
BAB 7 : CRAZIER
Hayukk, hayukk, ramaikan ๐
Bab 7 : Crazier
***
Arga memijit pelipis sambil menyabarkan hati saat kembali ke dalam kamar dan mendapati istrinya yang tengah memejamkan mata di atas ranjang, hanya mengenakan bra dan bawahan rok.
Kebaya yang sebelumnya Kara kenakan ada di sebelah wanita itu. Teronggok kusut di samping tubuh pemiliknya.
Mengapa ayahnya tidak bercerita bahwa dia menikahi wanita aneh dengan kepribadian yang cukup mematikan.
Bahkan baru beberapa jam resmi menyandang predikat sebagai seorang istri, Kara sudah berani buka-bukaan di depannya yang notabene adalah orang asing. Setidaknya sebelum resmi menikah, mereka hanyalah dua orang yang tidak saling mengenal.
Tidak ada yang salah memang. Namanya juga sudah resmi sebagai pasangan. Jadi wajar-wajar saja bila Kara mau tampil buka-bukaan di depannya.
Sungguh, dia pria normal. Hanya merasa sedikit ngeri ketika takdir mempertemukan dirinya dengan wanita yang teramat berani dan tidak malu kepada orang asing seperti dirinya.
"Kenapa bengong? Terlalu menikmati pemandangan, kah?"
Melihat Kara yang tiba-tiba saja membuka mata dan beranjak duduk, sontak Arga membalikkan badan menghadap pintu kamar.
"Ck! Lo lagi belajar baris-berbaris di kamar gue?"
Kara menahan kedutan geli di sudut-sudut bibirnya.
"Buruan mandi! Gue gerah. Kecuali," menggantungkan kalimatnya. "Kecuali lo mau kita mandi bareng." Godanya jahil.
Arga sempat memejamkan mata sebentar sebelum kemudian membalikkan badan. Namun pria itu sengaja memalingkan wajah dari pandangan yang tersaji di depan mata.
"Lo normal nggak sih?"
Mendengar pertanyaan itu, sontak Arga memutar kepala menghadap Kara yang sedang menaikkan kedua alis.
"Tentu saja saya normal," jawabnya dengan nada protes.
"Terus kenapa lo kayak anak perawan waktu liat gue?"
"Saya hanya belum terbiasa melihat penampilan wanita seterbuka ini," Arga menunduk demi menghindari tatapan mata mereka.
Kara menyemprotkan tawa sambil bersedekap.
"Sayang sekali, padahal gue udah siap lo gempur seharian," wanita itu berkata santai bersama senyum miringnya.
"Tapi kalau lo nggak minat, gue bisa apa, 'kan?"
Arga mengangkat wajah dengan ekspresi tak percayanya.
"Buruan lo mandi, gue udah gerah banget!"
Kara kembali menjatuhkan tubuh ke ranjang dalam posisi terlentang.
"Apakah tawaran kamu sebelumnya masih berlaku?"
Wanita itu membuka mata dan terkejut ketika melihat Arga menurunkan tas lalu melangkah mendekat ke arahnya.
"Tawaran apa?" Cicitnya lirih.
"Tawaran untuk mandi bersama, atau bermain di ranjang seharian?"
Kara dibuat melongo dengan pertanyaan Arga yang bahkan memasang ekspresi datar saat mengatakannya.
"M--memangnya kenapa?"
Kembali beranjak duduk, Kara hanya bisa menelan saliva begitu Arga sudah berdiri dihadapannya.
"Sepertinya saya tidak keberatan kalau kita melakukannya sebelum berangkat ke Surabaya."
Lagi, Kara menelan saliva ketika tangan kekar Arga mengunci tubuhnya.
"Jadi, masih berlaku bukan?"
Sial.
Sepertinya dia menikahi pria berkepribadian ganda.
"Sebelum mandi bersama, bagaimana kalau kita memilih opsi kedua lebih dulu? Bermain di ranjang seharian." Bisik pria itu dengan nada yang sialnya terdengar menggoda di telinga Kara.
"Lo," ia tunjuk wajah yang berada di depan mata. "Serius?"
"Apakah saya terlihat sedang bercanda Kara?"
Tidak.
Double sialan.
Kara kembali meneguk saliva untuk yang kesekian kali.
Tidak ingin dipermalukan dengan permainan yang ia mulai, wanita itu berusaha terlihat santai dan memberikan cengiran lebar untuk menghadapi Arga yang ia kira kalem tapi ternyata jauh lebih gila darinya.
"Lo yakin mau melakukannya?"
"Heum, apa ada yang salah? Kita sudah menjadi suami istri. Jadi saya pikir, saya berhak memintanya kapanpun, bukan?"
Kapanpun?
Sial.
Mengapa pria ini percaya diri sekali?
"Apakah Anda siap menerima segala bentuk kekecewaan, Tuan Arga yang terhormat? Saya ini seorang publik figur yang tidak asing dengan dunia malam. Pergaulan saya pun cukup bebas. Jadi, apakah Anda bisa menerima kenyataan bahwa Anda bukan orang pertama bagi saya?" Ia tersenyum mengejek ketika mendapati keterkejutan di wajah manis Arga.
Uh, adik dan kedua sahabatnya benar. Pria ini sangat manis.
"Tidak masalah. Masa lalu itu milik kamu, sementara masa depan adalah milik kita berdua."
Bola mata Kara melotot kaget begitu mendengar jawaban Arga yang kini memasang senyuman lebar.
"Jadi, boleh saya mengambil hak saya sekarang juga, Kara?"
"Berengsek!"
Wanita itu segera mendorong kasar tubuh Arga kemudian berdiri di atas ranjang.
"Lo--" ia arahkan jari telunjuk ke depan wajah pria yang masih tersenyum menatapnya. "Jangan pernah sentuh gue! Sialan!" Makinya kasar.
"Saya pikir, kamu yang menginginkannya," Arga menyahuti santai. "Selain itu, saya hanya ingin membuktikan bahwa saya pria normal."
"Gue nggak butuh pembuktian apapun! Lo mandi sekarang juga atau gue bakal--"
Kara menghentikan perkataannya ketika wanita itu dapati Arga tertawa kecil.
"Sejak awal saya sudah tahu kamu hanya menggoda saya, Kara. Silakan lanjutkan tidur siang kamu," titah Arga yang sudah menghentikan tawa ringannya.
"Kamu tidak perlu khawatir Kara, saya tidak akan menyentuh kamu." Lanjutnya sebelum meraih tasnya kembali lalu melenggang pergi ke kamar mandi yang diiringi mulut Kara yang menganga lebar.
"Berengsek!" Maki wanita itu tanpa sadar.
Ingin hati mempermainkan, malah dia sendiri yang dipermainkan balik.
"Arga sialan!"
*
"Kalian akan berangkat ke Surabaya malam ini. Papa sudah belikan tiket kereta buat kalian berdua."
Kara mengingat dengan jelas bagaimana raut santai ayahnya ketika mengatakan informasi itu padanya beberapa jam lalu.
TIKET KERETA!!
Ya ampun ..
Ternyata selain diusir, dia juga dibuang oleh ayah kandungnya sendiri sampai-sampai ayahnya tega membiarkan ia menempuh perjalanan panjang menggunakan kereta api.
Ini sangat tidak adil.
Ayahnya bahkan membelikan tiket pesawat untuk Pak Danar dan Arga saat keduanya berangkat ke Jakarta. Tapi mengapa tiket kereta untuk dirinya?
Memang, dia pergi bersama Arga. Hanya berdua karena Pak Danar tidak bisa pulang. Namun tetap ikut mengantar sampai stasiun.
Kara menghentikan langkah dengan bibir cemberut yang tertutup oleh masker. Wanita itu menoleh ke samping. Menatap pada pria yang siang tadi membuatnya harus berbagi kamar.
Walaupun Arga memilih tidur di lantai dengan beralaskan selimut tebal miliknya, tetap saja dia sudah berbaik hati membiarkan pria itu tidur di kamarnya.
"Kenapa lo nggak minta Papa buat beliin tiket pesawat? Lo sengaja pengin liat nasib hidup gue makin mengenaskan?!" Omelnya pada Arga yang mengerutkan dahi bingung.
"Bukannya kamu yang putri kandung Pak Raden? Kenapa tidak meminta sendiri?"
Kara berdecak seraya memutar bola mata.
"Lo ngeselin banget sih jadi orang!"
"Loh, salah saya dimana?"
"Terserah!"
Arga menggelengkan kepala lalu mengikuti istrinya yang sudah keluar lebih dulu dari toko ponsel. Bahkan ketika ia membukakan pintu mobil, tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut sang istri.
Lagi-lagi menggelengkan kepala, Arga mengambil tempat duduk di kursi penumpang. Tepatnya di samping sang ayah yang akan mengantar mereka ke stasiun.
"Jadi beli hapenya, Non?" Tanya Pak Danar.
"Jadi dong, Pak. Galau kalau nggak ada hape."
Uh, mendadak ekspresi wajah Kara kembali muram. Wanita itu sudah melepas masker setibanya di mobil.
Ayahnya memang orang tua paling kejam. Bagaimana tidak, ayahnya mengambil seluruh fasilitas yang ia miliki. Termasuk ponsel dan seluruh kartu debit. Bahkan sekalipun semua itu hasil kerja kerasnya sendiri.
"Papa akan kembalikan semuanya setelah mendapat laporan dari Arga kalau kamu menjadi istri yang baik dan penurut. Tenang saja Kak, Papa bakal kasih bonus gede. Kamu mau apa aja bakal Papa turutin asal tidak melampaui batasan."
Begitu katanya.
Dia menerima bukan karena tergiur dengan bonus yang telah dijanjikan. Melainkan sudah terlampau lelah mendebat sang ayah. Lagi pula, selama tinggal bersama Arga, dia memiliki banyak kesempatan untuk merayu pria itu supaya mau bekerjasama. Soal bonus, dia tidak keberatan bila dibagi dua.
"Harus berapa kali Arga katakan, Pak. Mulai sekarang cukup panggil Kara saja, jangan pakai embel-embel non lagi. Bagaimanapun juga, Kara sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Pak Raden juga berpesan seperti itu."
Kara langsung menyipitkan mata mendengar perkataan Arga yang sempat melirik ke belakang sambil tersenyum.
Menyebalkan sekali pria itu.
"Bapak masih belum terbiasa, Mas."
"Makanya mulai dibiasakan, Pak. Kara juga nggak masalah. Iya 'kan, Ra?"
Arga menoleh ke belakang bersama senyum lembutnya.
"Heum," yang Kara balas dengan deheman pelan.
"Ya sudah, nanti Bapak belajar deh pelan-pelan." Kekeh Pak Danar.
"Nanti yang betah tinggal sama Arga ya, Non, kalau Arga macem-macem langsung hubungin Bapak."
"Pak, cukup manggil Kara saja." Arga mengingatkan sang ayah yang kemudian terkekeh geli.
"Iya Mas, iya. Bapak lupa."
"Dari dulu Arga memang ngeselin ya, Pak?" Kara bertanya dengan nada sewot.
"Loh, memang Arga sudah ngapain Nak Kara?"
"Pokoknya ngeselin banget deh, Pak. Dari pagi udah bikin Kara naik darah."
Kara memang cukup akrab dengan Pak Danar. Terlebih dulu Pak Danar yang selalu mengantar jemput wanita itu ke kampus.
"Benar Mas Arga?"
Arga menggeleng geli.
"Enggak kok, Pak. Justru Kara yang selalu sinis ke Arga,"
Wahhh, benar-benar pria ini.
Kara menatap tak percaya pada raut polos Arga yang terlihat seperti orang benar. Namun kenyataannya memiliki banyak kepribadian.
"Sudah-sudah, nanti kalau sudah serumah, Bapak minta kalian yang akur, ya?" Kekeh Pak Danar.
"Semoga Nak Kara juga bisa menerima keluarga Bapak dengan tangan terbuka ya, Nak? Walaupun pernikahan ini pasti berat untuk diterima, tapi Bapak berharap Nak Kara bisa menjadi istri dan ibu yang baik."
"I--iya Pak," Kara menjawab kikuk lalu melirik sinis pada Arga yang berpura-pura fokus menatap jalanan.
"Ngomong-ngomong, Nak Kara jadi beli hape yang belakangnya ada gambar apel kegigit itu?"
Kara tertawa kecil mendengar pertanyaan sopir pribadi sang ayah.
Ah, sekarang sudah menjadi ayah mertuanya.
Rasanya memang cukup berat menerima kenyataan bahwa dia menikahi putra Pak Danar. Tapi dia terus meyakinkan diri jika takdir yang sedang dia jalani saat ini hanya sementara. Hanya perlu bersabar sebentar sampai waktunya tiba untuk menjemput kebahagiaan dalam versinya.
"Bukan beli yang itu, Pak. Cuma hape biasa aja kok," wanita itu terlihat antusias sambil memperlihatkan kantong kecil yang di dalamnya berisi hape biasa seharga satu unit motor.
"Biasa dari segi mana?" Arga menoleh ke belakang dengan tatapan protes. "Harganya saja nyaris dua puluh satu juta."
"Memangnya kenapa kalau harganya dua puluh satu juta? Kan aku beli pakai uang sendiri."
Kara memang membelinya dengan uang sendiri. Lebih tepatnya uang mahar yang diberikan oleh Arga.
Demi apapun, Kara masih tidak percaya jika Arga sampai rela menggelontorkan uang dua puluh lima juta sebagai mahar untuk pernikahan mereka yang teramat mendadak.
"Setidaknya jangan katakan hape biasa. Bagaimanapun juga, harga hape kamu bisa untuk membeli satu unit motor."
"Ya, ya, ya, terserahlah." Kara berucap pasrah. Namun sedetik kemudian kembali memamerkan cengiran lebar sambil mendekap ponsel barunya.
Kali ini dia berhasil membuat ayahnya kalah.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
