Mengejar Asa | 8 : Bad Mood

13
4
Deskripsi

BAB 8 : BAD MOOD

Bab 8 : Bad mood

***

Kara memejamkan mata hanya untuk menikmati rasa sakit yang menjalari seluruh tubuh. Sekarang dia merasa tubuhnya akan hancur berkeping-keping.

Demi apapun, dia tidak bermaksud lebay. Memang seperti itulah kenyataannya.

Menempuh perjalanan lebih dari delapan jam menggunakan kereta api untuk pertama kalinya, sungguh sangat menyiksa. Tambahan setengah jam lebih, waktu yang harus dirinya tempuh untuk benar-benar tiba di rumah Pak Danar.

Astaga ..

Rasanya dia seperti akan mati.

Atau, ini memang rencana terselubung ayahnya yang ingin menyingkirkan ia sepenuhnya?

Membuat tubuhnya remuk redam sebelum kemudian hancur berkeping-keping.

Ya ampun, akhir-akhir dia memang sulit berpikir positif bila sudah menyangkut ayahnya yang super kejam.

"Kapan sih kita sampainya? Badanku udah pegel-pegel. Ish!" Protes Kara yang entah sudah berapa puluh kali membenarkan posisi duduknya. Sementara Arga yang duduk di samping sopir, tampak biasa saja. Malah pria itu dengan tenangnya memejamkan mata di saat dia sedang dilanda gelisah.

"Sebentar lagi,"

LAGI!

Begitu terus jawaban Arga setiap dia bertanya.

"Dari tadi bentar-bentar terus! Kasih jawaban tuh yang pasti-pasti dong!" Sahut Kara sewot sembari membenahi letak masker yang menutupi sebagian wajahnya.

Sedikit banyak pasti akan ada orang yang mengenalinya sebagai publik figur. Jadi untuk menghindari berbagai gosip, dia terpaksa menyembunyikan wajah dibalik masker. Bahkan sopir yang Arga bayar untuk mengantar mereka ke rumah, termasuk ke dalam lingkup orang-orang yang tidak ia izinkan melihat wajahnya secara terang-terangan.

Sekarang penggunaan media sosial sangat mengerikan. Dia tidak mau menjadi bahan gosip di tengah masa hiatusnya dari dunia hiburan.

"Arga! Lo dengerin gue nggak sih?!"

Kara meniup poninya kasar karena Arga malah enak-enakan tidur.

"Sebentar lagi kok, Mbak." Jawab sang sopir yang sempat melirik dari kaca dashboard.

"Ck, lama." Decaknya pelan yang diiringi hela napas panjang.

Melirik sekali lagi ke arah Arga yang tertidur--atau mungkin berpura-pura tidur, Kara mendengkus jengkel lalu memilih memejamkan mata ketika kantuk kembali menyerang.

Rasanya baru terlelap sebentar, tahu-tahu saja Kara sudah berada disebuah ruangan asing yang disebut sebagai kamar. Wanita itu mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa keberadaannya saat ini nyata, bukan mimpi belaka.

"Gue dimana?!" Pekiknya terkejut lalu buru-buru duduk sambil menatap sekitar.

Asing.

Ya, hal itulah yang Kara rasakan saat ini.

Seingatnya, tadi dia masih di dalam perjalanan menuju rumah orang tua Arga. Dia juga sempat ketiduran karena terlampau lelah setelah menempuh perjalanan panjang dan sama sekali tidak bisa beristirahat di kereta lantaran tubuh yang rasanya seperti mau remuk. Lalu tahu-tahu saja sekarang dia sudah berada di kamar asing.

Tunggu dulu.

Mungkinkah ini kamar..

"Sudah bangun?"

Baru juga membatin, sosok itu pun muncul dengan senyuman manisnya.

"Sepertinya kamu sangat lelah, saya sampai kesulitan membangunkan kamu, Kara." Terang Arga tanpa diminta. "Maaf, karena tadi pagi saya mengangkat tubuh kamu tanpa izin."

Ah, pantas saja.

Kara pikir dia sedang bermimpi.

"Ck, badan gue remuk gara-gara lo, tahu nggak?!"

"Kenapa saya?"

Arga menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi bingung.

"Saya kira, saya sudah mengangkat tubuh kamu dengan cara yang benar. Tidak mungkin ada yang terkilir, 'kan?"

Kara kembali berdecak seraya memutar bola mata.

"Maksud gue, gara-gara lo biarin gue naik kereta berjam-jam, sekarang tubuh gue jadi remuk!" Serunya tertahan."

"Ohh, kalau soal itu.. saya hanya menuruti perintah Pak Raden. Papa kamu."

"Makanya lo tuh harusnya protes! Bukannya malah diem aja." Omel Kara yang merasa jengkel dengan jawaban polos Arga.

"Sudah terlanjur, Kara. Lagi pula, kita juga sudah sampai. Mau disesali pun, percuma."

Memang.

Kara hanya sedang mengeluarkan uneg-unegnya saja.

"Sekarang sudah siang, sebaiknya kamu mandi lalu sarapan."

"Memangnya sekarang udah jam ber--"

Bola mata Kara langsung melotot begitu melihat jam kecil yang berada di atas nakas.

"SEBELAS?!" Pekiknya kaget.

"Iya, kamu sudah cukup lama beristirahat. Jadi saya pikir, sudah waktunya kamu bangun dan bersih-bersih."

"Ck, kenapa baru bangunin sekarang sih?!"

Kara buru-buru turun dari ranjang sambil menyentuh perutnya yang sudah mulai keroncongan.

"Harusnya lo bangunin gue dari tadi! Gara-gara kesiangan, gue jadi skip pemakaian cream pagi. Pokoknya kalau gue jerawatan, lo yang harus tanggung jawab!"

Arga meringis pelan. Kenapa dia selalu salah di mata Kara?

"Saya sudah mencoba membangunkan kamu berulangkali, Kara. Tapi kamu susah sekali bangun."

Dia tidak berbohong. Kara memang sulit dibangunkan. Bahkan dia sempat mengira istrinya mengalami koma gara-gara kecapean.

"Hari ini kamu juga melewatkan sholat subuh."

"Gue lagi mens!" Sahut Kara ketus.

Arga mengangguk mengerti.

"Kita hanya akan tinggal sementara di rumah orang tua saya. Kamu tidak keberatan buat tinggal disini dulu, 'kan? Memang bukan rumah mewah seperti milik orang tua kamu. Tapi In Syaa Allah, akan memberikan kenyamanan."

"Papa ngasih rumah buat kita?"

Kali ini Kara berusaha berpositif thinking. Namun gelengan Arga membuat wanita itu mendengkus.

"Kebetulan, saya sudah memiliki rumah sendiri dan jarang sekali saya tempati. Mungkin minggu depan kita sudah bisa pindah kesana setelah semua tempat dibersihkan."

"Cih, dasar sombong!" Decih Kara dengan ekspresi mengejek.

"Saya bukan bermaksud menyombongkan diri Kara, hanya memberitahu kamu dimana nantinya kita akan tinggal."

Arga sudah memikirkan hal ini matang-matang.

Apapun alasan dibalik pernikahannya bersama Kara, wanita itu tetaplah seorang istri yang wajib ia beri tempat tinggal yang layak. Walaupun bukan Kara yang ia harapkan untuk menjadi pendamping hidup, namun kini wanita itu telah memiliki hak untuk menempati rumah yang ia bangun.

"Ya, ya, ya, terserah. Gue nggak peduli. Asal bukan di kolong jembatan."

Mau taruh dimana mukanya jika penggemarnya tahu dia hidup luntang-lantung.

"Syukurlah, kalau begitu silakan kamu bersih-bersih dulu. Oh iya, itu koper milik kamu," Arga menunjuk koper besar yang berada di depan lemari pakaian.

"Ngomong-ngomong, di kamar ini nggak ada kamar mandi?"

Sudah berkali-kali Kara menatap sekeliling kamar yang luasnya tidak sampai setengah dari kamarnya. Namun wanita itu hanya mendapati ranjang dan lemari.

"Ya, tidak ada. Di rumah ini hanya ada satu kamar mandi. Ayo, saya antar kamu kesana."

Kara langsung memberi pelototan yang kontan membuat bola mata Arga membeliak kaget.

"Ma--maksud saya mengantar sampai depan pintu kamar mandi." Pria itu buru-buru meralat perkataannya.

*

Kara mengentikan langkah ketika kaki sudah mulai menapaki bagian terdalam rumah keluarga Arga.

Disana ramai orang. Bukan hanya satu atau dua, melainkan lebih dari lima orang. Mereka terlihat sibuk. Sepertinya akan ada acara masak besar-besaran di rumah ini.

"Pantes aja diumpetin terus di kamar, orang cantik gini istrinya." Celetuk salah satu ibu-ibu disana yang membuat Kara tersenyum kikuk. Sementara yang lainnya segera menjadikan ia sebagai pusat perhatian.

"Ini mah, istrinya cocok jadi artis, Ga." Celetuk yang lain.

"Emang udah paling bener diumpetin. Takutnya banyak yang naksir istri kamu, Ga. Hahaha.."

Kara melirik Arga yang tersenyum santai menanggapi ocehan para ibu-ibu disana.

"Loh, Nak Kara sudah bangun? Gimana Nak, tidurnya nyenyak, 'kan?"

Rumi yang baru kembali dari luar segera menghampiri anak dan menantu perempuannya.

Perhatian Kara kemudian beralih pada sosok Ibu Arga yang sudah pernah wanita itu temui beberapa kali. Kebetulan dulu istri Pak Danar pernah beberapa kali ke rumah orang tuanya dan mereka sempat bertemu juga.

"Alhamdulillah, nyenyak Bu." Ia segera menyalami tangan Bu Rumi.

"Gimana kabar Bu Rumi? Sudah lama kita tidak bertemu,"

"Alhamdulillah, baik Nak. Baik."

Rumi menepuk-nepuk punggung tangan sang menantu.

"Nak Kara belum sarapan 'kan?"

Kara menggeleng.

"Kalau gitu sarapan dulu, ya? Pasti capek setelah berjam-jam di jalan. Mandinya nanti saja."

Kemudian perhatian Rumi beralih pada sang putra.

"Temani istri kamu makan dulu, Mas. Ambilkan yang banyak biar kenyang."

"Iya Bu." Angguk Arga patuh.

"Ayo, Ra."

Kara mengerjap sebelum mengikuti langkah Arga menuju meja makan yang sudah mereka lewati tadi.

"Di rumah lo mau ada acara?" Tanyanya setelah duduk di kursi.

"Iya, Ibu mau buat syukuran buat pernikahan kita."

"Hah?"

"Kenapa kamu terkejut?"

Arga yang sedang mengambilkan nasi lantas menatap istrinya bingung.

"Sebenarnya Ibu ingin membuatkan kita acara resepsi. Tapi saya menolaknya, karena saya yakin kamu pasti tidak akan setuju,"

"Bagus lo nolak. Gue emang nggak setuju,"

Kara memajukan tubuh dengan tangan terlipat di atas meja. Wanita itu kemudian mendongak, menatap Arga yang juga sedang mengarahkan pandangan padanya.

"Buat apa mengadakan resepsi untuk sebuah pernikahan yang sebentar lagi akan berakhir. Benar, 'kan?"

Senyum miring terbit di wajah cantik Kara.

"Ya, berakhir di dalam mimpi kamu, Kara." Arga menimpali santai bersama senyum tipisnya yang seketika membuat ekspresi di wajah Kara berubah menjadi dongkol.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Mengejar Asa
Selanjutnya Mengejar Asa | 9 : Secret
10
4
BAB 9 : SECRET
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan