Panel 209
“Gimana kalau pake motor saya aja, Mas.” Putri mencoba memberi usul. “Tapi…”
“Tapi?”
“Scoopy,”
***
“Bangsatt!" makinya pelan supaya tidak terdengar oleh Putri. “Basah, kotor pula!"
Ah, perkara motor dan helm sebenarnya tidak sial-sial amat, hanya terasa sedikit konyol saja.
Pukul enam Zafran sudah pergi meninggalkan kontrakan yang tentunya masih kosong. Entahlah, mungkin Satya dan Jonathan pulang larut lagi karena harus lembur. Dan sialnya malam ini langit terlihat lebih gelap dibanding hari biasanya. Bintang-bintang pun tak terlihat kilaunya. Zafran hanya berharap semoga hujan tidak turun.
Jarak kontrakan tempat tinggal Zafran ke Apotek Wijaya sebenarnya tidak jauh dan jarang sekali macet. Tapi agaknya malam ini pengecualian. Pasalnya setelah bermacet ria dan saling beradu bunyi klakson barulah ia tahu kalau ternyata di ujung jalan sana sedang digelar acara pengajian rutin yang tenda terpalnya memakan hampir setengah badan jalan.
Butuh waktu hingga dua puluh menit untuk Zafran sampai di tempat ini, Apotek Wijaya.
"Eh, Mas Zafran. Mau ambil obat lagi nih?" sapa Diki saat hendak mengeluarkan motor dari parkiran. "Tapi kok tumben rapi bener, Mas. Pake jaket sama celana jeans segala. Biasanya juga cuma koloran doang sama kaos oversized doang."
"Mau ket—"
"Widiiihh! Naik ninja!” Diki yang kaget melihat tampilan Zafran langsung menghampirinya. Lebih tepatnya menghampiri motor Zafran yang baru dilihatnya. “Keren...keren, gagah banget. Gokil! Tapi tumben banget naik motor gede. Beat orennya ke mana, Mas?"
Saking sudah sering bertemu dengan Zafran, Diki pun sudah terlihat santai berbicara dengannya. Sesekali juga kadang keduanya mengobrol di warung makan depan apotek saat jam istirahat. Makanya keduanya sudah tidak terlihat canggung. Bahkan sekarang mereka berdua sudah saling berbicara informal dengan mengganti panggilannya menjadi “gue-lo”.
"Masuk bengkel," jawab Zafran asal. "Mau ke mana lo kok ngeluarin motor? Bukannya tutup jam sembilan ya?"
"Mau ke kampus bentar, Mas. Ada barang yang ketinggalan."
“Oh.”
“Mau ketemu Mba Putri ya, Mas?” tebak Diki sambil tersenyum menyeringai seperti sedang meledek.
“Iya. Ada kan?”
“Ada di dalem, barusan aja masuk. Baru pulang dari seminar apa gitu sore tadi.” Zafran hanya membalas dengan anggukan. “Gue duluan ya, Mas. Takut keburu ilang barangnya hehehe.”
“Ya, hati-hati lo, lagi banyak begal.”
“Yaelah, Mas, kampus gue kan deket. Betewe, tenang aja Mas, gue dukung sepenuhnya pokoknya,” ujar Diki dengan tangan yang terkepal layaknya sedang memberi semangat. Awalnya Zafran tidak paham apa yang dimaksud Diki, tapi setelah melihat alis Diki yang naik turun dan pandangan matanya yang mengarah ke pintu masuk, Zafran langsung paham. “Semangat, Mas!” lanjutnya dan langsung melenggang pergi.
“Dasar bocah.”
Tak berselang lama setelah perginya Diki, Putri menghampiri Zafran di teras apotek. Pakaiannya masih sama seperti pakaian siang tadi yang ia kenakan untuk menghadiri seminar. Kaos putih berlengan pendek yang dilapisi blazer dan dipadukan dengan rok midi berwarna cream.

“Mas Zafran, nunggu lama ya?” ucap Putri sedikit canggung. “Maaf ya Mas, tadi lagi nyelesaikan daftar obat masuk dulu karena baru sempat kepegang.”
"Cantik. Cantiknya kayak apotek kosong, nggak ada obat," batin Zafran.
“Mas?”
Zafran terdiam sesaat lantas tersadar dan segera menggelengkan kepalanya. “Eh, ng—gak kok, Mba. Saya baru datang juga terus ngobrol bentar sama Diki.”
Lagi-lagi Zafran kikuk karena dihadapkan dengan seorang perempuan yang padahal baru beberapa bulan ia kenal ini. Rambut panjangnya tergerai rapi walau sudah agak lepek, mungkin efek kegiatannya yang padat. Namun, tetap terlihat cantik.
“Ini mau jalan sekarang atau mau masuk dulu, Mas?”
“Oh, terserah Mba Putri. Kalau masih ada yang mesti diurus selesaikan aja dulu, Mba.”
“Udah nggak ada kok, Mas. Udah beres. Cuma tinggal pelayanan aja kayak biasanya.”
Benar apa yang Satya Bilang, tiga tahun menjomblo ternyata membuat Zafran seperti ABG yang sedang berusaha untuk PDKT ke gebetan. Bahkan otaknya yang encer itu bisa tiba-tiba memadat saat dihadapkan pada situasi yang seperti ini.
“Kalau gitu sekarang aja berangkatnya, Mba. Takutnya malah nanti hujan.” Putri langsung menyetujuinya. “Tapi pakai motor nggak papa kan?”
“Nggak papa, Mas. Nanti saya bisa duduk nyamping.”
Zafran lantas bersiap untuk mengambil motor di parkiran apotek. Namun, mendadak urung setelah memproses perkataan Putri yang menyebut kalimat ‘duduk menyamping’ karena ia baru ingat kalau yang ia bawa sekarang adalah si hitam bukan beat oren milik Jonathan.
“Mba, tapi motor saya tinggi,” balas Zafran sambil menunjuk ke arah motornya. “Kalau duduk biasa … susah ya, Mba?” tanya Zafran sedikit ragu.
Putri yang melihat arah telunjuk Zafran langsung menatap rok yang dipakainya.
“Ah iya, tinggi banget ya, Mas. Saya kira Mas Zafran pake motor beat yang biasanya itu hehe.” Tawa Putri yang terdengar sedikit kikuk juga. “Tapi maaf banget ya, Mas, kayaknya saya nggak bisa kalau naik motornya Mas Zafran. Soalnya saya kelupaan nggak bawa baju ganti pas siang tadi. Cuma sepatu aja yang saya bawa ternyata.”
“Beneran nggak bisa ya berarti,” lirih Zafran.
Keduanya diam sebentar hingga salah satu dari mereka bersuara.
“Gimana kalau pake motor saya aja, Mas.” Putri mencoba memberi usul. “Tapi…”
“Tapi?”
“Scoopy,” jawab Putri sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
Komedi banget anjir! Gue udah mencoba untuk ngasih kesan biar keren malah ada aja apesnya.
Zafran hanya bisa menghembuskan napasnya selirih mungkin agar Putri tidak salah paham.
Lima detik berlalu…
"Oke deh, Mba. Kita naik scoopy.”
Benar-benar jauh dari rencana. Apa itu tampil keren dan gahar. Eits...tapi bukan berarti Zafran tidak suka naik scoopy hanya saja ini tidak sesuai rencanyanya. Niat hati ingin memperbaiki image-nya yang sudah anjlok di depan Putri akibat raut wajah 'nabernya' yang menjijikan itu, tapi ternyata semesta tidak menyetujuinya. Benar-benar apes.
Dan sialnya, sepertinya malam ini Dewi Fortuna memang sedang ingin mengerjai Zafran.
***
“Oke deh, Mba. Kita naik scoopy," ujar Zafran tak punya pilihan. “Boleh saya minta kuncinya? Mau saya ambil diparkiran sekalian mau markirin motor saya biar nggak menghalangi motor yang mau masuk.”
“Oh ini, Mas.”
Zafran pun mengambil kunci motor yang diberikan oleh Putri lalu berjalan menuju motor hitamnya untuk dipindahkan agar tidak menghalangi jalan. Niat hati ingin menggeser motor supra yang ada di samping motornya, lengan Zafran malah menyenggol bodi motornya hingga membuat helm yang ia letakkan di atas jok terjatuh dan menggelinding ke arah genangan air yang ada di dekat motor.
“Bangsatt!!" makinya pelan supaya tidak terdengar oleh Putri. “Basah, kotor pula!"
Putri memperhatikan dari jauh. Ia tahu kalau helm tipe full face milik Zafran jatuh di tempat genangan air. Selagi menunggu Zafran memindahkan motornya dan mengeluarkan scoopy milik Putri, ia masuk kembali ke dalam apotek.
“Rum, boleh pinjem helm nggak? Nanti ku kembaliin sebelum jam sembilan. Sebelum kamu pulang." Ternyata Putri masuk kembali ke dalam karena untuk meminjam helm pada Arum.
Arum yang memang sedang tugas jaga dan tidak memungkinkan untuk berpergian akhirnya membolehkannya tanpa bertanya lebih lanjut karena situasi apotek yang lumayan sedang ramai. “Boleh, Mba. Ambil aja di motorku ya, Mba. Yang helmnya mirip kayak punya Mba Putri.”
“Oke, makasih ya." Putri kembali ke parkiran dan langsung mencari helm bulat berwarna kuning. Dilihatnya Zafran tengah berdiri di samping motor Putri dan mencoba untuk membersihkan helmnya.
“Mas, pake helm saya aja. Itu helmnya Mas Zafran basah soalnya, airnya merembes ke dalam.”
Zafran pun menatap helm yang bertengger di kaca spion motor Putri. Bulat, kuning. Mirip kue nastar buatan Tante Dewi yang dibawa Satya minggu lalu. Ia juga melirik helm yang sedang dipegang oleh Putri. Lagi-lagi sama, bulat dan kuning.
Sudah tidak jadi berboncengan dengan motor kerennya, sekarang Zafran malah harus juga menggunakan helm bulat berwarna kuning milik Putri karena helm full face miliknya basah akibat menggelinding ke genangan air yang ada di depan apotek sesaat sebelum mereka berangkat. Benar-benar apes kuadrat.
***
Zafran yang awalnya sempat merasa kesal karena rencananya tidak berjalan sesuai keinginannya perlahan mulai menikmati perjalanan malam mereka di atas scoopy milik Putri lengkap bersama sepasang helm bulat berwarna kuning. Iya, Putri juga mengenakan helm yang sama dengan Zafran. Lebih tepatnya helm milik salah satu anak magang di apoteknya.
Apa syarat bekerja di Apotek Wijaya ini harus memiliki helm yang seperti ini? Hmm, tapi sepertinya tidak. Pasalnya helm yang dikenakan Diki tadi berwarna hitam,
tapi juga bulat.
Dan sekarang mereka berdua terlihat seperti kue nastar yang tengah membelah gelapnya malam disertai pantulan terang lampu jalan yang membuat helm mereka benar-benar berkilau layaknya kue nastar yang baru diolesi kuning telur. Zafran berharap helm nastarnya ini menghalau semua kesialannya yang lain termasuk menangkal niat jahat para begal di Jalan Supratman.
Ah, perkara motor dan helm sebenarnya tidak sial-sial amat bagi Zafran, hanya terasa sedikit konyol saja kalau diingat-ingat lagi bagaimana kejadiannya.
Bisa-bisa diketawain nih gue sama bangsat-bangsat yang ada di kontrakan.
Di awal perjalanan, mereka berdua lebih sering diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ada yang sibuk untuk mencari topik obrolan, ada juga yang sibuk menutupi roknya yang kadang terbang karena angin. Sesekali mereka berdua juga saling bertanya tentang kegiatan hari ini. Candaan garing dan celetukan yang Zafran lontarkan pun disambut tawa oleh Putri. Entah karena lucu atau memang Putri saja yang memiliki selera humor seperti koin alias receh. Selebihnya mereka hanya saling bersahutan Hah? dan Apa? saja karena suara yang terbawa angin.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰