I'm Not Your Obsession

5
0
Deskripsi

sinopsis; 

 

Demi memberikan kebahagiaan untuk adik angkatnya, Felicya rela melakukan apapun itu. 

saat adiknya harus melakukan perjodohan yang tak di inginkan demi menyelamatkan perusahaan sang ayah, Felicya mengupayakan cara lain. 

Felicya mengorbankan hidupnya, saat pria kejam berhati dingin itu mengajukan sebuah persyaratan. 

Yaitu.. rela menampung benih pria itu di rahimnya.

~I'm Not Your Obsession~

 

 

 

Prolog;

Sepasang manusia yang kini tengah bergumul untuk mencapai kepuasannya masing-masing semakin bergerak agresif. Tak memerdulikan malam yang semakin larut. Bahkan hawa dingin sama sekali tak mempengaruhi diri mereka yang telah panas dengan hawa nafsu. 

Sang gadis yang hanya terlentang dengan kedua kaki yang terbuka lebar, memberikan kemudahan bagi pria itu memasuki liang senggamanya. Tangannya meremas bantal dan seprai secara bergantian. Pria di atasnya itu semakin gila menghunjamkan miliknya dalam-dalam.

Gadis itu hanya terus mendesah dan berteriak. Tak di pungkiri, hatinya pilu merasakan kegiatan intim ini. Bagaimana tidak. Pria yang saat ini tengah menyetubuhinya adalah pria pertama baginya. Sekaligus pria yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya. 

Bunyi dan aroma percintaan mereka semakin menguar di seluruh penjuru ruangan itu. Bagi pria itu, bercinta hanya dengan sekali orgasme tidak akan pernah cukup baginya.

"Ahhhh,.. Shhhh...." desahan itu seakan memberikan semangat lebih untuk pria itu menggerakan kejantanannya yang berpacu di dalam vagina sang gadis. 

"You so hot, babe." pria itu merendahkan tubuhnya tepat di samping wajah sang gadis. Mengucapkan katanya tepat di telinganya.

Air mata mulai mengalir di sudut mata gadis itu. Hidupnya telah sepenuhnya hancur. Karena tidak ada yang lebih buruk dari seorang wanita yang kehilangan keperawanannya sebelum menikah. Ini semua ia lakukan demi keluarga yang telah memberikan kebahagian baginya. Ya. Ia harus kuat menjalani penderitaan ini semua. Meski hatinya telah hancur menjadi kepingan debu yang hanya akan hilang dengan sekali saja tiupan angin. 

 

 


 

 

Bab 1

                               

 

Seorang gadis remaja yang sedari tadi hanya mendengarkan pertikaian seorang anak dan ayah itu menegang dalam tempatnya. Ia terus mendekatkan telinganya pada pintu, agar lebih mendengar perdebatan itu secara jelas. 

"Dad. Tata gak mau nikah! Tata masih delapan belas tahun! Daddy ingat itu. Apalagi Daddy menyuruh Tata menikah dengan seseorang yang belum Tata kenal." 

"Kamu gak punya pilihan, Ta. Daddy tidak sedang memberi pilihan untukmu. Ini perintah dari Daddy." tegas pria paruh baya itu. 

"Enggak! Tata bilang enggak ya enggak! Kenapa harus selalu Tata yang menderita! Kenapa tidak kau suruh saja anak tirimu itu untuk menikah!" tolak Brighita sedikit menaikkan volume suaranya. 

Setelah mengatakan itu, Brighita beranjak keluar dari ruangan itu. Ia sempat terkejut melihat gadis yang selalu ia anggap sebagai musuhnya. Tatapan dingin selalu Brighita tunjukan pada gadis itu. 

Gadis itu, Felicya Margaretha Jodie. Menghela nafas leganya setelah kepergian adik tirinya itu. Ingin sekali Felicya menghilangkan tatapan dingin Brighita terhadapnya. Ia ingin melihat Brighita tersenyum padanya. Meski hanya seorang saudara tiri, Felicya tetap menyayangi Brighita seperti adik kandungnya sendiri. Tak peduli seberapa keras Brighita menginginkannya untuk pergi, dan tak peduli seberapa kasar perilaku Brighita terhadapnya. Felicya selalu akan peduli pada adik tirinya itu. Karena Felicya sadar, Brighita bertindak seperti itu karena merasa Felicya lah perusak kebahagiaan gadis itu. 

Dengan langkah gontai ia berjalan kearah kamarnya. Beberapa hari ini, ayahnya terlihat sangat lelah dan kurang tidur. Itu membuat Felicya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Dan saat mendengar percakapan sang ayah dan Brighita barusan sedikit membuat Felicya menarik kesimpulan bahwa ayahnya ingin menjodohkan Brighita dan di tolak oleh gadis itu. 

Tapi apa yang membuat ayahnya ingin menjodohkan Brighita? Felicya harus mencari tau pokok permasalahan apa yang terjadi.

Saat di ruang tengah, Felicya melihat Tamrin yang kini sedang duduk seorang diri. Di lihat dari situasinya, ini saat yang tepat untuk menanyakan permasalahan apa yang sedang terjadi pada orang kepercayaan Daddy nya itu. 

 

"Pak Tamrin." 

"Iya nona." Tamrin menggeser tubuhnya sedikit. 

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi pak?" Felicya menatap penuh harap agar Pak Tamrin mau menjelaskan padanya. 

Meski ragu, tapi Tamrin memilih untuk menjelaskan. "Saat ini, perusahan milik tuan Vincent sedang mengalami krisis keuangan. Jika tidak segera di atasi, perusahan itu akan mengalami kebangkrutan. Solusi yang bisa menyelamatkan perusahaan tuan hanya dengan menikahkan nona Brighita. Tapi bliau menolak dengan perjodohan itu." 

Terjawab sudah. Felicya memejamkan matanya, menetralkan kegugupannya. 

"Lalu siapa yang akan menikah dengan Brighita?" 

"Dia, Darin Blaine Wilkens." 

"Terimakasih atas infonya pak." 

"Sama-sama nona." 

Felicya bingung apa yang harus di lakukannya demi bisa membantu sang ayah. 

Sementara kondisi di rumah semakin hari semakin memburuk. Brighita yang kabur dari rumah, dan kondisi sang ayah yang mengalami penurunan.

"Ayah." panggil Felicya. 

Vincent menyenderkan tubuh lemahnya di kepala ranjang. 

"Iya, Nak. Kemarilah. Apa ada yang ingin kau butuhkan." 

Melihat kondisi sang ayah yang pucat tak bertenaga menyesakkan hati Felicya. 

Felicya mendudukkan dirinya di sisi ranjang sang ayah. Menatap pilu pada wajah sang ayah. Wajah yang biasanya di hiasi dengan sinar ketegasan itu kini nampak redup. 

"Ayah, Feli akan membantu ayah." 

"Memangnya apa yang ingin kau lakukan Nak? Cukup kau melanjutkan pendidikanmu, itu sudah cukup membantu ayah." 

"Feli akan berusaha membujuk tuan Darin agar mau membantu ayah, tanpa harus menikah dengan Tata." ucap Felicya penuh tekat. 

"Kau tidak akan bisa Feli. Darin bukan tipe orang yang membantu secara cuma-cuma. Dia selalu mengharapkan imbalan." 

"Ayah tenang saja. Aku pasti bisa melakukannya." setelah mengatakan niatnya itu, Felicya lekas keluar dari kamar sang ayah. 

Malam harinya, Felicya telah siap untuk mendatangi sasaran utamanya. Meski sedikit takut, Felicya selalu meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Terlebih ini semua ia lakukan untuk keluarganya. 

Dengan setelan seadanya Felicya mendatangi rumah Darin. Felicya kini berdiri tepat di depan bangunan megah nan mewah itu. 

Sebarapa kayanya pria itu? 

Felicya berdecak kagum. Mengeratkan genggaman tangannya pada tas slempang miliknya. Felicya menghembuskan nafasnya sebelum akhirnya menguatkan dirinya untuk masuk. 

"Permisi, bisa saya bertemu dengan Mr. Darin." ucap Felicya sopan pada maid yang kini berdiri di hadapannya. 

Maid itu secara terang terangan melemparkan tatapan tak suka ke arahnya. 

Oh Why? 

"Mari ikuti saya." 

Felicya mengikuti arahan maid yang berjalan di depannya. Maid itu membawanya ke arah sayap kanan bagian rumah itu. 

Luar biasa mewah. Brighita sama sekali tak mampu memalingkan pandangannya pada setiap penjuru rumah itu. 

Banyak sekali para maid yang berlalu lalang membersihkan rumah mulai dari mengelap, menyapu dan banyak lagi. 

Sampailah Felicya pada sebuah mini bar. Dan disanalah Felicya dapat melihat postur tubuh gagah seorang kaum adam. 

Tangan kanannya memegang segelas vodka. Kemeja mahalnya yang berwarna putih, kusut dengan dasi yang longgar. 

Pandangan Felicya naik menuju wajah pria itu. Oh God! Ukiran itu... Wajah itu terukir dengan sempurna. Felicya termangu. 

"Tuan, ada yang ingin bertemu." kata maid itu. Menunduk dan berlalu pergi. 

Meninggalkan Felicya seorang diri bersama pria asing itu. Suasana di ruangan itu berubah mencekam. Terlebih penerangan yang hanya remang-remang saja. 

 

Felicya meneguk salivanya ketika pria itu tak kunjung bersuara dan malah meminum vodkanya. 

"P-permisi." sela Felicya. Dirinya tak tahan untuk tidak bersuara. 

Felicya menggeram, tak kunjung mendapatkan jawaban. 

"Per-" 

"Saya rasa saya tidak punya urusan dengan anda." balas suara rendah itu.

Ugh.. Suara itu sangat mengnganggu Felicya. Sexy sekali..

"Tapi saya ingin bertemu tuan Darin." 

Pria itu mengeryit. Dan barulah tatapan mereka saling bertemu.

Pria itu berdiri dari duduknya. Mendekat kearah Felicya. Felicya selangkah mundur saat pria itu semakin mendekatinya. 

"Aku Darin." 

Pernyataan dari pria itu membuat Felicya terpukul. Darin yang ada di pikirannya bukanlah serupa sesempurna itu. 

Felicya mengatupkan bibirnya yang sempat jatuh beberapa detik.

Guratan di wajah Felicya membuat Darin tertarik. 

"Memangnya apa yang saat ini sedang kau pikirkan." 

"Yahhh.. Kau tau bukan apa yang aku pikirkan saat ini? Aku kira kau itu pria tua bertubuh gemuk, botak ompong dan sangat menjijikan." Felicya berucap jujur. 

Darin menatap datar. Tak suka dengan tudingan Felicya. 

"Cepat kau katakan apa tujuan mu kemari."

"Oh? Jadi Tuan. Nama saya adalah Felicya Margaretha Jodie. Saya adalah kakak tiri Brighita. Niat saya kesini untuk meminta Tuan memutuskan pernikahan Tuan dengan adik saya. Dan sebagai gantinya, saya rela bekerja dengan anda. Tapi saya mohon, agar Tuan Darin yang terhormat tetap membantu perusahaan ayah saya." 

"Aku tidak ingin melakukannya." tolak Darin mentah-mentah.

"Aku mohon tuan. Aku mohon. Aku akan mengikuti apapun ke inginanmu. Mencuci bajumu, memasak untukmu, membersihkan rumahmu.. Apapun tuan. Aku mohon." Felicya menangkupkan kedua tangannya, memohon. 

"Aku tidak membutuhkan pembantu. Yang ku butuhkan saat ini hanyalah seorang bayi." 

 

Deg! Felicya mematung. Jika itu yang sangat dibutuhkan oleh Darin saat ini, lalu apa yang bisa dilakukan olehnya sekarang. 

"Begini saja. Aku akan membatalkan pernikahan itu, asal kau mau menjadikan rahimmu untuk menampung benihku." Darin mencondongkan tubuhnya, membisikkan kalimat itu tepat di telinga Felicya. 

Seluruh tubuh Felicya meremang. 

 

 


 

 

Bab 2

 

 

 

Felicya berjalan gontai menuju kamarnya. Apakah keputusan yang sudah ia ambil ini benar?? Felicya ragu akan keputusannya itu. 

Beberapa jam yang lalu.. 

Darin melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap tanpa minat gadis yang kini ada di hadapannya. Felicya dengan teliti membaca secarik kertas yang kini berada di tangannya. 

Keringat dingin mengucur di telapak tangannya. Tulisan-tulisan yang ia baca saat ini begitu tidak manusiawi. Disana tertulis, pihak kedua harus selalu melayani setiap keinginan pihak pertama. Tidak ada bantahan, dan penolakan. Kegiatan sex akan tetap di lakukan meskipun pihak kedua sudah di nyatakan hamil. Setelah masa kehamilan berakhir, pihak kedua harus meninggalkan bayi itu, dan tidak di perbolehkan untuk menemui bayi itu barang sekalipun. Bayi itu hanya akan menjadi milik pihak pertama. 

Felicya mendesah gusar. Akankah ia sanggup melakukannya?? Membayangkan darah dagingnya kelak yang sama sekali tak mengetahui keberadaannya, itu sedikit menyesakkan relung hati Felicya. 

Darin yang tak sabar menunggu keputusan Felicya, mengetukkan kedua jarinya pada meja kaca yang menjadi sekat keduanya. 

"Apa keputusanmu?" tanya Darin masih dengan wajah dinginnya. 

Felicya menatap Darin sayu. Tatapan dingin Darin inilah yang semakin membuatnya ragu untuk menerima kesepakatan ini. 

"Cepatlah gadis muda. Waktu ku terbuang habis secara percuma hanya karena dirimu!" geram Darin tertahan. 

Meneguk salivanya, Felicya menguatkan jiwa raganya. Memejamkan matanya untuk mengumpulkan kekuatan pada dirinya. 

"Bba-baiklah, saya bersedia." kata Felicya. Masih ada sedikit keraguan dalam kalimatnya itu. 

Darin tersenyum culas. Sekarang ia tidak harus menikah untuk mendapatkan seorang anak. 

"Baiklah, sekarang cepat tanda tangani surat itu." titah Darin. Felicya mengangguk dan mulai menorehkan tinta hitam pada kertas sialan itu. 

Shit! Felicya tidak bisa membayangkan jika dia akan berakhir seperti ini. 

"Kau boleh pulang. Minggu depan, kau akan di jemput supirku. Dan jangan lupa untukmu membawa semua barang-barangmu." Darin berdiri, tersenyum angkuh. "Ingat, posisimu hanya menjadi pelayan pribadiku. Tidak lebih. Aku tidak mengharapkan dirimu bila kau jatuh cinta padaku. Dan jangan pernah ikut campur usrusanku nantinya." suara berat Darin terus terngiang di benak Felicya. 

Hingga kini dia terkapar di atas kasurnya. Tatapannya menerawang jauh ke atap-atap kamarnya. 

Karena lelah dengan segala pikiran yang memberatkannya. Kedua mata Felicya terpejam sempurna. Tapi keributan di luar kamarnya itu membuat matanya kembali terbuka. 

Karena rasa penasarannya itu begitu kuat, Felicya mengabaikan rasa kantuknya, dan mencoba mencari tau apa yang sedang terjadi. 

Namun begitu pintu kamarnya terbuka, Margaretha sang ibu sudah berdiri di depannya. Margaretha langsung menarik Felicya masuk kembali ke dalam kamar. 

"Ada apa ini ma?? Kenapa di luar sangat ribut sekali?" Margaretha mendudukkan dirinya di sisi ranjang, dan barulah menjawab pertanyaan anaknya. 

"Brighita kabur dari rumah." jawabnya. 

"Apa?!" triak Felicya, shock. Berbeda dengan ekspresi yang kini di tampilkan sang ibu, tenang dan tidak peduli. 

Felicya paham jika ibunya itu menunjukkan rasa tak pedulinya. Karena memang Margaretha tidak menyukai Brighita. Keduanya sering kali melemparkan tatapan tajam dan tanpa sungkan-sungkan akan selalu menunjukkan rasa ketidaksukaan mereka. 

"Aku harus mencarinya." Margaretha mencekal lengan Felicya, menghentikan langkah gadis itu. 

"Untuk apa mencari anak itu! Biarkan saja anak tidak tau sopan santun itu pergi!" 

"Apa mama lupa? Brighita lah putri di rumah ini. Dan aku harus mencari gadis itu dan membawanya pulang. Jangan pernah mama berharap aku mampu menggantikan posisi Brighita! Sudah cukup mama menghancurkan kebahagiaan keluarga ini." Felicya bergegas keluar. 

Ibunya itu sungguh keterlaluan. 

 

Felicya mengetuk pintu ruang kerja ayahnya, Vincent. Mengecek kondisi pria paruh baya itu.

Di meja kerjanya, Vincent mendesah gusar. Gurat kecemasan begitu kentara di wajahnya. Felicya prihatin melihat sang ayah. 

"Ayah baik-baik saja?" Vincent mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Felicya. 

"Hmm. Ayah baik-baik saja." jawabnya, mencoba menunjukkan senyuman. Menyembunyikan kesedihan. 

Felicya sadar. Ayahnya mencoba terlihat baik-baik saja agar tidak membuatnya khawatir. Felicya mendekat dan mengusap lengan sang ayah. 

"Ayah tenang saja, Feli pasti akan membawa Tata pulang secepatnya." 

"Kau mau membantu ayah?" Felicya mengangguk antusias. Apapun akan ia lakukan demi keluarga ini. Untuk itu ia tidak pernah ragu untuk mengatakan 'iya' di saat Vincent sedang membutuhkan bantuannya. 

"Ayah ingin kamu menghadiri acara ini. Masalah Tata, biar ayah dan pak Tamrin yang akan mencarinya." Vincent memberikan undangan yang baru saja ia ambil dari laci mejanya. 

Felicya menatap undangan itu. Ia pikir ayahnya akan memerintahkannya untuk mencari Brighita dengan seluruh tenaganya. 

Felicya menerima undangan itu. "Ini.. Kenapa ayah menyuruhku untuk datang ke acara pesta??" 

"Ayah ingin kau pergi kesana untuk mewakili Brighita. Itu adalah acara pesta ulang tahun dari anaknya kolega bisnis ayah. Ayah tidak enak jika kau dan Brighita tidak hadir. Kau mau kan pergi kesana dan menggantikan Tata?" 

Felicya sungkan untuk menolak. Ia menerima undangan itu. 

Setelah memastikan Vincent memakan-makanannya, dan memberikan obat pereda sakit kepala, Felicya pamit kembali ke kamarnya. 

Tidak pernah terlintas di pikiran Felicya, Brighita akan bertindak seperti sekarang. Untuk itu, Felicya mengambil langkah dengan mengorbankan dirinya. Dan membuat Brighita terbebas dari jeratan pernikahan. Tapi justru gadis itu malah pergi. 

Semua ini terjadi karena kurang adanya komunikasi antara keduanya. Seharusnya Felicya membicarakan hal ini pada Brighita terlebih dahulu, dengan begitu gadis itu tidak harus pergi, dan ayahnya tidak akan merasa cemas seperti sekarang. 

 

 

✡✡

 

Hari dimana pesta itu berlangsung. 

Felicya sudah berdiri di depan salah satu klub malam ternama. Ia merapikan kembali tatanan rambutnya. Menata dress-nya agar lebih terlihat rapi. 

Beberapa orang yang Felicya yakini tamu dari pesta itu silih berganti memasuki Klub. Felicya memperhatikan pakaian yang di kenakan setiap tamu undangan. Semua berpakaian minim. Meskipun Felicya juga tidak bisa di katakan berpakaian tertutup, tapi pakaiannya itu masih di katakan yang paling sopan. Meski dress selututnya itu begitu mengekspos kaki jenjangnya, dan tanpa adanya potongan lengan yang menunjukkan pundak putih pucatnya. Itu masih jauhh lebih sopan dari mereka yang mengenakan pakaian kurang bahan. 

Felicya mengambil topeng yang memang sudah di sediakan di depan pintu masuk. Baru Felicya sadari bahwa pesta ini bertema pesta topeng. Dan pilihan Felicya jatuh pada topeng berwarna silver. Alasannya, karena topeng itulah yang tidak terlalu mencolok di antara topeng lainnya. 

Alunan musik di pesta itu tidak hingar bingar seperti klub biasanya, justru musik yang dipilih mengalun lembut. Menampilkan kesan berkelas. 

Felicya menghampiri si pemilik pesta dan mengucapkan kata selamat ulang tahun. Sedikit berbasa-basi lalu setelah itu pergi. 

Karena tidak ada yang di kenalnya di pesta itu, Felicya memilih menuju bar. 

"Wiski, please." pinta Felicya pada sang bartender. Yahh Felicya bukanlah gadis polos yang tidak tau menau tentang alkhohol, meski ini pertama kalinya dia minum, Felicya sedikit belajar jenis-jenis alkhohol serta kadarnya. 

Pilihan Felicya langsung tertuju pada wiski, karena setaunya, minuman itu memiliki kadar alkhohol yang cukup tinggi. 

Felicya langsung meneguk segelas wiski yang telah tersaji di hadapannya. Sedikit mencekat di kerongkongannya. 

Felicya ingin melupakan semua masalahnya, untuk itu ia kembali meminta bartender untuk mengisi gelasnya. 

Dua gelas wiski telah Felicya habiskan, kepalanya mulai berdenyut. Tiba-tiba saja seorang pria duduk di sampingnya dan menyapa dirinya.

"Kau tidak harus meminum minumanmu sendiri. Akan terasa lebih nikmat bila meminumnya bersama seorang teman." kata pria itu. 

"Satu gelas wiski." pinta pria itu. Bartender itu segera membuat pesanan pria itu. 

Felicya menatap bingung pria yang saat ini mengenakan topeng berwarna emas. Sepertinya pria itu begitu tampan. Rahangnya begitu kokoh, bibirnya begitu sensual dan warna mata itu.. Aghhh.. Felicya merasakan pening kembali menerpanya. Tubuhnya sedikit terhuyung kedepan. Pria itu menangkap kedua bahu Felicya, membantu Felicya kembali duduk dengan tegap. 

"Sepertinya kau sudah mulai mabuk." Felicya tak mampu mendengar dengan jelas apa perkataan pria di hadapannya. 

Pikirannya justru masih di penuhi kekagumannya pada sosok di hadapannya ini. 

"Kau baik-baik saja?" tanya pria itu. 

Felicya menggeleng lemah. "Sepertinya tidak." 

Pria itu berdiri. Felicya mendongak melihat pria itu. Begitu penasaran dengan rupa tanpa topeng pria itu. 

Pria itu membantu Felicya berdiri. Felicya menurut. Pada saat kakinya menginjak lantai, Felicya limbung dan jatuh kepelukan pria itu.

Bukannya segera menjauh, Felicya justru mengendus aroma parfum pria itu. Wangi. Semakin menenggelamkan kepalanya pada dada bidang yang nyaman.

Pria itu tak keberatan. Dan justru sebelah sudut bibirnya terangkat. Tangannya bergerak membelai bahu Felicya. Lembut. Pikiran gila pria itu mulai bermunculan. Leher jenjang nan putih itu akan semakin menggoda jika terdapat kissmark di sana. Dan ia ingin segera menggambar kissmark disana. 

Melihat ketidak berdayaan Felicya saat ini, pria itu lekas membawa Felicya ke dalam sebuah ruangan. 

"Dimana ini?" tanya Felicya saat sadar dirinya berada di tempat berbeda. 

Begitu pintu tertutup sempurna, pria itu langsung memanggut bibir Felicya rakus. Ciuman itu begitu mendadak. Felicya terkesiap. Tapi merasakan kelembutan bibir pria itu menari di bibirnya, Felicya begitu cepat terlena. Kedua tangannya ia kalungkan di leher pria itu. 

Ciuman itu semakin intim. Pria itu kini tak lagi mencium bibirnya, membuat Felicya meraup nafas dalam-dalam. Ia pikir pria itu akan berhenti, tapi tidak. Bibir pria itu justru mengecupi seluruh sisi wajah Felicya. Lalu turun pada lehernya. 

Awalnya meniup pelan kulit lehernya. Dan itu sukses membuat Felicya merinding. 

"Akhh.." desah Felicya tak tertahan saat pria itu menyesap lehernya, menggigitnya dan meninggalkan tanda kemerahan di sana. 

Pria itu menjatuhkan tubuh mereka di atas kasur. Tubuh kecil Felicya tertindih di bawah kuasa tubuh pria asing itu. 

Pria itu semakin mempermainkan gejolak yang baru pertama kali di rasakan Felicya. 

Pria itu berlama-lama mengecupi dan menghirup aroma wangi yang menguar pada leher serta bahu gadis yang saat ini tengah berada di bawah kuasanya. Bahu itu menjadi tempat favoritnya saat ini. 

"Ahh.. Shhh..." Felicya menggigit bibirnya untuk meredam desahannya. 

Tergesa-gesa, akibat tidak tahan lagi mendengar desahan Felicya, pria itu merobek gaun Felicya. Felicya seolah sudah tidak peduli apapun, gadis itu sibuk meremang merasakan cumbuan-cumbuan nikmat pria itu. 

Kini tubuh bagian atas Felicya telah terekspos. Hanya tinggal celana dalam yang masih tersisa, menutupi bagian paling intim tubuhnya. 

Pria itu menatap takjub payudara Felicya. Tidak terlalu besar, dan terlalu kecil. Ukuran yang pas dan sempurna untuk tubuh seperti Felicya. 

Tak berlama-lama, pria itu langsung meremas gundukan kenyal itu. 

"Akhhh.." jerit Felicya saat merasakan kerasnya pria itu meremas payudaranya. "Sakittsshh.." 

Pria itu tersadar. Mungkin dirinya terlalu bersemangat dan tanpa sadar remasannya menjadi kencang. 

"Apa aku terlalu kasar? Sebelumnya aku tidak pernah bersikap lembut pada setiap partnerku. Tapi kali ini untukmu, pengecualian. Aku akan bersikap lembut." pria itu mendaratkan ciuman di bibir Felicya. 

Pria itu menepati janjinya, membelai lembut bibir Felicya. Felicya kembali tenang, dengan kenikmatan yang semakin bertambah, saat pria itu kembali bermain di payudaranya. 

 

"Ahhh.." desahan itu terus keluar dari bibir Felicya. Tangan pria itu kembali beraksi dan semakin merambat turun hingga pada pusat tubuh Felicya. 

"Engghhh.." lenguh Felicya. Jari-jari pria itu kini menyusup pada celana dalamnya. Membelainya lembut. Hingga.. 

"Akhhh.." Felicya terpekik saat pria itu memaksa memasukkan jari tengahnya pada pusatnya. 

Pria itu merasakan ketatnya milik Felicya yang melingkupi jari tengahnya. 

"Kau masih perawan." ujar pria itu. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. Entah karena hal apa, mungkin karena dia akan menjadi yang pertama bagi gadis yang tidak ia ketahui identitasnya itu. 

Tak ingin berlama-lama lagi, karena miliknya sudah begitu keras dan minta untuk segera di puaskan, pria itu melucuti pakaiannya dan kembali menindih tubuh Felicya. 

Tangannya bergerak hendak membuka topeng yang masih di kenakan gadis itu. Tapi dengan cepat Felicya menahannya. 

"Jangan." cegah Felicya. 

Akibat gairahnya yang semakin membumbung tinggi, pria itu membiarkan saja. Lagipun ia juga masih mengenakan topeng miliknya. 

"Siapa namamu?" 

"Anna." Felicya memilih untuk merahasiakan identitasnya. Tapi sepertinya pria itu tau jika 'Anna' bukanlah nama aslinya. Terbukti dari senyuman samar pria itu. 

"Baiklah. Kalau begitu kau harus memanggilku, Lion. Kau harus menyebutkan nama itu di setiap pelepasanmu." Pria yang mengaku namanya sebagai 'Lion' itu meniup kuping Felicya. Membuat geleyar nafsu birahi Felicya tumbuh. 

"Bersiaplah.." 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya I'm Not Your Obsession
2
0
Bab 03-05
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan