There's no Goodbye - BAB VI (Part 3) -Sepotong Roti

0
0
Deskripsi

BAB VI - Part 3 (Chapter 19, 20) - Sepotong Roti

Merupakan kisah lanjutan dari chapter sebelumnya pada BAB VI, sepotong roti. Chapter ke - 19 & 20 kisah There's no Goodbye by @two_ofjuly.

Happy Enjoy!

Pelajaran usai, Vani langsung menghampiriku dan meminta kembali agar satu kelompok bersamanya. Dia juga bilang jika mengajak yang lainnya. Tapi aku tahan sebentar untuk Vani tidak langsung memutuskan. Aku bilang padanya, jika aku juga ingin mengajak seseorang. Vani menatapku curiga dan langsung menyebut nama Hanzel. Aku tidak menjawabnya dan berjalan mengahmpiri bangku Hanzel.

Aku berdiri disampig Hanzel yang sedang duduk. “Hans, lu mau sekelompok sama gua?” Hanzel menoleh ke arahku dengan bingung sambil menunju dirinya sendiri.

“Iya, gua nawarin lu, mau? Atau lu udah masuk kelompok yang lain?” kataku menegaskan. Hanzel terlihat berfikir sejenak. “I-iya boleh.” Ujung jari telunjuk dan jempol yang bersentuhan seperti membentuk seperti kata “OK” kulontarkan padanya. Aku kembali menghampiri Vani dan memberitahunya jika Hanzel akan satu kelompok bersama kita. Dengan ekspresi lucu Vani melihatku, kemudian mengiyakan. Lalu Vani mengajak Sheila dan Carissa.

“Tinggal satu orang lagi nih. Mending ngajak siapa?” tanya Vani padaku. “Emm, gimana kalo si Faiz?” usulku padanya. Vani berfikir sejenak. “Yaudah, tapi lu yang ngajak ya!”

“Siap!” jawabku singkat. Aku berjalan menghampiri Faiz yang sedang mengobrol dengan Theo. “Iz,” sapaku.

“Hemm.” balas Faiz malas.

“Lu mau sekolompok sama gua ga?”

“Engga” ucap Faiz jutek.

“Loh kenapa?” agak bingung dengan sikapnya itu.

“Gua udah di ajak Theo.”

“Oh iya udah kalo gitu.” Aku berjalan menjauhi mereka berdua. Namun tiba-tiba Theo langsung berbicara lantang. “Eh Dell, kalo lu mau sekelompok sama Faiz boleh ko! Ambil aja nih orang!”

“Eh…? Terus nanti kelompok lu kurang dong?” tanyaku.

“Gampang ko, ini juga banyak yang ngajak sekelompok sama gua.” ucap Theo. Memang tidak aneh jika cukup banyak orang yang mengajak Theo, karena dia juga merupakan salah satu siswa pintar di kelasku. “Beneran nih?” aku menyakinkan Theo. “Bener ko Dell. Ambil aja!”

Tingkah Faiz semakin membuatku bingung dan curiga dengan gelagatnya yang menedang pelan kaki Theo. Seperti ada yang mereka sembunyi dan rencanakan. “Yaudah. Lu nya mau ga Iz?” 

“Udah masukin aja Dell.” kata Theo.

“Yaudah lu kelompok kita ya Iz.” ucapku. Faiz tidak menjawab atau mengiyakan, dia malah memasang muka sinis padaku dan Theo. Entah apa yang sedang terjadi. Tapi yang terpenting kelompokku sudah lengkap. Aku menyampaikan hal tersebut pada Vani. Vani menyetujuinya. Tanpa berkata lagi, Vani mendorongku ke arah Faiz. Dengan muka jengkel Vani kembali menunjuk Faiz dengan menggunakan kepalanya. Aku paham maksudnya. Tapi aku juga malah berfikir ada hal yang sedang mereka bertiga rencanakan. Jadi aku langsung menghampiri Faiz kembali.

“Iz!” kataku.

“Apalagi?” dengan mukanya yang sinis.

“Gua mau bicara sama lu sebentar di luar.”

“Ada apaan?”

“Udah sini aja.” aku menarik lengannya menuju ke luar ruangan. 

Faiz masih saja memasang muka sinis di hadapanku. “Iz, lu kenapa sih akhir-akhir ini jadi beda sama gua?” tanyaku. “Gapapa” jawabnya. Aku semakin merasa ada yang salah pada diriku. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu. “Kalo lu emang ga kenapa-napa, kenapa sikap lu malah berubah sama gua? Ada apa sih sebenernya? Apa gua ada salah?”

“Engga ko, lu ga salah apa-apa.”

“Ah Iz, yang bener dong! Kalo ini gara-gara gua sempet marah-marah sama lu, bentak-bentak lu juga, gua minta maaf! Tapi gua ga beneran marah ko sama lu, cuma kesel dikit.” kataku sambil tersenyum. Wajah Faiz masih saja menatapku sinis. “Engga ko, gua ga masalahin itu, udah biasa juga kan lu sering marah-marah sama gua.” Aku tertawa kecil saat mengingat masa lalu di mana aku sering sekali memarahinya gara-gara hal sepele. “Yaudah gua salahnya di mana? Coba jelasin.”

“Kan gua udah bilang lu ga ada salah sama sekali.” Faiz memalingkan wajahnya. “Gua yang salah.” tambahnya sengan suara pelan sampai-sampai aku hampir tidak mendegarnya. “Gimana Iz?”

“Engga Dell, gua emang ga kenapa-napa. Emang mood gua aja yang lagi ga bagus.”

“Seriusan nih? Emm, Yaudah.” kataku. “Tapi kalo lu marah gara-gara waktu itu, gua minta maaf. Bener-bener minta maaf! Terus kalo lu emang ga kenapa-napa, jangan cembarut gitu dong sampe-sampe ga nyaut pas gua sapa.” tambahku sambil menyentuh pipinya dengan telunjuk.

Faiz menepisnya kasar. “Iya serius.”

“Yaudah jangan cemberut terus dong! Coba senyum.” Aku mencoba merayunya sedikit. Faiz mencoba tersenyum. Terlihat aneh, karena terlihat kaku. Setidaknya aku merasa sedikit lega melihat itu. “Nah gitu dong! Udah jangan cemberut-cemberut lagi. Kita baikan-kan?” Aku menyodorkan tanganku ingin bersalaman. Dengan agak ragu-ragu Faiz pun menyambutnya. Kami pun bersalaman tanda damai. “Makasih Iz.”

Karena dirasa sudah selesai, aku langsung berniat masuk ke kelas. Saat berbalik aku melihat Hanzel yang bediri di depan pintu menyelempangkan tasnya sambil melihat ke arahku. Aku berjalan melewatinya sambil tersenyum.

“Dell!” ucap Hanzel menghentikanku. Aku berhenti langsung melihat ke arahnya. “Iya kenapa Hans?” 

“Lu ja-jadi mau gua anter ke dokter?” ucapnya agak terbata-bata.

Saat mengobrol, Faiz melewatiku acuh.

“Oh lu jadi mau nganter gua ke dokter? Tapi kayanya udah sembuh ko!” Aku menggerakkan pergelangan kaki kiriku. “Jangan gitu Dell, itu harus lu periksain!”

“Yaudah deh, kalo lu emang ga keberatan dan ga lagi buru-buru.” ucapku.“Tunggu sebentar.” Aku menghampiri bangkuku dan memasukkan peralatan sekolah dalam tas. Dengan agak terburu-buru aku kembali menuju Hanzel yagn sedang menungguku. “Ayo!” 

Kami pun berjalan berdampingan meninggalkan kelas, menuruni tangga hingga akhirnya sampai di parkiran. Sepanjang koridor orang-orang kembali menatap kami sambil seperti sedang berbisik, seraya saling sikut. Aku langsung masuk ke dalam mobil, begitu juga Hanzel. Kami langsung bergegas menuju klinik spesialis tulang yang berada cukup jauh dari posisi sekolah kami. Perjalanan yang harusnya hanya menghabiskan waktu kurang lebih empat puluh lima menit menjadi lebih lama. Sekitar satu jam lima belas menit karena keadaan lalu lintas yang cukup padat.

 

🔍🔍🔍🔍

 

Cuaca yang sangat terik seperti membakar saat aku lihat tangan seorang ojol yang belang berhenti di sebelah mobil kami. Aku langsung menurunkan suhu AC hingga suhu paling rendah dan blower pada tingkat dua. Sejuknya hembusan AC mendinginkan seisi mobil. Karena saking dinginnya, membuat wajah dan bibirku terasa sangat kering. Aku basahi bibirku dengan cara mejilatnya dengan lidah. Tanpa kusadari Hanzel bengong melihatku. Aku lirik perlahan dia. Kaget yang mungkin dia rasakan, langsung membuang muka kembali fokus melihat jalanan yang sedang padat-padatnya. Aku menghentikan kegiatanku menjilat-jilat bibir, aku ikut-ikutan malu di buatnya. Suasana menjadi canggung walaupun lagu sudah aku putar dengan keras. Aku memalingkan perhatianku pada ponsel, bermain game arcade. 

Kami sampai di klinik yang terlihat sama padatnya seperti lalu lintas. Semakin besar rasa malasku untuk memeriksakan kakiku ini. Tapi tanpa aku suruh Hanzel langsung mendaftarkanku seraya berbisik dengan seorang perawat yang bekerja di situ. Aku hanya menunggu di kursi bersama para pasien lain yang sama-sama sedang mengantri. Anehnya tidak lebih dari sepuluh menit aku menunggu, tiba-tiba namaku sudah dipanggil. “Ardelia” teriak salah satu pekerja yang berdiri di depan pintu.

Kenapa namaku udah dipanggil?

Semua orang di situ langsung memandangiku dengan sorot mata sengit. Aku yang baru datang langsung dipanggil mendahului orang yang lebih awal berada di situ.

Ini pasti ulah Hanzel! Nepotisme ini! pikirku.

Hanzel yang dari tadi mengobrol dengan seseorang, kini malah menghilang etah kemana. Dia juga tidak pamit atau mengatakan apapun padaku. Tanpa memperdulikan sekitar aku langsung masuk menuju ruangan kecil pengap yang bau obat itu. Aku lihat seorang dokter yang terbilang masih muda, mungkin sekitar tiga puluh lima tahunan. Bordiran nama di bagian dada kanan kemejanya yang dibalut oleh jas putih. Juan. Dia langsung mempersilahkanku duduk di kursi yang berada di hadapannya itu. ”Nyonya Adelia ya?” dia membaca berkas yang sedang dipengangnya. “Iya dok.” Jawabku singkat.

“Jadi keluhannya apa?”

“Ini dok, pergelangan kaki kiri saya sakit.” Kataku sambil memperlihatkan kaki kiriku. “Terkilir ya? Gara-gara apa?” dokter berdiri melihat ke arah kaku yang aku tunjuk. “Sudah lama?” tambahnya. 

“Gara-gara jatuh dari tangga, tapi engga sampe jatuh juga. Kira-kira dua hari yang lalu.” jelasku. “Tapi sekarang udah ga sakit lagi sih dok!” Rasanya ingin menyudahi pembicaraan ini dan tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Aku sangat takut jika nanti hasilnya malah parah. “Bengkak ya.” ucapnya. “Sudah pernah di rontgen?” tanya dokter lembut. “Belum dok.”

Dokter Juan langsung mencatat pada dokumen yang dipegangnya. “Ya sudah, sekrang langsung di rontgen aja di ruangan sebelah.” Dia memberikan selembar kartu yang harus aku bawa. Aku lihat dan baca, ternyata kartu pemeriksaan rontgen dari dokter. “Kita periksa dulu untuk memastikan, takutnya ada tulang yang bergeser atau patah.” ucap dokter Juan. “Baik dok.” jawabku sambil berjalan keluar.

Aku datangi ruangan yang bertuliskan “RUANGAN RONTGEN” pada bagian pintunya. Petugas meminta kertas yang diberikan dokter tadi dan menyuruhku duduk menunggu di dalam ruangan tersebut. Terasa lebih baik di sini dengan tidak terciumnya bau obat-obatan. Setelah beberapa menit mununggu akhirnya namaku dipanggil dan aku pun memsuki ruangan yang tertutup sangat rapat. Dari luar terdapat tulisan “DANGER” pada pintu. Membuatku menjadi semakin takut, karena ini kali pertama aku melakukan pemeriksaan rontgen. Yang aku tahu soal rontgen dari berita yang aku baca dan media sosial, rontgen dapat menyebabkan beberapa masalah, mulai dari iritasi kulit sampai gangguan paru-paru. Aku juga takut jika rasanya akan terasa sangat sakit.

Telapak tangan terasa dingin. Kaki terasa gemetaran dan lemas saat dilangkahkan. Dengan berat hati aku paksa untuk melangkah masuk. Para perawat dan petugas di situ sangatlah ramah dengan senyuman di wajahnya, tapi itu membuatku malah membanyangkan, psikopat yang tersenyum dan tertawa lebar saat mereka mendapatkan mangsanya. Seperti pada film-film yang diadaptasi dari penulis terkenal Stephen King, yang pernah aku tonton. Bayangan dipikiranku itu menemaniku masuk ke dalam ruangan dingin itu. Dinginnya menusuk hingga menebus tulang.

Aku berbaring di meja pemeriksaan sembari alat scan itu di arahkan di atas kaki kiriku. Aku menutup mata, tidak kuasa melihat dan menahan sakit yang mungkin akan aku rasakan. Cahaya putih berkedip berkali-kali, seperti flash kamera yang memotret beberapa kali.

“Sudah.” ucapan perawat yang menepuk tanganku dan menyuruhku beranjak.

Seriusan ini udah? Ko ga kerasa apa-apa! Pertanyaan itu berputar di kepalaku.

Beranjak tanpa menjawab ucapannya, aku lihat kaki kiriku seraya memutar pergelangannya. Ternyata tidak meninggalkan bekas sama sekali dan tidak terasa sakit juga. Aku berdiri menengok kanan dan kiri, memastikan bahwa ini memang sudah usai.

”Ini mba, langsung aja masuk ke ruangan dokter lagi.” kata petugas sambil menyerahkan kartu pemeriksaan yang di awal aku berikan. “Oh udah ka?” tanyaku.

“Iya sudah. Untuk hasilnya nanti akan langsung di jelaskan oleh dokter.”

Aku keluar dan kembali menuju ruangan dokter. Aku langsung duduk kembali di kursi tanpa dokter Juan persilahkan terlebih dahulu. Aku duduk menunggu hasil pemeriksaan sambil pikiranku mengingat kejadian dulu, yang membuatku sampai takut untuk pergi ke rumah sakit.[]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAGIAN 1 - HITAM
2
0
*Berdasarkan Kisah Nyata.Ini merupakan kisah Indri (Nama Samaran) yang sangat dia ingat hingga saat ini. Cerita singkat dari kejadian yang tidak pernah sama sekali dia kira dan harapakan terjadi kembali. Bagaimana kisahnya? Mari kita ketahui bersama-sama! 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan