gampang move on deh."
"Tapi kan Di--"
"Kenapa? Lo takut Raffa ngejauh? Buktinya gue sama Wisnu baik-baik aja tuh sampai sekarang. Kadang kita memang butuh penolakan biar sadar diri Ran."
Rania terdiam cukup lama sampai akhirnya memberi anggukkan pelan.
"Gue bakal usahain, tapi nggak sekarang. Gue butuh waktu buat ngumpulin mental Di."
Karena dia bukan Diana yang suka ceplas-ceplos, juga Raffa yang sudah memiliki kekasih tidak seperti Wisnu yang dulu masih jomblo saat Diana mengakui perasaannya saat mereka SMA dulu. Mengakui perasaannya pada Raffa setelah nyaris 10 tahun lamanya, dia tentu butuh mental yang kuat bukan?
***
PART 5
***
"Halo Tante, aku Ayra."
"Aku Arkan."
Rania memandang gemas pada dua bocah berusia 7 tahun yang datang ke setiap kubikel untuk menyapa para karyawan disana.
"Hai Arkan Ayra," Rania menyalami anak kembar atasannya secara bergantian. Ini kali pertama mereka bertemu. Selama ini dia hanya tahu Sera memiliki anak yang sudah besar, tapi mereka belum pernah bertemu secara langsung.
"Kesini sama siapa sayang?" tanyanya pada dua bocah kembar yang tampak begitu menggemaskan dengan baju yang senada.
"Sama Ayah, Tante. Tapi diajak sama Om Dev muter-muter buat kenalan." Ayra yang menjawab. "Nama Tante siapa?"
"Nama Tante, Rania."
"Tante cantik kayak artis. Iya 'kan kak?"
Arkan manggut-manggut. "Ayra sama Ibu juga cantik kayak artis."
Rania tersenyum sendiri mendengar kalimat manis anak laki-laki dihadapannya ini.
Masih sekecil itu saja sudah bisa bersikap manis pada ibu dan adiknya. Bagaimana kalau dewasa nanti? Beruntung sekali perempuan yang kelak menjadi pasangan anak lelaki itu. Begitu batinnya yang meronta iri dan berharap kelak dirinya juga mempunyai anak semanis Arkan dan seceria Ayra.
"Tante cantik, Ayra sama Kak Arkan mau keliling lagi ya? Kita ketemu lagi kapan-kapan oke? Soalnya Om Dev udah nungguin."
Rania memutar kepala menatap salah satu petinggi perusahaan yang merupakan kakak sepupu Pak Sena. Pria tampan bernama Devan itu masih asyik mengobrol dengan salah satu karyawan di dekat pintu masuk.
"Iya, sayang. Sampai ketemu lagi."
"Iya Tante."
"Besok-besok Kak Arkan nggak mau lagi pakai baju samaan, soalnya malu daritadi diliatin terus." gerutu Arkan yang kembali digandeng sang adik untuk berkeliling lagi.
"Ih, Kakak. Kan lucu kalau kembar."
"Ya kan Kak Arkan nggak suka hello kitty, Ayra."
"Nggak apa-apa Kak. Yang penting kan warnanya bukan pink."
Sementara Rania yang mendengar percakapan dua bocah kembar itu tidak bisa menahan kekehan gelinya.
"Lucu ya mereka Mbak?"
Rania menoleh ke samping pada Rani yang mengampiri kubikelnya. Dengan senyuman lebar ia menganggukkan kepala.
"Kalau dilihat-lihat lagi, mereka lebih mirip ke Pak Sena nggak sih?"
"Iya, Mbak. Tapi kalau senyum mirip sama Mbak Sera." imbuh Rani.
"Jadi pengin punya anak kembar deh nanti. Tapi nggak ada riwayat keturunan kembar." desah Rania.
"Jaman sekarang mah gampang Mbak. Tinggal program aja."
"Mahal Raniiiii.. Ya mending uangnya buat tabungan masa depan anak-anak." Rani tertawa renyah sambil manggut-manggut.
"Bener banget sih, Mbak. Mana semakin tahun biaya sekolah makin mahal. Eh, ngomong-ngomong kemarin Mbak Nia jadi ketemuan sama siapa itu namanya Mbak?"
"Ohh, si Ramzi? Jadi kok Ran."
"Terus-terus gimana Mbak? Cocok?"
Rania bergidik geli ketika membayangkan kembali pertemuan antara dirinya dengan Ramzi.
"Pedenya kebangetan Ran. Di awal aja udah bikin ilfeel. Mana dengan pedenya bilang kalau kita dijodohkan padahal itu kan baru wacana belum benar-benar terlaksana."
"Jadinya batal dong Mbak?"
Rania mengangguk dengan sudut bibir melengkung ke atas. "Iya dong. Mbak juga udah bilang ke Ayah sama Ibu kalau menolak rencana perjodohan itu."
"Emang si Ramzi bener-bener bikin ilfeel, Mbak? Maksudnya nggak ada setitik harapan gitu buat dia?"
"Enggak ada Ran," Rania menggeleng tegas. "Pas dateng juga dia nggak ada tuh ngomong apa-apa. Nunduk terus nyampe makanan dateng. Kalau Mbak nggak ngancem pergi, mungkin nyampe malem disana kita hanya ketemu buat adu jadi patung." sungutnya sebal yang disambut gelak tawa dari Rani.
"Mana ya Ran, dia pakai kemeja putih lengan panjang sama celana bahan warna hitam sambil nunduk lagi. Yang ada Mbak dikira lagi nginterview orang 'kan?"
Rani tak bisa menahan gelak tawanya yang sontak menarik perhatian Devan yang langsung menghampiri mereka.
"Duo Ran! Bukannya kerja malah asyik ngobrol." omelnya sambil berkacak pinggang.
"Iya-iya Pak, maaf. Nggak usah marah-marah gitu lah Pak Dev, nanti gantengnya luntur loh," goda Rani pada sang atasan yang sebenarnya tidak benar-benar marah itu.
"Mana ada luntur! Dikira kegantengan saya ini dari make up?!"
Rania dan Rani saling pandang lalu menggeleng serempak.
"Udah sana kerja lagi!" ujar Devan sebelum pergi menghampiri si kembar.
"Baik Pak."
"Pak Devan makin hari makin ganteng aja ya Mbak? Kira-kira masih jomblo nggak sih Mbak? Pengin daftar jadi calon istrinya nih."
Rania menabok lengan Rani sambil terkekeh geli. "Nggak usah kita nebak-nebak. Takutnya udah punya istri diem-diem." belajar dari atasan mereka--Pak Sena, yang ternyata sudah memiliki buntut dua.
"Ya udah lah, kalau gitu mending nyari yang sedang-sedang saja." ujar Rani pasrah.
***
Kira-kira sudah berapa lama mereka tidak bertemu?
Satu bulan.
Dua bulan.
Tiga bulan.
Ah, sepertinya lebih lama dari itu. Tak menyangka jika waktu ternyata berlalu begitu cepat sampai tak sadar jika mereka sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah bertemu. Berbeda sekali saat mereka masih duduk dibangku SMA dulu, yang setiap akhir pekan saja masih bisa meluangkan waktu untuk bermain bersama meskipun jarak rumah tak begitu dekat.
"Akhhh, kangen bangettttttt!!"
Rania tertawa lalu membalas pelukan Diana yang malam ini datang ke rumah untuk menjemput dirinya.
"Sama. Gue juga kangen banget sama lo, Di."
"Eh, Nak Diana. Balik kapan ke Jakarta?"
Diana melepas pelukannya lalu beralih pada Astri--Ibu Rania yang keluar menemuinya di ruang tamu.
"Ibuuuuuu.. Gimana kabar Ibu?" ia salami tangan Astri lalu memeluk sebentar wanita paruh baya yang sudah dirinya anggap sebagai ibu sendiri itu.
"Alhamdulillah Ibu baik, sehat juga Nak."
Dengan sikap keibuannya, Astri mengelus punggung Diana penuh kelembutan.
"Syukur kalau gitu Bu. Oh iya, Di baru sampai siang tadi."
"Loh, kenapa nggak istirahat dulu di rumah? Ini malah langsung main."
Bak anak angkat, Rania yang mendadak dicueki anak dan ibu itu, mengikuti duduk di sofa.
"Udah istirahat tadi siang Bu. Kebetulan ini ada acara sama temen-temen yang lain, makanya Di kesini buat jemput Nia sekalian ketemu Ibu soalnya kangen banget."
Melihat Diana yang kembali memeluk manja pada sang ibu, Rania lantas melipat tangan.
"Ini kok aku malah jadi obat nyamuk ya? Tolong, ini yang anak Bu Astri sebenarnya yang mana?" sindirnya yang disambut gelak tawa dua wanita beda umur dihadapannya.
"Dua-duanya anak Ibu." kata Astri sambil tertawa.
"Lo kan tiap hari ketemu Ibu, jadi biarin lah anak angkatnya ini bermanja-manja bentar." lanjut Diana yang kembali memeluk ibu sahabatnya itu.
Kali ini Rania justru tersenyum lebar tanpa menunjukkan kecemburuan sama sekali.
"Ini anak angkat Ibu udah punya calon belum?"
Diana melepaskan pelukan dengan wajah lesu sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Belum Bu. Kayaknya jodoh Di mageran banget deh orangnya makanya nggak dateng-dateng ke tempat Di."
"Nggak apa-apa, nanti kalau udah waktunya pasti dipertemukan." yang diamini Diana dan juga Rania.
"Ibu selalu berdoa semoga Rania dan Diana segera dipertemukan dengan jodohnya."
"Amin Bu."
Rania melirik jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul 19.15.
"Di, berangkat sekarang yuk? Besok main lagi deh kesini buat kangen-kangenan sama Ibu. Sekalian ketemu sama Ayah, soalnya sekarang lagi keluar."
Diana mengangguk kemudian beranjak berdiri.
"Di sama Rania berangkat dulu ya Bu? Titip salam buat Ayah."
"Iya Di nanti Ibu pasti salamin. Kalian berdua hati-hati di jalan. Jangan pulang kemalaman."
"Siap Ibu."
Astri mengantar keduanya sampai teras rumah.
"Eh, Ran. Helmnya jangan lupa. Soalnya ini gue bawa motornya si Sarah."
Begitu Diana menoleh ke belakang, Rania tersenyum lebar sambil mengangkat tinggi helm di tangannya.
"Tenang, helm udah siap."
"Okeh,"
"Berangkat dulu ya Bu."
"Iya, hati-hati."
Dengan gerakan serempak, Rania dan Diana yang sudah duduk di motor memberikan acungan jempol.
"Kayak mendung nggak sih Ran?" Diana bertanya dipertengahan jalan begitu mendapati awan gelap tanpa adanya penerangan bulan dan bintang. Serta pergerakan angin yang dirasa cukup kuat.
"Lumayan sih, tapi kayaknya cuma mendung biasa. Kemarin-kemarin juga gitu, cuma mendung tapi nggak hujan."
"Syukur-syukur nggak hujan deh, soalnya ini gue bawa motor. Mana jas hujannya cuma ada satu."
"Tahu gitu tadi gue bawa jas hujan sekalian."
"Udah lah nggak apa-apa." sahut Diana. "Nanti kalau beneran hujan, kita bisa minta tolong Wisnu atau Raffa buat belikan jas hujan dulu." katanya yang diangguki Rania.
"Eh, ngomong-ngomong lo seriusan masih ada rasa ke Raffa, Ran?" Diana bertanya setengah berteriak takut Rania tidak dengar mengingat mereka masih di jalan.
"Tapi gue lagi usahain banget buat move on, soalnya takut makin sakit hati kalau masih ada rasa eh tahu-tahu ditinggal nikah."
"Ya elo juga sih Ran, dari dulu gue udah nyuruh buat ngaku, tapi lo nggak mau terus. Lihat sekarang! Raffa jadi punya pacar 'kan?" omel Diana.
"Seandainya gue seberani lo Di, pasti udah gue lakuin dari dulu." Rania mendesah pelan. "Lo tahu sendiri 'kan Di, perlakuan Raffa ke gue gimana? Dia tuh bersikap beda cuma ke gue, sedangkan ke elo, Wisnu sama Arum, dia biasa aja. Lo ngerasa nggak sih Di? Nah itu yang ngebuat gue jadi makin susah move on."
Diana manggut-manggut sambil memikirkan tingkah Raffa selama ini. "Sebenarnya dulu gue juga sempet mikir kalau Raffa tuh suka sama lo, Ran. Tapi yang bikin gue bingung, kenapa dia kelihatan suka tapi nggak mau jujur?" ia memelankan laju motor begitu mendapati lampu lalu lintas berganti orange.
"Mungkin Raffa suka sama gue sebagai teman, bukan lebih." Rania memberikan jawaban yang menurutnya paling masuk akal.
"Kalau cuma sebatas teman, seharusnya perlakuan dia sama dong ke kita semua? Nah dia aja bicara sama lo pakai aku-kamu, seolah lagi ke pacar. Sedangkan ke gue sama yang lain? Mana pernah kayak gitu Ran."
"Ya nggak apa-apa 'kan? Mungkin Raffa ngerasa nggak enak hati kalau manggilnya lo-gue." Rania masih mencoba berpikir positif.
"Nggak itu aja loh, Ran. Lo inget pas dulu lo mens hari pertama di sekolah terus nggak bawa pembalut? Raffa langsung beliin ke minimarket sekalian sama minuman, cemilan dan segala macam gara-gara lo ngeluh perut sakit juga. Padahal kan gue atau Arum bisa minta pembalut ke Bu Indri, penjaga UKS waktu itu."
Rania menggigit bibir bawah ketika Diana kembali mengingatkan dirinya tentang perhatian Raffa untuknya semasa SMA dulu.
"Terus yang lo telat dan dikasih hukuman bersih-bersih toilet sekolah, Raffa pura-pura izin ke toilet demi bisa bantu lo. Inget 'kan? Dan masih banyak lagi perhatian yang dia beri." Diana melanjutkan laju motornya yang tadi sempat terhenti karena bertemu lampu merah. Sementara Rania kini menyandarkan kepala yang tertutup helm itu pada punggung Diana dengan posisi miring.
"Perhatian-perhatian itulah yang ngebuat gue cinta banget sama dia, Di. Karena sampai detik ini pun, baru Raffa yang memperlakukan gue sebaik itu selain Ayah."
Bagaimana dia tidak kesulitan melupakan perasaannya, sedangkan pria itu telah memberinya begitu banyak perhatian. Mungkin bagi orang lain terlihat biasa, namun baginya perhatian Raffa sangatlah berarti dan berharga.
"Apa mungkin Raffa takut hubungan pertemanan kalian hancur kalau sampai ke tahap jadian terus putus?"
Rania menggeleng pelan.
"Gue nggak tahu Di. Tapi kalau Raffa memang ada rasa ke gue, dia nggak mungkin jadian sama cewek lain 'kan? Setidaknya dia bakal memperjuangkan gue meskipun telat. Tapi ini, nggak ada sama sekali. Jadi sepertinya kita cuma salah sangka sama perhatian yang selama ini dia kasih."
Dia tidak mau kepedean dan akhirnya dihempaskan dari ketinggian.
"Pelan-pelan rasa ini pasti akan hilang kok, Di. Lo ngga usah khawatir, karena sahabat lo ini sebentar lagi pasti bisa membuka lembaran baru tanpa bayang-bayang Raffa lagi." yang Diana amini sungguh-sungguh dalam hati.
***
PART 6
***
Rania menghela nafas bosan sambil memainkan kuku-kuku jarinya di atas meja hingga menimbulkan bunyi lirih. Dia dan Diana sudah sampai sekitar 10 menit yang lalu, namun ketiga temannya belum juga datang. Bahkan dia juga sudah memesankan makanan sesuai pesanan mereka di grup. Sekarang Diana sedang pergi ke toilet yang membuatnya seperti orang hilang karena duduk sendirian.
"Hai.."
Wanita itu mendongak lalu memberi senyuman manis pada sosok pria yang menarik kursi dihadapannya.
"Yang lain belum dateng?" masih terkejut dengan kedatangan pria si pemilik wajah manis dihadapannya, Rania menggeleng tanpa ekspresi namun hati tengah bersorak bahagia sekarang.
"Wisnu sama Arum masih di jalan, kalau Diana lagi di kamar mandi." pria itu mengangguk yang dibarengi dengan senyuman sejuta pesona.
Namanya Raffa Ardhana Fahrezi. Teman semasa SMA sekaligus pria yang meraih predikat sebagai cinta monyetnya. Belum genap 17 tahun saat pertama kali mereka berkenalan. Dia pernah membaca sebaris kalimat di media sosial yang mengatakan bahwa tidak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama.
Benarkah tidak ada? Sayangnya dia sudah terlanjur percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar nyata. Karena dia sudah membuktikannya sendiri. Mencintai pria dihadapannya ini nyaris 10 tahun lamanya setelah pertemuan pertama mereka.
Gila bukan? Ya, dia memang segila itu sampai bertahan mencintai seseorang selama bertahun-tahun lamanya. Dan bagian tergilanya adalah dia melakukannya secara diam-diam.
Luar biasa bukan?
"Na,"
Rania tersentak dari lamunannya kemudian menatap pria dihadapannya.
"Kenapa Raf?"
"Aku bakalan nikah dalam waktu dekat ini,"
"Hah?"
"Sebelum ngasih tahu yang lain, aku ingin kamu yang dengar kabar bahagia ini lebih dulu."
Kabar bahagia ya? Tapi kenapa dadanya terasa sesak setelah mendengarnya?
"Na, kenapa melamun? Jangan bilang kamu udah ngantuk?"
Rania memilih mengabaikan candaan Raffa yang biasanya akan dirinya tanggapi dengan suka cita. Hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja.
"Nggak apa-apa, Raf. Cuma rada pusing sih sejak tadi." kilahnya.
"Mau aku belikan obat dulu?" Rania buru-buru menggeleng. "Nggak usah. Aku ke kamar mandi dulu ya? Sekalian mau nyusulin Diana." melihat anggukkan Raffa, Rania buru-buru beranjak pergi.
Setelah ini, mampukah dia melupakan segala rasa yang telah membuatnya resah? Salahnya sendiri memang, yang sudah tahu jika akhirnya akan seperti ini namun masih berani mencinta.
"Mencintai kamu kenapa harus sesakit ini sih, Raf?" lirihnya sendu.
"Yang lain udah pada dateng Ran?" Diana bertanya begitu berpapasan dengan Rania di depan pintu kamar mandi.
"Baru ada Raffa. Gue duluan ya, Di? Kebelet soalnya."
Dengan memasang wajah yang tampak baik-baik saja, Rania segera masuk ke dalam salah satu bilik toilet setelah mendapati anggukan Diana. Dia duduk di atas kloset sambil menutup wajah. Menahan suara isak tangis supaya tidak didengar orang lain.
Nyaris 10 tahun lamanya dia menghabiskan waktunya untuk mencintai Raffa dan inilah akhir perjalanan cinta dalam diamnya. Raffa bukan hanya memiliki kekasih tetapi telah merencanakan sebuah pernikahan. Sebentar lagi pria itu akan memiliki sebuah keluarga kecil, sementara disini dia masih sibuk mencintai pria yang sampai kapanpun tidak bisa dirinya miliki.
Biarkan malam ini dia menangisi kisah cintanya yang berakhir tragis. Karena esok hari, akan dia pastikan untuk membuka lembaran baru. Tanpa Raffa yang selalu memenuhi tiap lembaran disana.
*
Nyaris lima belas menit lamanya Rania berada di kamar mandi. Begitu tiba di meja, disana sudah ada Wisnu dan Arum. Entah kapan sepasang kekasih itu tiba. Mungkin tidak lama setelah kedatangan Raffa. Herannya, ketiga temannya yang lain tampak biasa saja melihatnya baru kembali dari kamar mandi. Bahkan mereka terlihat seperti.. maklum?
Berbeda dari ketiga temannya yang lain, Raffa justru mengerutkan dahi dengan tangan terlipat di depan dada. Oh, jangan lupakan mata yang menyorotnya begitu tegas.
"Jadi, habis ngapain saja di kamar mandi? Kamu tidak habis muntah-muntah 'kan, Na?" melihat kekhawatiran pria itu, Rania memaksa seulas senyum tipis dibarengi gelengan kepala. "Aku nggak apa-apa kok." ia menarik kursi di sebelah Diana. Sementara disisi kiri wanita itu ada Arum.
"Tapi mata kamu sembab. Kamu nggak habis nangis gara-gara nahan sakit 'kan? Aku bisa belikan obat kalau kamu masih ngerasa pusing."
Rania memejamkan mata sejenak dengan tangan mengepal di atas paha. Lalu ia tatap Raffa dengan wajah datar.
"Aku baik-baik saja Raffa. Mulai sekarang, tolong jangan memberiku perhatian semacam itu lagi. Kamu mungkin menganggapnya biasa dan wajar sebagai teman, tapi aku juga bisa saja menganggapnya lebih."
Sudah cukup. Dia tidak ingin lagi tenggelam dalam perasaan yang salah yang membuatnya kian sakit saja. Raffa mungkin tidak pernah sadar jika secuil perhatian yang pria itu beri mampu mencipta rasa berlebih di hatinya. Dia sudah bertekad untuk membuka lembaran baru dan melupakan perasaannya pada Raffa. Jika pria itu tetap peduli padanya, maka melupakan Raffa akan semakin sulit untuk dirinya lakukan.
"Kamu kenapa sih Na? Balik dari kamar mandi jadi aneh."
Rania meraih gelas minumnya yang sudah ada di meja dan segera menegak isinya sebelum menjawab pertanyaan Raffa. Sementara ketiga orang lainnya serempak diam dan hanya memperhatikan dua orang itu yang tampak seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
"Nggak ada yang aneh, Raffa. Aku memang seperti ini 'kan?" sungut Rania dengan nada jengkel.
"Sudah lah, urusan rumah tangga nggak usah kalian bawa-bawa kesini. Mending makan dulu yuk, laper gue. Tadi lama nungguin Ayang Arum dandan."
Wisnu mencoba mendinginkan suasana yang mendadak panas. Pria itu lantas memamerkan cengiran lebarnya begitu mendapati pelototan tajam dua orang yang sedari tadi ribut sendiri.
"Kayaknya Rania lagi laper banget ya? Makanya ngomel terus daritadi."
Rania menepis tangan Wisnu yang mau menyuapinya lengkap dengan pelototan tajam.
"Galak bener dah keturunan hawa yang satu ini." decak Wisnu sambil geleng-geleng kepala. Lalu pria itu kembali duduk setelah gagal mencairkan suasana yang mendadak beku.
"Perasaan kok ini udaranya mendadak panas ya? Padahal di luar lagi hujan." kali ini giliran Diana yang menyahuti. Di luar memang hujan setelah tadi hanya rintik-rintik biasa. Harapan pulang tanpa merasakan dinginnya air hujan pun sirna.
"Sudah ayo kita makan dulu biar nanti enak ngobrolnya." Arum--si paling dewasa dan penyabar, menengahi yang diangguki yang lainnya.
Sementara Raffa, pria itu tidak bisa makan dengan tenang. Sesekali ia melirik Rania yang sikapnya mendadak berubah. Atau memang hanya perasaannya saja?
"Em, gue rencananya bakal nikah 2 bulan lagi. Pokoknya gue mau kalian ngambil cuti di hari pernikahan gue, oke?"
Raffa kembali buka suara setelah mereka menyelesaikan makan malam dalam diam. Sesuatu yang tampak aneh. Karena biasanya mereka akan memasukkan obrolan di dalamnya. Tetapi malam ini benar-benar berbeda. Sebelum Rania kembali dari kamar mandi, pria itu sudah sempat memberitahu ketiga temannya yang lain mengenai rencana pernikahannya. Hanya saja belum mendetail. Tadinya dia ingin memberitahukan detailnya setelah Rania kembali, namun saat melihat keadaan wanita itu, niatannya pun sirna.
"Kenapa mendadak?"
Diana melirik Rania yang masih sibuk menghabiskan makan malamnya--yang lain sudah selesai. Lalu beralih menatap Raffa yang tidak tahu jika yang lain sebenarnya sedang menjauhi topik pernikahan pria itu demi menjaga perasaan Rania.
"Nggak ada yang mendadak karena rencana pernikahan sudah dibicarakan dari jauh-jauh hari. Malah seharusnya gue ngasih tahu kalian sebulan lagi biar jadi kejutan."
Raffa tertawa.
Ouh, sial. Pria itu tidak tahu saja jika bukan hanya satu orang yang patah hati mendengar kabar pernikahannya, melainkan ke empat temannya sekaligus. Mereka yang menjadi saksi cinta dalam diam yang Rania lakukan selama ini, tentu merasakan kekecewaan yang sama sekalipun sudah menebak akhirnya akan seperti ini. Meskipun begitu, sebagai teman mereka tetap mendoakan yang terbaik untuk keduanya.
"Lo yakin Raf mau nikah sama Lusi?"
"Ya yakin dong, Di!" Raffa mencebik sambil geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan tidak masuk akal dari Diana--menurutnya. "Masa iya gue pacaran bertahun-tahun sama Lusi, nikahnya sama orang lain."
"Nggak ada yang nggak mungkin. Lagian udah banyak contoh kasusnya. Lo mainnya kurang jauh makanya nggak update!" semprot Diana yang mendadak jadi kesal sendiri. Ingin rasanya menoyor kepala Raffa. Entah apa yang ada diisi otak pria itu sampai tidak sadar dengan perasaan Rania selama ini.
Dia pernah sekali bertemu dengan Lusi--kekasih Raffa yang saat itu diajak ngumpul. Wanita itu memiliki tutur kata yang lembut dan mudah berbaur. Meskipun begitu dia tetap menjadi pendukung Rania nomor satu. Baginya Rania yang terbaik untuk Raffa sampai akhirnya dia sadar bahwa Rania justru terlalu baik. Dia sudah pernah meminta sahabatnya itu untuk melupakan perasaannya pada Raffa, dia pikir rasa itu sudah mulai meredup namun ternyata salah. Rania masih begitu mencintai Raffa--si bodoh yang memiliki tingkat kepekaan rendah. Meskipun begitu, dia tetap mendoakan yang terbaik untuk kedua teman dekatnya itu apapun yang terjadi.
"Lo berdua naik apa kesini?"
Wisnu kembali mengalihkan pembicaraan. Karena jika pembahasan tentang pernikahan Raffa tetap berlanjut, maka salah satu dari mereka akan semakin terluka.
"Gue bawa motor, boncengan sama Rania. Tapi ini ujannya malah makin gede. Mana cuma bawa mantel satu. Nanti lo apa Raffa tolong beliin mantel dulu ya buat Rania?"
"Biar Rania gue yang anter."
Sontak Rania mengangkat kepala begitu mendengar sahutan Raffa.
"Nggak usah. Aku ikut Diana aja." tolaknya.
"Ujannya gede Na. Kamu bilang sendiri lagi pusing 'kan? Nanti aku yang anter."
"Aku udah baikan setelah cuci muka di toilet tadi."
"Kamu kenapa sih Na? Seminggu yang lalu kita ketemu di minimarket, kamu biasa aja. Tapi kenapa mendadak malam ini berubah? Aku ada salah sama kamu Na? Kalau iya bilang, biar aku bisa memperbaiki kesalahanku." tak tahan dengan sikap dingin yang Rania tujukan sejak tadi, Raffa tidak bisa menahan diri dengan menunjukkan kekecewaannya secara langsung dihadapan teman-teman mereka.
"Kamu nggak ada salah dan nggak ada apapun yang perlu diperbaiki, Raffa. Maaf karena udah bikin kamu salah paham. Aku cuma lagi ngerasa bad mood aja." Rania pura-pura mengaduk minumannya. Sementara Raffa hanya bisa menghela nafas.
"Pulang sama aku nanti dan nggak ada penolakan." putusnya yang membuat Rania tidak bisa berkutik dan hanya bisa menghela pasrah.
***
PART 7
***
***
Rania memilih pura-pura tidur dengan posisi kepala miring ke arah jendela. Di luar hujan masih deras. Sebenarnya dia tak tega membiarkan Diana pulang sendirian tetapi sahabat dekatnya itu tidak keberatan sama sekali. Justru mendukung dirinya pulang bersama Raffa. Bukan semata-mata karena hujan yang masih mengguyur ibu kota, tetapi juga untuk mengusaikan segala rasa yang dirinya pendam nyaris 10 tahun ini.
Raffa harus tahu. Sungguh, dia bukan bermaksud untuk mengacaukan pernikahan pria itu. Hanya ingin Raffa tahu tentang perasaan yang dirinya pendam selama hampir 10 tahun, supaya dia bisa melepaskan sosok itu di hatinya dengan ikhlas tanpa beban berat yang menghimpit dadanya.
"Aku tahu kamu pura-pura tidur, Na."
Raffa mengatakannya secara gamblang. Pria itu melirik sekilas wanita disisinya sebelum memfokuskan kembali pandangan ke arah jalanan. Sedang dalam hati, Rania sibuk mengumat--sesuatu yang tidak seharusnya dirinya lakukan. Wanita itu memang berniat berbicara pada Raffa. Tapi nanti ketika mereka hampir tiba di rumahnya. Bukan sekarang di saat jarak masih cukup jauh.
"Buka mata kamu Na. Akting kamu cukup buruk untuk mengelabuhiku."
Mendengus kasar, Rania akhirnya membuka mata yang membuat sudut-sudut bibir Raffa berkedut geli.
"Kamu nggak bakat jadi artis Na. Mungkin kamu bisa menipu orang lain, tapi tidak berlaku untukku."
"Jangan terlalu percaya diri, Raffa! Kamu tidak benar-benar tahu semua hal tentangku." karena jika pria itu mengetahui tentangnya dengan baik, mana mungkin Raffa tidak tahu tentang perasaan yang berusaha dirinya pendam selama ini.
"Apa yang nggak aku tahu Na? Kamu bisa memberitahuku sekarang." Raffa menoleh ke samping sambil tersenyum manis. Berbeda dari ekspresi hangat yang pria itu beri, Rania justru memberikan ekspresi datar dengan tangan mengepal kuat disisi tubuh.
"Kamu nggak perlu tahu semua hal tentangku, Raffa. Lagipula apa gunanya mengetahui segalanya tapi kamu sendiri nggak pernah sekalipun berusaha memahamiku."
"Kamu lagi dapet Na? Aku rasa sikap kamu berbeda dari biasanya. Atau memang efek pusing membuat kamu seperti ini?"
"Memang biasanya aku seperti apa? Setelah lulus SMA kita bahkan sudah jarang bertemu. Sikap dan sifat manusia bisa berubah kapanpun, begitu juga denganku Raffa. Nyatanya kamu belum mengenalku dengan baik 'kan?"
Menghela nafas cukup panjang, Raffa memberi anggukkan singkat. "Sepertinya begitu. Karena baru malam ini kamu bersikap dingin."
Tidak ada yang salah dengan perkataan pria itu, hanya saja perkataan selanjutnya lah yang membuat Rania terpaksa menahan nafas untuk beberapa saat.
"Kamu terlihat seperti biasa saat aku datang. Tapi setelah kembali dari kamar mandi mendadak kamu berubah, Na. Kenapa? Apa ada sangkut pautnya dengan kabar pernikahanku? Kalau dipikir-pikir, kamu sama yang lain juga tidak begitu tertarik dengan kabar yang aku kasih."
Tepat sasaran.
Sekarang Rania justru dibuat kalang kabut sendiri dengan perkataan Raffa barusan. Jadi pria itu menyadari keanehan di meja makan beberapa waktu yang lalu? Tapi kenapa bertingkah jika semua baik-baik saja. Atau memang Raffa pandai menyembunyikan perasaan pria itu dari orang lain?
"Jadi benar?" Raffa tidak bisa menyembunyikan senyuman kecut dan juga kekecewaannya. "Kenapa Na? Ah, atau kalian merasa tidak senang karena aku mendahului kalian ya?" alih-alih membuat suasana kian tegang, pria itu memilih menyelipkan canda. Terlebih saat mendapati kediaman wanita disisinya.
"Kayaknya kamu nggak bisa menggunakan alasan 'bad mood' untuk menolak bicara denganku."
"Sudah berapa tahun kamu sama Lusi menjalin hubungan?"
"Ya?" Raffa tampak bingung. Pria itu menoleh dengan kerutan dahi yang begitu jelas.
"Jawab Raffa!"
"Em, sudah sekitar 6 tahun. Kenapa tiba-tiba nanya tentang itu?"
6 tahun banding 10 tahun. Ah, tentu rekor terlama masih dipegang dirinya yang mencintai pria itu nyaris sepuluh tahun lamanya.
"Aku cuma mau tahu," Rania memalingkan wajah ke jendela. Memainkan jemarinya disana.
"Apa yang membuat kamu jatuh cinta ke Lusi, Raf?"
"Apa aku harus menjawabnya di saat kamu sendiri enggan menjawab pertanyaanku?" sindiran dari mulut Raffa benar-benar langsung masuk ke telinga Rania. Sayangnya wanita itu tampak santai dan tidak diambil pusing sama sekali.
"Karena kamu harus jawab pertanyaanku lebih dulu kalau memang ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang kamu kasih."
"Em, Lusi perempuan yang baik."
"Hanya itu? Jika iya, kebanyakan wanita juga baik." Rania sempat memberikan lirikan sadis yang membuat Raffa harus menahan senyum gelinya alih-alih merasa ngeri.
"Dia dewasa juga. Mandiri, pintar masak, dan yang pasti tidak galak seperti kamu sama Diana." kekeh Raffa yang berniat menghibur tapi yang ada membuat Rania semakin jengkel saja.
"Aku nggak segalak yang kamu kira!"
"Ya, kegalakan kamu masuk ke dalam versi manis. Jadi bukannya takut, orang-orang justru dibuat gemas sama tingkah kamu itu."
Rania memutar bola mata. Tidak merasa tersanjung sama sekali.
"Tolong serius Raffa!"
"Aku serius Na. Memangnya kamu lihat aku ketawa?" Rania mendengus lalu melipat tangan di depan dada.
"Kalau begitu jawab pertanyaanku, Raf. Apa kamu pernah menyukaiku? Suka bukan dalam artian teman. Tapi lebih dari itu. Apa kamu pernah merasakannya meskipun hanya sebentar saja?" pandangannya berubah sendu. Begitu juga dengan Raffa yang langsung menghentikan laju mobilnya ketika mendengar pertanyaan Rania barusan. Beruntunglah karena jalanan sangat sepi hingga tidak ada klakson beruntun yang memprotes aksinya itu.
"Apa kamu pernah menyukaiku Raffa?" Rania mengulangi sekali lagi.
"Na,"
"Jawab saja! Apa begitu susahnya mengatakan ya atau tidak?" tanyanya dengan nada setengah membentak.
Menghela nafas panjang, Raffa mencengkram kuat stir kemudi dalam genggamannya. Pria itu menundukkan wajah dengan mata terpejam.
"Kenapa menanyakannya Na?" lirihnya yang kemudian menggerakkan kepala perlahan menatap wanita disisinya.
"Tidak pernah 'kan? Jawab aku Raffa!" seru Rania dengan tenggorokan tercekat. "Perhatian yang kamu beri selama ini, itu hanya bentuk perhatian seorang teman?" ia tersenyum getir sembari menengadahkan kepala demi menahan bulir air mata.
"Bagaimana bisa aku bertingkah sebodoh itu sampai beranggapan kamu menyukaiku hanya karena perhatian yang tak seberapa itu." katanya yang memberi penekanan di akhir kalimat.
"Aku pernah menyukaimu, Na. Lebih dari seorang teman." aku Raffa akhirnya yang seketika membuat bola mata Rania membelalak kaget.
Raffa menyukainya. Tapi kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?
"Aku sangat menyukaimu Na, sampai membuatku takut kehilangan kamu. Bukan tidak mau mengatakannya, aku hanya tidak mau jika kita menjalin hubungan lalu berjalan tidak sesuai harapan, maka pertemanan yang kita jalin selama ini akan hancur. Aku pikir menjadi seorang teman sudah lebih dari cukup. Karena hanya dengan begitu hubungan kita akan tetap baik-baik saja." seolah bisa menjawab jalan pikirannya, Raffa memberikan penjelasan yang membuat Rania akhirnya mengerti.
"Tapi asal kamu tahu Raffa, tidak semua pertemanan hancur hanya karena adanya status mantan diantara mereka." Rania menghela nafas.
"Apa kamu tahu tentang perasaanku selama ini?" tanyanya dengan nada rendah. Dan saat mendapati anggukan Raffa, Rania tak mampu menahan bulir air matanya. Namun wanita itu buru-buru menghapusnya.
Raffa jelas tidak sebodoh itu 'kan? Dengan semua ledekan teman-teman mereka, sangat tidak mungkin jika pria itu tidak menyadarinya. Raffa--pria itu ternyata hanya pura-pura bodoh selama ini. Entah kenapa menyadari fakta itu membuat dadanya berdenyut nyeri.
"Sejak kapan?"
"Sejak dulu, Na."
Rasanya Rania ingin menertawakan kebodohannya selama ini. Sayang sekali karena sekarang dia tidak mampu berkata-kata. Tenggorokannya tercekat. Dadanya juga sangat sesak. Untuk membuka suara saja rasanya begitu sulit.
"Maafkan aku, Na."
Maaf?
Satelah nyaris 10 tahun pria itu membuatnya seperti wanita bodoh.
Memang salahnya sendiri yang masih saja menyukai Raffa. Dia tidak keberatan menghabiskan waktunya untuk mencintai pria itu selama bertahun-tahun. Tapi yang membuatnya teramat kecewa adalah fakta jika Raffa sudah mengetahuinya sejak awal namun memilih berpura-pura tidak tahu apapun yang membuatnya seperti wanita bodoh.
"Ak--aku menyukaimu Raffa. Bahkan sialannya sampai detik ini pun aku masih mempertahankannya. Ah bukan. Aku sudah sering mencoba melupakannya tapi tidak pernah bisa. Kamu tenang saja, karena mulai sekarang aku bertekad untuk menyingikirkannya setelah kamu memberitahuku akan menikah."
Mengingat Raffa yang terlihat antusias mengatakan rencana pernikahan pria itu sementara disisi lain mengetahui perasaannya, mendadak kembali membuat dadanya dilanda sesak.
"Maaf jika perasaanku ini membuat kamu merasa bersalah dan kurang nyaman. Aku hanya ingin mengakuinya sebelum benar-benar membuka lembaran baru." Rania memaksakan seulas senyum. "Jujur, aku merasa malu karena ketahuan menyukaimu dalam diam. Aku juga kecewa sama kamu Raf karena memilih tetap diam dan membuatku seperti orang bodoh."
"Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu Na."
Rania mengangguk mengerti. "Tapi aku yang berpikir begitu, Raffa."
"Na, aku--"
"Semua salahku, kamu tidak perlu merasa bersalah Raf. Karena aku sendirilah yang memilih buat mencintai kamu." kali ini Rania tersenyum manis. Wanita itu menepuk pelan lengan pria disisinya.
"Aku merasa lega karena sudah mengatakannya. Dengan begini, aku yakin bisa membuka lembaran baru. Sama seperti kamu Raf." ia berujar tulus. Percuma jika saling menyalahkan karena waktu pun tidak bisa mereka putar kembali. Sekarang dia sudah tahu jika Raffa pernah menyukainya yang artinya cintanya tidak pernah bertepuk sebelah tangan. Itu sudah lebih dari cukup.
"Terima kasih sudah mencintaiku Na. Maaf karena diamku justru menyakitimu." ujar Raffa penuh sesal.
"Nggak apa-apa. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri yang mencari penyakit. Sudah tahu kamu berhubungan dengan Lusi, tapi aku keras kepala dan tetap menyukai kamu."
"Maafkan aku Na."
"Ya ampun Raffa! Aku udah nggak apa-apa serius. Justru sekarang ngerasa lega karena udah jujur. Kata Diana, lebih baik kita mengakui meskipun ditolak. Dengan begitu melupakan akan terasa mudah." Rania menepuk-nepuk lengan Raffa.
"Aku cuma mau jujur aja sama kamu. Sama sekali nggak ada niatan ngebuat kamu merasa bersalah apalagi berniat mengacaukan pernikahan kamu sebagai orang ketiga." kekehnya.
"Na ma--"
"Mending lanjut jalan aja deh Raf ketimbang ngerasa bersalah terus." omelnya. "Aku memang kecewa karena kamu nggak bilang dari awal dan membuatku tampak bodoh. Tapi kalau dipikir-pikir, aku memang sudah bodoh sejak awal. Menyukai orang dalam diam-diam selama bertahun-tahun termasuk kebodohan 'kan? Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah lagi." ia mencoba bersikap santai.
"Jalan sekarang atau aku nggak mau lagi temenan sama kamu?!"
Raffa menghela pendek sebelum kemudian melajukan mobilnya.
"Sejujurnya, aku tidak bisa berhenti merasa bersalah Na. Aku pikir kamu sudah tidak menyukaiku lagi. Maaf."
Dan rasa bersalahnya kian memuncak karena menjadikan Rania sebagai teman pertama yang dirinya beritahu perihal kabar pernikahannya. Dengan ekspresi yang begitu semangat pula.
"Nggak usah minta maaf lagi, Raffa. Aku bosan dengernya. Lagian aku lagi ada ditahap move on." ujar Rania jumawa meskipun kalau boleh jujur, hatinya masih tidak baik-baik saja.
"Na, aku minta maaf."
Raffa mengaduh begitu lengannya menjadi sasaran empuk tabokan Rania yang cukup keras.
"Lebih baik kamu diam! Aku mau tidur."
Kembali memposiskan tubuhnya miring ke arah jendela, Rania memejamkan mata dengan tangan terlipat di depan dada. Berbicara dengan Raffa hanya akan membuatnya semakin merasa malu meskipun ada kelegaan di hatinya.
Dan ya, inilah akhir perjalanan cinta dalam diamnya.
Berakhir sebagai tamu undangan.
***
PART 8
***
Rania duduk bersandar pada kepala ranjang sambil membaca novel yang sampulnya cukup lecek. Dia sudah berulang kali membacanya namun tak pernah menemukan kata bosan. Sementara disisinya, ada Diana yang baru kembali dari dapur. Mengambil minum katanya. Mungkin sudah ada 20 menitan Diana tiba di rumahnya. Tadi mereka sempat ngobrol cukup lama bersama orang tuanya di lantai bawah sebelum akhirnya pergi ke kamar. Yang menjadi tempat paling nyaman untuk mengobrol banyak hal.
Termasuk tentang pengakuannya semalam. Dia hanya mengirim chat pada Diana kalau tadi malam sudah mengakui perasaannya ke Raffa sebelum memilih mematikan data seluler. Dia juga sudah menduga jika esok harinya Diana pasti datang ke rumah untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Tapi siapa yang menyangka jika sahabatnya itu justru tidak menerornya dengan berbagai pertanyaan. Malahan cenderung santai.
"Raffa bilang apa aja ke lo, Na? Dia nggak cuma planga-plongo doang 'kan pas lo ngaku?"
Diana melipat kakinya. Bersiap mendengarkan cerita selengkapnya mengenai kisah cinta kedua teman dekatnya. Jujur saja, menahan diri untuk tidak mengoreknya dihadapan orang tua Rania jelas lah ujian berat. Dia bukan tidak penasaran. Sangat malahan. Hanya saja berusaha menahan diri sampai menemukan waktu yang pas. Dan sekarang lah saatnya.
Rania menutup novel yang dibacanya dibarengi helaan nafas. Dadanya mendadak kembali sesak ketika memori otaknya memutar kembali pengakuan Raffa semalam.
"Dia pernah suka sama gue, Di."
"Hah?"
Diana menggeser tubuhnya kian mendekat.
"Raffa pernah suka sama lo?" tanyanya memastikan apa yang barusan didengarnya. Dan saat mendapati anggukkan Rania, Diana langung berdecak jengkel.
"Alasan kenapa Raffa nggak pernah bilang, apa lo juga dikasih tahu?"
"Alasannya klise. Dia nggak mau pertemanan kita hancur kalau akhirnya ada status mantan diantara kita."
"GOBLOK!!" maki Diana yang selang beberapa detik langsung memamerkan cengiran lebarnya. "Bukan lo yang goblok, Ran. Maksudnya tadi buat si Raffa."
Rania menggelengkan kepala.
"Dia juga bilang kalau selama ini udah tahu tentang perasaan gue. Raffa bukannya nggak peka seperti yang kita pikirkan, karena ternyata sejak awal dia udah tahu segalanya dan fakta itu ngebikin gue kayak orang bodoh."
Diana kembali mengumpat. Peduli setan dengan dosanya karena tak mampu menahan godaan mulut supaya tidak berkata kasar. Seandainya bisa request, dia minta dosa-dosanya itu dilimpahkan saja ke Raffa. Karena pria itulah yang membuatnya terpaksa menodai mulut manisnya.
"Si Raffa tololnya kenapa nggak ketulungan sih!" decaknya sambil membuat gerakan di udara seolah sedang meremas-remas tubuh Raffa.
"Kalau dia takut pertemanan kita hancur, ya udah tinggal nggak usah putus dari lo. Itu pun tergantung si bego Raffa, dia bisa setia apa nggak. Kalo lo sih nggak usah ditanya, setianya bikin gue gedeg tahu nggak sih, Ran. Bisa-bisanya masih cinta sama si bego Raffa." niat hati mau mengumpati Raffa seorang, siapa sangka kalau Rania ikut-ikutan terseret juga pada akhirnya.
"Ya emang gue mau kayak gitu," Rania menghela panjang. "Gue udah usaha Di, nyoba deket sama cowok lain juga. Tapi hasilnya apa? Nggak ada. Gagal semua. Gue nggak bisa ngebohongi diri sendiri lagi, karena nyatanya cuma Raffa yang gue mau."
"Tapi lo tahu apa yang akhirnya terjadi 'kan, Ran? Raffa mau nikah. Apa lo masih mau terus-terusan cinta sama dia?"
Rania menggeleng. "Enggak. Gue bakal buka lembaran baru. Tanpa nama Raffa lagi disana."
"Lo yakin?" Diana bertanya dengan nada melembut yang diangguki wanita dihadapannya.
"Sangat yakin, Di. Selama ini gue bertahan karena berpikir kalau suatu saat takdir akan menyatukan gue sama Raffa sekalipun saat ini dia memiliki seseorang disisinya. Katanya, selama janur kuning belum melengkung, maka masih ada kesempatan untuk bersama. Tapi setelah tahu Raffa akan menikah, gue sadar kalau inilah akhirnya. Gue cuma nemuin jalan buntu, yang artinya gue nggak bisa lagi nerusin langkah. Tapi gue masih bisa balik arah 'kan? Memang akan terasa melelahkan dan menyiksa. Tapi kalau akhirnya gue menemukan jalan menuju gerbang kebahagiaan, gue nggak masalah melalui semua kesulitan itu Di."
Diana tersenyum haru dengan mata yang berkaca-kaca, lalu ia membawa Rania ke dalam pelukannya.
"Gue bingung mau ngatain lo bodoh atau pinter, Ran. Tapi yang pasti, lo sangat berharga. Karena nggak semua wanita memiliki perasaan setulus lo, termasuk gue. Raffa terlalu bego untuk seseorang yang seluar biasa diri lo, Ran." pada akhirnya isakan Diana pecah yang membuat Rania menetesakan air mata dengan posisi keduanya masih berpelukan.
"Lo berhak dapetin seseorang yang jauh lebih baik dari Raffa. Dia aja bisa move on cepet sampai bisa pacaran sama Lusi bertahun-tahun, gue yakin kalo lo juga bisa."
Rania mengangguk sembari mengusap air matanya begitu melepas pelukan mereka.
"Bukan cuma gue, tapi lo juga Di. Karena gue pengin kita nikah barengan."
"Ini jodoh kita lagi pada dimana ya Ran? Gue khawatir mereka nyasar gara-gara nggak tahu alamat kita. Parahnya kalau dapet alamat palsu. Ngalamat kita dapetnya duda, Ran." Diana bergidik ngeri dengan perkataannya sendiri sembari menghapus sisa-sisa air matanya.
"Tapi kalau dudanya kayak Song Joong Ki sih gue nggak keberatan ya," lanjutnya sambil senyum sumringah memikirkan mantan suami dari Song Hye Kyo itu. Sementara Rania memutar bola mata jengah.
"Nggak apa-apa lah duda Di, asal tipenya yang sawit."
"Hah?" Diana menaikkan kedua alisnya. "Tipe sawit gimana maksudnya?"
"Sarang duit." Rania menyengir lebar sambil menaik-turunkan alis menggoda.
"Ya udah cari sugar daddy aja yuk?" ajak Diana yang tak kalah semangat. Keduanya seolah lupa kalau beberapa waktu lalu baru saja menangis sambil berpelukan.
"Sekarang kan banyak aplikasi ajang pencarian jodoh. Nggak harus ngikut acara reality show di tv-tv. Siapa tahu kita dapet bule yang banyak duitnya pula."
Rania langsung mendorong dahi Diana dengan jari telunjuk.
"Nggak ada! Takut kena tipu. Lagian gue sukanya juga yang lokal-lokal." ucapnya yang kembali meraih novel yang tergeletak di ranjang.
Diana hanya bisa menghela nafas panjang sebelum membiarkan tubuhnya terlentang di atas kasur milik Rania.
"Nggak asyik lo, Ran."
Rania hanya mengedik santai.
*
Rania menggosok telapak tangannya sambil berjalan menghampiri gerobak abang penjual mie ayam yang biasa keliling kompleks. Hujan baru saja reda, setelah dari dua jam siang ibu kota diguyur hujan yang cukup deras. Di cuaca yang dingin ini, bayangan semangkuk mie ayam dengan kepulan asap di sore hari, terasa begitu menggugah selera.
"Pak Min, pesan mie ayam nya tiga. Dibungkus ya Pak." Rania mengatakan pesanannya pada abang penjual--ah, ralat. Maksudnya bapak penjual. Mengingat usia Pak Amin yang sudah tidak tergolong muda lagi.
"Siap Mbak Nia. Tunggu sebentar ya? Silahkan duduk dulu. Itu masih ada sisa satu kursi di samping Mas Adrian. Ini saya mau buatkan pesanan punya Pak RT dulu, udah ditungguin dari tadi."
"Ya, Pak."
Rania memiringkan kepala hanya untuk melihat pria yang tampak serius menyantap mie ayam Pak Amin. Pria itu tidak meliriknya sama sekali.
Ah, memang kenapa kalau tidak meliriknya? Bahkan selama ini mereka juga tidak pernah bertegur sapa. Kecuali hari dimana pria itu menolongnya.
Menghela pendek, Rania memutari gerobak sebelum kemudian menarik kursi di sebelah Adrian. Disana hanya ada mereka berdua dan Pak Amin. Tadi dia tidak sempat memperhatikan jika ada Adrian disana, sebelum akhirnya nama pria itu disebut lalu menarik eksistensinya.
"Kenapa liatin terus? Karena saya ganteng?"
Rania mengerjapkan mata begitu Adrian menatap kearahnya. Lalu ia buru-buru memalingkan wajah karena ketahuan memandangi pria itu sejak tadi. Dia pikir Adrian tidak memperhatikan karena sejak kedatangannya, pria itu tidak menoleh sedikit pun.
Dan apa tadi katanya? Pria itu ganteng?
"Ah, memang."
"Jadi kamu mengakui kalau saya memang ganteng?" sudut-sudut bibir Adrian berkedut geli. Sementara Rania justru kebingungan sendiri karena dia merasa tidak mengatakan apapun.
"Maksudnya?"
"Tadi saya nanya kenapa kamu lihatin saya terus, apa karena saya ganteng? Barusan kamu jawab ah memang." Adrian menirukan nada bicara Rania. "Artinya saya memang ganteng, begitu 'kan?"
"Eh, tapi saya ngomongnya dalam hati."
Adrian jelas tak mampu menahan tawa mendengar jawaban polos wanita di sampingnya. Sementara Rania yang butuh sepersekian detik untuk memahami situasi yang terjadi, langsung menepuk bibirnya begitu menyadari kebodohan yang baru saja dirinya lakukan.
"Maaf, Mas." lirihnya sambil menggigit bibir bawah.
Adrian yang masih setengah tertawa, manggut-manggut saja.
"Saya senang kok dipuji, jadi nggak perlu minta maaf." katanya yang semakin membuat Rania malu saja. Bahkan kedua pipi wanita itu sudah merona sekarang.
Bisa-bisanya dia mempermalukan diri sendiri dihadapan seorang Adrian. Seolah tak cukup membuatnya malu dengan insiden ban bocor, takdir kembali membuatnya kehilangan muka dihadapan pria itu.
"Gimana Mbak Nia nggak kesengsem, orang Mas Adrian saja mirip aktor ftv, ya 'kan Mbak?"
Pak Amin yang sedari tadi sibuk meracik dan ikut tersenyum geli mendengar percakapan anak muda di sampingnya, tiba-tiba ikut menyeletuk.
"Saya nggak tahu, Pak. Soalnya nggak pernah nonton ftv." Rania memalingkan wajah dengan pipi yang semakin merona saja.
"Terus nontonnya apa Mbak? Upin-Ipin ya? Soalnya saya juga suka nontonin itu gara-gara awalnya ngikutin cucu."
Duh, ini Pak Amin kenapa masih ikut-ikutan saja sih? Tidak tahu kah kalau sekarang Rania sudah seperti kepiting rebus. Ingin rasanya kabur. Atau seperti kata Ibu Susi Pudjiastuti saja sewaktu masih menjabat sebagai menteri.
TENGGELAMKAN!
Eh, tapi tenggelamkan kemana? Tidak ada sungai, apalagi laut di dekatnya. Masa iya ditenggelamkan ke dalam dada bidang Adrian yang tercetak sempurna dari balik kaos hitam ketat yang dikenakan pria itu.
ASTAGHFIRULLAH. RANIA!! OTAKNYA TOLONG DIJAGA.
Rania sibuk merutuk dalam hati karena tadi secara tidak sengaja melihat dada bidang Adrian yang tampak kekar.
Oh, astaga.
"Kenapa Nia?"
Adrian bertanya bingung karena melihat Rania tiba-tiba memukul dahi wanita itu.
"Eh, nggak apa-apa kok Mas. Tadi kayaknya ada nyamuk." Rania cengengesan salah tingkah.
"Pak Min nganter mie ayam dulu ke tempat Pak RT ya Mbak Nia?"
Rania mengangguk.
"Iya, Pak."
Rumah Pak RT tidak jauh dari tempat Pak Amin mangkal. Hanya tinggal masuk gang, rumah nomor tiga bagian kiri jalan.
"Em, Mas Adrian udah selesai?" Rania bertanya untuk basa-basi sebenarnya setelah melihat pria disisinya menaruh mangkuk ke dalam ember.
"Iya,"
Lalu pria itu kembali duduk.
Kenapa tidak pergi?
"Loh, Mas Adrian masih ada pesanan?"
Adrian menggeleng santai.
"Belum bayar."
Rania ber-ohh ria. Lalu mendadak suasana menjadi hening sampai tak lama kemudian Pak Amin datang dan langsung meracik pesanannya.
"Masih harga lama 'kan, Pak?" Adrian bertanya yang langsung diangguki Pak Amin.
"Masih dong, Mas."
"Ini sekalian sama punya Rania."
Adrian mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dompet kemudian menyerahkannya pada Pak Amin.
"Eh, nggak usah Mas. Biar saya bayar sendiri saja." tolak Rania yang ikut beranjak berdiri.
"Nggak apa-apa. Biar saya aja yang bayarin. Anggap aja traktiran."
"Nggak usah lah Mas. Saya udah banyak repotin. Malah seharusnya ini saya yang traktir. Saya jadi nggak enak loh,"
"Kalau gitu kamu traktir saya lain waktu. Gimana?"
Rania tersenyum kikuk sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
"Makasih ya, Mas. Tapi beneran besok-besok giliran saya yang traktir." dia jadi menyesal karena tadi terlalu malu untuk mengutarakan keinginannya membayarkan mie ayam Adrian sebagai ucapan terima kasih.
Adrian mengacungkan ibu jarinya.
"Nah gitu dong Mbak Nia, traktirannya diterima. Namanya juga lagi pedekate, dimaklumi. Saya juga dulu gitu ke istri, usahanya nggak main-main."
Rania meringis. Ini kenapa Pak Amin ikut-ikutan lagi sih. Sudah baik diam saja. Bukan apa-apa, masalahnya sekarang Pak Amin sedang meracik mie ayam miliknya. Kalau ayamnya kelupaan cuma dikasih sedikit atau malah parahnya terlewat, yang ada rugi dia.
Sementara Adrian yang mendengar perkataan Pak Amin langsung bereaksi dengan menggosok ujung hidung bangirnya.
"Nggak usah dikasih kembalian Pak." kata pria itu saat Pak Amin mau menyerahkan uang kertas dua ribuan.
"Makasih Mas Adrian."
"Sama-sama Pak. Makasih juga udah bikin saya kenyang." kekeh pria itu.
"Em, Mas Adrian kenapa nggak pulang?"
Rania bertanya lagi dengan raut bingung karena Adrian masih saja berdiri di dekat gerobak Pak Amin.
"Ohh, itu.. Saya lagi nungguin kamu. Kebetulan rumah kita satu arah, daripada kamu jalan bukankah lebih baik pulang bersama saja?"
Eh, apa tadi kata pria itu? Pulang bersama?
Astaga.. Sudah berapa kali pipi Rania dibuat merona begini.
"Saya jalan kaki saja Mas. Ini Pak Amin juga kayaknya masih lama."
"Udah mau selesai kok ini Mbak." celetuk Pak Amin cepat.
Ini kenapa Pak Amin ikut-ikutan segala sih?
***
PART 9
***
***
Nyaris 10 tahun lamanya menghabiskan waktu untuk mencintai seseorang yang ternyata tidak pernah mempedulikan perasaannya, kini Rania sadar jika selama ini dia telah menyia-nyiakan banyak waktu. Tidak ingin lagi meneruskan kebodohannya, Rania memutuskan untuk membuka lembaran baru. Mungkin akan terasa sulit melupakan Raffa, tapi dia yakin bahwa usaha tidak akan pernah menghianati hasil.
Dan lari pagi akan menjadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Hal yang nyaris tidak pernah Rania lakukan selama ini. Alasannya karena takut kecapean sementara dia harus tetap berangkat kerja. Padahal sebenarnya karena dia malu kalau sampai berpapasan sama tetangga. Tapi lihat lah pagi ini, seorang Rania sudah siap dengan stelan olahraga. Tentu saja hal itu menarik perhatian sang ibu yang langsung menghampirinya dengan kerutan dalam.
"Tumben mau lari pagi Ran? Biasanya Ibu nyuruh juga kamu nggak mau. Dapet pencerahan darimana semalam?"
Bibir Rania langsung manyun.
"Dari senter hape, Bu." jawabnya ngasal yang dihadiahi tabokan di lengan.
"Lari paginya jangan cuma sehari, kalau bisa minimal seminggu tiga kali. Biar sehat. Apalagi kamu jarang sekali olahraga."
Rania menghela nafas pelan. Tak ingin memperpanjang ceramah sang ibu yang dirinya yakini bisa bertahan sampai setengah jam tanpa henti, Rania memilih manggut-manggut saja.
"Kalau gitu Nia berangkat dulu Bu."
"Iya sana hati-hati."
Setelah menyalami sang ibu, Rania segera keluar dan bersiap lari pagi. Jalanan sekitaran rumahnya masih sepi, hanya ada beberapa orang saja yang berlalu lalang. Mungkin masih terlalu pagi untuk orang-orang beraktivitas di luar mengingat tadi belum genap pukul enam pagi. Tetapi dia bersyukur karena bisa lari pagi dengan nyaman tanpa perlu merasa malu karena dlihat para tetangga. Bukan apa-apa, masalahnya dia jarang atau nyaris tidak pernah olahraga. Rasanya malu jika orang lain mendapati dirinya melakukan aktivitas baru.
Uh, kenapa dia jadi memiliki kepercayaan diri yang rendah begini?
Puk.
"Astaghfirullah,"
Sontak Rania mengelus dadanya ketika merasakan tepukan seseorang di pundaknya. Ia menolehkan kepala dengan perasaan was-was. Terlebih si pelaku tidak mengatakan apapun hingga nyaris membuatnya berpikir jika yang melakukannya adalah makhluk halus. Dan saat berhasil memutar kepala ke samping, yang dirinya dapati justru cengiran lebar pria yang akhir-akhir ini sering ditemuinya. Bukan hanya bertemu tanpa bertegur sapa seperti dulu, dua hari yang lalu pria itu bahkan mengantarnya pulang ke rumah hingga dirinya dicerca beberapa pertanyaan dari sang ibu yang membuatnya nyaris kewalahan.
"Kamu pacaran sama Nak Adrian, Nia?" tanya Astri yang sengaja mengintip dari balik jendela.
"Enggak Bu."
"Terus kenapa tiba-tiba diantar sama Nak Adrian?"
"Tadi nggak sengaja ketemu pas beli mie ayam. Kebetulan Mas Adrian lagi makan disana." Rania menjawab sembari menaruh kantong keresek ke meja.
"Setahu Ibu, kalian nggak pernah ngobrol tuh kalau ketemu, malah kayak orang asing. Masa iya tiba-tiba diantar pulang tanpa sebab." Astri memicingkan mata menatap putrinya penuh kecurigaan. "Atau Nak Adrian lagi deketin kamu ya Ran?" kemudian bertanya dengan mata berbinar.
"Ibu mah setuju 100 persen kalau kamu sama Nak Adrian. Mana ganteng, punya banyak ruko, nggak neka-neko, sopan, rajin sholat di masjid pula. Pokoknya mantu idaman lah."
Rania menghela nafas. "Kami nggak ada hubungan apapun Bu. Rumah kita 'kan searah, makanya Mas Adrian ngajakin pulang bareng."
"Tuh kan, itu artinya Nak Adrian ada rasa sama kamu Nia! Dia itu lagi nyoba pendeketan makanya nawarin tumpangan."
Rania menghela lemas lalu menggeleng pelan.
"Terserah Ibu saja lah, Nia mau ambil mangkuk di dapur." ujarnya pasrah. Meninggalkan Astri yang sibuk menggerutu karena merasa putrinya tidak peka sama sekali.
"Hai! Kenapa malah bengong? Dikira saya ini hantu?"
Rania mengerjapkan mata sebelum akhirnya meringis pelan.
"Hampir berpikir seperti itu," jawabnya yang disambut kekehan pria di sampingnya.
"Ini baru pertama kali saya lihat kamu lari pagi."
"Ya, karena saya memang jarang melakukannya."
Rania berdehem pelan kemudian memalingkan wajah. Jujur saja, ditatap Adrian membuatnya sedikit gerogi. Herannya semenjak pria itu menolongnya, mereka jadi lebih sering bertemu dan melakukan interaksi. Sungguh perkembangan yang sangat pesat.
"Saya hampir setiap pagi lari-lari keliling kompleks. Maklum, saya nggak sesibuk kamu." Adrian berkata diiringi kekehan pelan.
"Mas Adrian nyindir saya?"
Rania menyipitkan mata. Namun dengan cepat Adrian mengibaskan tangan dengan raut khawatir.
"Bukan begitu maksud saya Rania." Rania berusaha menahan tawa melihat reaksi pria dihadapannya yang terlihat tak enak hati padanya. Padahal tadi niatnya hanya bercanda. "Maksudnya saya itu cuma jagain bengkel, makanya nggak sesibuk kamu."
"Ahahahaaa.. Saya nggak seserius itu kok Mas. Tadi hanya bercanda."
Entah kenapa Rania terlihat santai tertawa puas dihadapan seorang Adrian. Bahkan mereka terlihat seperti dua manusia yang sudah akrab sejak dulu. Bukan sebagai seseorang yang baru mengenal dekat.
"Ohh, saya kira." Adrian mengusap tengkuknya merasa malu.
"Ngomong-ngomong, saya baru tahu kalau Mas Adrian orangnya suka merendah."
Kali ini keduanya mengobrol sambil berlarian kecil.
"Kenapa begitu?"
"Karena Mas sendiri yang punya bengkel. Oh iya, jangan lupakan ruko-ruko yang berjejer di sampingnya. Itu semua punya Mas. Jadi kata menjaga terdengar kurang tepat. Bagaimana kalau kita menyebutnya memantau saja?"
"Darimana kamu tahu kalau itu semua milik saya?" Adrian menaikkan kedua alis. "Jangan bilang selama ini kamu diam-diam mencari tahu semua hal tentang saya?"
Rania menghentikan langkah lalu memutar bola mata sambil berkacak pinggang.
"Kan udah jadi rahasia umum."
"Ohh, saya pikir kamu nyari tahu sendiri." kekeh Adrian yang ikut berhenti.
"Ngomong-ngomong juga, kamu masih ada satu janji yang belum ditepatin."
"Apa?"
"Kamu lupa? Bukannya kamu yang bilang sendiri mau mentraktir saya?"
Rania langsung menepuk dahinya.
"Maaf. Tapi sekarang udah inget kok."
Adrian geleng-geleng kepala dengan sudut bibir berkedut geli.
"Bagaimana kalau traktirannya nanti siang? Apa kamu bisa?"
Rania berpikir sejenak sebelum memberi anggukkan kepala.
"Boleh. Tapi yang dekat sama tempat kerja ya Mas? Nanti biar saya sharelock."
"Nggak masalah." Adrian tersenyum manis yang membuat Rania sampai mengerjapkan mata sebelum akhirnya memilih memalingkan wajah.
"Ayo kita lanjutkan larinya biar kamu nggak kesiangan."
"Ya, Mas."
Mengobrol penuh keakraban bersama Adrian tidak pernah Rania pikirkan sebelumnya karena rasa-rasanya terdengar mustahil. Tapi siapa yang menyangka jika mereka bisa sampai lari pagi berdua. Ya meskipun awalnya karena ketidaksengajaan.
Adrian.. Pria itu cukup menyenangkan.
*
"Cieeeee.. Yang mau lunch sama gebetan." ledek Rani yang langsung merangkul lengan Rania.
"Nggak usah ngaco ya Ran! Nggak ada gebetan-gebetan."
"Terus kalau bukan gebetan apa dong Mbak?"
"Mbak cuma mau balas budi karena udah dibantuin pas ban motor Mbak bocor waktu itu."
"Ah masa?" Rani menoel lengan Rania dengan ekspresi jahil.
"Apaan sih Ran?! Nggak ada apa-apa Mbak sama Mas Adrian."
Pipi Rania bahkan sampai bersemu yang semakin gencar membuat Rani gencar menggodanya.
"Ada apa-apanya juga nggak masalah. Sama-sama jomblo 'kan?"
"Mana Mbak tahu. Kan nggak pernah nanya. Mungkin udah ada calon."
"Ish, nggak boleh gitu lah Mbak. Doa itu harusnya yang baik-baik. Siapa tahu loh Mbak, beneran jodohnya. Jadinya pacarku lima langkah dong nanti?" Rani tertawa puas.
"Sayangnya jarak rumah Mbak sama Mas Adrian lebih dari lima langkah tuh."
"Ya kan perumpaan Mbak,"
Rani melepas rangkulannya begitu mereka sampai di halaman kantor.
"Kamu mending ikut sama Mbak aja deh Ran, ketimbang pergi makan siang sendiri."
"Ih, nggak mau lah aku jadi pengganggu dua orang yang lagi pedekate. Lagian aku tuh lagi ngiler makan siang sama nasi padang, Mbak."
Rani mengaduh pelan saat Rania menyentil dahinya.
"Mbak cuma mau nepatin janji sekalian balas budi, nggak lebih."
"Ya, ya, ya.. Terserah Mbak Nia aja lah nyebutnya apa. Udah gih sana pergi Mbak. Kasihan kalau gebetannya sampai nungguin lama."
Rania memberikan pelototan yang justru disambut Rani dengan gelak tawa puas.
"Kalau gitu Mbak duluan Ran."
"Iya Mbak hati-hati. Semoga sukses." Rani kembali tertawa yang Rania balas dengan kibasan tangan di udara.
Tidak sampai lima menit, Rania sudah sampai di resto yang akan menjadi tempat makan siangnya bersama Adrian. Wanita itu menyisir seluruh penjuru ruangan sampai akhirnya menemukan sosok Adrian. Ia tersenyum tipis saat pria itu melihat kearahnya sambil melambaikan tangan.
"Maaf ya Mas jadi nunggu lama. Tadi ada laporan yang harus dikelarin dulu soalnya udah ditungguin sama atasan."
Rania menarik kursi dihadapan Adrian.
"Saya juga belum lama kok tenang saja." Rania mengulas senyum tipis. Lalu keduanya menyebutkan pesanan masing-masing saat seorang pelayan menghampiri meja mereka.
"Udah lama kerja di kantor yang sekarang Ran?"
"Jalan 4 tahun ini Mas."
"Lumayan lama,"
Rania mengulas senyum.
"Kalau boleh tahu, kenapa Mas Adrian memilih buat jadi anak rantau?"
"Sebenarnya dulu saya sempat tinggal di Jakarta ikut sama orang tua dari Mamah. Karena sekarang mereka udah nggak ada dan kebetulan ruko udah jadi hak milik saya semua, jadi ya udah mutusin menetap di Jakarta."
"Jadi Mas Adrian ini cucu satu-satunya?"
Adrian mengangguk. "Karena Mamah nggak punya saudara dan kebetulan saya juga anak tunggal. Tapi kalau dari keluarga Papah lain cerita, karena Papah 4 bersaudara dan semua punya anak lebih dari satu." kekehnya.
"Kenapa orang tua Mas nggak tinggal di Jakarta juga biar nggak jauh-jauhan lagi? Mana Mas Adrian anak tunggal, pasti mereka kesepian. Ibu yang ada saya di rumah saja sering ngerasa gitu."
"Papah ada usaha di Solo, Mamah juga masih ngajar disana. Paling kesini sesekali. Sebenarnya nggak bisa dibilang kesepian, karena anak-anak Om sama Budhe sering nginep di rumah. Malah ada yang hampir tiap malem. Tapi namanya orang tua, tetap aja ujungnya minta cucu secepatnya." kedua tertawa bersama.
"Anehnya minta cucu di saat kita aja belum nikah, nanti giliran dikasih cucu tanpa mantu yang ada dicoret dari kartu keluarga." Rania menimpali yang diangguki setuju oleh Adrian.
"Orang tua kadang seaneh itu."
"Benar Mas."
Keduanya saling terpaku dan membiarkan pandangan mereka terus bertemu dengan senyum yang terhias di wajah masing-masing.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Dan di detik selanjutnya mereka tersadar lalu serempak memalingkan wajah. Berbeda dari Rania yang langsung berdehem pelan, Adrian memilih menggosok ujung hidung bangirnya salah tingkah.
Uh, kenapa mereka malah jadi malu-malu kucing begini?
***
Sudah sebulan lebih sejak Rania berusaha membuka lembaran baru dan sekarang dia merasa jauh lebih baik dari dua minggu pertama yang dirinya isi dengan tangisan setiap mengingat kebersamannya dengan Raffa. Melupakan seseorang yang kita cintai selama bertahun-tahun memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tadi dia cukup bangga dengan usahanya hampir dua bulan terakhir ini. Hatinya sudah mulai sanggup melepaskan Raffa. Bahkan akhir-akhir ini dia juga semakin sering bertemu dengan Adrian. Sesekali pria itu juga mengajak makan siang yang tidak bisa dirinya tolak tentu saja.
Jangan berpikir macam-macam. Hubungan diantara merasa hanya sebatas teman. Tapi kalau akhirnya lebih dari itu, dia tidak akan menolak. Bukankah untuk melupakan seseorang kita perlu membuka hati untuk orang lain? Dan dia merasa Adrian sosok yang tepat. Mengobrol bersama pria itu ternyata sangat menyenangkan. Dia jadi menyesalkan kenapa mereka tidak dekat sejak dulu saja.
Dan ngomong-ngomong tentang Raffa, pria itu tidak ada kabarnya lagi setelah pengakuannya malam itu. Mungkin masih merasa tak enak hati padanya. Oh iya, Diana juga sudah balik ke Jogja setelah 4 hari berada di Jakarta. Dan grup ceriwis berubah seperti kuburan. Sepi.
"Ini kenapa kalau malam minggu mesti hujan sih?" Rania mendumel sembari menuruni anak tangga di rumahnya. "Apa doa para jomblo di luaran sana ya? Biar yang punya pacar gagal pergi kencan." kekehnya yang segera melarikan kaki ke dapur.
Dia berniat membuat mie kuah rasa soto. Hujan-hujan begini memang paling nikmat makan sesuatu yang berkuah. Dan berhubung tidak memungkinkan dirinya keluar membeli bakso atau mie ayam, jadi dia memutuskan memasak seadanya saja.
Ngomong-ngomong, dia sendirian di rumah. Orang tuanya sedang pergi ke rumah sanak saudara sejak sore. Tadinya mau pulang sehabis maghrib, tapi karena kebentur hujan yang cukup deras, ayahnya mengiriminya pesan yang kemungkinan pulang telat sambil menunggu hujan reda.
Tok. Tok. Tok.
Rania yang sudah bersiap menyalakan kompor, mengurungkan niat begitu mendengar ketukan pintu.
Tok. Tok. Tok.
"Aku tidak salah dengar," gumamnya yang kemudian melangkah ke depan. "Katanya pulang telat, tapi kenapa Ayah sama Ibu udah pulang? Padahal hujan di luar masih deras."
Tok. Tok. Tok.
"Iya tunggu sebentar."
Rania memutar kunci sebelum bergerak menarik gagang pintu.
"Ayah bilang pul--Raffa?!" ia bergerak mundur dengan wajah terkejut lalu meneliti pria itu dari atas sampai bawah demi memastikan penglihatannya.
"Raffa?" ulangnya sekali lagi. Ia perhatian pria dihadapannya yang tampak basah kuyup.
Bugh.
"Apa-apaan kamu Raf?!" suara Rania memekik kaget karena Raffa tiba-tiba berjongkok dihadapannya.
"Berdiri Raffa!"
Pria itu menggeleng dengan kepala menunduk.
"Apa yang sedang kamu lakukan?! Kenapa tiba-tiba datang ke rumah seperti ini?"
Jujur Rania merasa takut dan ngeri karena Raffa tidak pernah terlihat seburuk ini.
"Raffa! Kamu denger aku 'kan? Hujan nggak bikin kamu tuli 'kan Raf?!"
"RAFFA!!!"
"Menikah denganku Na,"
Bola mata Rania membulat.
"Kamu gila?!" makinya yang sialannya justru diangguki Raffa.
"Menikah denganku Rania. Jika kamu mau, aku bersumpah akan mempertaruhkan seluruh hidupku untukmu Na. Apapun. Apapun yang kamu minta, akan aku lakukan. Jadi, menikahlah denganku Na."
"Sinting kamu Raffa!"
Setelah nyaris dua bulan tanpa kabar, pria itu tiba-tiba datang dan meminta hal gila padanya. Akan menjadi luar biasa jika status mereka adalah sepasang kekasih. Tapi kenyataannya mereka hanyalah teman dekat yang pernah saling menyukai tanpa mengungkapkan. Dan bagian paling gilanya adalah Raffa yang sekitar 2 minggu lagi akan menikahi sang pujaan hati, namun malam ini tiba-tiba datang untuk mengajaknya menikah?
Sebenarnya setan jenis apa yang sedang merasuki diri Raffa saat ini?
"Tolong menikah denganku Na, aku mohon.."
RAFFA BENAR-BENAR GILA!!
***
PART 10
***
Entah sudah berapa kali Raffa menghela napas dibalik meja kerjanya. Pikirannya sedang tak fokus pada setumpuk pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan. Percakapannya bersama Rania dua hari yang lalu masih terus terngiang. Terlebih saat dia tahu jika perasaan Rania untuknya ternyata tak pernah berubah dan hal itu kian membuatnya merasa bersalah.
Seandainya dulu dia berani berkata jujur mengenai perasaannya lalu mereka membuat kesepakatan untuk tetap menjadi seorang teman, mungkin rasa kecewa Rania tidak akan sebesar ini. Dia hanya takut mereka tidak mampu bertahan dalam sebuah hubungan lebih dari seorang teman, kemudian pertemanan diantara mereka menjadi taruhannya. Bukankah kasus-kasus seperti itu sudah banyak terjadi? Dan dia tidak mau menjadi salah satunya.
Karena demi apapun dia sangat menyayangi Rania bahkan melebihi teman-temannya yang lain. Kehilangan wanita itu sebagai teman tentu menjadi momok mengerikan. Sampai akhirnya dia dipertemukan dengan Lusi. Sikap lembut wanita itu dan juga kedewasaannya mampu menggoyahkan hatinya. Namun secuil sayang pun tak pernah dirinya hilangkan untuk seorang Rania. Dia menyayangi wanita itu seperti saudara sendiri.
Namun kemudian dia sadar bahwa keputusannya untuk pura-pura tidak mengetahui perasaan Rania ternyata menjadi boomerang. Pertemanan yang ia jaga sepenuh hati nyaris hancur karena kebodohannya.
Raffa menghela nafas sekali lagi dengan bola mata yang terus mengarah pada layar ponsel yang menampilkan foto dirinya bersama Rania dalam balutan seragam OSIS.
"Maafin aku Na," ucapnya lirih.
"Aku terlalu mempedulikan pertemanan kita sampai nggak sadar kalau apa yang aku lakuin justru menyakiti kamu, Na."
Tok. Tok. Tok.
"Masuk."
Raffa menaruh kembali ponselnya ke meja begitu mendengar derit pintu terbuka yang menampilkan sosok asistennya.
"Maaf Pak mengganggu, di luar ada tunangan Bapak."
"Suruh Lusi masuk, Nes." titahnya yang diangguki Innes.
"Baik Pak. Kalau begitu saya permisi."
Raffa mengangguk dengan seulas senyum tipis.
"Mas,"
Tidak berselang lama, wanita yang disebutkan Innes masuk ke dalam ruangan dengan senyum lembut yang menenangkan. Raffa kemudian menghampiri wanita yang telah dipacarinya selama 6 tahun terakhir--lebih tepatnya calon istri.
"Kenapa nggak bilang kalau mau ke kantor?" tanyanya setelah memberikan pelukan singkat.
"Sebenarnya nggak sengaja lewat makanya mampir, Mas."
Lusi beranjak duduk di sofa yang diikuti oleh Raffa.
"Tadi sempet ketemu juga sama Bu Salma di bawah. Katanya mau nganter makan siang buat Pak Radit. Beliau masih cantik banget ya Mas? Padahal kelihatannya seumuran sama Mamah loh, tapi muka Bu Salma tuh kayak 10 tahun lebih muda dari usianya."
Raffa terkekeh pelan.
"Kamu juga kelihatan 10 tahun lebih muda kok," godanya yang langsung dihadiahi cubitan dipinggang.
"Kalau mau bikin seneng tuh nggak usah pakai acara ngarang cerita deh, Mas."
"Aku serius sayang,"
Lusi yang tadinya pura-pura memasang wajah cemberut seketika mengukir senyum setelah mendapatkan usapan lembut di puncak kepala.
"Kamu bisa lanjut kerja Mas, biar aku tungguin. Mumpung bentar lagi jam istirahat, nanti kita bisa makan siang sekalian di luar. Soalnya sekarang Mamah udah cerewet minta kita supaya jangan sering-sering ketemu dulu. Apalagi kalau nanti udah makin deket harinya, mana bisa kita ketemu." keluhnya yang disambut kekehan geli pria disisinya.
"Apa tidak bertemu beberapa hari udah bikin kamu kangen berat hemm?"
"Jangankan berhari-hari, sehari aja udah kangen. Memangnya Mas Raffa nggak gitu?"
Lusi memicingkan mata curiga.
"Ya kangen lah,"
"Aduhhh, Mas.. Lepasin ih!" gerutunya yang segera menyingkirkan jemari Raffa yang menjepit ujung hidungnya.
"Udah gih sana lanjut kerja, cepetan dikelarin semua biar cuti lamanya di acc sama Pak Radit." kekehnya yang diangguki Raffa.
"Ya udah Mas lanjutin kerja dulu, kamu tunggu sebentar."
Lusi mengangkat kedua ibu jarinya yang disambut Raffa dengan kekehan pelan.
Semuanya berjalan dengan begitu baik, dari makan siang mereka hari itu bahkan sampai cuti panjang yang akhirnya di acc atasannya. Tidak ada satu pun masalah yang menghampiri hubungan mereka menjelang pernikahan. Ah, bahkan selama berpacaran pun tidak ada masalah berarti. Hubungan mereka berjalan di atas kebahagiaan. Juga tidak ada satu pun keluh kesah yang Lusi sampaikan padanya. Kecuali rasa rindu yang katanya kian menggebu karena mereka tak lagi diperbolehkan bertemu.
Sungguh hanya itu.
Tapi hari ini dia mendapatkan kabar mengejutkan yang demi apapun tidak pernah ada dalam pikirannya. Sama sekali tidak ada dan tidak pernah dirinya bayangkan. Terlebih Lusi yang justru sangat menantikan hari pernikahan mereka. Dan kenyataan jika calon istrinya memilih kabur 2 minggu sebelum hari pernikahan, membuatnya nyaris gila bahkan merasa seperti di dalam mimpi. Lalu ia berharap ketika membuka mata, maka semua akan kembali seperti semula. Dimana keluarga besarnya sibuk mengurus persiapan pernikahan yang sudah hampir selesai.
Sayangnya semua bukan mimpi belaka. Karena kekacauan lah yang justru terjadi di rumahnya pagi ini. Semua berkumpul di ruang keluarga dengan raut frustasi. Sementara dirinya?
Dia melangkah gontai menuruni anak tangga setelah semalam nyaris tak mampu berdiri begitu membaca pesan yang Lusi kirimkan padanya. Wanita itu katanya tidak bisa menikah dengannya tanpa memberikan alasan yang jelas lalu mengakhirinya dengan kata maaf yang tentu tidak berarti apapun. Setelah itu, nomor telpon Lusi tidak bisa lagi dihubungi. Bukan milik wanita itu saja, tetapi juga seluruh keluarga mantan calon istrinya.
"Kamu mau kemana?"
Raffa menatap Barry--kakak pertamanya yang langsung mencengkal lengannya begitu dia melewati ruang keluarga.
"Mau ke rumah Lusi. Mungkin semalam dia hanya bercanda dan tidak benar-benar pergi."
"Rumahnya kosong dan semua tetangga tidak tahu kemana mereka pergi." Barry mendesah lemah dengan tangan yang terkepal erat disisi tubuh. "Mas semalam udah kesana dan hasilnya nihil." ia tepuk pelan pundak adik laki-lakinya.
"Lupakan wanita itu, Raf. Ikhlaskan semua yang terjadi. Memang caranya sangat menyakitkan, tapi ini cara Tuhan ngasih tahu kamu kalau Lusi bukan wanita yang baik dan nggak pantas buat kamu."
Barry mengusap kasar air matanya lalu membawa tubuh adiknya ke dalam dekapan hangatnya.
"Nggak apa-apa, Raf. Nggak apa-apa. Mas sama yang lain juga berusaha ikhlas meskipun berat."
Lusi sudah mereka anggap seperti keluarga sendiri. Bahkan kekasih adiknya itu sudah memiliki tempat spesial di keluarga mereka, tapi setelah apa yang wanita itu lakukan kemarin malam, jelas melukai banyak orang dan sudah tidak bisa menempati ruang spesial itu lagi.
"Kenapa ini terjadi ke aku, Mas?" dengan tatapan kosong, Raffa bergumam dalam pelukan kakak lelaki satu-satunya yang dirinya miliki. Sementara dua orang lainnya adalah perempuan.
"Kenapa Mas?!" raungnya tanpa bisa menahan tangis.
"Kita nggak ada masalah apapun, Mas. Tapi kenapa Lusi ngelakuin ini. Kenapa?! Kenapa dia pergi dan ngehancurin semua mimpi kita, Mas?!"
"Udah nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Kita ikhlasin Raf." Barry semakin mengeratkan dekapannya.
"Bagaimana dengan semua yang udah kita siapkan? Apa yang harus kita katakan ke orang-orang, Mas?"
Raffa memijit dahinya yang kembali terasa pening. Lalu kedua kakak perempuan pria itu datang menghampiri dan ikut memberikan pelukan pada adik laki-laki mereka yang malang.
"Kamu nggak usah pikirin itu. Karena yang paling penting adalah kesehatan kamu, Raf."
"Tapi Mbak, apa yang Lusi lakuin udah bikin keluarga kita malu."
"Memang, tapi kita berusaha untuk baik-baik saja. Benar kata Mas Barry, mungkin Lusi bukan yang terbaik buat kamu makanya Tuhan memisahkan kalian."
Indi--kakak kedua Raffa, mengusap puncak kepala adiknya penuh sayang.
"Maafin aku Mbak, Mas."
"Kamu nggak ada salah, Raffa. Keluarga Lusi lah yang harusnya meminta maaf." giliran Mia yang mengusap kepala sang adik.
"Kami sungguh baik-baik saja. Justru yang kami khawatirkan adalah kesehatan kamu."
Raffa melepas dekapannya lalu beralih pada kedua orang tuanya yang datang menghampiri dengan sisa air mata yang tampak begitu jelas.
"Mah, Pah," cicitnya sendu lalu ia berlari ke dalam dekapan kedua orang tuanya yang menyambutnya dengan tangis dan seketika membuat dadanya terasa sesak.
"Maafin Raffa." isaknya. "Maaf karena Raffa bikin malu keluarga kita."
"Kamu nggak salah Nak. Kita hadapi sama-sama ya?"
Raffa mengangguk lemah dan kian mengeratkan dekapannya pada sang ibu.
*
Seharian Raffa berada di kamar. Mengurung diri sembari meratapi nasib buruk yang menimpanya. Dia sudah mencoba menghubungi Lusi berulang kali dan tidak ada satu pun jawaban yang dirinya dapatkan. Entah apa yang membuat wanita itu menghilang menjelang hari pernikahan mereka hingga memberinya kecewa yang teramat besar.
6 tahun mereka menjalin hubungan dan pada akhirnya dia ditinggalkan dengan cara paling menyakitkan.
Raffa tersenyum miring sambil memperhatikan gerimis dari balik jendela kamar. Merutuki kebodohannya yang selama ini mengabaikan perasaan Rania dan sekarang lihatlah apa yang terjadi. Seolah mendapat kutukan, dia justru menerima rasa sakit berkali-kali lipat dari seseorang yang dirinya cintai.
Rania.
Raffa terdiam dan terus menyeruakan nama itu dalam hati. Dan entah setan darimana, dia langsung menyambar kunci mobil dan juga jaket yang tergantung dibalik pintu kamar. Ia menuruni anak tangga dengan tergesa yang membuat keluarganya menatap kearahnya dengan penuh kekhawatiran.
"Mau kemana Raffa? Di luar hujan." lagi, Barry yang pertama menghampiri adiknya. "Nggak usah macem-macem ya Raf. Kamu nggak akan menemukan apapun di rumah Lusi kecuali kecewa."
"Aku nggak kesana," Raffa mengulas senyum tipis pada anggota keluarganya yang lain.
"Aku cuma mau keluar sebentar kok, Mas. Dan mengenai semua persiapan termasuk gedung, tolong jangan dibatalin."
"Maksud kamu apa, Raf?"
Mia menghampiri adiknya dengan kerutan di dahi. "Mau buat apa kita biarkan itu semua? Lusi juga nggak akan kembali. Kalau pun dia datang, kita nggak akan biarin kamu nikahin dia setelah Lusi mempermainkan keluarga kita."
"Aku akan tetap nikah Mbak,"
"RAFFA!"
"Bukan sama Lusi. Ada seseorang yang jauh lebih baik dari dia. Seseorang yang mencintai aku sepenuh hati." dan sialnya dia abaikan selama ini.
"Jangan main-main Raffa!" Barry tak kuasa menahan bentakkan.
"Aku serius, Mas."
"Masuk dan istirahat di kamar. Kamu sedang terlalu banyak pikiran."
Raffa menahan Barry yang mendorong bahunya.
"Aku bakalan bawa dia, jadi biarin aku pergi Mas."
Entah memang kesurupan setan, atau Raffa saja yang sudah terlalu gila karena efek ditinggal calon istrinya menjelang hari pernikahan. Karena tanpa pikir panjang pria itu mengarahkan stir kemudi ke rumah Rania. Tidak peduli pada hujan yang kian deras, Raffa memasuki teras yang dulu pernah beberapa kali dirinya pijak saat belajar kelompok. Lalu setibanya di depan pintu, ia mengetuk pintu berbahan kayu itu dengan tak sabaran.
Tok. Tok. Tok.
"Iya tunggu sebentar."
Seruan dari dalam seketika membuat detak jantung Raffa berpacu cepat. Hingga akhirnya sosok itu berdiri dihadapannya.
"Ayah bilang pul--Raffa?!"
Wanita mana yang tidak terkejut melihat lelaki yang tidak memberikan kabar berminggu-minggu lamanya. Lalu tiba-tiba datang ke rumah dalam keadaan basah kuyup.
"Raffa?"
Bugh.
"Apa-apaan kamu Raf?!"
Raffa hanya diam dengan posisi setengah berdiri dihadapan Rania.
"Berdiri Raffa!"
Pria itu menggeleng dengan kepala menunduk.
"Apa yang sedang kamu lakukan?! Kenapa tiba-tiba datang ke rumah seperti ini?"
Raffa masih mempertahankan diamnya dengan kedua tangan mengepal kuat di atas paha.
"Raffa! Kamu denger aku 'kan? Hujan nggak bikin kamu tuli 'kan Raf?!"
"RAFFA!!!"
"Menikah denganku Na,"
Ia mendongak dan mendapati keterkejutan di wajah Rania. Ah, siapa yang tidak terkejut kalau pria yang membuat kalian patah hati tiba-tiba datang dan mengajak menikah.
"Kamu gila?!"
Raffa mengangguk.
"Menikah denganku Rania. Jika kamu mau, aku bersumpah akan mempertaruhkan seluruh hidupku untukmu Na. Apapun. Apapun yang kamu minta, akan aku lakukan. Jadi, menikahlah denganku Na."
"Sinting kamu Raffa!"
Ya, bahkan sebutan sinting dan gila masih terlalu sopan untuk pria sejenis Raffa.
"Tolong menikah denganku Na, aku mohon.."
Rania mengusap wajahnya frustasi dengan sebelah tangan berpegangan pada pintu. Menahan tubuhnya supaya tidak ambruk setelah mendengar permintaan gila dari mulut Raffa.
"Aku akan menganggap tidak terjadi apapun malam ini. Kamu bisa langsung pulang atau.." ia perhatikan penampilan Raffa yang tampak kacau. Juga baju yang sudah basah. Ia lalu menghela nafas pelan. "Kamu bisa ganti baju dulu biar aku ambilkan punya Ayah. Setelah itu silahkan pulang."
Raffa menahan pergelangan tangan Rania saat wanita itu hendak berbalik.
"Aku serius, Na. Menikah denganku."
"Dan aku bodoh jika mau menerimanya." Rania segera menghempaskan tangan Raffa. "Aku tidak tahu apa yang terjadi sama kamu Raf, tapi apa tidak keterlaluan kamu mengajakku menikah di saat kamu sendiri akan melakukannya dengan wanita lain?"
Rania memejamkam mata sejenak lalu kembali mengarahkan pandangan pada Raffa.
"Apa semua karena pengakuanku malam itu? Jika iya, tolong lupakan saja. Karena mencintai kamu sudah tidak ada lagi di lembaran baru yang aku buat."
Raffa menahan pintu yang hendak Rania tutup.
"Lusi kabur."
Rania tertawa miris.
"Lalu kamu datang kemari dengan harapan supaya aku mau menjadi pengantin pengganti? Kalau begitu jangan harap aku mau melakukannya. Aku tidak sebodoh itu, Raffa."
"Aku menyayangimu Na, bahkan sampai saat ini."
"Terima kasih. Tapi jika benar kamu menyayangiku, tidak seharusnya kamu memanfaatkan perasaanku demi kepentingan kamu sendiri."
Raffa beranjak berdiri dan kembali berusaha menahan pintu.
"Aku bersumpah Na, akan melakukan apapun jika kamu menerimanya. Aku juga akan menuruti semua keinginan kamu."
"Semuanya?"
Raffa mengangguk.
"Semuanya Na."
"Kalau begitu datang kemari saat kamu benar-benar menginginkanku sebagai istrimu, bukan menjadikanku sebagai pengganti. Karena demi apapun, aku tidak pernah sudi menjadi cadangan."
Blaaammm..
Kali ini pintu benar-benar tertutup dan Raffa tidak berusaha menahannya lagi. Pria itu menatap pintu dihadapannya dengan tangan mengepal kuat disisi tubuh.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
