Menunggu Hujan Reda, Chapter 2 & 3

2
0
Deskripsi

Proses mengenalimu butuh waktu yang lama, Perlahan aku mengetahui apa makanan favoritmu, bagaimana cara kamu berbicara dengan orang sekitar, dan bagaimana caramu menyampaikan isi hati, semuanya indah seperti musik klasik yang sering aku dengar lewat pemutar musik di telepon genggam milikku.

Memang hujan selalu mempertemukan kita, Maka dari itu, mengapa aku sangat menyukai hujan, karena aku akan bahagia setelah hujan itu berhenti membasahi pijakan kita berdua.

Chapter 2
Lana terdiam saat setelah memesan paket makan tersebut, lalu menunggu laki-laki tersebut selesai memesan paket yang sama, Yakiniku. Mereka langsung menuju ke meja yang sama, di pojok ruang dengan pemandangan berupa jalan raya. Lana langsung berbicara dengan jujur kepada dia saat ini. Saat dia meneguk minuman cola miliknya, Lana refleks bertanya,
“Lathif kemana aja? Lana udah nunggu dari bulan lalu, loh. Lana coba kirim pesan apapun ke Lathif, memberitahu jadwal sidang dan jadwal kelulusan. Tapi Lathif diam saja. Lathif ganti nomor enggak ngomong ke Lana ya?”, tanya Lana mengagetkan Lathif hingga tersedak.

“Lathif minta maaf sama Lana. Bukan maksud Lathif mau menghilang, bukan. Lathif sedang ada kerjaan baru yang mengharuskan dinas keluar kota dan selama 1 bulan ini Lathif tidak mau mengganggu ujian tugas akhir dari Lana. Lathif minta maaf, ya?”, kata Lathif menjelaskan.

Lana tidak bisa lama-lama kesal kepada lelaki yang sangat baik itu. Lana langsung memaafkan dengan mengangguk saja, tanpa banyak bicara. Lathif yang melihat ada hal yang tidak beres dari kekasihnya, langsung memberi 1 kotak hadiah bewarna coklat muda yang diikat dengan pita bewarna merah. Itu adalah warna favorit Lana yang tidak pernah Lana beritahu secara spesifik kepada Lathif, kekasihnya. Lana meminta izin kepada Lathif untuk membukanya saat ini juga. Lathif mengiyakan dengan mengangguk 2 kali. Sebelum membuka kotak hadiah itu, terdapat sebuah kertas yang terlilit di pita tersebut, bertuliskan:
“Selamat, Lana, Kamu udah menyelesaikan kewajibanmu sebelumnya. Semoga kamu menyukainya! Tertanda dari orang yang menyayangimu, Lathif”

Lana tersenyum saat membacanya di dalam hati. Lathif menunggu wanita itu membuka kotak hadiah itu dengan harapan wanita itu menyukainya. Ketika Lana membukanya, ada satu buah dompet yang memang sangat diimpikan oleh Lana, namun Lana berusaha untuk tidak membelinya karena masih ada hal lain yang lebih utama. Dompet berukuran persegi panjang dengan warna coklat susu bertekstur halus itu sangatlah indah. Di sudut dompet itu tertulis nama Lana. Kemudian saat dibuka, terpampang foto mereka berdua ketika mengambil foto di photobooth sebuah wahana bermain. Lana ingat, setelah wisuda Lathif, Lana mengajak pergi ke photobooth, dan mengambil beberapa gambar. Kemudian, gambar tersebut dipotong dan dibagi berdua.

Tidak hanya dompet saja, terdapat case telepon genggam bewarna coklat tua yang ternyata sama dengan milik Lathif. Terdapat huruf abjad “L” dibawahnya. Lana seketika sedih bercampur bahagia, karena menerima hadiah itu. Hadiah yang tidak pernah Lana minta dan harap kepada Lathif.
“Lathif, ini indah banget. Lana suka sekali. Terimakasih, Lathif”, ucap Lana sambil menatap mata Lathif. Lathif terharu dan bahagia dengan ucapan dari Lana.
“Semoga Lana suka, yah! Sekarang dimakan yuk ayamnya, udah lapar nihh”, kata Lathif yang tersenyum dan langsung melahap ayam renyah dihadapannya. Mereka berdua langsung menyantapnya hingga habis.

Mereka saling berbincang sambil menunggu flight milik Lana. Lana asyik bercerita tentang kehidupannya selama 1 bulan saat Lathif tidak bisa dihubungi. Setelah percakapan itu selesai, Lana langsung menuju ke meja Check-in, dan menimbang bagasi miliknya. Ternyata, Lathif berada dibelakangnya, ikut check-in juga. Lana kaget.

“Lathif kenapa ikut check-in?”, tanya Lana kebingungan.
“Loh, Lathif kan mau pulang ke Sleman”, jawab Lathif ikut kebingungan.
Ternyata, mereka berada di penerbangan yang sama, tujuan yang sama, dan setelah Check-in, nomor kursi mereka bersebelahan, tanpa jarak. Lana kemudian bertanya kepada Lathif,
“Lathif kemarin ada agenda apa di Balikpapan? Kok bisa ya, pulang bareng Lana?”, tanya Lana mencari tahu.

Lathif pun menjelaskan, “Lathif ada dinas di Balikpapan dari 1 minggu yang lalu, selesai kemarin malam. Kemudian Lathif pesan tiket pulang untuk hari ini, pukul 14.20. Eh ternyata kena delay hingga jam sekarang. Terus Lathif siang ini check sosial media setelah lama enggak buka. Ternyata Gita dan Bayu lagi update kalau mau pulang kampung. Lathif kaget ada kamu di cerita mereka. Langsung Lathif tanya ke Bayu dan ternyata Lana ada flight ke Yogyakarta, bukan? Itupun ternyata jadwalnya sama. Coba cek pemesanan tiketnya Lathif”.

Ketika Lana melihat telepon genggam milik Lathif, ternyata benar, Lathif lebih dahulu pesan tiket daripada Lana. Lana juga menjelaskan bahwa Lana memesan tiket mengikuti jam penerbangan terdekat milik teman-temannya. Ternyata, mereka dipertemukan oleh takdir.

Tidak ada yang menyangka, semesta menyatukan mereka dengan sangat baik. Bertemu di saat pertama kali mengikuti Orientasi Mahasiswa Baru, bertemu kembali karena mengikuti organisasi yang sama, walaupun berbeda jurusan. Selama menduduki bangku perkuliahan, mereka hanya berteman saja, tidak lebih. Namun Lathif mencoba untuk mengajakku berkomitmen menjalin hubungan lebih dari teman. Lathif sangat menjagLana dalam kondisi apapun. Ketika Lana sedang tidak baik-baik saja, Lathif sangat menjagLana. Dia selalu menjaga sikap dan pandangannya dengan teman wanita yang lain. Tetapi jika bersama denganku, dia tidak bisa berdiam diri saja. Banyak cerita yang mengalir dari fikirannya. Begitupula sama denganku. Lana tidak bisa diam saja ketika bersama dengan Lathif.

Hujan dari langit telah berhenti. Lana dan Lathif bergegas menuju gate sesuai yang tertulis dalam tiket penerbangan mereka. Lana hanya membawa tas selempang dan sebuah tote bag yang berisi hadiah dari Lathif. Setelah mereka duduk di bangku dekat dengan pintu keluar, Lathif langsung meminta izin kepadLana untuk menyelesaikan report yang akan diserahkan kepada atasan. Lana hanya mengiyakan dan asyik melihat layar notebook yang sedang proses untuk menyala. Saat menyala, halaman depan layar notebook itu memperlihatkan foto mereka berdua. Sontak Lana kaget, dan bertanya padanya,

“Lathif ih pasang pasang foto begini apa enggak ditanya sama teman yang lain?”, tanyLana sambil melihat ekspresi wajahnya. Sambil tersenyum, Lathif menjawab,
“Ditanya sih pasti iya”
“Terus, Lathif jawab apa?”, Lana bertanya kembali.
“Ya, Lathif jawab, kalau ini salah satu motivasi Lathif buat hidup, selain orangtua nya Lathif”, jawab Lathif.
Lana seketika kagum dengan jawabannya, walau Lana harus menahan malu karena jawaban dari orang yang pernah Lana curigai menghilang selama 1 bulan yang lalu.

“Lathif, maaf yaa. Lana pernah curiga sama Lathif, kalau Lathif tinggalkan Lana selama satu bulan itu. Ya, itu karena Lathif enggak bisa dihubungi”, ucap Lana tertunduk disamping Lathif.
“Enggak apa, na. Lathif tetap sayang sama Lana. Bagaimanapun itu kondisinya. Lathif bakal perjuangin Lana sampai Lana bisa disamping Lathif. Lathif juga minta maaf sekali lagi kalau kemarin justru bikin Lana berfikir yang tidak-tidak. Kita berbaikan, yah”, ucap Lathif kepada Lana seraya meyakinkan.

Lathif mulai menyelesaikan report tersebut. Lana pun membuka fitur foto pada telepon genggam milik Lana, dan mulai asyik mengambil foto. Beberapa menit kemudian, panggilan penerbangan mereka menggema, dan mereka bergegas untuk segera meninggalkan kursi mereka menuju kursi kapal terbang tersebut. Sebelum terbang, Lana mengambil case telepon genggam yang diberikan oleh Lathif, lalu memasangnya ke telepon genggam milikku. Terlihat sangat cantik dan elegant. Lathif mengambil gambar lewat telepon gengam miliknya ketika Lana memegang telepon genggam yang telah terpasang case pemberiannya, begitupula denganku.

Kapal terbang ini mulai menuju angkasa di malam yang mendung. Langit memang terlihat mendung, tetapi lampu perkotaan sangat bersinar, seperti melihat bintang yang terbalik. Lana mengambil beberapa momen saat berada di pesawat. Tempat duduk Lana berada di dekat jendela, sedangkan Lathif berada di kursi tengah. Di sebelah Lathif , tampak seorang pria berumur 40 tahun yang sedang terlelap. Lana dan Lathif membicarakan hal-hal unik dan bermain tebak-tebakan untuk mengusir kantuk hari ini. Mungkin karena Lana adalah seorang introvert, yang mengakibatkan Lana perlu waktu berdiam diri untuk recharged. Tetapi, karena Lana bersama orang yang Lana sayangi, momen ini tidak boleh hilang.

Namun, Lana tidak dapat menahannya, sehingga berakhir kepada tidur. Kepala Lana di pundak Lathif, dan kepala Lathif tetap tegak. mereka terbangun sebelum pesawat akan Landing. Setelah pesawat landing dengan sempurna, mereka turun bergantian dan menuju ke tempat pengambilan bagasi. Bandara YIA, Yogyakarta International Airport, adalah bandara terbaru di kota tujuan mereka. Bandara ini sangat cantik dan bersih, serta lebih luas daripada bandara yang lama. Bagasi mereka masing-masing hanya satu buah, sehingga tidak perlu menunggu lama. Saat ini jam menunjukkan pukul 23.00, dimana waktu sudah sangat larut. Lathif mengajakku untuk segera ke pintu kedatangan karena sudah ada orangtuanya yang menunggu.

“Lana, ayo ikut Lathif aja”, ajak Lathif.
“Lana engga merepotkan Lathif?”, tanya Lana kepadanya.
“Enggak, Lana. Lathif udah bilang orang rumah, katanya enggak baik tinggalkan perempuan pendatang di malam yang udah mau larut ini. Lathif takut Lana enggak aman”, jawab Lathif agak khawatir.

Lana langsung mengikuti pergerakan Lathif. Di pintu kedatangan, tampak seorang pria tua, dengan istri sedang menunggu seseorang untuk datang. Ketika Lathif melambaikan tangannya kepada mereka, mereka membalasnya. Ternyata kedua orang tersebut adalah orangtua dari Lathif. Lathif langsung mengucapkan salam kemudian salam jarak jauh ke kedua orangtuanya. Setelah itu, Lathif mengenalkanku kepada kedua orangtuanya sebagai adik kelasnya selama berkuliah.

“Ayah, Ibu, ini adik tingkatku selama kuliah di Samarinda, namanya Lana. Dia kebetulan satu penerbangan sama Lana, jadi pulangnya bareng”, ucap Lathif didepan kedua orangtuanya memperkenalkanku.
“Pak, Bu, Saya Lana, adik tingkatnya Mas Lathif”, kata Lana yang terasa sedikit aneh, sembari salam jarak jauh dengan kedua orang asing tersebut. Selama Lana bertemu dengan Lathif, Lana tidak pernah memanggilnya dengan sebutan “Mas”. Biasanya, selama berkuliah, Lana memanggil seniorku dengan panggilan “Bang” atau “Kak”.

“Oh, ini yang diceritain sama anak kita, yah. Namanya Lana, tho. Cantik ya, yah”, kata ibu Lathif kepada suaminya.
“Pantas saja anak kita suka cerita kalau ada adik kelasnya yang pinter, baik, cantik juga”, kata ayah Lathif sembari meledek putra satu-satunya.
“Yah, udah malam yah, besok lagi aja ngobrolnya. Ayuk pulang, Lathif udah ngantuk”, kata Lathif memecahkan obrolan.

Lana yang mendengar obrolan keluarga kecil ini pun tersenyum. Apakah keluarga Lathif se baik ini? Jika iya, pantas saja hati anaknya sangatlah baik. Lana dan keluarga Lathif langsung menuju mobil keluarga yang terpakir di ujung jalan. Mobil yang tidak berukuran besar ini cukup mengantar mereka semua bersama koper bawaan dari Pulau Kalimantan. Perjalanan ke kota menempuh waktu kurang lebih satu jam. Saat diperjalanan, ibu Lathif bertanya:
“Nak, tinggalnya dimana? Nanti mereka antarkan pulang sekalian”.
“Di daerah Sleman, bu. Dekat Monjali”, jawabku.
“Loh ya dekat banget sama rumah mereka”, kata ibu Lathif kaget.
“Walah takdir banget ini, jangan-jangan kita tetangga, nak. Memangnya, di perumahan apa?”, tanya ayah Lathif.
“Di Perumahan Sentosa, pak”, jawabku sambil berfikir diam-diam.
“Memang beneran tetangga ini sih yah”, kata ibu Lathif kepada suaminya. “Nanti mereka anter sekalian bertamu. Udah bilang ke orangtua, kan, kalau sampeyan pulang jam segini?”, tanya ibu Lathif meyakinkan.
“Udah, bu. Tadi bilangnya pulang diantarkan sama keluarganya teman”, katLana.
“Oh yaudah bagus”, kata ibu Lathif sambil tersenyum.

Pemandangan kota ini sangat kurindukan. Lana ingat, waktu itu, orangtua ku sering mengajak liburan ke kota ini saat libur kenaikan kelas. Terakhir kali Lana mengunjungi kota ini saat akan mendaftar kuliah di kota ini. Namun, Lana gagal. Akhirnya Lana mendapat kuliah di kota yang sama dengan tempatku lahir, Samarinda. OrangtuLana memutuskan pindah ke Sleman karena telah memasuki masa pensiun. Jika Lana tetap memaksakan berkuliah di Yogyakarta, kemungkinan besar Lana tidak bertemu dengan Lathif, tidak akan bertemu dengan kedua orangtuanya yang sangat baik sekali.

Sebentar lagi, perjalananku usai. Lana belum pernah berkunjung ke kota ini kembali sejak orangtuLana pindah ke kota ini. Maka dari itu, Lana belum tau jalannya.
“Lana, rumahmu blok apa? Terus nomer berapa?”, Lathif bertanya pada Lana.
“Blok A, nomor 5”, jawabku.
Lana memberitahu alamat rumahku kepada keluarga ini. Lathif langsung kaget dan bertanya kembali,
“Apa na? Blok A nomor 5?”
“Iya mas, bener kok. Ini kata ayah, soalnya Lana belum pernah kesini setelah ayahku pensiun dan pindah rumah ke sini”, jawabku meyakinkan
“Nak, rumah kita berhadapan”, kata ibu Lathif. Sontak Lana bener-bener kaget, ternyata mereka benar-benar bertetangga.
“Wah, nak Lana, kau mengangetkan saya saja. Hampir saya rem. Soalnya saya udah ada janji sama ayahmu buat ngopi malam ini, tapi saya harus jemput kalian. Tahu gitu, seharusnya saya ajak sekalian saja ya”, guyon Ayahnya Lathif. Serontak satu mobil pun tertawa, mengalahkan suara jazz dari pemutar musik di mobil itu.

Seketika, Ayah Lathif berbelok kearah kedai kopi yang masih buka, walau harus take-away. Ayah Lathif turun dari mobil dan masuk kedalam kedai kopi itu. Selang berapa menit kemudian, beliau keluar dari kedai kopi sambil membawa 4 gelas kopi, 2 kopi tubruk, dan 2 kopi latte dingin.
“Ayahku suka sekali kopi. Beliau suka ngopi bareng sama ayahmu didepan rumahmu. Lana tebak, pasti ayahmu suka kopi tubruk manis, kan?”, kata Lathif sembari bertanya.
“Loh iya, bener banget. Ayahku kalau bukan pagi, pasti malam hari beliau minum kopi, dan menu favoritnya adalah kopi tubruk manis”, jawab Lana.

“Nak Lana, ini kopi favoritnya ayahmu. Dulu, pas awal keluargamu pindah rumah, saya lagi ngopi didepan rumah bareng istri. Tapi istri saya nge teh aja. Ayahmu baru pulang sama kakak dan adikmu dari kedai ikan bakar. Langsung saya panggil, ajak ngopi bareng gitu ceritanya. Eh ternyata jadi rutinitas mereka tiap malam”, cerita ayah Lathif. “Kalau tidak di halaman rumah saya, pasti di halaman rumahmu. Bergiliran pokoknya sekalian ronda malam kata tetangga”, ayah Lathif melanjutkan.

“Walah yah, itu sih sekalian umpan buat cicipin ikan bakar nya kan ya?”, celetuk ibu Lathif.
“Kamu tidak salah kok bu”, jawab ayah Lathif sambil melihat kaca spion tengah menjawab perkataan istrinya.
Didalam mobil ini, tidak pernah diam. Lathif pun sering bercerita tentang dinas nya dan momen ketika bertemu denganku. Keluarga ini hangat, tidak ada yang ditutupi.
“Mungkin karena mereka hanya tinggal bertiga, ya?”, batinku dalam hati.

Chapter 3

Gapura besar bertuliskan “Selamat Datang” terpampang jelas di pintu masuk. Terlihat pak satpam yang sedang menaikkan palang besi karena mobil mereka akan masuk kedalam perumahan tersebut. Perumahan ini sangat asri, indah, dan tertata rapi. Pantas saja ayah Lana, Pak Tama, pernah bercerita bahwa sudah memiliki tanah di perumahan ini. Pembeliannya cepat-cepatan, mungkin karena developer perumahan ini sudah dipandang baik di kota lain dengan menghasilkan perumahan asri yang indah, maka banyak yang berusaha agar mendapat tanah di perumahan ini. Pak Tama sudah membeli tanah disini sejak 6 tahun yang lalu, dan beliau sudah menikmati masa tuanya di perumahan asri ini.

Mobil mulai memasuki perumahan. Tampak satpam yang memberi salam hangat kepada mereka, kemudian beliau menutup kembali palang masuk perumahan ini. Rumah Lana berada di blok depan, yaitu blok A, sehingga tidak perlu lama-lama untuk menjelajahi perumahan ini. Begitu sampai di depan rumah, tampak seorang manusia berumur 59 tahun itu sedang membaca koran di teras rumah. Ketika pintu mobil dibuka, Lana turun dari mobil, dan melihat beliau tersenyum pada Lana.

“Ayah! anak gadismu pulang!”, teriak Lana dengan suara yang biasa karena hari sudah malam, tidak ingin membangunkan tetangga dan hewan peliharaan adeknya, kucing british shorthair berwarna abu-abu itu. Kemudian Lana berlari ke hadapan ayahnya.
“Wihh yang dapat cumlaude ini nanti mau makan apa? Nasi kuning?”, tanya Pak Tama yang memang  hanya tau anaknya suka makan nasi kuning.
“Jangan nasi kuning terus lahh, donat di dekat perpustakaan itu aja yah. Penasaran banget, kata orang sih enak”, kata Lana sembari memohon agar besok dibelikan segera.
“Oke cantik, siap!”, jawab Pak Tama seperti ditujuk ajudan untuk bergerak.

“Wah pak, maaf sekali tadi kita melewatkan sesi ngopi malam nih”, kata ayah Lathif, Pak Unggul, sambil membawa 1 kantong plastik kopi.
“Wah iya nih pak, tapi tak apa, yang penting anak gadisku udah sampeyan bantu jemput, terimakasih banyak loh pak”, jawab Pak Tama sambil menepuk pundah Pak Unggul.
“Oh iya pak, ini ada kopi tubruk. Biasalah, tadi lewat langsung mampir. Sepertinya enak. Sekalian tak beliin buat anak juga”, kata Pak Unggul memberi segelas kopi tubruk yang masih hangat itu.
“Walah, ini enggak merepotkan tho, pak? Terimakasih Pak”, kata Pak Tama sambil tersenyum.
“Sama-sama, Pak Tama. Monggo dinikmati pak. Oh iya, ini saya kenalin, ini anakku, Lathif namanya. Ternyata satu kampus sama mbak Lana, malah sudah kenal lama sejak anakmu jadi mahasiswa baru”, kata Pak Unggul saat memperkenalkan anaknya.
“Assalamu’alaikum, pak”, kata Lathif ketika diperkenalkan kepada Pak Tama.
“Wa’alaikumsalam, walah ternyata kalian sama-sama udah kenal ya”, Pak Tama.

Tiba-tiba, seorang perempuan keluar dari pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Sangat cantik walaupun sudah malam. Dia adalah mama dari Lana, Bu Eni. Orang yang dulu tidak ingin berpisah dengan Lana saat anaknya ingin merantau.

“Eh, anak cantikku udah pulang. Bawa siapa nih? Calon mantu nya mama ya?”, kata Bu Eni yang kental dengan humornya.
“Ih mah, anaknya pulang masa’ yang dicari anak tetangga?!”, jawab Lana cemberut sedikit.
“Hahaha, ngga kok nak. Tetep kamu yang tak tunggu pulangnya. Anaknya bu Indah ya pulangnya kerumahnya dong”, gurau Bu Eni sambil memeluk Lana, anak perempuan satu-satunya.

“Eh Bu Eni, anak kita udah pulang yah bu, satu pesawat juga untungnya”, kata Bu Indah sambil mendatangi Bu Eni.
“Iya nih alhamdulillah, ada yang jaga. Saya takut loh bu, waktu tahu anak saya dapat delay pesawat. Pulang malam enggak baik buat anak gadis”, kata Bu Eni sedikit khawatir.

“Sudah yuk bu, kita pulang sekarang. Kasihan anak kita sudah ngantuk tuh. Besok lagi aja cerita-ceritanya. Kami pamit nggih, pak. Assalamualaikum”, kata Pak Unggul pamit kemudian  langsung memarkirkan mobilnya kedalam garasi.
“Wa’alaikumsalam”, jawab Pak Tama.
“Lana, Lathif pulang dulu yah”, kata Lathif pamit pulang sambil mengirimkan sinyal ke Lana untuk cek telepon genggamnya nanti.
“Eh, tunggu bentar. Ini aku tadi ada beli oleh-oleh buat ibumu ya. Sampaikan terimakasih udah ngantarin Lana pulang, ya”, kata Lana sambil memberi 1 kantong plastik berisi buah tangan itu.
“Eh iya, terimakasih kembali Lana”, kata Lathif menerima kantok plastik itu. “Pak, bu, saya pamit dulu ya, Assalamualaikum”, pamit Lathif kepada kedua orangtua Lana.
“Wa’alaikumsalam”, jawab Lana dan kedua orangtuanya.

Setelah masuk ke dalam rumah, Pak Tama langsung bertanya padaku.

“Lana, tadi itu Lathif ya namanya? Kamu kenal darimana dan sejak kapan?”

Lana bingung menjelaskannya, karena kedua orangtua Lana belum mengetahui bahwa Lathif ini pacarnya. Informasi bahwa Lana berpacaran dengan Lathif hanya beberapa teman yang tahu. Orang terdekat yang mengetahui kabar ini adalah kakaknya, Kak Bima. Tetapi Lana bingung, kenapa mamanya setelah keluar dari pintu rumah tadi, tiba-tiba langsung menyebut bahwa Lathif adalah calon menantunya? Memikirkan hal ini saja sudah membuat Lana bingung. Lana harus bertanya langsung dengan Kak Bima. Kak Bima mengenalinya karena satu organisasi dengan Lathif, hanya berbeda 1 angkatan lebih tua daripada Lathif. Maka dari itu, Kak Bima tidak mempermasalahkannya. Lana harus menjelaskannya kepada ayahnya tanpa menyebut Lathif adalah kekasihnya.

“Oh, ini yah. Mas Lathif ini dulu kakak senior Lana sewaktu kuliah. Beliau pernah menjadi pendamping kelompok orientasi tingkat fakultas dan anggota di organisasi fakultas yang sama. Sampai sekarang masih baik dan kemarin bertemu di bandara, yah. Ternyata, sama-sama satu penerbangan yang terkena delay itu”, jawab Lana meyakinkan ayahnya.

“Oh, yasudah kalau hubungan kalian baik dan pernah kenal sebelumnya. Kalian boleh ketemu tapi jangan kelewat batas loh, ya!”, ucap Pak Tama dengan lantang. “Sekarang Lana bersih-bersih, terus tidur, yah. Udah mau jam 1”, perintah ayahnya.

“Iya yah, Lana ke kamar dulu ya!” kata Lana kemudian langsung memeluk ayahnya dan pergi kekamar. Ayahnya membalas pelukan itu kemudian bersih-bersih dan bersiap untuk istirahat. Mama Lana mengatur suhu kamar Lana agar dia tidak terlalu dingin ataupun kepanasan.

Kamar bewarna coklat muda dengan interior yang bewarna coklat merupakan warna favorit Lana, selain hijau dan merah tua. Ayahnya sudah mengaturnya jauh sebelum Lana pulang agar Lana nyaman dengan kamar barunya. Kamar Lana berada di lantai 2, menghadap langsung ke jalan depan rumah, yang menandakan bahwa Lana bisa langsung melihat rumah lelaki yang tinggal juga di dalam hati Lana. Setelah Lana bersih-bersih dan persiapan untuk istirahat, Lana  membuka sekilas jendela kamarnya untuk melihat suasana. Entah mengapa, ayah membuatkannya balkon mini didepan kamar, dengan sofa bambu dan meja kecil disudutnya. Tapi, itu terasa manis.

Sebelum tertidur, Lana membaca pesan singkat yang dikirim oleh Lathif:

“Selamat malam, cantik. Jangan lupa istirahat, ya, Kamu cantik banget setelah memutuskan buat berjilbab. Aku yakin kamu bisa tetap istiqomah, ya. Oh iya, ibu senang banget bisa bertemu dengan kamu”

Percakapan singkat itu aku balas dengan jawaban:

“Selamat malam juga, tampan. Kamu juga, ya! Tolong jangan hilang lagi tanpa kabar. Aku cemas ketika kamu pergi tanpa kabar. Makasih udah temani aku selama flight hari ini.

Setelah itu, Lana langsung menonaktifkan telepon genggam, dan beranjak untuk tidur. Malam ini, hujan turun lagi. Kata orang, Jogja sering sekali hujan akhir-akhir ini. Benar sekali, kepulangan Lana disambut oleh hujan yang membuat Lana merasa hujan adalah pertanda baik. Banyak orang yang selalu bahagia ketika hujan hampir reda. Namun kali ini, Lana ingin hujan selalu turun saat aku sedang bahagia.

***

Samarinda, Desember 2018, setelah seminar awal tugas akhir.

“Terimakasih atas perhatian dan kehadiran dari teman semua. Terimakasih atas masukan, kritik, dan saran perbaikan dari dosen pembimbing dan penguji. Saya mewakili seminaris akan menutup seminar hari ini dengan hamdalah.”

“Alhamdulillah”

“Baik saya tutup, wassalamualaikum wr. wb., dan selamat pagi”

Seminar hari ini sangat memuaskan diri Lana. Tidak banyak perbaikan, namun banyaknya masukan yang diberikan oleh dosen untuk meningkatkan penelitiannya. Dosen mengusulkan Lana untuk mengikuti seminar internasional di salah satu perguruan tinggi di pulau jawa, karena penelitiannya sudah setara penelitian magister. Biaya dibantu oleh kampus, walaupun orangtua Lana sanggup membayar penelitian tersebut.

Hal pertama yang Lana lakukan adalah menelpon ayahnya. Beliau sangat bangga dan selalu ingin memeluk Lana, tetapi mereka telah dipisahkan oleh Laut Jawa. Gita, dengan isengnya, merekam seminar Lana dan mengirimnya kepada kakaknya, Kak Bima, yang berakhir ke tangan ayah. Maka dari itu, ayah sudah mengetahui semua isi penelitian milik Lana.

Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Setelah Lana menyelesaikan pemberkasan untuk pelaporan akhir kepada pihak jurusan, Lana langsung beranjak pergi ke warung makan langganannya tepat disamping minimarket biru itu. Tidak jauh jaraknya dari kampus, hanya sekitar 5 menit perjalanan. Lana pergi kesana bersama 5 orang sobat kursi depan, Finna, Gita, Brie, Bayu, dan Dika. Pesanan mereka adalah nasi uduk dengan ayam geprek bakar dan segelas es jeruk. Ini merupakan paket makanan hemat mereka, karna hanya seharga 15 ribu, sudah mendapat makanan enak dengan porsi besar. Harga ini standar bagi anak kuliah daerah mereka.

“Eh ngeri ya, penelitiannya Lana mau dibiayain kampus. Kalian gimana, para ladies?”, kata Dika berkata iri pada Lana dan bertanya kepada ketiga temanku yang lain.
“Yah, gatau ya, kan kami ini belum seminar proposal. Kita lihat Brie deh nanti 2 hari lagi. Gimana kata Pak Gun”, jawab Finna sambil menaikkan kedua bahu dan melihat kearah Brie.
“Kalau aku sih pingin yaa. Soalnya topik kami berempat kan sama semua, cuma beda metode penelitiannya, jadi semoga aja dibiayain juga, hahaha”, kata Brie yakin sambil menutup mulutnya karna ingin tertawa.
“Eh makan yuk, keburu ayamnya kenyang dengerin omongan kita”, celetuk Gita yang udah ngantuk kalau bahas proposal. Proposal mereka berempat memiliki tema yang sama dengan dosen pembimbing yang sama juga. Jadi, seminar mereka diadakan berurutan dalam 1 minggu agar dosen mudah mengatur waktunya.

Saat setelah makan, mereka bergantian menuju washtafel untuk membasuh tangan kami. Setelahnya, aku mendapatkan HP ku berkedip karena adanya pesan dari sebuah media sosial. Rupanya, pesan itu dari Bang Lathif yang ingin bertemu:

“Assalamualaikum dek, sore ini kamu kosong ngga?”

Akupun berfikir, apakah sore ini ada kegiatan, dan ternyata tidak ada. Aku langsung menjawab pesan tersebut:

“Enggak ada bang. Ada apa ya?”

Pesan yang kukirim langsung berbalas:

“Kita makan ayam yuk. Aku mau syukuran habis seminar hasil penelitian kemarin”

Lana merasa sepertinya ada sesuatu. Karena tidak boleh menolak pemberian dari orang lain yang dikenal, Lana langsung mengiyakan:

“Boleh bang, nanti ketemu dimana?”

1 menit kemudian, pesan tersebut berbalas:
“Nanti ku jemput aja ya didepan kost kamu dek”

Aduh, didepan kost. Lana menggumam sebentar, lalu mengiyakan
“Baik bang, kost saya di Jalan Perjuangan 4 Nomor X”

Pesan tersebut berakhir dengan karakter acungan jempol. Lana berfikir, mengapa hanya Lana yang diajak, ya? Apakah ada sesuatu? Sudahlah, nanti tau juga fikirku.

Tibalah sore hari itu. Lana sudah bersiap sejak pukul 4 sore, selepas ibadah shalat ashar. Lana hanya menggunakan pakaian seperti selayaknya ke kampus, menggunakan kulot tidak terlalu lebar, blouse bunga warna segar favoritku, dan menjepit rambutku yang hanya sebatas pundak saja. Alas kaki yang Lana gunakan hanya sandal jalan. Yah, pakaian apa adanya menurutnya. Maka dari itu, temannya heran, mengapa Lana tidak pernah mengganti style Lana. Yah, paling jauh hanya upgrade makeup tapi tetap tidak terlihat upgrade nya. Kali ini, Lana ingin menggunakan perfume beraroma mawar. Aroma ini sangat segar dan elegant. 6 kali semprot menurutku sudah sangat cukup.

Dari pintu masuk gang, terlihat seorang pria mengendarai sebuah motor matic keluaran terbaru. Tidak begitu besar, tidak membuat pegal ketika duduk. Aroma pefume herba dan rempah yang sangat damai tercium saat dia mendekat, aromanya tidak menusuk hingga membuat mual. Dia menggunakan kemeja dengan celana jeans dan sepatu sneakers bewarna putih. Saat kaca helmet dibuka, tampaklah raut wajah seorang pria yang ingin mengajakku untuk bertemu. Style berpakaiannya sangat rapi, lebih rapi daripada Lana yang hanya menggunakan sandal jalan tipis.

“Assalamualaikum, Lana. Maaf ya menunggu lama”, ucap Lathif kepada Lana.
“Wa’alaikumsalam, bang. Gapapa kok, ini baru keluar juga dari kost. Yuk langsung aja jalannya”, Lana menjawab salam itu dan buru-buru langsung mengajak pergi karena 3 perempuan itu bakal curiga. Dan sesaat akan naik, mereka langsung berteriak dan tertawa, “Cie, jalan sama siapa itu?”.

Sewaktu dijalan, Lathif mengatakan pada Lana suatu hal yang membuatku sedikit kaget, “Lana, mulai detik ini, kamu panggil aku Lathif aja ya, gaperlu pakai kata bang, okay?”. Lanapun bertanya, “Loh, kenapa bang?”. Lathif tetap menginginkan Lana memanggil namanya, “Sudah sekarang panggil aja Lathif ya, Lana”.
“Ehmmm, Oke…Lathif”, jawab Lana dengan agak sedikit tidak yakin.
“Oke Lana. Lana mau pesen apa nanti?”, kata Lathif dengan suara yang terdengar bahagia.

Setelah percakapan singkat di motor itu, setelah menyelesaikan makan mereka. Lathif mengajak Lana ke sebuah kedai kopi yang baru saja buka sore ini. Rupanya, kedai kopi itu milik temannya. Lathif mengajak Lana untuk duduk disudut ruang yang langsung menghadap ke arah taman dan restoran mewah. Dia membuat pesanan yang sama dengan Lana, yaitu kopi latte. Dari sini, Lathif merasa gusar seperti ingin berbicara sesuatu. Setelah kopi latte mereka dihidangkan, Lana mulai membuka topik untuk mencari tahu hal yang ingin Lathif bicarakan.

“Lathif, kenapa kok sepertinya bingung?”, tanya Lana seraya melihat matanya.
“Lana, Lathif mau bicara sama Lana.”, jawab Lathif dengan suara yang mengecil.
“Oh iya, mau obrolin apa?”, tanya Lana kembali kebingungan.

“Lana, Lathif mau berkomitmen sama Lana. Lathif sudah jatuh hati pada pandangan pertama sejak bertemu Lana di orientasi fakultas, 3 tahun yang lalu. Lathif yang menginginkan Lana untuk menjadi ketua tim karena Lathif penasaran, bagaimana cara Lana berinteraksi dengan orang lain. Kesabaran dan kebaikan hati Lana yang buat Lathif engga bisa melihat wanita lain selain Lana. Lathif engga ada gombal, ataupun mabuk. Lathif bener-bener serius mau bareng sama Lana. Lathif pengen jagain Lana, bantuin lana apapun itu. Lathif orangnya introvert, tapi ketika sama Lana, Lathif gabisa berhenti untuk bicara. Banyak banget yang ingin Lathif obrolin sama Lana. Jadi, Lana mau enggak berkomitmen sama Lathif”, jelas Lathif dengan jujur disertai pertanyaan diakhirnya.

Lana perlahan hilang akal. Lana bingung harus jawab apa. Orang yang Lana kagumi benar-benar serius dan jujur dalam bicaranya. Kelebihan Lana adalah tidak bisa menolak orang baik dan bisa melihat kejujuran seseorang dari matanya. Perlahan Lana mengambil latte yang es batunya sudah mulai mencair. Mencoba untuk meneguk minuman itu namun sangat berat, seperti Lana harus mengucapkan sesuatu sebelum menelannya.

“Lathif, kali ini Lana bingung, eh Lana bingung maksudnya. Lana tidak menduga bahwa Lathif bakal bicara seperti itu. Menurut Lana, Lana tidak sesempurna orang disekitar Lathif yang lebih pintar, rajin, dan humble”, kata Lana dengan jujur.

“Baik Lana. Lathif bakal tunggu jawaban Lana. Apapun itu, Lathif bakal terima. Terimakasih udah mau mendengarkan ya, Lana”, Kata Lathif sambil tersenyum. Kemudian hatinya tidak gusar lagi, seperti semua uneg-unegnya sudah tersampaikan dengan baik.

2 jam berlalu, saatnya mereka pulang. Tetapi, sebelum itu, Lana mengajak Lathif untuk ke masjid, karena adzan sudah berkumandang. Masjid terdekat ada didekat mall dekat kedai kopi ini. Setelah mereka sholat masing-masing, mereka melanjutkan perjalanan untuk pulang. Tapi sebelumnya, Lana ingin berkeliling kota di hari yang segar ini.

“Lathif, kita ke tepian mahakam yuk. Lana jarang banget jalan malam begini”, ajak Lana kepada Lathif.
“Eh ayuk, kita keliling-keliling dulu”, kata Lathif membalas.
Kota ini sangat panas jika siang hari. Namun untuk keluar malam, sangat dingin dan tidak pernah sepi. Tiba-tiba, hujan turun deras. mereka tidak membawa jas hujan. Alhasil, mereka menepi dahulu di sudut toko roti yang terkenal di pinggir sungai itu.
“Lathif, mau”, kata Lana singkat.

Lathif bingung, dia hingga mengernyitkan dahinya. Berfikir apakah Lana mau meminta makan karena lapar, atau mau ke kamar kecil. Lathif pun bertanya, “Lana mau apa?”.
Lanapun menjawab, “Pokoknya mau”.
Lathif dibuat kebingungan oleh Lana yang hanya bilang 1 kata, “Mau”. Setelah fikiran Lathif mencerna, dia langsung tersenyum. Hujan perlahan reda. Kali ini tidak terjadi banjir kecil ditengah kota ini. Lathif langsung mengajakku untuk bergegas,
“Yuk, pulang”.

Lana tersenyum, karna hujan telah reda dan dia dapat membalas ajakan Lathif.
Aroma hujan ditengah kota memang menyejukkan. Menghilangkan semua aroma debu dan asap dari kendaraan. Perjalanan pulang kali ini terasa lebih lambat dari biasanya. Lana tersenyum sembari melihat lelaki yang berada didepannya, mengantarnya pulang dengan waktu yang masih lama, sehingga Lana tidak khawatir harus menginap di kontrakan milik kakaknya yang sebentar lagi dia tinggalkan karena kelulusan.

Sesampainya didepan pintu kost, Lana bertemu ibu kost yang baru saja pulang dari pasar malam. Ibu kost kaget, karena anak perempuan asuh selama 3 tahun ini pulang dengan seorang laki-laki tampan.
“Eh, ada mba Lana ini habis darimana, kok pulangnya sama cowo yang beda dari biasanya?”, goda ibu kost kepada Lana.

“Habis makan aja nih bu, laper banget tadi. Biasanya kan mas bima yang hobinya ngajakin makan terus, padahal udah punya cewe tuh!” celetuk Lana menjawab pertanyaan ibu kost ku.
“Malam, bu. Mau antar anak ibu pulang nih. Maaf yah bu”, kata Lathif sembari sungkem dengan ibu kost ku.

“Oiya gapapa mas, syukur-syukur pulangnya belum jam 10 malam. Kasihan nanti Lana bakal mondok bentar di kontrakan abangnya kalau pintu sudah saya kunci”, kata ibu kost sembari memperingati Lathif. Kemudian ibu kost berbicara pada Lana, “Na, nanti telpon abangmu loh ya, tadi itu dia kesini, cari kamu eh enggak ada di kost, tapi temanmu ada semua. Ibu gatau mereka bilang apa ke abangmu”.
“Siap bu, nanti saya tanya ke bang Bima langsung. Terimakasih bu”, ucap Lana. Kemudian Lana langsung menyuruh Lathif untuk pulang.

Ketika motor milik Lathif sudah tidak terlihat lagi, Lana langsung masuk kedalam kost. Dari tangga ujung, sudah terlihat 3 manusia kepo berkumpul didepan pintu kamarku.
“Hey, ada yang baru pulang dari makan-makan nih. Siapa yang ajak tuh? Kakak tingkat idola kita, ya?” ucap Gita.
“Iyanih lapar banget tadi itu. Cuma makan-makan biasa aja kok”, jawabku meyakinkan mereka.
“Biasa aja atau pakai telur dadar? Dikaretin juga enggak, na?”, guyon Finna.
“Ehmmm terserah kalian deh mau bilang apa, intinya Lana habis makan nih, ngantuk habis seminar tadi. Belajar sud Brie, kamu mau maju lusa besok kan?” kata Lana mengalihkan obrolan.

“Belajar itu tuh gampang kalau seminar awal, yang enggak gampang itu mencari jawaban mereka ini. Kamu jalan sama Bang Lathif, kan? senior yang hobi menulis essai? Cocok loh, hehehe”, kata Brie yang membuatku bingung harus berkata apa lagi.
“Iya, iya, Lana beritahu nih, Lana jalan bareng Bang Lathif, tuh makan ayam renyah sama ngopi, setelah itu pulang. Udah, selesai ya! Lana ngantuk nih, bye semuanya. Selamat tidur, guys! 

“Lana Putri Atiya Utama, dimanakah kamu?” 

Terdengar suara yang Lana kenal tetapi tidak jelas. Lana mencari sumber suara itu, ternyata dia kakaknya! Jangan bilang, kakakku mendengar ucapan tadi, bathin Lana.
“Iya kakak Bima Putra Atallah Utama yang tercakep didunia ini setelah ayah, Lana di kost nih!” jawab sambil Lana melihat layar telepon genggam milik Finna itu.
“Kamu jalan sama Lathif Anugrah Putra Unggul, ya?”, tanya Kak Bima dengan serius.
“Ehm…. iya kak. Kenapa kakak ku?”, tanya Lana sedikit ketakutan.
“Hmm gapapa, lain kali bilang ya kalau mau keluar sama cowo, kakak gabisa makan sama kamu. Tadi mau ku traktir steak, eh kamunya enggak ada”, kata Kak Bima sedikit sombong.
“Besok aja ya kak, please… Adikmu yang cantik ini ingin banget”, pinta Lana yang sangat ingin makan daging steak itu.

“Okedeh, besok ya. Bye! Jangan lupa tidur ya!”, kata Kak Bima. Kemudian panggilan tersebut langsung berakhir. Lana mulai berfikir, apa yak Kak Bima fikirkan, ya? Semoga saja, dia hanya tau bahwa Lana dan Lathif hanya sebatas jalan saja.

“Finna, awas kau ya!”. Lana langsung menunjuk Finna dengan rasa kesal karena Kak Bima mengetahuinya. Finna sedikit ketakutan dan memohon maaf. Lana memaafkannya namun tak melupakannya.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pertemuan di Warung Mie #CeritadanRasaIndomie
10
5
Cerita kali ini untuk memperingati ulang tahun Indomie yang ke 50 tahun. Cerita ini merupakan genre romantis yang dibumbui oleh bumbu nagih dari Indomie #CeritadanRasaIndomie
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan