
di Amsterdam, Rose dipertemukan banyak cerita diluar kepala dan kerinduan tercipta untuk penulis puisi itu.
Pukul tujuh pagi di bulan April aku bangun di tempat tidurku. Ku tengok ke Jendela bahwa pagi di Amsterdam masih berbeda dengan pagi di Bandung.
Ya, terakhir aku di Amsterdam saat aku usia tiga belas tahun. Dimana Nenek meninggalkan kami semua. Rumah Nenek ditinggali oleh Paman Albert,Bibi Belinda, Cindy dan Suaminya.
Aku memanggil Nenek dengan sebutan Oma.
Perkenalkan, Bibi ku, Kakak ipar dari Papa. Aku memanggilnya Tante Belinda. Dia adalah Anak dari pengusaha Inggris dan Ibu nya seorang perempuan asal Solo Jawa Tengah. Tante Belinda dan Oom Albert bertemu saat Tante sekolah di Surabaya. Sudah cukup lama kami tidak bertemu. Terakhir kami bertatap muka yaitu saat aku berkunjung kerumah Oma bersama Mama saat Oma meninggal. Dia adalah istri yang baik, dia memiliki sifat disiplin yang tinggi.
Suami dari Bibi Belinda. Kakak kandung Papaku, aku suka memanggilnya dengan sebutan Oom Albert. Oom Albert adalah sosok paman yang sangat menyayangiku, karena kebetulan aku adalah satu-satunya keponakannya.
Oom Albert dan Tante Belinda memiliki seorang anak bernama April. April dan aku tak begitu akrab, mungkin karena kami jarang bertemu. Dia sudah menikah tiga tahun yang lalu, Suaminya adalah lelaki terbaik pilihan Oom Albert yang memiliki profesi yang sama dengannya, yaitu tentara angkatan darat.. Suaminya sedang tugas militer di Harleem. Aku dan April memiliki sedikit cerita yang kurang jelas. Yang pasti dia pernah marah dan enggan bersamaku saat aku terakhir ke Amsterdam pada enam enam tahun yang lalu.
Pagi ini aku sudah dalam keadaan yang segar dan sudah mandi. Aku sudah menghadap meja makan bersama Oom Albert dan April.
"sudah rencana ke makam Oma?", sapa Oom Albert kepadaku sambil dia membaca Koran.
Aku tersenyum kepada Oom Albert lalu menyeruput teh hangat ku lalu menjawabnya, "mungkin besok. Aku masih lelah dalam perjalanan ke Amsterdam".
Lalu aku menoleh memandang April dan menyapa nya, "hey April. Apa rencanamu hari ini?".
Namun tiba-tiba saja dia hanya tersenyum dan beranjak diri meninggalkan kami di meja makan. Baiklah, aku tak mau begitu tahu apa yang terjadi padanya. Lalu aku kembali ngobrol dengan Oom Albert dan membicarakan mengenai sastra di Belanda.
Baru saja kami ngobrol selama sepuluh menit, tapi tiba-tiba lonceng pintu berbunyi, manandakan ada seseorang yang datang. Lalu aku berdiri dan mengajukkan diri untuk membuka-kan pintu. Tapi Oom Albert menolakku dan ia beranjak dari duduknya, menutup korannya, dan pergi membuka pintu.
Satu menit Oom Albert meninggalkan aku, lalu dia memanggilku. Lalu tak berpikir panjang langsung saja aku mendatanginya.
Ya, Dia adalah tamu kami pagi ini. Saat aku berdiri mendatangi Oom Albert, tanpa kalimat basa-basi, lelaki ini menyondorkan tangannya untuk menjabat tanganku dan berkata, "Hey, Apa kabar?".
Lelaki berhidung mancung, tubuh yang atletis, alis yang indah, kulit yang putih, dia miliki. Ia memandangku dengan penuh dan tersenyum memandangku.
Aku membalas senyuman itu dan menganggukkan kepalaku, "ya, baik".
"sepertinya aku harus kembali ke belakang, ada radio yang harus ku perbaiki", ujar Oom Albert sambil berjalan meninggalkan kami di ruang tamu.
Aku pun mempersilahkan dia duduk dan aku pun juga ikut duduk, ya. Ini adalah momen yang kikuk dan aku tak tahu harus memulai kalimat apa antara kami. Karena aku sendiri tak tahu dia siapa.
Saat aku hendak membuka kalimat tiba-tiba saja April datang membawakan secangkir teh dan pancake yang buatannya. Ya, mungkin dia adalah tamu untuk April. Lalu aku berdiri dan meninggalkan mereka di ruang tamu. Tapi saat aku berjalan pergi, cermin didepanku menunjukkan lelaki itu hendak menghentikanku. Namun April berhasil membuatnya harus menanggapi apa yang April lakukan.
Baiklah, aku sepertinya harus ke makam Oma. Segera aku bersiap dan kaki ini berjalan keluar dari rumah melalui pintu samping. Tanpa pamit kepada Oom Albert, langsung saja aku berjalan menuju makam Omma sejauh 700 meter dari rumah kami.
Kini aku sudah menaruh bunga tepat dinisan Oma, aku duduk dan memandangi batu nisan Oma. Beatrix Van De Kruk, nama yang terukir dibatu nisan yang ada dihadapanku. Sosok Nenek yang ku rindukan, yang selalu membelaku saat Papa memarahiku, yang selalu memelukku saat aku menangis karena berkelahi dengan saudara yang lain, yang selalu bertanya kepadaku saat aku duduk seorang diri.
"Oma, Rose sekarang sedang rindu denganmu. Apa Oma sedang bahagia disana? Mama sudah menyusul Papa. Kini Rose sudah tak memiliki siapapun disini".
"ya Oma, aku percaya Oma sedang mendengarkanku dan memelukku dari kejauhan. Maafkan aku sudah menangis dipertemuan kita ini. Rose tak tahu apa yang akan Rose lakukan nanti. Kini Rose hanya memiliki senyuman dan cinta. Karena Rose tahu bahwa Cinta Mama, Papa, juga Oma tak akan hilang untukku".
Aku menangis disitu, aku ingin menangis, menangis dan menangis. Bahkan satu-satunya saudara sepupu yang kupunya disini pun tak bisa lebih dekat denganku. Aku sedang rindu sesuatu yang membuatku tertawa hingga lupa bahwa tak ada yang abadi di dunia ini.
Kukira sudah waktunya pulang. Karena aku sudah disana sekitar tiga puluh menit. Segera aku beranjak pulang dan sesampai rumah aku melihat lelaki tadi berdiri dihalaman depan rumah kami dengan Oom Albert.
"kau dari mana saja, tanpa pamit kau pergi", kata Oom Albert kepadaku.
"aku dari makam Oma".
"bukankah kau bilang akan pergi besok? Lihat lah ini", kalimat Oom Albert dipotong oleh lelaki itu.
"ah, tapi aku harus segera pergi. Ibuku sudah menunggu, aku pamit", ujar lelaki itu kepada Oom Albert dan berpamit kepadaku dengan senyuman yang sangat manis. Lalu dia berjalan meninggalkan kami di tempat. Kemudian untuk menghindari omelan Oom Albert, langsung saja aku berjalan cepat masuk ke dalam rumah dan naik ke kamarku.
Saat aku tengah perjalanan menuju kamarku, aku berpapasan dengan April. Aku menyapanya dengan senyuman yang ku unjukkan paling manis. Namun dia hanya diam tak membalasku dan masuk ke dalam kamarnya. Aku pun juga masuk kedalam kamarku dan tidur selama dua jam.
Keesokan harinya pukul tujuh pagi aku dengan gaun panjangku yang sederhana berwarna merah yang cocok untuk musim semi di Amsterdam. Saat aku baru turun dari tangga dan hendak pamit kepada Oom Albert yang sedang duduk membaca Koran di sebelah April yang minum susu, juga Tante Belinda yang tengah memasak.
"apa kau akan pergi sekarang?", Tanya Oom Albert kepadaku.
"ya, tentu. Aku pamit. Sampai jumpa", pamitku singkat dan aku saat aku keluar dari rumah setelah menutup pintu, laki-laki asing kamarin berdiri dihadapanku.
Aku tersenyum kepadanya dan berkata, "Oom Albert, sedang membaca Koran didalam, April sedang sarapan juga didalam. Silahkan masuk saja".
"aku datang untuk menemanimu di toko buku".
Apa? Jawaban diluar dugaanku!
Apa maksudnya? Aku tak tahu harus menjawab apa.
Seketika aku menyilakan poniku ke belakang telingaku, "aku bisa berjalan ke toko buku sendiri".
"aku akan sangat senang jika aku kau izinkan untuk menemanimu dan menunjukkan dimana toko buku yang lengkap", balasnya dengan senyuman yang mampu membuat semua wanita luluh.
Aku akui dia memiliki tinggi yang pas, kulit yang bersih, hidung yang mancung, bibir yang seksi, sehingga aku tepat menyebutnya lelaki yang tampan. Tapi dia masih asing bagiku. Ya, baiklah, tanpa menjawab kalimat apapun aku langsung berjalan untuk memulai perjalanan menuju toko buku.
Kami berdua berjalan selama lima belas menit. Toko buku itu terletak di tengah kota, berada didalam bangunan yang asing, dan berjarak sekitar hampir satu kilometer dari rumah kami.
Dia duduk dengan tenang di depan toko. Sesekali aku menengoknya dan memastikan dia tidak menangis marah karena menungguku terlalu lama yang keasyikkan melihat-lihat buku.
Ya, aku tahu bagaimana rasanya menunggu. Tak menunda-nunda lagi segera aku membayar buku ku dan keluar dari toko itu lalu mengajak lelaki itu untuk pulang. Saat kami berada dalam perjalanan, tepatnya kaki kami beru melangkah sekitar empat ratus meter kami berada di danau Sloterplas. Aku menghentikan kakiku dan berjalan menuju tepi danau.
Sungguh lama aku tak memandang keindahan seperti itu. Lelaki itu menyusulku dan berdiri disebelahku.
"disini juga kita terakhir bertemu, dimana kau akan kembali ke Indonesia".
Kalimat itu membuatku menoleh memandangnya dan kembali bertanya, "siapa kamu?".
Seketika dia langsung mengerutkan keningnya dan menghadapku, "apa kau lupa ingatan? Benarkah kau melupakan aku?".
Aku masih diam memandangnya tanpa berkata apapun.
"aku Alex. Cornelius Alex Chastelein".
Aku masih diam kikuk tak tahu apa yang harus ku katakana. Mataku hanya berkedip saja.
"ah, kau ingat Teddy Bear? Siapa yang mengambilkan Teddy Bear mu saat jatuh di danau?".
Ya, seketika aku ingat dengan dia yang ada dihadapanku. Teringat cerita belasan tahun yang lalu saat aku bermain dengan dia. Kami masih diusia balita. Kami sangat dekat dan dia selalu bermain denganku, hingga banyak orang yang menyatakan bahwa kami patut dijodohkan. Namun di usiaku sebelas tahun aku harus kembali ke Indonesia dan menetap di Indonesia. Sejak itu kami sudah tidak bertemu lagi.
"ah, aku tahu, kau Alex! Oh Tuhan, apa kabar?", ucapku serontak membuatnya tersenyum lebar kepadaku.
Dia tersipu malu dan menundukkan kepala kebawah, "ya, aku baru selesai pendidikan dan akan praktik di Indonesia", lalu dia kembali memandangku, "bagaimana dengan Ibu Guru?".
Aku tertawa kecil dan menggelengkan kepala karena malu, "kau masih ingat akan cita-citaku menjadi guru?".
Dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "tentu, bahkan kalau kau takut dengan petir saja aku masih mengingatnya".
"tunggu, kau sangat fasih dalam bahasa Indonesia dan kenapa kau sangat berbeda Alex", ujarku.
"berbeda? Mungkin karena kita lama tidak bertemu maka kau lupa denganku", jelasnya. Lalu dia menrapikan bajunya dan membenarkan posisi duduk nya untuk lebih menghadapku dan kembali bertanya, "apa kau sudah menjadi guru?".
Aku tersenyum malu dan memandang ke arah danau, "ya, tahun lalu aku sudah selesai mengejar sertifikat mengajar. Mungkin bulan depan sudah mengajar". Lalu aku menoleh memandangnya, "bagaimana dengan cita-cita seorang Alex?".
"aku sudah menetap di Indonesia sejak kuliah semester pertama hingga koas dan selanjutnya aku kembali praktik di Jakarta".
"lalu kenapa kau ada disini?".
"karena ada seseorang yang mengunjungi Neneknya".
Seketika aku menoleh memandangnya dengan penuh dan keningku mengerut, " selalu saja bercanda".
Aku disitu tersenyum dan tertawa kecil walau tak memandangnya.
"ya, aku rindu melihatmu tersenyum. Maaf aku tak datang saat Mama mu pergi, aku baru tahu saat aku pulang kemari".
Hey, ini sangat ku benci. Aku sangat membenci pembahasan mengenai kepergian Mama. Langsung saja aku mengalihkan pembicaraan.
"doa kan aku agar lancar dalam mengajar dan menjadi guru yang baik".
"tentu. Doa ku untuk mu tak pernah ketinggalan", balasnya dengan singkat.
"bailklah, sebaiknya aku harus pulang dan membantu Oom Albert mengurus kebunnya", ujarku berdiri dari dudukku dan mengajak Alex untuk pergi.
Malam harinya aku sedang duduk diam di kamar sambil melihat langit-langit kamar. Namun tiba-tiba aku mendengar kegaduhan dilantai satu dan membuatku harus turun. Ya ternyata Oom Albert dan April tengah bertengkar. April pun sudah meneteskan air mata nya, namun saat aku datang dan melihat mereka, seketika April memandangku dengan dongkol lalu lari naik tangga dan mengabaikanku. Oom Albert pun memberi kode kepadaku bahwa, 'everything its okay'.
Aku pun lari mengejar April, dan saat aku mendapatkannya dia menghadapku lalu berkata, " dit komt allemaal door jou".
Yang artinya, "ini semua karena aku". Apa? Apa yang telah ku lakukan hingga Oom Albert memarahi April seperti anak usia sepuluh tahun yang sudah melanggar aturan.
Lalu aku hendak mendatangi Oom Albert untuk membuatkan dia teh hangat agar pikirannya sedikit tenang. Namun saat kaki ini akan melangkah dalam turunan tangga pertama aku mendengar Tante Belinda bertanya kepada Oom Albert yang membuatku tertampar.
"how long?".
"who?", Tanya Oom Albert kembali.
"Rose", jawab Tante Belinda secara singkat.
"why? biarkan dia disini. Dia adalah anak dari adikku. Satu-satunya keluargaku yang masih ada".
Lalu Tante Belinda menjawab, "kau tahu bahwa April tak pernah nyaman dengan dia? Karena kau menjodohkan dia dengan lelaki pilihanmu dan cinta April kepada Alex pun tak tercapai. Apa kau lupa akan hal itu?",
Oom Albert pun menjawabnya dengan santai, "Alex pun juga tak mencintai April. Apa salahnya? Itu semua adalah masa lalu, tak pantas kau membahas ini sekarang".
"tapi aku keberatan dia disini terlalu lama".
"ini juga rumah Oma nya".
"tapi dia bukan anakku".
"dia anak dari adikku, yang juga memiliki hak akan rumah ini".
"di dunia ini taka da yang gratis Albert!", jelas Tante Belinda sambil berjalan meninggalkan Oom Albert.
Sementara aku masih berdiri diam tak bersuara ditempat. Aku pun segera kembali ke kamar dan melangkahkan kaki dan berusaha untuk tak mengeluarkan suara dari langkahku. Sesampai kamar pun rasanya aku ingin teriak dan menangis. Segera aku mengambil baju hangat ku dan keluar rumah melalui pintu samping, lalu aku berlari menuju danau yang ku datangi dengan Alex tadi pagi.
Aku duduk di kursi panjang tepi danau dengan diam dan air mata. Aku harus tahu diri bahwa aku disini tak memiliki orang tua atau siapapun yang benar-benar menganggapku bagian darinya. Ya, aku benar-benar sendiri. Aku juga baru tahu bahwa alasan kenapa selama ini April selalu menghindar saat aku ingin lebih dekat dengannya. Ya, kenapa aku sangat bodoh sekali? Aku telah menyakitinya dengan aku bersama Alex, yang fakta nya aku tak pernah ada hubungan apapun dengan Alex.
Disitu aku menangis, menangis dan diam.
Sadis, mungkin itu definisi yang pantas ku terapkan dalam menggambarkan keadaan ku saat ini. Yang aku punya sekarang hanya air mata dan langit. Lalu tiba-tiba saja seorang Alex Chastelein datang dan duduk di sebelahku.
Aku pun mengusap air mataku dan menoleh memandangnya. Aku tersenyum kepadanya dan bertanya, "bagaimana bisa kita disini sekarang?".
Dia menghapus air mataku dengan jemarinya yang mengusap pipiku.
"aku baru selesai keluar dari klinik, dan aku melihat seorang wanita cantik yang tak asing dimataku, maka aku mendatanginya. Ternyata dia menangis tanpa suara", ujar Alex sambil memandangku dengan penuh.
Lalu Alex menyondorkan bunga tulip warna putih kepadaku sambil berkata, "aku harap kau akan tersenyum".
Seketika aku mengambil bunga itu dan melempar senyumku kepada Alex.
"ku harap senyuman itu bukan paksaan".
Mendengar pernyataan itu aku tertawa kecil dan memeluk Alex. Ya, aku memeluk Alex dan air mata ini kembali jatuh. Aku sangat ingin menangis dan meraung. Semakin erat aku memeluknya, ia pun membalas pelukanku dan mengelus rambutku.
Lalu aku melepas pelukannya kemudian tersenyum kepadanya.
"akhirnya kau tersenyum tanpa memaksa otot-otot wajahmu", ujarnya sambil mengusap air mata di pipiku.
"sepenting itu senyumku bagimu?", Tanya ku kepada Alex.
"ya, akhirnya aku melihat rambut hitammua yang lebat dan panjang, aku melihat matamu yang indah, bibirmu yang menawan, juga senyum manis itu", kalimat itu terucap dari bibir Alex sambil memandangku dengan penuh tanpa berkedip. Sementara aku pun terdiam tak menjawab apapun dan dia kembali berkalimat, "aku merindukan mu Rose".
Itu adalah gambaran cara dia menatapku dengan penuh. Malam ini adalah malam dimana Amsterdam sangat sepi, hanya aku dan tatapan lelaki tampan yang tak mampu membuat perasaanku bergejolak apapun. Hanya sepi dan sunyi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
