
SINOPSIS
***
Naya pernah mempermalukan dirinya di masa lalu dengan cinta sepihaknya pada kakak kelas bernama Baruna Raifan Lathif. Namun siapa sangka, jika mereka akhirnya kembali bertemu setelah 12 tahun berlalu.
Kali ini dia bukan lagi sebagai Naya si gadis lugu yang akan mengejar cinta seorang Bara--nama panggilan pria itu. Melainkan perempuan yang datang sebagai calon istri kedua atas permintaan Karina--istri Bara. Dan semua itu gara-gara ulah ayahnya yang meninggalkan segudang hutang dan membuatnya...
NAYA & BARA
***
12 tahun lalu..
Dengan senyum cerahnya, gadis berparas manis yang memiliki lesung pipi itu, berjalan penuh semangat melewati gerbang sekolah. Mengabaikan teriakan teman lelaki yang ia tinggalkan di belakang setelah mereka turun dari angkutan umum. Sambil menenteng kotak berisi brownies buatannya, gadis yang empat bulan lagi akan menginjak 16 tahun itu, bersenandung kecil disepanjang jalan.
"Ish! Dasar gadis tidak tahu diri!"
"Auww!!"
Gadis berlesung pipi itu lantas mengaduh saat kepalanya menjadi sasaran empuk jitakan teman lelakinya--ah, lebih tepatnya mereka sudah bersahabat sejak kecil dengan rumah yang saling berdekatan.
"Bisa-bisanya meninggalkan malaikat penolong lo ini, hah?! Kalau bukan karena gue, udah pasti lo telat ke sekolah."
Gadis manis itu berdecak pelan seraya menyingkirkan tangan temannya yang mengalung di pundak.
"Nggak usah rangkul-rangkul gini deh kalau lagi di sekolah. Harus berapa kali gue ingatkan sih, Ray!"
"Ck! Kenapa? Takut kalau si Bara lihat?"
"Iya." angguk gadis itu tanpa pikir panjang yang disambut decakan tak senang oleh teman lelakinya. "Dan ngomong-ngomong, Bara itu kakak kelas kita, Rayhan. Jadi berhenti memanggilnya dengan nama."
"Please ya, Nayyala sayang. Gue nggak peduli." ujar Rayhan tak acuh.
"Ngomong-ngomong juga, brownies yang katanya lo buat penuh cinta semalaman itu, mau lo kasih ke si Bara api?"
Rayhan langsung mengaduh begitu lengannya menjadi sasaran empuk amukan Nayyala. Bucinnya Bara sejak mereka MOS. Berarti sekitar delapan bulan yang lalu, dimana waktu itu Bara masih menjabat sebagai Ketua OSIS. Dan ya, Nayyala katanya jatuh cinta pada pandangan pertama pada kakak kelas mereka yang kini duduk di bangku kelas 3.
"Nggak usah bikin namanya Kak Bara jadi jelek gitu deh!" omel Naya yang disambut putaran bola mata oleh Rayhan.
"Inget ya, Nay. Lo itu bukan tipenya si Bara. Mau usaha sekeras apapun juga, dia nggak bakalan ngelirik elo! Secara dia dikelilingi cewek-cewek cakep dengan kekayan yang setara sama keluarganya."
Ini bukan pertama kali Naya mendengar perkataan pedas Rayhan padanya. Lelaki itu sudah sering memperingatkan dirinya untuk tidak pernah mendekati Bara. Dia tidak marah pada Rayhan, sungguh. Karena perkataan temannya itu memang benar adanya. Seharusnya dia memang tahu diri. Mereka bisa sekolah di tempat elite ini saja berkat bantuan beasiswa. Tapi dengan tidak tahu dirinya, dia justru menyukai penghuni sekolah yang merupakan anak dari keluarga kalangan atas.
"Tapi gue nggak jelek-jelek amat kok," lirih Naya dengan kepala menunduk.
Sekarang kepercayaan dirinya kembali merosot tajam. Padahal sejak semalam, semangatnya begitu menggebu lantaran ingin cepat-cepat pagi lalu menyerahkan brownies buatannya untuk Bara.
"Gue nggak bilang lo jelek, Nay."
Sambil tersenyum tipis, Rayhan mengusap puncak kepala gadis di sampingnya.
"Gue cuma pengin lo berhenti suka sama Bara."
"Kenapa Ray? Lagian Kak Bara juga nggak pernah nolak kue yang sering aku kasih."
Menghela pelan, Rayhan menggelengkan kepala.
"Lo nggak tahu apa-apa Nay. Gue cuma mau lo berhenti sok peduli sama Bara. Kita bukan levelnya dia."
"Tapi Ray--"
"Farah udah nungguin. Gue duluan."
Mengusap kepala Naya sekali lagi, Rayhan berlari kecil sambil melambaikan tangan pada Farah yang sedang menunggu kedatangannya. Sementara Naya hanya bisa menghela napas dengan wajah ditekuk lantaran mood-nya yang hancur lebur.
*
Seharusnya Naya menuruti perkataan Rayhan yang memintanya untuk berhenti menyukai Bara. Dengan begitu, dia tidak perlu merasakan malu sedalam ini.
Sambil menunduk, Naya sibuk memainkan kuku-kuku jarinya dihadapan Bara yang sudah menerima kotak brownies buatannya. Tadinya dia ingin memakan brownies itu sendiri di taman belakang sekolah yang cukup sepi. Namun siapa sangka, jika disana ada Bara. Lalu dia pun akhirnya mencoba memberanikan diri menghampiri lelaki itu untuk menyerahkan brownies di tangannya.
Seperti biasa, Bara menerimanya.
Hanya saja, kali ini keadaan benar-benar buruk. Jika biasanya Bara akan tersenyum tipis lalu pergi tanpa kata, kali ini lelaki itu mengutarakan ketidaksukaannya atas makanan yang sering dirinya beri. Dan sialnya, tiba-tiba ada beberapa kakak kelas yang ia tahu juga menyukai Bara, memergoki dirinya dan diam-diam mengambil video. Namun Bara membiarkannya begitu saja. Tidak peduli jika dirinya dijadikan bahan tertawaan.
"Selama ini, aku hanya mencoba menghargai kamu. Tapi mulai sekarang, tolong berhenti memberikan jenis makanan apapun. Lagipula aku juga tidak pernah memakannya. Selalu aku kasihkan buat teman-teman yang lain."
Naya menggigit bibir bawahnya keras. Terlebih saat dia mendengar tawa puas beberapa kakak kelasnya.
"Dengarkan itu gadis miskin! Dasar tidak tahu diri!" maki salah seorang dari mereka.
"Ma--maafkan aku, Kak."
Bara mengangguk tanpa ekpresi, lalu menyerahkan kembali kotakan di tangannya.
"Ini aku kembalikan lagi. Permisi."
Setelah menyerahkannya kembali pada Naya, lelaki itu berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Meninggalkan gadis manis berlesung pipi itu yang berusaha menepis bulir air mata.
"Baraaaaa!!"
Langkah Bara terhenti saat mendengar teriakan seorang gadis yang hari ini memilih menggerai rambut panjangnya.
"Kenapa Rin--awwwww.." ia mengaduh saat lengannya dicubit tanpa perasaan.
"Karina!!"
"Kamu nggak punya perasaan banget sih, jadi cowok!!" omel gadis bernama Karina yang menatap tak tega pada Naya yang menjadi bulan-bulanan Vanya dan kawan-kawan.
"Kasihan dia," sambil menunjuk kearah Naya yang hanya bisa menunduk dihadapan Vanya.
"Minta maaf ke gadis itu sekarang juga!"
"Enggak!"
"Baraaaaaa.."
"Dia selalu ngerusuhin aku, Rin. Aku nggak suka."
"Dan apa kamu pikir pantas mempermalukan dia dihadapan orang lain?"
"Aku nggak bermaksud seperti itu. Tadi keadaan sepi dan aku nggak tahu kalau Vanya sama temen-temennya bakalan datang."
Karina berdecak tak senang.
"Tetap saja kamu harus minta maaf, Bar. Dengan watak Vanya, aku yakin kalau dia bakalan nyebarin video di beranda grup sekolah."
"Aku laper. Mau ke kantin."
Merangkul paksa pundak Karina, Bara membawa gadis itu untuk mengikutinya.
"Baraaaaaa.."
***
PART 1
***
"Rame mulu deh nih cafe, kapan sepinya coba?" keluh Naya sembari menaruh baki ke meja dapur. "Nggak tahu apa tuh orang-orang berduit, kalau kaki gue udah pegel serasa mau patah." dumelnya sebal.
"Eh, kurang ajar ya tuh mulut! Kalo cafe sepi, lo mau digaji pakai apa hah?! Daun?!"
Naya menoleh ke samping, lalu mendengus pelan sebelum kemudian menarik kursi berbahan plastik untuk dirinya duduki.
"Lo sih enak, Far, tinggal duduk manis, uang ngalir tiap bulan." gadis berlesung pipi itu mengaduh kala baki yang barusan dibawanya, melayang ke atas kepala.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Farah. Mantan kekasih dari sahabatnya, Rayhan. Yang kini menjabat sebagai bos alias pemilik cafe tempatnya bekerja selama satu tahun terakhir ini.
"Duduknya doang yang manis, kepala gue puyeng tiap hari mikirin pemasukan sama pengeluaran."
"Ck! Lo yang bos aja bisa puyeng, apalagi gue yang cuma rakyat jelata?"
Naya mengaduh saat kepalanya kembali ditimpuk baki.
"Ini kalo gue mendadak lupa ingatan, lo memangnya mau ngasih gue duit segepok buat pertanggungjawaban?"
"Nggak usah sinetron deh otak lo! Sono balik kerja lagi!"
"Dih, galak bener sih jadi bos."
Namun tetap saja Naya menurut. Wanita 27 tahun itu beranjak berdiri sambil mendumel.
"Kerjanya bagai kuda, tapi nggak kaya-kaya juga. Duh nasib jadi orang susah." kekehnya.
"Syukuri, Nay."
Farah menepuk pundak Naya dengan senyuman tipis.
"Kalau capek banget, ke atas aja gih buat istirahat."
Naya berdecak yang dibarengi kekehan geli.
"Jadi bos yang tegas dong, Far. Lo jadinya nyuruh gue lanjut kerja, apa istirahat nih?"
"Serah lo, Nay! Gue mau balik. Ada acara makan malam di rumah. Bye!"
Farah menepuk kedua pipi Naya sebelum berbalik pergi. Meninggalkan teman semasa SMA-nya yang menggerutu di tempat, namun kemudian menatap kepergiannya dengan senyuman tipis.
Setahun yang lalu adalah awal pertemuan mereka setelah bertahun-tahun terpisah oleh jarak lantaran Farah melanjutkan kuliah di luar kota. Lalu setelahnya mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa pernah saling kontak mengingat dulu hubungan mereka tidak terlalu dekat. Sampai akhirnya tahun lalu, Farah tak sengaja melihat Naya sedang duduk diemperan toko kosong dengan wajah memelasnya. Tentu saja Naya merasa senang bukan main saat dihampiri Farah yang kemudian menawarinya sebuah pekerjaan setelah ia bercerita baru saja keluar dari pekerjaan lamanya.
Begitulah kira-kira awal mula mereka bisa berteman dekat kendati Farah mantan Rayhan.
"Nay, bawain ini dong ke meja nomor 35."
Naya mengacungkan kedua ibu jarinya lalu berjalan menghampiri koki di cafe tempatnya bekerja yang telah menyiapkan menu pesanan pelanggan mereka.
"NAYA! NAYA! NAYA!"
Mengurungkan niat untuk mengangkat baki, Naya menoleh pada salah seorang rekan kerja yang menghampirinya dengan napas tak beraturan.
"Kenapa lo, Mel? Habis dikejar setan?"
Melinda--nama temannya, menggelengkan kepala sambil mengibaskan tangan.
"Itu Nay.. Itu.."
"Lo atur napas dulu deh, gue mau ke depan nganterin makan."
Naya mengernyitkan dahi saat pergelangan tangannya ditahan Melinda.
"Apaan sih, Mel? Bikin gue takut aja lo."
"Ck! Di depan ada orang yang nyariin elo, Nay. Muka sama badannya kayak preman. Mana teriak-teriak daritadi, bikin orang-orang nggak nyaman."
Naya langsung mengumpat sejadi-jadinya.
"Lo anterin nih makanan ke meja nomor 35. Gue mau nemuin tuh orang dulu."
Setelah melihat anggukan Melinda, Naya segera berlalu ke depan. Menghampiri dua orang pria yang ternyata sedang bersama Farah.
"Far.."
Farah memberi anggukan pelan.
"Biar gue yang urus mereka, Nay."
Naya menggeleng cepat lalu mendorong pelan tubuh mungil Farah.
"Lo pulang aja sana. Katanya ada acara makan malam 'kan? Sorry, udah bikin gaduh cafe lo. Gue nggak nyangka kalau Bokap gue yang nggak tahu diri itu, ternyata udah tahu tempat kerja gue." Naya terkekeh miris.
"Nay--"
"Utang gue ke elo aja masih banyak, Far. Udah deh nggak usah jadi ibu peri lagi. Bingung sumpah gue balesnya nanti gimana."
"Tapi Nay--"
"Please Far, nggak usah bikin gue jadi menyedihkan gini dong. Gue baik-baik aja kok. Lo tahu gue orangnya gimana 'kan?"
Menghela pendek, Farah terpaksa menganggukkan kepala.
"Kalau gitu gue balik sekarang. Nanti kalau ada apa-apa langsung hubungi gue."
Naya mengangguki dengan senyuman lembut.
"Pasti, Far. Makasih buat niatan baik lo."
Farah mengangguk. Lalu menepuk lengan Naya sebelum berlalu pergi.
"Bokap lo ada utang 100 juta. Dia minggat dan masrahin semua utanganya ke elo. Sekarang udah jatuh tempo, jadi kita minta lunasin semua utang Bokap lo detik ini juga!"
Naya tersenyum miris.
Uang darimana dia 100 juta? Bah! Ayahnya memang kurang ajar. Jika ayah orang lain akan memasrahkan harta benda pada anak-anaknya, maka lain halnya dengan satu-satunya orang tua tersisa yang ia miliki. Selama ini ayahnya hanya bisa meninggalkan hutang padanya. Tanpa pernah sekalipun memikirkan masa depannya.
Seolah tak cukup membuatnya melepas beasiswa ke perguruan tinggi lantaran ayahnya tanpa hati menjual rumah neneknya yang kala itu menjadi satu-satunya tempat tinggal mereka dan membuatnya harus banting tulang usai lulus SMA supaya bisa membayar kontrakan rumah, ayahnya juga menghancurkan karir yang telah ia bangun selama bertahun-tahun.
Dengan mengandalkan ijazah SMA, ia dipercaya sebagai kepala toko saat itu setelah bertahun-tahun bekerja. Lalu ayahnya yang mabuk lantaran kalah judi, pergi ke tempat kerjanya dan membuat kekacauan disana. Alhasil dia dipecat tanpa uang pesangon. Beruntung setelah itu ia bertemu Farah. Temannya itu dengan baik hati menawarkan sebuah pekerjaan, lalu membantu melunasi hutang-hutang ayahnya. Juga mencarikan kontrakan baru yang tidak akan ditemukan sang ayah.
Lalu setelah hidupnya berjalan tentram selama satu tahun terakhir, kini ayahnya membuat kekacauan lain dihidupnya. Entah darimana pria yang sebenarnya tak ingin ia akui sebagai ayah itu mengetahui tempat kerjanya. Dan tanpa hati kembali memberinya kesusahan lain.
"Saya tidak memiliki uang sebanyak itu untuk saat ini. Tapi saya bisa mencicilnya 'kan?" Naya bertanya dengan suara bergetar.
Setelah satu tahun hidup tanpa gangguan ayahnya, dia akhirnya bisa memiliki sedikit tabungan. Namun kini sepertinya akan kembali raib.
"Nggak bisa! Kita mau paling lambat besok."
Naya menghela kasar lalu melirik sekeliling. Beruntung karena ia tak lagi menjadi pusat perhatian beberapa pelanggan.
"Tapi saya nggak ada uang sebanyak itu."
"Apa lo pikir kita peduli?"
"Kalau begitu, bagaimana kalau kasih waktu satu bulan? Saya janji akan melunasinya."
"Apa yang lo punya sebagai jaminan?!"
Apa yang dia punya?
Dia tidak memiliki apapun. Hanya ada uang tabungan yang jumlahnya kurang dari 20 juta. Hasil kerja di cafe dan jualan kue. Bahkan sepeda motor pun tidak punya. Beruntung karena kontrakannya tak jauh dari cafe tempatnya bekerja, jadi dia bisa berjalan kaki.
"Saya--"
"Saya yang akan melunasi semua hutangnya. Besok silakan kalian datang ke alamat ini."
Lalu tiba-tiba saja seorang wanita berparas cantik mengulurkan sebuah kartu nama pada dua orang pria bertubuh kekar itu.
"Lo yakin?"
Wanita itu mengangguk.
"Apa kartu nama itu tidak cukup?"
"Oke. Kita kesana besok. Tapi kalau kalian ingkar janji, jangan harap kalian bisa hidup dengan tenang."
Selepas kepergian dua pria berwajah sangar itu, Naya memperhatikan dengan seksama si dewi penolongnya hari ini. Sampai kemudian ketika tatapan mereka bertemu pandang, bola matanya langsung membelalak kaget.
"K--kak Karina?"
"Hai, Naya 'kan?"
Dengan wajah kakunya, Naya membalas uluran tangan wanita anggun dihadapannya dengan anggukan pelan.
"Sudah lama kita tidak bertemu ya? Aku pikir kamu lupa."
Bagaimana Naya bisa lupa, jika wanita yang berdiri dihadapannya saja murid populer di sekolahnya saat itu. Ah, sekaligus wanita paling beruntung karena bisa berteman dekat dengan pria yang membuatnya menjadi manusia paling bodoh 12 tahun silam.
"Um, sebelumnya terima kasih atas niatan baik Kak Karina. Tapi maaf, aku nggak bisa menerima bantuan Kakak. Besok biar aku yang urus mereka." ujarnya tak enak hati.
"Kalau nggak salah dengar, kamu tidak memiliki sejumlah uang yang mereka minta bukan? Tolong jangan menolak bantuanku, Naya."
"Ke--kenapa? Kenapa Kak Karin mau membantuku sampai sejauh ini?"
"Karena aku ingin meminta kamu untuk menjadi istri kedua suamiku."
Naya langsung tersedak ludahnya sendiri begitu mendengar perkataan wanita dihadapannya.
"Ma--maksud Kak Karin apa?"
"Aku sedang melamar kamu untuk suamiku, Naya." lalu dengan santainya Karina menjawab. Bahkan wanita itu juga tersenyum manis seolah tak ada beban di dalam permintaannya itu.
"Astaga.. Kayaknya Kak Karin salah makan deh." tawa Naya berderai pelan. "Terima kasih buat bantuan Kakak, tapi sepertinya aku tidak bisa menerimanya. Besok kalau mereka datang ke tempat Kak Karin, tolong suruh mereka untuk kesini lagi. Aku akan mengurus masalahku sendiri. Sekali lagi terima kasih."
"Bara. Dia suamiku."
Langkah kaki Naya terhenti begitu mendengar perkataan Karina.
"Kami sudah menikah selama 5 tahun dan belum memiliki seorang anak. Berbagai usaha sudah kami lakukan tapi nggak ada satupun yang berhasil. Seperti yang kamu tahu, Bara anak tunggal. Aku butuh kamu untuk menjadi istri kedua suamiku, Naya."
"Kenapa harus aku?"
Naya berbalik dengan wajah linglung.
"Aku sudah mencari wanita yang tepat untuk Bara selama beberapa bulan terakhir, tapi tidak ada satupun yang memenuhi kriteria. Lalu tiba-tiba takdir mempertemukan kita hari ini. Dan aku rasa, kamu adalah wanita yang paling tepat, Naya."
***
PART 2
***
Tin. Tin. Tin.
Naya berjengit kaget saat suara nyaring klakson mobil menusuk indera pendengarnya. Ia yang tadinya sedang melamun lantas mengangkat kepala, lalu menemukan Rayhan yang baru saja turun dari kereta besi milik pria itu.
Berbeda darinya yang tetap hidup susah, Rayhan kini menjelma menjadi pria sukses dengan karir cemerlang. Pria itu kini bekerja sebagai salah seorang manager di pusat perbelanjaan ternama di ibu kota. Sedang dirinya, cukup bersyukur meski hanya sebagai pelayan cafe. Setidaknya dia masih bisa membayar kontarakan dan makan sehari-hari. Meskipun harus bekerja lebih ekstra, mengingat ada pekerjaan sampingan sebagai pedagang kue. Namun sayangnya, semua hasil kerja kerasnya terpaksa ia lepaskan lagi demi melunasi hutang sang ayah.
Dan mengenai tawaran Karina, dia belum bisa memberikan jawaban apapun untuk saat ini. Dia masih butuh waktu untuk memikirkannya. Terlebih dia dijadikan sebagai istri kedua dari seorang Bara. Setelah kejadian penolakan kue buatannya di taman belakang sekolah saat itu, esok harinya dia menjadi bahan ledekan seantero sekolah. Bahkan video penolakan Bara juga tersebar luas. Bagian yang membuatnya sedih adalah Bara yang diam saja dan membiarkan teman laki-lakinya menyindirnya tanpa hati.
Dia tidak melakukan tindakan kriminal, tapi semua orang menatap dirinya seperti kotoran. Uh, mengingat masa lalu memang selalu menyakitkan. Ia sangat menyesali tingkah bodohnya dulu. Seandainya dia sadar disini sejak awal, mana mungkin kejadian memalukan itu ada.
"Mau pulang 'kan? Cepat naik."
"Kontarakan gue nggak nyampe 200 meter, buat apa sih lo jauh-jauh kesini cuma buat jemput? Kalau pengin ketemu Farah, langsung dateng ke rumahnya. Dia mana ada disini kalau malem."
Naya mengaduh saat kepalanya dihadiahi jitakan.
"Makin tua ternyata lo makin bawel ya? Cepetan naik. Capek nih gue pengin numpang minum."
"Capek tuh istirahat, kalau haus baru deh lo minum." dumel Naya sembari naik ke mobil milik Rayhan yang segera disusul pria itu.
"Om Bani cari gara-gara lagi?"
"Memangnya Bokap gue kapan sih nggak cari gara-gara? Hidup doi 'kan nggak bakalan tenang kalau nggak gangguin gue."
Rayhan menghela panjang dengan jemari mencengkram kuat stir kemudi.
"Farah bilang, ada yang nagih hutang lagi?"
Naya menoleh dengan kedua alis terangkat. "Kenapa? Mau bantu lunasin? Totalnya 100 juta doang kok."
"Kalau lo nggak keberatan."
"Serius?"
Rayhan mengangguk tanpa ragu.
"Sayangnya gue cuma bercanda. Udahlah nggak usah lo pikirin. Lagian gue yang dibikin susah juga tenang-tenang aja kok."
Orang-orang disekeliling Naya tentu tahu betapa hebatnya wanita itu dalam mengenakan topeng supaya terlihat kuat dihadapan orang lain.
"Nikah sama gue, Nay. Gue memang nggak sekaya Raffi Ahmad, tapi gue bakal mastiin kalau lo bisa hidup cukup dan tenang tanpa gangguan Om Beni."
"Ck! Hebat banget ya lo, Ray, bermodal kasihan langsung ngajakin nikah. Ke siapa aja lo kayak gitu?"
"Gue serius, Nay. Gue pengin selalu ada setiap lo butuh tempat untuk curhat. Gue juga pengin lindungin lo. Tapi dengan status kita saat ini, gue nggak bisa melalukannya dengan maksimal."
"Lo bisa dapet yang jauh lebih baik dari gue, Ray. Jangan sekali-kali mengorbankan masa depan lo demi gue. Gue nggak sespesial itu untuk menerima segala kebaikan lo."
"Tapi bagi gue, lo lebih dari spesial Nay."
Sambil tersenyum tipis, Naya menepuk-nepuk pundak Rayhan.
"Makasih udah nganggep gue sebagai orang spesial, Ray. Tapi untuk pernikahan, gue belum ada pikiran sama sekali. Duit tabungan aja bentar lagi bablas. Daripada mikirin nikah, gue pengin fokus ngumpulin duit lagi buat tabungan masa tua."
"Gue bakalan lunasin semua hutang Om Beni dan gue juga masih mampu kasih uang bulanan yang cukup buat elo, Nay."
"Ck! Gue lagi males bahas pernikahan, Ray. Soalnya selain elo, ada orang lain yang udah ngajakin gue buat nikah lebih dulu."
"Siapa?"
Rayhan menatap Naya dengan bola mata membulat.
"Mmmm.."
"Siapa Nay? Kendra? Salah satu koki di cafe-nya Farah yang katanya lagi naksir lo itu?"
Naya menggeleng lalu menjawab santai. "Bukan."
"Terus?"
"Kepo lo!"
Mendorong pelan dahi Rayhan, Naya lantas tertawa saat mendengar dengusan pria di sampingnya itu.
"Mobil lo mau jalan nggak sih? Kalau masih lama, gue ada niatan buat turun. Mending jalan kaki, bentar doang sampai. Daripada nunggu tanpa kepastian gini."
"Beneran ngeselin ya lo, Nay!"
Naya hanya tertawa saja lalu memejamkan mata dan pura-pura tidur.
Dia bukan tak ingin menerima bantuan Rayhan. Sama seperti Farah, mereka berdua sudah terlalu banyak membantunya selama ini. Dan ini bukan kali pertama Rayhan mengajaknya menikah. Pria itu sudah berulang kali melakukannya yang tak pernah dirinya tanggapi dengan serius. Terlebih tanpa sepengetahuan temannya itu, orang tua Rayhan telah mewanti-wanti dirinya dari jauh-jauh hari untuk berhenti merepotkan putra bungsu mereka.
Ah, memang dasarnya dia tidak pantas untuk bersanding bersama Rayhan. Meski sejujurnya dia merasa tidak keberatan jika menikah dengan teman baiknya itu. Hanya saja dia tengah mencoba untuk sadar diri. Terlebih dengan kelakuan menjijikan ayahnya, ia merasa tidak pantas untuk siapapun. Termasuk menjadi istri kedua Bara sekalipun.
Jadi, hidup sendiri asal bahagia tidak masalah 'kan?
"Jadi numpang minum?" Naya melempar tanya begitu mereka tiba di depan rumah kontrakannya.
Rayhan menggeleng dengan wajah muram.
"Udah nggak haus."
"Oh, ya udah. Kalau gitu gue turun. Makasih udah dijemput."
Naya menepuk-nepuk pelan pipi kiri Rayhan sebelum beranjak turun.
"Besok-besok nggak usah jemput gue lagi. Langsung pulang aja ke rumah."
"Lo nggak ada niatan buat nawarin gue lagi gitu, Nay?"
Kedua alis Naya terangkat. "Buat apa? Kan lo sendiri yang bilang kalau udah nggak haus."
"Ck! Beneran ngeselin ya lo!"
Naya tertawa renyah.
"Beli di minimarket aja sono! Lagian gue udah capek dan nggak mood buat meladeni tamu. Bye Rayhan." lalu wanita 27 tahun itupun melenggang pergi. Meninggalkan Rayhan yang sekarang sibuk menggerutu, namun tidak melepaskan pandangan sampai Naya benar-benar masuk ke dalam kontrakan.
Menghela napas pelan, Rayhan kembali melajukan mobilnya setelah memastikan Naya sampai dengan selamat.
Sementara di dalam rumah kontrakan yang tak besar itu, Naya tak langsung mandi seperti biasa. Wanita itu memilih tiduran sambil menatap langit-langit kamar dengan mata berkaca-kaca.
Sejujurnya dia sudah lelah menunjukkan sisi kuatnya pada orang-orang terdekatnya, sedang hati selalu didera resah dan ketakutan. Dia ingin hidup tenang tanpa merasa khawatir dengan kelakuan ayahnya di luaran sana yang berimbas buruk pada hidupnya.
Seolah tidak cukup menghancurkan masa depannya, ayahnya masih saja mengacak-acak hidupnya yang sudah kacau balau ini. Apa dia harus meninggalkan dunia dulu supaya bisa menikmati ketenangan?
Jika bisa memilih, dia tidak ingin dilahirkan ke dunia jika tahu hidupnya akan semiris ini. Ibunya yang lemah lembut harus meregang nyawa ketika ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Lalu neneknya yang menggantikan sosok ibu dihidupnya, juga pergi untuk selama-lamanya ketika ia memasuki kelas 3 SMA. Semua orang yang menyayanginya pergi satu persatu dan meninggalkan dirinya bersama pria yang selalu ia panggil dengan sebutan ayah, namun tingkahnya tak pernah mencerminkan sosok ayah seperti yang teman-temannya miliki.
"Ya Tuhan, aku udah capek. Aku udah nggak sanggup dengan semua cobaan yang Engkau beri." lirihnya dengan tenggorokan tercekat.
"Sampai kapan aku harus hidup seperti ini?"
Air mata Naya menetes. Namun wanita itu membiarkannya begitu saja. Ia tatap langit-langit kamar dengan mata berembun. Sedang tangan meremas kuat bagian dadanya yang terasa sesak.
***
PART 3
***
"Aku perhatikan wajah kamu terlihat berseri sejak semalam. Apa aku ketinggalan sesuatu?"
Bara yang baru tiba di ruang makan langsung memeluk tubuh istrinya dari belakang. Lalu memberikan kecupan singkat pada leher jenjang milik Karin. Yang kemudian disambut dengusan tak senang sang istri. Karin memang paling anti mendapatkan ciuman pada area leher. Namun Bara tetap saja melakukannya demi menggoda istrinya.
"Mas,"
Lalu dengan wajah berseri, Karin membalikkan badan. Menatap penuh binar pada sosok pria yang telah menjadikan dirinya seorang istri lima tahun yang lalu.
"Aku ada kabar gembira."
Wajah tampan Bara ikut berseri. Pria itu menatap istrinya dengan binar yang tak kalah bahagia.
"Jadi, apa yang membuat istriku sangat bahagia sejak semalaman hem?"
"Um, aku sudah menemukannya, Mas."
Bara mengernyitkan dahi bingung. "Menemukan apa, Rin? Perasaan cincin berlian kamu udah ketemu minggu lalu. Apa ada perhiasan kamu yang hilang lagi?"
Jadi cincin berlian milik istrinya sempat hilang beberapa hari. Dan akhirnya ditemukan pelayan rumah yang saat itu sedang bersih-bersih area dapur.
"Ish! Bukan masalah perhiasan Mas."
"Lalu?"
Karin berdeham singkat sebelum kemudian mengalungkan tangannya ke pundak Bara.
"Janji jangan marah?"
"Bukankah kamu mau memberiku kabar bahagia? Kenapa harus marah?"
"Karena.. Yang aku temukan adalah calon istri potensial buat kamu."
Bara langsung melepas rangkulannya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Jadi, itu kabar bahagianya?"
Karin mengangguk penuh semangat. Ia raih tangan Bara lalu memberikan kecupan berulang kali pada telapak tangan yang biasanya akan mengelus pipinya penuh kelembutan.
"Dia wanita yang hebat, Bar. Sangat pantas untuk bersanding sama kamu."
"Satu-satunya wanita yang pantas untuk aku cuma kamu, Rin."
Kali ini Karin menggelengkan kepala. "Jika diibaratkan, kamu itu kain bersih Bar, sedang aku adalah noda yang hanya bisa mengotori saja."
Bara meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir milik Karin.
"Jangan pernah merendahkan diri kamu, Rin. Apa aku perlu mengumpulkan orang-orang untuk menunjukkan pada mereka betapa hebatnya kamu?"
Terkekeh pelan, Karin lantas menurunkan jemari Bara dan sebagai gantinya ia hadiahi kecupan di bibir pria itu.
"Terima kasih karena kamu sudah menjadi suami terbaik, Bar. Dan sebagai seorang istri, aku juga ingin melakukan hal serupa."
"Kalau begitu, cukup dengan kamu bertahan disisiku."
Sekali lagi Karin menggelengkan kepala.
"Kamu anak tunggal, Bar. Orang tua kamu jelas menginginkan seorang keturunan dari putranya."
"Mereka tidak pernah membahasnya, Rin. Jadi berhenti untuk memikirkannya."
"Hanya karena tidak membahasnya di depan kita, apa kamu pikir orang tua kamu tidak menginginkan seorang cucu, Bar? Berbeda dari orang tuaku yang sudah memiliki dua orang cucu dari Mbak Kartika, orang tua kamu belum memilikinya sama sekali."
"Mereka bisa mendapatkannya dari kamu."
"Lima tahun, Bar. Sudah selama itu tapi belum ada tanda-tanda sama sekali 'kan? Bahkan kita juga sudah mencoba bayi tabung, tapi hasilnya apa? Tetap nggak berhasil."
Menghela napas pelan, Bara kembali menarik pinggang Karin.
"Kita masih banyak waktu untuk berusaha, Rin. Usia kita baru 29 tahun. Kenapa kamu berbicara seolah kita sudah berusia 40 tahun ke atas?"
"Kamu lupa kata dokter? Peluang aku bisa hamil itu kecil, Bar. Sedang tahun depan aja kita udah 30 tahun."
"Kita bisa mengangkat seorang anak, Karin. Tolong berhenti membesarkan-besarkan masalah itu. Aku menikahi kamu karena memang ingin menghabiskan sepanjang waktuku sama kamu. Anak bagiku adalah hadiah tambahan. Jika tidak mendapatkannya, ya sudah tidak masalah. Memang belum dikasih, masa kita harus memaksakan kehendak Yang Di Atas?"
"Tapi aku tetap menginginkan anak kandung buat kamu, Bar." suara Karin memelan.
"Satu istri saja tanggung jawabnya sudah besar, apalagi dua Rin? Aku takut nggak bisa berbuat adil sama kalian berdua."
"Aku yakin kalau kamu pasti bisa melakukannya, Mas." desak Karin dengan anggukkan pasti.
"Mungkin nantinya aku bisa, tapi bagaimana dengan perasaan kamu? Apa kamu yakin udah siap 100% untuk di madu? Kamu tahu 'kan, Rin, nantinya waktuku nggak bisa lagi buat kamu sepenuhnya?"
"Kalau nggak siap, mana mungkin aku mencarikan kamu istri lagi, Mas? Aku udah siap berbagi suami."
Bara tertawa miris. "Apa sebegitu nggak berartinya aku di hidup kamu, Rin?"
Karin menggeleng tegas.
"Bukan seperti itu maksud aku, Bar. Kamu jelas tahu itu."
"Kalau begitu berhenti minta aku untuk menikah lagi."
"KAMU NGGAK NGERTI PERASAAN AKU, BAR!"
Bara yang sudah bersiap untuk menarik kursi, terpaksa mengurungkannya saat mendengar teriakan istrinya yang kemudian disusul air mata yang membasahi pipi Karin.
Menghela pelan, ia kembali memposisikan diri dihadapan sang istri.
"Justru aku sedang mencoba mengerti perasaan kamu, Rin, makanya aku nggak mau menikah lagi." ia usap air mata di wajah cantik istrinya.
"Aku sedang menjaga perasaan kamu supaya tidak terluka. Mungkin saat ini kamu baik-baik saja, tapi apakah itu bisa menjamin ke depannya?"
Karin terdiam dengan pandangan kosong.
"Parahnya, jika ternyata pernikahan itu justru menyakiti wanita lain. Apa kamu juga bisa menjamin, jika wanita itu akan hidup bahagia selama menikah denganku?"
"Dia pasti akan bahagia, Bar."
"Kenapa kamu seyakin itu?"
"Dia wanita yang malang. Dengan menikah sama kamu, aku yakin itu bisa merubah hidupnya. Dia pasti akan bahagia, Bara."
Karin sudah mendapatkan sedikit info mengenai Naya. Tentang wanita itu yang sekarang tinggal disebuah kontrakan kecil dengan beban hutang ayahnya yang lumayan besar. Selain itu Naya juga masih membuat kue. Namun kali ini untuk dijual, bukan dibagikan gratis seperti yang dilakukannya pada Bara dulu.
"Dia wanita yang sangat hebat, Bar. Hanya saja mendapatkan nasib yang tidak seberuntung kita. Percaya sama aku."
"Siapa wanita itu?"
"Kamu akan tahu setelah setuju untuk menikahinya."
Bara berdecak tak senang.
"Bagaimana aku bisa menikahi wanita yang tidak jelas asal-usulnya? Jangan bercanda, Rin."
"Aku kenal dia, Bar. Dia sangat pantas buat bersanding sama kamu. Harus berapa kali aku katakan?"
"Rin--"
"Kamu tahu alasan Mamah sekarang jarang kumpul sama teman-temannya, Bar?"
Kali ini giliran Bara yang memilih diam. Ibunya memang tidak seaktif dulu yang akan menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatnya di saat ayahnya bekerja. Ibunya lebih banyak di rumah. Tapi ia pikir hal itu karena ibunya memang sedang hobi berkreasi membuat berbagai macam makanan.
"Tante Anna bukan hanya teman dekat Mamahku, Bar, tapi juga teman dekat sama Mamah Ami. Beliau mengatakan kalau Mamah Ami selalu kelihatan sedih setiap teman-temannya membahas masalah cucu. Belum lagi saat beberapa dari mereka membawa cucu saat berkumpul, kamu pasti tahu gimana perasaan Mamah, 'kan? Tapi beliau nggak pernah bilang sama kita. Mungkin Mamah nggak mau bikin kita kepikiran."
"Mamah tahu kalau kita menginginkan seorang anak melebihi siapapun, Rin. Dan Mamah paham betul jika rezeki seorang anak datangnya dari Yang Di Atas. Apa bisa menjamin, jika menikah lagi akan langsung dikasih?"
"Namanya juga usaha, Mas."
"Tapi usahanya bukan yang berpotensi memberi luka, Rin."
Karin mendengus pelan lalu meraih ponselnya yang berdering di atas meja makan.
Mengabaikan sosok suaminya yang sangat menjengkelkan dan pandai berkelit, ia memberi jarak saat mengangkat telpon dari nomor tak dikenal.
"Halo?"
Senyum di wajah Karin seketika merekah saat mendengar suara tak asing disebrang telpon.
"Syukurlah kamu menyimpan kartu namaku dengan baik. Kalau begitu, apakah aku bisa mendapatkan kabar baik pagi ini? Ia melirik suaminya sekilas yang tengah menatapnya dengan kedua alis terangkat.
"Bertemu siang ini? Tentu saja bisa. Aku akan meminta bantuan asisten pribadiku untuk mengurus orang-orang semalam. Dengan begitu aku bisa datang buat menemui kamu." senyum di wajah Karin kian melebar yang semakin menarik perhatian Bara.
"Oke. Sampai bertemu nanti siang."
"Siapa?"
Meletakkan kembali ponselnya ke meja, Karin menarik kursi untuk dirinya duduki.
"Kenalan." ia menjawab singkat.
"Bar, aku tetap mau kamu menikah lagi meskipun berpotensi memberi luka."
Bara menghela lelah. Belum selesai juga ternyata pembahasan istri kedua.
"Rin--"
"Bercerai atau kamu menikah lagi? Kamu hanya punya dua pilihan itu, Bar."
"Apa-apaan kamu, Rin?! Nggak. Kita nggak akan pernah bercerai."
"Artinya kamu memilih menikah lagi." Karina tersenyum lebar.
"Karina!"
"Selama pernikahan kita, aku tidak pernah meminta apapun 'kan, Bar? Jadi tolong turuti permintaanku kali ini."
Dan Bara ingin gila saja rasanya.
***
PART 4
***
Semenjak kepergian neneknya, cinta bagi Naya selalu berada di nomor urutan terakhir. Dia tidak pernah berkencan dengan pria manapun selama 27 tahun hidupnya. Hanya Bara yang sempat membuatnya terlena hingga tidak menyadari jika posisinya hanyalah gadis miskin yang beruntung bisa bersekolah di tempat ternama hanya karena mendapatkan beasiswa.
Keberadaan sosok ayah di hidupnya hanya menjadi beban. Hingga di usianya yang sudah cukup matang, dia belum berani untuk berumahtangga. Sungguh, bukan karena tidak memiliki calon. Nyatanya selain Rayhan, ada beberapa pria yang menyatakan keseriusan pada dirinya. Hanya saja dia masih merasa takut jika sewaktu-waktu ayahnya datang lalu merusak rumah tangganya dalam sekejap. Karena jangankan rumah tangga, masa depannya saja berhasil dibuat lenyap.
Ayahnya memang suka sekali bersikap seenaknya seolah mampu saja membiayai hidupnya. Bahkan diusianya yang sudah menginjak 27 tahun ini, dia masih malu untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis lantaran background keluarganya yang kacau balau.
Tok. Tok. Tok.
Tok. Tok. Tok.
Naya yang baru selesai menggoreng nasi sisa kemarin untuk sarapan, lantas mengernyitkan dahi kala mendengar pintu kontrakannya diketuk tak sabaran. Mendesah pelan, ia pun keluar sambil menggerutu.
"Siapa sih yang datang? Awas aja kalau Rayhan, gue gaplok tuh muka glowingnya."
Klek.
"Hai,"
Bola mata Naya kontan melotot begitu mendapati wajah pria yang paling dibencinya berdiri di depan pintu kontrakannya tanpa rasa bersalah.
"Darimana Anda tahu tempat tinggal saya?" tanyanya dengan sorot dingin.
"Anda?" seru Bani dengan nada penuh penekanan.
"Kamu memanggil Papa kamu sendiri dengan sebutan Anda? Dasar anak tidak tahu diri!"
Naya tertawa miris sebelum kembali melemparkan tatapan tajam pada sosok pria yang tak pernah lagi dirinya inginkan kembali ke hidupnya.
"Papa? Setelah apa yang Anda lakukan selama ini, apakah Anda masih merasa begitu pantas disebut sebagai seorang Papa?"
Dengan gerakan sigap Naya berhasil menangkis tangan Bani yang bersiap untuk menamparnya.
"Anda sama sekali tidak memiliki hak untuk menyentuh saya! Dan apa yang Anda katakan sebelumnya? Saya anak tidak tahu diri? Haruskah saya memberikan Anda cermin?" tangannya mengepal kuat dengan napas yang tak lagi beraturan. Ingin rasanya memukul pria dihadapannya yang telah menghancurkan masa depannya, namun ia berusaha kuat untuk menahan diri. Karena walau bagaimanapun juga, pria itu tetaplah ayahnya.
"Setelah membuat hidup saya hancur, juga menguras habis seluruh tenaga dan uang saya, bagaimana bisa Anda mengatakan saya tidak tahu diri? Lantas, sebutan apa yang pantas untuk seorang Ayah seperti Anda? Bajingan? Sepertinya masih terlalu bagus."
Plak.
Naya terkekeh pelan sembari mengusap pipinya yang ditampar kencang oleh pria yang masih ingin disebut sebagai ayah, namun tingkahnya tak lebih dari seorang keparat.
"Kurang ajar mulut kamu!"
"Saya tidak akan mempertanyakan lagi bagaimana Anda bisa mengetahui tempat tinggal saya sekarang. Tapi jika apa yang barusan saya katakan memang salah, silakan lunasi sendiri hutang Anda yang mencapai 100 juta itu. Kebetulan orang-orang sialan itu akan datang lagi setelah katanya Anda kabur, tapi ternyata masih berani menunjukkan batang hidung di depan saya."
Naya memejam kuat ketika ia dapati tangan ayahnya kembali teranyun untuk memberinya tamparan. Namun hingga lima detik berlalu, tidak ada apapun yang terjadi. Lalu perlahan ia membuka mata dan melihat tangan ayahnya yang berhenti di udara.
"Kenapa tidak menampar saya lagi? Bukannya itu yang ingin Anda lakukan?"
"Papa datang kesini bukan untuk bertengkar, melainkan untuk sebuah penawaran."
Kontan Naya berdecih. "Penawaran? Apa yang Anda punya hingga berani membuat penawaran?"
"Kamu tidak perlu membayar semua hutang Papa, asalkan bersedia menikah dengan Juragan Kasim. Meskipun sebagai istri ke-empat, masa depan kamu akan terjamin. Semua hutang Papa juga akan dilunasi sama Juragan Kasim."
Naya tertawa renyah. Dia yang masih gadis ini, mau dijadikan istri ke-empat dari pria tua bangka? Sialan. Tawaran Karin jelas lebih menggiurkan. Bara tentu jauh lebih baik dari segi apapun tentunya.
"Selama ini, Anda bahkan tidak peduli bagaimana saya bisa bertahan hidup, lalu dengan tidak tahu malunya Anda tiba-tiba datang dan meminta saya untuk menikah dengan seorang pria tua bangka?!"
"Papa tidak memaksa. Hanya sedang membuat sebuah penawaran."
"Kalau begitu, saya menolak tawaran Anda. Silakan pergi dari sini dan usahakan jangan kembali ke hidup saya."
"Anak sialan!"
Dengan sekuat tenaga Naya menahan lengan ayahnya yang sudah bersiap untuk memberinya tamparan untuk kesekian kali.
"Untuk terakhir kali, saya akan melunasi hutang Anda. Tapi saya minta, jangan pernah lagi melibatkan nama saya untuk hutang-hutang Anda. Jika tidak bisa menjadi seorang Ayah yang baik, setidaknya berhenti mengacaukan hidup saya. Karena jika Anda terus melakukannya, maka nanti yang akan Anda dapatkan hanyalah kabar kematian saya." ia lepaskan tangan tua itu sebelum bergerak mengunci pintu. Lalu tubuhnya pun luruh ke lantai dengan isakan yang tak mampu dirinya tahan.
*
Entah sudah berapa kali Naya menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Tangan yang kini menggenggam ponsel yang ia beli di bawah harga 1,5 juta itu, terlihat gemetar. Begitu pula detak jantung yang kian menggila. Sedang tangan satunya memegang kartu nama milik Karin yang wanita itu berikan sebelum meninggalkannya pergi. Mungkin Karin berpikir jika dia sudi untuk berubah pikiran. Dan entah bagaimana, dia yang tidak minat dijadikan istri kedua Bara justru menyimpan kartu nama itu di dalam tas.
Lalu kini, dia benar-benar ingin berubah pikiran setelah kedatangan si tua Bani. Ayahnya tentu tidak akan berhenti mengacaukan hidupnya jika keinginan pria tua itu belum terwujud. Dan dia sendiri belum siap mati muda meski keinginan untuk mengakhiri hidup sudah ia rencanakan berulang kali.
Setelah berpikir nyaris satu jam lamanya, ia rasa menjadi istri kedua Bara merupakan pilihan yang baik, alih-alih harus mati muda. Setidaknya dia perlu merasakan hidup sebagai orang kaya lebih dulu, sebelum meninggalkan dunia yang selalu bersikap kejam padanya ini 'kan?
Hidup sebagai istri kedua memang tidak menjanjikan. Dia pun harus siap dengan segala risikonya. Termasuk cinta Bara yang sampai kapanpun tidak bisa dirinya miliki. Tapi setidaknya dia tidak akan gila hanya karena memikirkan hutang si tua Bani. Lagipula dia juga tidak akan membuka hati untuk Bara. Dia cukup sadar diri akan posisinya. Pria itu hanya membutuhkan seorang anak, bukan cinta dari wanita lain.
"Lo pasti bisa, Nay."
Naya memejamkan mata sejenak sembari menghembuskan napas perlahan. Lalu ia mencoba memberanikan diri menghubungi nomor yang tertera di kartu nama itu.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Ia segera menarik tangannya menjauh dan berniat memutus sambungan sepihak. Tapi ternyata gerakannya kalah cepat. Karin sudah lebih dulu menerima panggilan darinya. Lalu kini, tidak ada alasan lagi untuk menghindar apalagi mengurungkan niatan awal.
"Halo?"
Suara lembut Karin menyapa. Ia menelan kuat salivanya sebelum mengeluarkan suara.
"Um, ini aku Naya."
"Syukurlah kamu menyimpan kartu namaku dengan baik. Kalau begitu, apakah aku bisa mendapatkan kabar baik pagi ini?"
Nada antusias Karin entah mengapa membuatnya semakin berdebar parah.
"K--kak Karin, apa kita bisa bertemu nanti siang?"
"Bertemu siang ini? Tentu saja bisa. Aku akan meminta bantuan asisten pribadiku untuk mengurus orang-orang semalam. Dengan begitu aku bisa datang buat menemui kamu."
"Te--terima kasih Kak. Nanti aku kirimkan tempatnya via chat."
"Oke. Sampai bertemu nanti siang."
Naya langsung terduduk lemas dengan tangan mencengkram ponsel miliknya.
Semoga saja pilihannya kali ini tidak salah. Ya, semoga.
***
PART 5
***
Naya memejamkan mata sejenak dengan tangan mengepal di bawah meja. Sedang dihadapannya ada sosok Karin yang sejak kedatangannya tak pernah melunturkan senyum. Entah terbuat dari apa hati wanita itu hingga merasa begitu bahagia saat berhadapan dengan calon istri kedua suaminya.
Apakah tidak ada kecemburuan sama sekali di hati Karin? Kenapa wanita itu bisa bersikap santai, sampai-sampai dengan senang hati mencarikan istri baru untuk suaminya?
Apa sebegitu inginnya memiliki seorang buah hati, membuat seseorang bisa bersikap segila wanita dihadapannya ini?
Ayolah, tidak ada satupun cacat yang Bara miliki. Selain cukup tampan--sangat tampan di matanya dulu, pria itu juga mapan dan setia. Buktinya Bara tidak berbuat neka-neko--dari cerita yang barusan ia dengar dari Karin. Justru istri pria itu sendiri yang memaksa untuk mencarikan istri kedua.
"Jadi, bagaimana Naya? Kamu setuju menikah dengan Bara?"
Naya menghembuskan napas panjang sembari membuka mata.
"Memangnya Kak Karin beneran nggak masalah berbagi suami dengan wanita lain?"
"Kamu bukan wanita lain, Naya. Bahkan sebelum aku, ada kamu yang lebih dulu mencintai Bara."
"Ayolah Kak, itu bukan poin yang sedang aku bicarakan. Sebagai seseorang yang telah hidup bersama selama 5 tahun, bagaimana bisa Kak Karin melepaskan Kak Bara untuk wanita lain?" desah Naya yang masih menolak untuk percaya.
"Aku sedang tidak melepaskan siapapun, Naya. Aku akan tetap bersama Bara sampai kapanpun. Begitu pula dengan kamu. Bukankah kita saling membutuhkan? Anggap saja yang kita lakoni adalah simbiosis mutualisme."
Ini gila. Ya, benar-benar gila.
Hanya karena menginginkah kehadiran seorang anak, Karin sampai berbuat sejauh ini? Jika dia menjadi wanita itu, mana mungkin rela berbagi suami. Terlebih jika pria itu adalah Bara. Ayolah, siapa sih di sekolah dulu yang tak mengenal Bara? Idola sekolah yang digemari para kaum hawa--termasuk dirinya. Tapi itu hanya berlaku di masa lalu. Sebab kini, dia sudah menutup pintu hatinya untuk siapapun.
"Bagaimana kalau aku juga tidak bisa cepat hamil? Pernikahan kami hanya akan berakhir sia-sia."
"Kamu tenang saja Naya, sebelum pernikahan kedua Bara terjadi, kita akan memeriksakan kondisi kamu terlebih dahulu."
"Lalu.. Bagaimana dengan anak aku nantinya? Apa aku masih bisa merawatnya?"
Naya mengerutkan dahi bingung lantaran Karin justru tertawa seolah apa yang dikatakannya adalah sebuah lelucon.
"Aku meminta kamu untuk menjadi istri kedua Bara, Nay. Bukan sebagai Ibu pengganti. Artinya kita akan merawat anak kalian bersama-sama. Kamu akan tetap tinggal bersama anak kamu dan merawatnya, Naya."
"Ba.. Bagaimana dengan keluarga kalian? Apa mereka sudah memberikan restu?"
Melihat gelengan santai Karin seketika bahu Naya langsung terkulai lemas.
"Kita akan memberitahukan pernikahan kamu sama Bara setelah kamu hamil. Dengan begitu tidak ada satupun keluarga yang menghalangi."
Haruskah Naya membawa Karin ke rumah sakit? Sepertinya wanita itu butuh pengobatan khusus. Otaknya sungguh dramatis sekali, seolah hidup mereka adalah sebuah sinetron yang alurnya bisa diubah sesuka hati.
"Bagaimana jika hasilnya justru tidak sesuai rencana? Kita tidak tahu apa yang terjadi ke depannya bukan? Bisa saja keluarga Kak Karin atau Kak Bara tetap menolak kehadiranku, lalu mereka mengusirku dengan iming-iming uang."
Oke, otak Naya sepertinya ikut-ikutan mendramatisir keadaan. Tapi jika hal itu terjadi, ia berencana untuk mengambil uangnya saja lalu pergi dari hidup Bara dan Karin. Dengan syarat, ia diberi minimal uang tunai 100 juta. Angka yang cukup kecil bagi keluarga kalangan atas seperti mereka bukan? Syukur-syukur dia diberi lebih dari itu. Lumayan bisa untuk membeli apartemen kecil. Setidaknya dia tidak perlu repot mengeluarkan uang setiap bulannya untuk membayar kontrakan.
"Kamu tenang saja, Naya. Mereka mau tak mau pasti akan menerima fakta bahwa Bara memiliki dua istri."
Naya menghela lelah. Dia baru tahu kalau sosok Karina yang dulu dikenal manis dan sopan ternyata memiliki sisi keras kepala juga. Ya sudahlah, percuma saja memberi seribu alasan jika yang dirinya hadapi adalah seseorang yang sudah memegang teguh pendiriannya.
"Kalau begitu aku bersedia untuk menikah dengan Kak Bara. Tapi dengan syarat, Kak Karin akan melunasi seluruh hutang Papa-ku, dan memastikan dia tidak akan mengganggu hidupku lagi."
Karin mengangguk dengan senyuman lebarnya.
"Tenang saja, Naya. Aku akan mengabulkan permintaan kamu sekarang juga."
Mengabaikan bola mata Naya yang melotot kaget lantaran mendengar perkataannya yang begitu enteng untuk diucapkan, Karina meminta waktu sejenak untuk menghubungi seseorang. Lalu tidak berselang lama, wanita itu kembali duduk berhadapan dengan Naya yang tengah menyesap kopi yang sudah dingin.
"Masalah orang tua kamu sudah beres. Apa ada tambahan lagi?"
Dan sekarang justru Naya yang dibuat kelabakan sendiri. Ternyata menjadi orang kaya menyenangkan juga ya? Masalah berat dihidupnya pun bagaikan remahan roti yang sekali sembur langsung kabur.
"Em, bagaimana dengan rumah? Apa Kak Bara tidak keberatan jika nanti menginap di kontrakanku?"
Karin terkekeh geli. Wanita anggun itu menyesap minumannya sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Naya.
"Aku akan memberikan rumah dan mobil untuk hadiah pernikahan kalian. Kamu mau yang berapa lantai?"
Bola mata Naya semakin membelo.
Rumah dan mobil? Ayolah, kenapa dua benda mahal itu seperti tidak ada harga dirinya sama sekali?
"A--apa itu tidak berlebihan Kak?"
"Sama sekali tidak, Naya." Karin kembali tertawa. Sedang Naya sibuk menelan ludah.
"Aku bisa mencarikannya dalam waktu dekat. Dengan begitu kamu bisa segera pindah kesana. Jadi, mau yang berapa lantai?"
"Sa--satu saja. Untuk mobilnya tidak perlu. Lagipula aku tidak bisa memakainya." cicit Naya sambil memainkan kuku-kuku jarinya.
"Gampang soal itu. Nanti ada sopir pribadi dan pelayan rumah juga yang bantu kamu."
Kontan Naya menggeleng kuat. "Tidak perlu Kak. Lagipula cuma rumah satu lantai, aku bisa mengurusnya sendiri."
"Oke. Tapi kalau kamu butuh bantuan seorang pelayan, tinggal katakan saja nanti. Dan mengenai sopir pribadi, kita pekerjakan sampai sore saja."
Kita? Lebih tepatnya Bara dan Karin yang akan membayar biaya sopir. Untuk membeli motor saja uangnya masih kurang, bagaimana dia bisa mempekerjakan seseorang?
Sungguh, berbicara dengan Karina hanya membuatnya sakit kepala saja.
"Ngomong-ngomong, setelah pembahasan kita yang terlalu jauh, Kak Karin belum mengatakan pendapat Kak Bara. Apa dia sudah tahu mengenai pernikahan kedua ini?"
"Bara sudah tahu," Karina mengangguki. "Tapi belum tahu tentang kamu."
"Ba.. Bagaimana kalau Kak Bara menolak?"
"Tidak akan. Karena aku yang akan memastikan jika Bara menerima kamu sebagai istri keduanya."
Naya langsung bereaksi dengan mengusap wajahnya yang tidak terpoles apapun.
Ngomong-ngomong, dia sudah meminta izin tidak masuk hari ini pada Farah. Seolah mengerti masalah yang sedang dirinya hadapi, teman sekaligus atasannya itu bahkan menyuruhkan untuk istirahat sampai satu minggu lamanya.
"Tapi.. Nanti aku masih bisa bekerja 'kan? Karena bagaimanapun juga, aku tidak bisa selalu mengandalkan kalian."
"Terserah kamu, Naya. Asalkan kamu bisa menjaga diri dengan baik."
"Pasti."
Karena sejatinya, dia hanyalah istri yang tidak diinginkan. Jalan takdir siapa sih yang akan tahu? Dia tidak bisa hanya mengandalkan uang dari Bara dan Naya secara terus-menerus. Setidaknya dia harus memiliki tabungan yang cukup dulu. Karena sekali lagi, tidak ada yang tahu masa depan akan seperti apa. Bisa jadi dia tiba-tiba diceraikan Bara lalu hak asuh anak jatuh ke tangan pria itu. Dia tidak mungkin hidup luntang-lantung 'kan? Jika tidak mengandalkan diri sendiri, memangnya dia akan mengandalkan siapa lagi?
"Kalau begitu, apa aku sudah bisa pulang? Ada pekerjaan lain yang menunggu."
Kebetulan dia mendapatkan pesanan kue klepon 50 bungkus. Lumayan untuk tambahan tabungan.
"Oke, tidak masalah. Sebelum mempertemukan kamu dengan Bara, bagaimana kalau besok kita pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi kamu dulu?"
Naya mengangguki dengan senyuman tipis.
"Terima kasih untuk bantuan Kak Karin."
"Terima kasih kembali Naya. Kamu sudah sangat membantuku."
Karin ikut beranjak lalu menyalami tangan Naya.
"Ah, aku melupakan satu hal."
"Apa itu Naya?"
"Perjanjian. Apa kita harus membuat surat perjanjian?"
Karin menggeleng untuk memberikan jawaban.
"Tidak perlu, Nay. Karena nantinya kamu akan menikah sah, baik secara agama maupun di mata hukum."
"Em, itu artinya kita butuh Papa-ku 'kan?"
"Ya, kita akan mendatangkan orang tua kamu. Setelah itu akan aku pastikan dia tidak akan pernah mengganggu hidup kamu, Naya."
"Terima kasih."
Karin kembali mengangguki.
"Kebetulan aku tidak memiliki acara setelah dari sini, bagaimana kalau aku antar kamu pulang?"
Sontak Naya menggeleng tak enak.
"Tidak perlu Kak. Biar aku naik taksi saja."
"Tidak ada penolakan."
Lalu dengan santainya, Karin merangkul lengan Naya yang membuat wanita disisinya itu hanya mampu menghela pasrah.
***
PART 6
***
"Woiiii!! Melamun mulu dari tadi!"
Naya memutar bola mata sebelum menoyor kepala Melinda.
"Kalau gue jantungan terus mati, lo mau tanggung jawab hah?!"
"Nanti biaya tahlilan biar gue yang urus."
Melinda mengaduh lantaran kepalanya kembali ditoyor tanpa perasaan oleh teman kerjanya yang betah menjomblo itu.
"Ini kalau gue lupa ingatan, kira-kira tanggung jawab lo tuh apa ya?"
"Tukar nasib lah. Gue bakalan bilang kalau lo anak sebatang kara, terus gue babat habis deh tabungan lo."
"Sialan!"
Lalu keduanya pun tertawa renyah di ruang istirahat yang baru diisi mereka berdua.
"Kata Mbak Farah, lo bakalan cuti seminggu, tapi ini baru tiga hari udah masuk aja."
"Bosen gue di rumah mulu. Lagian butuh cuan buat bayar utang Bokap." sahut Naya enteng sebelum menggigit paha ayam dalam genggamannya.
Ouh, jangan salah sangka. Dia cukup perhitungan soal makanan selama ini, lantaran tahu susahnya mencari uang. Dan berhubung tempat kerjanya menyiapkan jatah makan gratis, jadilah dia bisa makan enak setiap hari.
Ngomong-ngomong, dia sudah memeriksa kondisi tubuhnya dua hari yang lalu di rumah sakit ternama. Hasilnya juga sudah keluar dan menyatakan dirinya dalam keadaan sehat. Yang artinya, dia bisa mengandung anak untuk Bara. Dan rencananya, Karin akan membawa mereka bertemu minggu ini.
Sejujurnya, dia cukup gerogi. Tapi bagaimana lagi, sudah jadi konsekuensi. Lagipula, cepat atau lambat dia memang harus bertemu Bara. Tidak ada alasan untuk dirinya mundur setelah Karina melunasi semua hutang ayahnya. Bahkan sampai memberikan pria tua itu pekerjaan di luar kota. Entah bagaimana Karin bisa membujuk si tua Bani yang selalu malas perihal bekerja. Dia pun tidak mau ambil pusing, karena yang terpenting ayahnya tidak berkeliaran disekitarnya lagi.
"Lo nggak nyoba minta bantuan Mbak Farah aja, Nay? Gede banget loh itu." Melinda menghela tak tega.
"Gue nggak punya jaminan apapun selain tenaga. Utang gue ke Farah juga belum lunas, masa iya mau ngutang lagi? Nggak tahu diri banget dong gue kesannya?"
"Kalau gitu, kenapa nggak lo rayu aja si ibu kontarakan? Siapa tahu lo dipinjemin sertifikat tanah beserta bangunan-bangunan lainnya buat modal utang ke Bank."
Melinda yang sedang mengunyah makanan berucap tanpa beban sama sekali.
"Terus habis di acc, gue kabur ke luar kota ya? Endingnya, si ibu kon terpaksa lunasin utang gue. Tamat."
"Bangke!! Gue pengin ngakak." maki Melinda yang tak segan menyemburkan tawa dan membuat Naya kebingungan.
"Memangnya ada yang lucu?"
"Gue denger lo nyebut ibu kon, otak gue jadi travelling kemana-mana bangke!!"
"Lah, kok bisa?"
Dengan ekspresi polosnya, Naya menatap Melinda sambil mengerjapkan mata dan membuat temannya itu tak tahan untuk menyentil dahinya gemas.
"Sakit dodollllll!!"
"Ya elo sih, katanya pinter tapi bego hal gituan."
"Pinter bukan berarti harus tahu segala hal dong? Lihat noh guru matematika, suruh ngerjain soal Bahasa Inggris aja belum tentu tahu."
"Beneran pinter tapi bego lo, Nay."
"Ck! Cepetan lo kasih tahu deh! Gue mau lanjutin makan, cuma nggak tenang kalau masih penasaran gini."
Naya kembali mengaduh. Kali ini Melinda menoyor kepalanya seolah tengah membalaskan dendam atas perlakuannya beberapa waktu lalu.
"Masa lo nggak tahu sih nama benda pusaka milik pria?"
"Benda pusaka? Gue masih nggak ngerti."
"Demi apa lo bego banget masalah gituan, Nay." Melinda geleng-geleng kepala dengan raut frustasi. "Benda pusaka itu, kelamin pria yang bisa bikin kita tekdung alias hamidun bin hamil." tekannya mencoba menjabarkan seadanya.
"Ish! Bilang dong dari awal." Naya cengengesan setelah berhasil membuat Melinda dongkol.
"Makanya pacaran biar tahu!"
"Eh, memangnya apa hubungan alat kelamin pria sama pacaran? Bukannya dosa ya, berhubungan intim sebelum nikah?"
Melinda menghela pasrah sekali lagi. Kali ini dia yang salah. Pada dasarnya memang susah berbicara tentang hal-hal tabu bersama Naya yang otaknya masih waras, belum tercemar udara kotor.
"Udahlah, lo nggak usah banyak tanya, Nay. Habiskan aja sisa makan siang lo. Soalnya mendadak gue laper lagi, takutnya punya lo, gue babat habis."
Tak ingin kehilangan ayamnya yang masih menyisahkan daging cukup banyak, Naya segera menghabiskan makanannya cepat yang disambut cibiran oleh Melinda.
***
Butuh waktu berhari-hari bagi Karin untuk membuat Bara setuju dengan keputusannya. Barangkali sudah jengah dengan ocehannya nyaris seminggu ini, Bara akhirnya setuju untuk bertemu Naya yang masih ia rahasiakan sosoknya.
Dengan senyuman lebar, ia beranjak duduk di samping Bara dengan sekotak buah mangga yang telah dirinya potong kecil.
"Siapa sih wanita yang bikin kamu semangat buat dimadu?" dumel suaminya dengan alis menukik ke atas.
"Makanya nanti malam kita ketemu dia, Bar. Tenang saja, aku tidak mencarikan wanita abal-abal kok. Dia beneran pantas buat kamu."
Bara mendesis tak senang. "Memangnya kamu nggak pantas ya, buat aku?"
"Bukan gitu maksud aku, Bar. Wanita ini jauh lebih baik dari aku."
"Apaan sih kamu, Rin. Nggak ada yang jauh lebik baik dari kamu."
Karin menepuk lengan Bara gemas, lalu menyuapi mulut suaminya yang super manis itu dengan mangga yang rasanya tak kalah manis juga.
"Seperti yang aku bilang, Bar. Aku tuh bernoda, sedang dia bersih." ia mengulas senyum tipis meski Bara memberinya lirikan tajam.
"Hei, aku bener 'kan?" kekehnya hambar. "Aku nggak sebaik itu, Bar, sampai akhirnya kamu datang buat menyelamatkan hidupku. Bagaimana aku bisa membiarkan malaikat tanpa sayapku hidup kesepian ketika tua menyapa? Kamu jelas membutuhkan seorang anak, Bar. Meski ketika dewasa mereka akan meninggalkan kita sebagai orang tua demi membangun sebuah rumah tangga. Tapi percayalah, mereka akan tetap ada buat kita."
Bara menghela lelah. Percuma saja mendebat Karin, sebab wanita itu memiliki segudang jawaban yang akan menamparnya. Ia pun memilih kembali menerima suapan istrinya, alih-alih mendebat hal yang sudah pasti menjadikannya kalah.
"Dengan memaksaku untuk menikah lagi, artinya kamu sudah siap dengan segala risikonya 'kan?"
Karin mengangguk tegas. "Tentu, Bar. Kalau nggak siap, mana mungkin aku sampai mencarikan kamu istri." katanya yang disambut cibiran sang suami.
"Kamu tahu 'kan, kalau nanti risikonya cukup besar? Karena yang akan kita bawa adalah perasaan. Aku nggak mau tiba-tiba kamu merasa cemburu melihat aku menghabiskan waktu dengan istri kedua, pun sebaliknya. Hal itu sudah menjadi risiko, dan aku nggak suka jika kalian mempermasalahkannya."
"Bukan masalah sebenarnya Bar, kalau kamu bersikap adil." Karin mengedik bahu santai. "Maksudnya, kalau kamu di rumah kita seminggu, artinya di rumah istri kedua pun begitu. Jangan berbulan-bulan maunya sama aku, eh giliran sama yang kedua cuma sehari. Tentu hal itu bisa membuat salah satunya cemburu."
"Bagaimana dengan orang tua kita, Rin? Aku yakin mereka tidak akan mudah memberikan izin. Terlebih orang tua kamu." Bara menghela pelan. "Kamu nggak mau menunggu sebentar lagi? Siapa tahu ada keajabain yang datang pada kita."
"Mau menunggu berapa lama lagi sih, Bar? Yang ada makin tua kamu. Setidaknya jika memiliki anak dalam waktu dekat ini, kamu masih bisa menggendongnya sampai 10 tahun ke depan."
Mengambil alih kotak buah dari tangan Karin, Bara menarik pinggang istrinya mendekat sembari mengangsurkan kotakan di tangannya ke atas meja.
"Aku baru tahu kalau istriku sangat keras kepala." ia menunduk untuk memberi ciuman di bibir lembut istrinya.
Terkekeh pelan, Karin lantas berbisik sebelum mengalungkan tangannya ke leher Bara.
"Walaupun keras kepala, tapi kamu tetap cinta sama aku 'kan?"
Bara mengangguk sebelum menggiring tubuh mereka ke dalam kamar.
*
Entah sudah berapa kali Naya menarik napas dan menghembuskannya perlahan di depan cermin toilet resto yang akan menjadi tempat pertemuannya dengan Bara. Ah, tentu saja ada Karin disana.
Terhitung sudah 10 menit lamanya, namun dia masih enggan untuk keluar. Mendadak dia merasa gerogi, bahkan tangannya saja sudah gemetar sejak tadi.
Dia tahu jika pilihan untuk menjadi istri kedua Bara berkemungkinan melukainya. Terlebih sejak dulu pria itu tidak pernah menyukainya. Membayangkan akan semarah apa Bara melihatnya saja sudah membuatnya kalut. Tapi sekali lagi, ini adalah pilihannya. Segala konsekuensi harus bisa dirinya terima, termasuk kebencian Bara.
Lagipula dia membutuhkan pernikahan ini demi menyelamatkan dirinya dari hutang-hutang yang Bani tinggalkan. Sementara Bara dan Karina membutuhkan seorang anak dari rahimnya. Kerjasama ini tentu menguntungkan kedua belah pihak. Bukan hanya dirinya semata.
Menghembuskan napas sekali lagi, Naya memutuskan untuk keluar dari toilet. Namun baru juga membuka pintu, ia dikejutkan dengan sosok Bara yang baru keluar dari toilet pria. Lalu ia pun memutuskan untuk kembali menutup pintu dan bersandar di baliknya.
"Nggak sengaja lihat wajah dinginnya aja bikin jantungan, gimana nanti kalau dia sampai tahu kalau gue calon bini keduanya?" Naya menelan saliva susah payah.
Drtt.. Drtt..
Berdecak pelan, Naya lantas meraih ponselnya yang berdering di dalam tas.
Karin. Wanita itu menghubunginya.
Menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, ia segera menerima panggilan dari istri Bara itu.
"Ha--halo Kak,"
"Kamu belum sampai, Nay?"
"Ngg, itu.. Aku udah di depan."
"Baguslah, cepat kamu masuk. Kebetulan Bara baru kembali dari toilet."
"I--iya Kak."
Naya menghembuskan napas panjang setelah tadi tak sengaja mendengar suara Bara sebelum memutus sambungan telpon.
Mencoba menguatkan diri sekali lagi, Naya memutuskan untuk keluar dari toilet. Mengulur waktu hanya membuat masalah tak kunjung selesai.
Namun begitu tiba di depan pintu ruangan, tubuhnya kembali bergetar dengan degup jantung yang semakin menggila. Tangan yang sudah menggantung di udara untuk memberi ketukan pada pintu kayu dihadapannya pun terpaksa terhenti.
"Lo pasti bisa, Nay." ia menyemangati dirinya sebelum bergerak mengetuk pintu, lalu membukanya secara perlahan.
Tubuhnya seketika mematung saat tatapan Bara menguncinya. Pria itu jelas terlihat sangat terkejut melihat kehadirannya disana.
"Ma--maaf terlambat." ia memaksa seulas senyum sebelum bergerak menutup pintu dan melangkah menghampiri suami istri yang sudah menunggunya sejak tadi.
***
PART 7
***
Naya hanya bisa menundukkan kepala demi menghindari sorot tajam Bara yang masih belum melepaskan atensi darinya. Dengan rahang yang mengeras, serta wajah tanpa ekspresi, ia yakin pria itu tengah marah besar saat ini. Hanya saja sedang mencoba menahan diri demi tak menunjukkan kemarahannya.
"Kenapa harus dia?"
Adalah pertanyaan pertama yang muncul dari mulut Bara setelah cukup lama mereka membiarkan diam merajai suasana.
"Kenapa harus wanita itu, Karin?!"
Tubuh Naya seketika menegang. Wanita itu lantas menggenggam kuat tangannya di bawah kolong meja. Sedang hati tak berhenti merapalkan kata penyemangat untuk dirinya yang malang.
"Jawab aku!"
"Bukankah sudah aku katakan Bar, aku mencarikan istri potensial buat kamu. Dan orang itu adalah Nayyala. Dia sangat pantas buat kamu."
"Hanya menurut kamu, bukan aku." ujar Bara tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari Naya yang masih menunduk takut.
"Aku menolak rencana pernikahan aku sama dia." sambil menunjuk keberadaan Naya disebrang meja.
"Oke, artinya kita cerai 'kan?"
Perkataan Karin kali ini berhasil membuat Naya mengangkat kepala. Wanita itu menatap pasangan dihadapannya dengan pandangan terkejut.
Bagaimana bisa Karin mengambil keputusan sejauh itu?
"Kamu nggak bisa bertindak seenaknya, Karin!"
"Begitu pula kamu, Bar. Kenapa kamu seenaknya mundur di saat sebelumnya kamu telah setuju untuk menikah lagi?"
"Karena wanita itu adalah dia."
Sekali lagi Bara mengarahkan jari telunjuknya pada Naya.
"Aku tidak menyukainya. Itu artinya, aku tidak bisa menjadikan dia istri keduaku."
"Nggak usah banyak alasan kamu, Bar. Kamu pasti akan selalu seperti itu sebagai alasan supaya tidak menikah lagi."
"Aku memang tidak menyukainya, Rin."
"Apa kamu pikir aku juga menyukaimu?"
Pertengkaran sepasang suami istri seketika terhenti begitu mendengar suara Naya.
"Mungkin di masa lalu jawabannya adalah iya, aku pernah menyukai kamu. Tapi untuk sekarang, tidak ada secuilpun dari rasa itu yang tersisa."
"Kamu dengar Rin? Dia juga tidak menyukaiku. Jadi apa yang kamu harapkan? Pernikahan kedua yang kamu rancang ini tidak akan berhasil."
"Aku pikir yang sedang kamu butuhkan adalah kehadiran seorang anak, bukan cinta dariku." Naya kembali menimpali yang membuat Bara tercengang.
"Apa aku salah Kak Bara?" ia memberikan penekanan saat menyebutkan nama pria itu.
"Naya ada benarnya, Bar." lalu Karin pun ikut-ikutan memojokkan Bara yang jelas tidak suka dengan situasi yang terjadi saat ini. "Yang penting ada anak dulu 'kan? Aku yakin cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Nggak usah tergesa, cukup pelan tapi pasti."
"Ya, walaupun itu terdengar mustahil. Bukankah Kak Bara sangat membenciku?" Naya mengerjap polos yang membuat Bara mendesis kesal.
"Terserah kalian. Apapun yang terjadi ke depannya, anggaplah sebagai risiko atas keputusan kalian malam ini." putus Bara yang kemudian menghela panjang.
"Sebagai wanita yang dengan suka hati untuk di madu, pun wanita yang terlihat memaksa masuk ke dalam rumah tangga orang lain sebagai istri kedua--"
"Justru aku yang maksa Naya buat jadi istri kamu, Bar. Dia tidak pernah melakukannya."
Bara angkat tangan dengan wajah pasrah. "Oke, terserah kalian. Intinya, apapun yang terjadi ke depannya itu adalah risiko. Jangan pernah menuntut aku untuk menjadi seperti yang kalian inginkan. Cukup membuatku melakukan pernikahan kedua, tidak dengan mengatur apa yang aku mau."
"Oke, asal kamu bisa bersikap adil." sahut Karin.
"Akan aku usahakan." tandas Bara dengan nada cuek sebelum kemudian meneguk habis minumannya yang sudah terhidang di atas meja tanpa melirik dua wanita disekitarnya sama sekali.
"Jadi Naya, silakan menikmati makan malamnya. Dengan Bara yang sudah setuju untuk menikahi kamu, artinya kita hanya tinggal menentukan saja kapan waktu yang pas untuk pernikahan kalian."
Naya hanya tersenyum kecut. Sedang hati tengah merutuki mulutnya yang beberapa waktu lalu sempat lancang melawan perkataan Bara. Jika tidak ingat hutangnya pada Karin, mana mungkin dia sampai berbuat sejauh itu. Yang dirinya lakukan semata-mata hanya untuk membalas kebaikan wanita itu, yang juga telah berhasil membuat ayahnya mau bekerja.
*
"Jadi nanti pernikahannya kita adakan sederhana aja ya? Tapi nanti tetap ada sesi foto buat kenang-kenangan. Kamu nggak masalah 'kan, Nay? Atau mau kita buat resepsi kecil-kecilan?"
Naya melirik singkat pada Bara sebelum memberikan gelengan kepala.
"Tidak perlu Kak. Lagipula teman-temanku tidak ada yang tahu mengenai pernikahan ini."
Karin mengangguki sambil mengacungkan kedua ibu jarinya, lalu beralih pada Bara.
"Kamu juga setuju 'kan, Mas?"
"Hemm."
Karin mencibir suaminya yang memilih sibuk dengan sisa makanan di atas meja, sampai enggan melirik ke arahnya sama sekali.
"Naya kesini naik taksi atau ojek online?"
"Taksi Kak."
"Ya udah, kalau gitu biar nanti Bara yang antar kamu pulang."
Karin mengedik santai saat mendapati lirikan tajam suaminya.
"Eh, tidak usah Kak. Aku bisa pulang sendiri kok." tolak Naya yang menyadari raut tak mengenakan pria dihadapannya.
"Udah nggak apa-apa, Nay. Aku rasa kalian butuh waktu untuk mengobrol berdua."
"Kami tidak membutuhkannya. Lagipula bagaimana dengan kamu?"
"Aku sudah minta Pak Iman kesini buat jemput. Jadi kamu nggak perlu khawatirin aku."
Bara tertawa hambar. "Aku nggak nyangka kalau kamu sudah melakukan persiapan sampai sejauh itu."
"Pasti dong. Kan aku tahu Naya nggak bawa kendaraan. Lagipula kalian memang butuh waktu berdua buat ngobrol. Setidaknya sebelum pernikahan yang akan berlangsung dua minggu lagi, kalian perlu mendekatkan diri lebih dulu."
Dan yang semakin membuat Naya heran adalah Karin yang terlihat begitu antusias dengan pernikahan kedua suaminya. Sepertinya sangat jarang atau bahkan tidak ada wanita seantusias Karin dalam menyiapkan pernikahan untuk seorang suami.
Seperti yang Karin katakan, dia terpaksa pulang bersama Bara. Tentu saja wanita itu memastikan jika dia benar-benar memasuki mobil pria yang sejak beberapa waktu lalu lebih banyak diam.
Lebih parah dari saat dirinya memasuki ruangan dimana ada Bara dan Karin dibaliknya, kali ini Naya merasa sesak napas lantaran ditinggal berdua bersama Bara yang membagikan aura mencekam. Tak ada satupun yang bersuara diantara mereka meski sudah setengah jalan. Hanya ia yang sempat berbicara untuk memberitahu alamat kontrakannya yang tidak mendapatkan sahutan sama sekali dari pria disisinya.
"Apa yang membuat kamu menerima tawaran Karina?"
Setelah sekian menit membiarkan deru napas mereka berlomba di udara, Bara akhirnya buka suara. Meski pria itu bertanya tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Pun suaranya yang terdengar begitu dingin di telinga Naya.
"Um, Kak Karin melunasi semua hutang Papa. Bahkan memberinya pekerjaan. Kami tidak sengaja bertemu saat ada dua orang yang datang ke tempat kerjaku untuk menagih hutang." Naya menjelaskan tanpa menutupi sambil memainkan kuku-kuku jarinya.
"Berapa?"
Naya mendongak hanya untuk memperhatikan wajah Bara yang masih memamerkan aura dinginnya.
"100 juta." lirihnya.
"Aku ganti dua kali lipat. Tapi sebagai gantinya, katakan pada Karina bahwa kamu menolak pernikahan kita."
"Kenapa?"
Bara menghentikan laju mobilnya saat mendapati lampu lalu lintas berubah warna.
"Kamu tanya kenapa?" ia menoleh pada wanita disisinya. "Tentu saja karena aku tidak sudi menikahi kamu."
Naya terkekeh kecut sambil menundukkan kepala.
"Apa aku terlihat sangat menjijikan?"
"Ya," Bara menjawab tanpa keraguan.
"Apa itu alasan yang membuat kamu bersikap masa bodoh dengan kelakuan teman-teman kamu di masa lalu?"
"Hm,"
"Termasuk saat mereka melempar telur ke wajahku? Aku tahu kamu melihatnya dari jauh, tapi tidak sedikitpun mencoba untuk menghentikan mereka. Dan sekarang aku sudah tahu jawabannya. Ternyata karena aku sangat menjijikan. Padahal saat itu aku hanya menyukai kamu, bukan melakukan tindakan kriminal. Ah, harusnya aku memang sadar diri sejak awal 'kan? Kalian orang-orang berduit, sedang aku hanya gadis miskin yang tidak bisa berbuat apapun saat ditindas." Naya tertawa miris saat kembali mengingat masa lalu kelam di bangku sekolahnya dulu.
"Kamu berjanji akan memberiku 200 juta jika aku membatalkan pernikahan kita 'kan?" ia kembali menatap pada Bara yang hanya diam memandang jalanan. Namun tangan mencengkram kuat stir kemudi dalam genggaman.
"Akan aku lakukan. Lagipula 200 juta sudah lebih dari cukup. Ah iya, turunkan aku di depan sana."
Naya menunjuk sebuah gedung kosong tak jauh dari lampu merah.
"Disana cukup sepi."
"Apa peduli kamu? Lagian aku sangat menjijikan 'kan?"
Menghela pelan, Bara memberikan anggukan kepala sebelum kemudian melajukan mobilnya saat mendapati lampu lalu lintas telah berganti warna.
"Oke, kalau itu mau kamu."
Lalu pria itupun menurunkan Naya di tempat yang wanita itu inginkan.
"Cepat turun! Berlama-lama dengan kamu hanya membuat jengkel saja."
Naya melirik Bara sinis. Lalu dengan gerakan cepat melepas seatbelt yang melilit tubuhnya.
"Bisa aku meminta bukti untuk mempercayai perkataan kamu tentang uang 200 juta itu?"
Bara menyerahkan ponselnya yang membuat Naya mengerutkan dahi bingung.
"Tulis nomor rekening kamu. Aku akan mentransfer setengah dari nominal yang aku janjikan. Dan setengahnya lagi akan aku transfer setelah kamu membatalkan rencana pernikahan kita."
Dengan gerak ragu Naya menerima benda pipih yang pria itu sodorkan. Lalu segera mengetik nomor rekening miliknya disana.
"Sudah."
Tanpa banyak kata, Bara sibuk mengotak-ngatik ponselnya untuk beberapa saat. Sebelum kemudian bunyi notifikasi muncul di ponsel Naya.
"Silakan kamu cek."
Menelan salivanya susah payah, Naya menatap lagi pada Bara dengan pandangan datar.
"Terima kasih." ia berujar pelan sebelum bergerak turun dari mobil pria itu.
***
PART 8
***
12 tahun lalu..
Plok.
Plok.
"Cewek miskin kayak lo harusnya tahu diri! Kalau bukan gara-gara beasiswa, emangnya lo pikir bisa bersekolah disini hah?!"
Naya hanya memejamkan mata sambil meremas kuat kedua sisi rok sekolahnya. Sedang dihadapannya berdiri segerombolan anak lelaki yang dirinya tahu berada di kelas yang sama dengan Bara. Sedang lelaki yang menjadikannya bahan bulan-bulanan justru berdiri dari kejauhan tanpa berniat menolongnya sama sekali.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN HAH?!"
Rayhan tiba-tiba datang lalu menyampirkan jaket lelaki itu ke bahunya.
"Hanya karena menyukai seseorang dari kalangan kalian, apa membuatnya menjadi begitu buruk?! Apa kalian tidak memiliki sedikitpun hati nurani?" pandangan lelaki itu berpendar. Menatap satu-persatu orang disana. Tak terkecuali Bara yang hanya diam mematung.
"Percuma terlahir di keluarga berada, jika otak dan perilaku kalian sangat rendahan." lalu Rayhan membawa Naya pergi. Meninggalkan sekumpulan orang menyebalkan di belakang mereka. Orang-orang yang hanya mengandalkan kekayaan orang tua, namun berlagak hebat.
"Sumpah ya, Bar, lo udah keterlaluan."
Bara menoleh ke samping. Pada teman lelakinya yang dengan santai merangkul pundaknya.
"Gue nggak ada ikut campur sama perbuatan Ferdi."
"Tapi lo lihat yang kembaran Vanya lakuin 'kan? Terus kenapa lo diem aja?"
"Gue belum lama dateng. Tahu-tahu aja wajah Naya sudah dilempari telur." sahut Bara dengan wajah datarnya.
"Ck! Ngeselin emang ngomong sama cowok nggak ada hati kayak lo!" maki Fathan yang lantas meninju temannya itu.
"Lo beneran nggak ada rasa iba sama Naya? Lagian dia cuma suka sama elo. Apa salahnya sih?"
Bara mengedikkan bahu dengan kedua tangan menyusup ke dalam kantong celana.
"Gue butuh nomor Naya. Lo bisa bantu nyari tahu 'kan? Langsung kasih ke gue kalau lo udah dapet."
Bara menepuk dua kali pundak Fathan sebelum berlalu pergi.
"Ck! Dicintai sama yang tulus, ngejarnya malah yang cuma nganggap temen. Emang ya, nggak semua cowok ganteng itu pintar. Kecuali gue." gumam Fathan sambil menepuk dadanya bangga.
***
Naya merutuki dirinya karena memilih turun di tempat sepi. Seandainya saja Bara tidak membuatnya kesal, dia pasti akan tetap bertahan sekuat hati berada di mobil pria itu sampai di kontrakannya. Dengan begitu dia tidak perlu berjalan hanya untuk menemukan tempat ramai. Cukup ngeri jika menunggu ojek online di tempat sepi. Pasalnya bukan hanya hantu saja yang mengerikan, tetapi juga manusia yang terkadang sudah tidak memiliki hati nurani hingga tega melukai sesama.
Namun baru saja memikirkannya, dia justru berpapasan dengan gerombolan preman yang menatapnya sengit seolah menemukan mangsa baru.
Sialan sekali orang-orang itu. Tahu saja jika dirinya baru mendapatkan rejeki nomplok.
Tidak ingin kehilangan uang berharganya, Naya menyerongkan tubuh hanya untuk menyelipkan ponsel ke dalam baju.
"Hai, gadis manis. Sendirian saja nih? Mau Abang temenin."
Naya mengumpat dalam hati. Wanita itu lantas menelan salivanya berat sambil menatap bergantian tiga orang preman dihadapannya.
"Biarkan aku lewat."
"Mau kemana Neng? Biar Aa temenin." sahut yang lainnya.
"Nggak usah. Terima kasih."
"Sombong amat sih, Neng."
Dengan gerakan gesit, Naya berhasil menangkis tangan salah seorang pria gondorong dihadapannya.
"Jangan berani-beraninya menyentuhku!"
"Jangan sok jual mahal atuh, Neng."
Dan di saat pria grondrong tadi berniat menyentuhnya lagi, Naya langsung meraih tangan pria itu lalu memutarnya kencang sebelum kemudian melempar tubuh itu menjauh.
"Gadis sialan!"
Tidak peduli makian ketiga preman dihadapannya, Naya tak segan menendang preman satunya tepat di ulu hati. Sedang satu yang tersisa, ia beri tendangan dibagian selangkangan.
Memiliki celah untuk kabur, Naya segera berlari dengan kecepatan maksimal yang dirinya bisa sambil berteriak meminta pertolongan. Terlebih saat ia dapati ketiga preman yang tadinya tersungkur di jalanan, kini sudah mulai bergerak mengejarnya.
"BARA SIALAN!" makinya seraya melepas sepatu dengan hak setinggi dua centi miliknya.
"BERHENTI GADIS SIALAN!"
"KALIAN YANG SIALAN BRENGSEK!!"
Seolah doanya sedang terkabul, tiba-tiba ada sebuah mobil di depan sana yang bergerak mundur lalu berhenti tepat di sampingnya. Dan saat jendela mobil diturunkan, barulah dia kembali mengumpat.
"Cepat masuk!"
Bagaimana dia bisa tidak mengingat mobil milik Bara?
"Masuk Naya! Apa kamu mau preman-preman itu menangkap kamu?!"
Kembali memaki lantaran jarak ketiga preman di belakang sudah cukup dekat, tanpa banyak kata Naya segera masuk ke dalam mobil Bara.
"Huh.. Akhirnya bisa bernapas lega juga." ia mengelus dada sambil memejamkan mata sebelum kemudian menatap Bara dengan pandangan sengit.
"Ini semua gara-gara Kak Bara!" semprotnya.
"Kenapa aku?"
"Seandainya Kak Bara nggak bikin aku kesal, mana mungkin aku minta turun di tempat sepi."
"Bukannya itu keinginan kamu? Artinya bukan kesalahanku 'kan?"
"Tetap saja Kak Bara punya andil bikin aku nyaris mati muda!"
Memutar bola mata, Bara melempar botol minuman kemasan ke pangkuan Naya.
"Buat aku?"
"Kamu bisa membuangnya jika tidak membutuhkannya."
Naya berdecak pelan sebelum bergerak membuka penutup kemasan.
"Ngomong-ngomong, darimana Kak Bara tahu kalau orang yang tadi lari-lari itu aku?" wanita itu bertanya usai menghabiskan setengah isi dalam botol.
"Aku habis mampir ke minimarket yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat kamu berlari. Aku hanya tidak sengaja melihatnya."
"Jadi, bukan karena sengaja sedang menungguku?"
Bara menoleh ke samping dengan kedua alis terangkat.
"Jangan kepedean!" dan seruannya dibalas cibiran oleh Naya. Lalu suasana pun kembali hening. Hanya deru napas keduanya yang saling beradu. Sampai akhirnya mobil Bara tiba di depan kontrakan Naya.
"Terima kasih tumpangannya."
Naya segera melepas seatbelt dan kembali mengenakan sepatunya.
"Ah, iya.. Jangan lupa kurangan 100 jutanya." ia mengingatkan Bara sebelum beranjak turun dari mobil pria itu.
"Aku akan langsung menghubungi Kak Karin begitu masuk ke dalam." ia berseru memberitahu sebelum berlalu ke dalam kontrakan sederhananya.
Setelah memastikan tubuh Naya hilang dari balik pintu, barulah Bara kembali melajukan mobilnya.
*
Setibanya di rumah, Bara mendapati keberadaan istrinya di ruang tengah. Duduk sambil menumpukkan satu kakinya dan tangan terlipat di depan dada, Karin tampak begitu serius memandangi televisi yang hanya menampilkan layar gelap. Bahkan istrinya itu sampai tak menjawab salam darinya, yang kemudian ia ambil kesimpulan jika Karin sedang marah. Dan dapat dirinya pastikan bahwa Naya lah alasan dibaliknya. Wanita itu mungkin sudah mengatakan pada Karin perihal perjanjian mereka.
"Kamu baru sampai juga?"
Karin menepis tangan Bara yang ingin menyentuh pundaknya.
"Kamu marah? Apa ada alasan yang bisa aku terima untuk alasan kamu ini?"
"Jangan pura-pura bodoh, Bar. Aku tahu kalau kamu meminta Naya untuk membatalkan pernikahan kalian." ujar Karin tanpa mengalihkan pandangan dari layar hitam dihadapannya.
"Maksud kamu apa sih, Rin?"
Tertawa hambar, Karin melemparkan tatapan sengit pada pria yang telah menikahinya 5 tahun lalu.
"Kamu pikir bisa membodohiku? Apa yang kamu katakan pada Naya sampai dia membatalkan pernikahan kalian? Apa kamu memberinya uang pengganti? Benar begitu?"
Bara mengedik santai. "Aku hanya membuat sedikit penawaran, lalu tanpa disangka-sangka dia menerimanya. Yang wanita itu butuhkan hanya uang Rin, bukan sebuah pernikahan."
Karin mengangguk mengerti.
"Baiklah kalau itu keputusan kalian. Aku juga memiliki keputusan sendiri yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun."
"Maksud kamu--"
Pekataan Bara terhenti saat ia dapati Karin berlalu ke kamar dengan membiarkan pintu terbuka. Hanya butuh sepersekian detik, istrinya sudah kembali keluar bersama koper di tangan.
"APA-APAAN KAMU, KARIN!"
"Besok aku akan meminta pengacara untuk mengurus berkas perceraian kita."
Bara menahan pergelangan tangan Karin dengan sorot penuh amarah.
"Hanya karena menginginkan seorang anak, sampai membuat kamu bertindak sejauh ini?"
"Kamu nggak pernah tahu apa yang aku rasakan, Bar. Karena sekalipun kamu nggak pernah berada di posisiku." Karin menghempaskan kasar tangan Bara dari lengannya.
"Mungkin kamu bisa menunggu sampai 5 tahun ke depan, tapi bagaimana dengan orang tua kamu, Bar? Apa mereka bisa menunggu lebih lama lagi? Setidaknya dengan menikahi Naya, kamu memiliki peluang mendapatkan seorang anak."
"Aku bisa mendapatkannya dari kamu, Rin."
"Ya, tapi hanya kemungkinan kecil. Sedang kita berlomba sama umur orang tua kamu, Bar. Apa kamu tidak bisa mengerti perasaanku sedikit saja, Bar?"
"Aku selalu berusaha mengerti kamu, Rin."
"Apa kamu tahu, Bar, ada satu omongan orang yang membuatku sakit hati. Mereka mengatakan jika seandainya kamu tidak menikahiku, maka kemungkinan kamu sudah memiliki seorang anak. Dan karena kemakan omongan mereka, hidupku kembali hancur, Bar. Aku tidak bisa melanjutkan lagi kehidupanku seperti sebelumnya."
Karin mengusap kasar air matanya.
"Kalau kamu tidak sanggup menikah lagi, artinya kita harus bercerai. Hanya dengan begitu kamu bisa menikahi wanita lain tanpa harus memikirkan perasaanku." wanita itu menatap pria disisinya yang belum memberikan reaksi apapun.
"Terima kasih untuk lima tahun kebersamaan kita, Bar. Selamat tinggal."
"Aku akan menikahi Naya."
Langkah Karin seketika terhenti. Namun wanita itu tak langsung memutuskan berbalik.
"Jangan pergi, Rin. Aku janji akan menuruti keinginan kamu. Maaf karena ternyata aku belum bisa memahami perasaan kamu dengan baik."
"Sebelumnya kamu juga sudah setuju untuk menikahi Naya 'kan, Bar? Tapi apa yang aku dapatkan? Kamu berhasil membuatnya mundur."
"Kali aku berjanji akan menikahi Naya. Asal kamu tidak pergi dari hidupku, Rin."
"Apa kamu benar-benar serius kali ini, Mas?"
Karin membalikkan badan hanya untuk mendapati anggukan Bara.
"Kalau kamu masih meragukanku, aku bisa menikahinya minggu depan." ujar Bara dengan pendar serius.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
