Saksi Mantra Pembuka (Bagian 2)

1
0
Deskripsi

Dewasa ini, aku sempat pernah berpikir : Bagaimana jika ternyata, aku tanpa sengaja menjadi saksi dari sebuah perjanjian yang tidak pernah aku tahu akhirnya?

Jelangkung Jelangkung

Disini ada pesta, pestanya kecil-kecilan

Datang tak dijemput, pulang tak diantar

Diantara pembaca disini pasti sudah cukup familiar dengan mantra pemanggil arwah ala Jelangkung yang cukup familiar di jamannya bukan? Beberapa pasti pernah mencobanya, entah soal berhasil atau tidaknya; itu persoalan lain lagi. Tapi buatku pribadi, mantra tersebut menjadi perumpamaan yang membawa nostalgia sendiri ke masa dimana Bapak masih sering-seringnya berpergian ke kuburan seperti yang aku ceritakan di awal. Ya.. ciri khas makam tua yang identik dengan nisan-nisan tak bernama bersama bebatuan yang sudah ditumbuhi lumut. Kata orang-orang, makam tersebut adalah makam para tetua desa dimakamkan. Letaknya cukup terpencil dari keramaian. Kalau tidak salah, kita perlu berjalan melewati sawah tanpa penerangan selama beberapa kilo. Sangat jarang orang desa berani kesana, kecuali sedang ada acara hajatan desa atau ziarah kubur disana. Maka hobi bapak yang hampir setiap maghrib pergi ke kuburan tersebut tentu mengundang decak kagum warga sekitar yang “ngeh” dengan hal itu. Decak kagum yang sebenarnya adalah sindiran keras tentang kebiasaannya tersebut.

Bagi para pemburu nomor togel, tidur di kuburan menjadi salah satu cara yang dipercaya sering membawa petunjuk tersendiri. Nomornya akan datang lewat mimpi katanya. Tapi apa iya, para tetua desa yang dikenal bijaksana semasa hidupnya akan datang begitu saja memberikan nomor togel yang sangatlah tidak familiar bagi mereka? Pertimbangan ini sebenarnya yang dijadikan kamuflase Bapak selama ini untuk menutupi suatu hal yang sedang ia kerjakan diam-diam. Bagi warga yang cukup dewasa menyikapi, tentu dikiranya Bapak sedang melakukan tirakat prihatin yang mana adalah hal yang wajar dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa yang masih menjalankan aliran kepercayaan kejawen. Tapi bagi aku dan teman-teman sebayaku yang belum mengerti tentang hal itu, yang kami tahu ya hanya Bapak pergi ke kuburan mencari setan. Sesederhana itu.

Sebelumnya, masih ingat kan bagaimana carut marutnya kondisi keluargaku? Pertengkaran demi pertengkaran yang sering terjadi di rumah, membuatku memilih untuk lebih sering bermain diluar daripada harus berdiam diri di rumah mendengarkan pertengkaran orang tuaku yang tidak pernah ada habisnya. Tapi lama kelamaan, aku juga merasa tersisih diantara teman-teman sebayaku karena “Bapakmu ke kuburan mencari setan” itu. Percayalah, bully di masaku lebih drama daripada bully di masa sekarang yang terlalu vulgar. Sudah tidak terhitung berapa kali aku mengatakan bukan dan tidak kepada teman-temanku. Bagaimanapun juga, aku hanyalah anak perempuan kecil yang juga ingin melindungi bapaknya sendiri. Tapi saat aku kalah, aku harus menangis kepada siapa? Sementara kondisi di rumahku juga seperti itu. Puncaknya, aku hanya ingin membuktikan bahwa apa yang dikatakan teman-temanku adalah salah. Caranya? Ya.. tentu dengan cara sebisaku semasa itu.

Di awal cerita aku sempat menceritakan tentang foto perempuan yang disimpan Bapak di lemari. Pasti akan aku ceritakan lagi nanti di akhiran cerita. Untuk saat itu aku hanya ingin memastikan dan melihat dengan kepalaku sendiri soal foto tersebut, alhasil nihil. Pikirku saat itu, apakah foto tersebut selalu dibawa Bapak tiap kali dia meninggalkan rumah? Rencana hanyalah sebuah rencana jika tidak dilakukan. Kebetulan pada saat itu memang Bapak sepertinya sedang akan kembali ke makam tua tersebut. Darimana aku bisa tahu? Tentu dari sesajian yang sudah ia siapkan. Herannya, untuk bermain judi ia selalu ada, untuk membeli sesajian ia juga selalu ada, hanya saja untuk urusan keluarganya ia selalu bisa menunda-nunda. Jadi memang sekilas tidaklah salah jika mengira fokus Bapak memang sedang kepada sesuatu yang orang-orang tidak tahu. Sore itu, aku menjaga jarak dengan Bapak dalam niatan mengikutinya. Tapi kali ini beda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya aku pernah memergokinya masuk ke liang kubur saat menggali makam tetua desa, kali ini situasinya cukup berbeda karena langit tidaklah seterang dulu. Aku berani menjaga jarak dengan Bapak, karena tahu jalan menuju ke makam tua itu hanya ada satu jalan; jadi tidak mungkin tersasar.

Bohong kalau aku tidak merasakan takut saat itu. Berjalan dengan penerangan yang sangat minim, melewati jalan bebatuan dengan hamparan sawah di kanan-kiri, belum lagi suara katak yang terkadang mirip suara wanita tertawa. Di sore hari, kalian akan merasakan suasana asri. Tapi di malam hari, bayang-bayang makam tua di tengah persawahan itu seolah siap menghilangkan siapapun yang hendak memasukinya. Melihat dua pohon beringin besarnya dari kejauhan pun sudah cukup membuat sekelas orang dewasa pun berpikir dua kali. Patokanku saat itu hanyalah lampu senthir. Dimana ada cahaya itu, disitulah Bapak berada. Karena siapa lagi yang berani datang ke makam tersebut tanpa tujuan pasti di malam hari? Tapi karena aku menjaga langkahku agar tidak ketahuan Bapak, setibanya disana mungkin aku sudah ketinggalan beberapa yang dilakukakannya.

Bahkan sampai saat ini, aku sendiri juga tidak tahu makam siapa tepatnya saat kejadian tersebut. Selain karena aku belum ada kesempatan mengunjungi desa itu lagi, setelah kejadian tersebut memang seolah semuanya terlupakan begitu saja. Aku disaat kejadian juga tidak bisa melihat banyak karena kondisi yang memang seadanya. Hanya aroma taburan bunga dan bakaran dupa cukup menyengat yang aku ingat (karena menjadi awal mula aku membenci bau-bauan ini). Yang dilakukan Bapak pun tidak banyak, hanya duduk bersila sambil membaca kata-kata dalam Bahasa Jawa yang tidak aku mengerti. Dan di masa itu, aku cukup bisa membedakan yang mana itu doa, dan yang mana itu mantra. Yang mana mungkin kalau boleh aku improvisasikan di masa sekarang, bunyinya seperti ini : 

“Hong Hiyang Ilaheng Hen Jagad Alusan

Siro Wujud'e Ning kene 

Ono Bolon'e Siro Wangsul Angslupo 

Yen Siro Teko Gaib Wenehono Tondo Ing Golek Bubrah 

Hayo Enggalo Teko Pangundango 

Hayo Ndang Angslupo Ing Rupo Golek Wujud..Wujud..Wujud!”

Aku sadar, bahwa kemampuan berbahasa Jawaku belum mahir benar saat itu. Dua kata yang mungkin aku tahu hanya “golek wujud” yang artinya mencari wujud. Tapi karena keterbatasan penglihatanku, ya mungkin yang aku lihat hanyalah Bapak saja yang masih duduk bersila di samping kubur. Tidak ada wujud atau apapun itu. Satu hal yang aku lihat perubahannya, gerak-gerik Bapak perlahan berganti seperti layaknya wanita. Posisi duduk yang sebelumnya gagah bersila, perlahan berganti menjadi lemas bersandar. Tangannya? Tangannya seperti sedang menyisir rambut yang entah seberapa panjangnya. Pandangannya kosong kebawah seperti sedang menghela nafas panjang. Umpamakan saja ekspresi Bapak saat itu seperti sangat menyayangkan keberadaanku tanpa perlu menatapku secara langsung. Jika boleh memilih, saat itu sepertinya aku lebih memilih untuk melihat hantu dihadapan Bapakku daripada melihat Bapakku sendiri seperti itu. Setelahnya, Bapak yang sedang bukan Bapak itu banyak bertingkah aneh dan terlalu sulit untuk digambarkan sedemikian rupa. Gerak-geriknya seperti sering kali berganti dari gerak pria ke gerik wanita, seperti ada penolakan di dalamnya. Apakah keberadaanku disitu berlangsung lama? Tentu tidak, tidak butuh waktu lama sebenarnya untuk Bapak menyadari keberadaanku. Tatapan tajam dilempar, jelas aku lari tunggang langgang.

Dalam cerita horor lain, mungkin bisa jadi mantra yang diucap Bapak mampu mengaktifkan inilah itulah, atau seolah menyinggung perasaan penunggu lain, dan lain-lain. Tapi seingatku, setelah kejadian tersebut tidak ada sama sekali kejadian yang salah di desa. Semuanya terlihat sama, terlihat rapi tanpa beda. Yang berbeda sepertinya hanyalah aku yang telah menyaksikan sepersekian detik keanehan di depan mataku. Pemikiran masa kecilku hanya tentang bagaimana cerita tersebut tidak tersebar ke teman-temanku. Sedangkan dewasa ini, aku sempat pernah berpikir : Bagaimana jika ternyata, aku tanpa sengaja menjadi saksi dari sebuah perjanjian yang tidak pernah aku tahu akhirnya?

Hal ini jelas tidak mungkin aku ceritakan ke Ibu. Selain karena aku sendiri tidak bisa untuk menjelaskannya, aku sudah tidak mau lagi mendengar pertengkaran di rumah ini. Aku hanya bertanya-tanya, apakah Bapak di makam tua tersebut sama dengan wanita yang ada di foto misterius yang selama ini ia sembunyikan? Apakah foto wanita tersebut memang nyata adanya atau jangan-jangan sama seperti foto perempuan yang kerap dipuja-puja di dunia lain sana? Yang aku tahu hanya bagaimana caranya aku segera bisa menemukan dan melihat sendiri penampakan wanita tersebut. Meski harus sembunyi-sembunyi dan berakhir ketahuan sekalipun, pasti akan aku cari tahu. Di kesempatan berikutnya, aku akan menceritakan siapa dan dampak apa yang diberikan oleh “perempuan” ini. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin memberikan gambaran yang paling mendekati tentang apa yang aku temukan saat itu.

 

Foto hanya ilustrasi yang sekiranya mendekati

 

Malam terlalu malam, tidurlah; katanya. 

Tapi pernah ada masa dimana malam-malamku hanyalah tentang penantian. Penantian akan sesuatu yang sedang aku tunggu benar untuk saksikan kebenarannya. Selembar foto yang selalu mengundang pertanyaan, tentang siapa gerangan dibaliknya. Aku tidak perlu cerita bagaimana pada akhirnya aku bisa menemukan foto tersebut. Karena bukan itu menariknya. Hal menariknya adalah apa yang terjadi setelah aku menemukan foto wanita itu. Memang pernah aku memergoki Bapak di suatu malam sedang memandangi foto wanita yang disembunyikannya dan kemudian bergaya seolah sedang menjadi wanita itu. Itu sebelum aku pada akhirnya tahu bagaimana wujud rupanya. Setelah aku tahu? Hampir di setiap malam, bahkan sampai di masa sekarang pun kadang wajahnya masih sering berlalu-lalang di pikiranku.

Satu yang aku ingat saat masa kecilku dulu, pernah aku saking ketakutannya, aku mengira pikiranku pernah membawa sebuah halusinasi yang terlalu kelewat batas. Masa dimana aku pernah mengira bahwa wanita yang selama ini disembunyikan Bapak itu memang nyata adanya. Cocokologiku bukannya tanpa sebab. Karena curigaku, hampir di setiap malamnya aku menandai ada suara langkah kecil yang mengitari rumah. Bukan suara langkah yang sedang diburu, melainkan suara langkah yang cenderung berat diseret. Aku di umuran jagung, hanya bisa membayangkan figur wanita itu; tidak ada yang lain lagi. Aku membayangkan wanita tersebut dengan bingung atau sabarnya, mengitari rumah seolah mencari momen untuk masuk. Meski pada praktiknya, aku selalu merasa aman ketika membayangkan masih ada Ibu yang tidur seranjang dengan Bapak. Jadi tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk ketakutanku itu bisa terwujud nyata di depan mataku.

Pada sepetak rumah sederhana yang pada kenyataannya memang sangat terbuka antar ruangannya memang pernah membuat imajinasi kecilku membayangkan suatu ketidakmungkinan yang teramat liarnya. Bagaimana tidak? Aku hampir bisa melihat segala penjuru rumah tanpa terhalang apapun karena memang tidak ada tembok atau ruangan lagi di dalamnya. Bahkan jangan sekalipun kalian berharap akan adanya atap (plafon) yang mampu membantu kalian merasa aman. Tidak, tidak ada. Sekalinya kalian melihat keatas, kalian hanya akan melihat susunan kayu penyangga atap yang disinari terang lampu remang-remang. Bagaimana jika tiba-tiba suara langkah yang mengitari rumah tadi sudah merasa lelah dan memilih untuk duduk beristirahat sejenak diatas kayu sana?

Untuk sesaat, aku pernah ada di fase dimana aku merasa mampu untuk merasakan sebuah kehadiran yang seharusnya tidak dirasakan kebanyakan orang. Lebih tepatnya, aku hanya menyimpulkan sendiri tentang perasaan itu. Malam-malamku masih selalu tentang suara langkah yang berputar semakin kencang di kepalaku. Menjadi semakin lengkap lagi kala pikiranmu juga memanggil ingatan tentang bunyi doa / mantra yang pernah aku dengar kala membuntuti Bapak. Semuanya terasa bercampur menjadi satu. Entah berapa malam pernah aku habiskan dengan menangis sendirian karena pikiranku selalu tertuju kesana. Pikirku, apa mungkin aku juga mengucap doa / mantra tersebut tanpa tidak sengaja karena terlalu memikirkannya. Apakah mungkin aku kemudian akan mengundangnya?

Aku pikir setelah penasaranku selesai dengan mencari tahu dan melihat foto wanita yang dirahasiakan Bapak, semuanya akan selesai. Tapi wajahnya selalu berhasil memasuki ketakutanku setiap malam. Kejadian tersebut berlangsung hampir berhari-hari lamanya. Sampai pada akhirnya ketakutanku berhenti. Bukan karena sudah tidak peduli lagi. Tapi karena tembok keberanianku akhirnya runtuh juga. Yang aku ingat, dari balik selimutku aku pernah melihat sendiri akan adanya kaki yang duduk menggelantung di atas kayu penyangga atap. Dua buah kaki yang pucat pasi, terbalut dalam pakaian Jawa compang-camping apa adanya, dan ya … dia adalah wanita yang ada di foto itu. Tatapannya kosong melihat ke tempat tidur Bapak Ibu. Hanya rambutnya saja yang agak sedikit berbeda. Bukan disanggul, melainkan mengembang berantakan.

Apakah wanita itu bisa disebut hantu?

Aku bisa saja dengan mudah memberitahu sekarang siapa dia sebenarnya

Tapi sabar, aku sedang mencoba untuk merangkainya agar menjadi sebuah cerita

Setelah aku ingat-ingat lagi, sepertinya kemunculan sosok tadi juga hanya sekali. Iya, tidak ada lagi setelah debut perdananya di malam itu. Pertanyaan tentang siapa dia sebenarnya pada masa itu juga seakan percuma tanpa pernah ada jawabnya. Pun juga tidak ada gerak-gerik yang berubah dari Bapak setelah rangkaian kejadian tersebut. Tidak ada yang berubah. Termasuk kebiasaan berjudi Bapak yang tidak pernah kenal lelah meski selalu kalah. Bisa dibilang, semakin bertambah hari kebiasaannya justru semakin parah. Bahkan anak seumuranku pun tahu, sudah tidak ada lagi harta tersisa di rumah ini. Semuanya nyaris habis terjual, menyisakan beberapa perabot sisa yang memang harganya tidaklah seberapa.

Di satu sisi, aku melihat betapa egoisnya Bapak yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Di sisi lain, melihat kondisi Ibu yang selalu pasrah bersabar melihat kelakuan suaminya sungguh teramat sangat menguras hati. Aku hanya berharap, setelah segala frustasi Bapak, jangan ada pertengkaran lagi di rumah, itu harapanku. Tapi pada kenyataannya, permainan tangan menjadi pemandangan sehari-hari. Caci maki Bapak semakin menjadi-jadi ketika ia mencurigai Ibu ada main dengan lelaki lain. Melihat kondisi Ibu saat itu sangatlah tidak mungkin tuduhan itu terjadi. Badan Ibu sudah nyaris habis memikirkan kondisi keluarga yang tidak berangsur membaik. Bahkan mungkin tidak ada satupun pria di desa yang tertarik untuk melirik. Entah atas dasar apa juga Bapak bisa menuduh seperti itu. Atau bisa jadi, tuduhan tersebut hanyalah alibi baginya untuk melakukan hal yang sama?

Tuduhan ini lah yang kemudian menimbulkan masalah baru. Bisa dibilang akan menjadi puncak masalah. Permasalahan kebiasaan judi belum selesai, ekonomi keluarga yang terus memburuk, sampai-sampai isu perselingkuhan pun muncul ke permukaan. Dan untuk pertama kalinya aku melihat betapa geramnya Bapak. Seolah ada sesuatu yang benar-benar memancing emosinya kali ini. Keinginannya waktu itu hanya tampak seperti ingin meluapkan amarah ke seisi rumah. Dan percayalah, segala sumpah serapah selalu keluar dari mulutnya. Satu perkataannya yang aku ingat benar adalah dia akan melakukan hal serupa sama seperti yang ia tuduhkan kepada Ibu. 

Orang bilang sumpah bisa menjadi sebuah doa yang bisa saja terwujud menjadi nyata. Silahkan asumsikan sementara seperti itu, karena setelah ini memang benar akan terjadi. Dan perempuan itu akan muncul kembali.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Narasi Awal Mula (Bagian 1)
3
0
Di jaman yang sudah serba maju ini, terkadang untuk mempercayai sesuatu yang tidak nyata adanya adalah hal paling aneh dalam hidup. Tapi bagaimana jika keanehan tersebut pernah terjadi di kehidupanmu? Masihkah kamu akan menyangkalnya? Atau justru berbalik mati-matian membelanya? Tidak.. mungkin aku tidak akan membelanya seperti banyak orang diluaran sana. Aku justru sebenarnya malu, jika harus membicarakan tentang sesuatu yang tidak terlihat itu. Apa sebutan mudahnya? Hantu? Ya.. hantu dan segala keanehan tentangnya. Rentetan keanehan yang mungkin sampai sekarang akan selalu aku salahkan terhadap sebuah kehancuran yang terlalu runyam untuk diceritakan. Bagaimana mereka ini, bagaimana mereka itu, dan terlalu banyak bagaimana lainnya lagi yang membuatku hidup seperti sekarang ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan