PERFECT BOYFRIEND ‐ 2. Ice Cream

7
2
Deskripsi

“Let's break up. Kamu terlalu sempurna untuk aku yang nggak ada apa-apanya, Kak.”

“Fine. Kita putus dari hubungan ini dan menjalin hubungan kembali ke jenjang yang lebih serius. Besok kita nikah. Gak ada penolakan!"

Abian terlalu sempurna. Ya, memang. Kesempurnaan itulah yang membuat Bulan merasa insecure. Gadis itu hanyalah seorang pelajar untuk Abian si pengusaha muda yang tampan nan kaya raya. Ratusan kali dia mengatakan putus, ratusan kali juga Abian mengancam akan membawanya ke jenjang pernikahan. 

Perfect Boyfriend - 2. Ice Cream

 

"Eh Bulan!! Lo bisa stop nggak!!" 

Bulan yang terpanggil otomatis menoleh. Bahkan beberapa murid lain ikut menengok kepada pemilik suara tersebut. 

Lapangan sekolah yang ramai dengan kedatangan murid mendadak hening saat orang yang memanggil tadi menyiram Bulan dengan air dari botol mineral. 

"Maksud lo apa, Chik!!" pekik Bulan, tidak terima. Sial. Ini masih terlalu pagi untuk kekacauan seperti ini. Bahkan keringatpun belum mengucur dari dahinya. 

"Baru disirem air aja udah nggak terima. Dikta yang tubuhnya penuh darah aja nggak marah-marah. Jangan mentang-mentang sekarang lo jadi simpenan Om-Om kaya, lo bisa seenaknya nyewa preman buat gebukin Dikta. Dia masuk rumah sakit seka--" 

Belum selesai Chika dengan kalimatnya, pipinya sudah lebih dulu ditampar oleh Bulan. "Jaga ya mulut lo. Gue bukan simpanan Om-Om, dan gue juga nggak nyuruh orang buat gebukin Dikta!!" 

"Bacot lo!! Gara-gara Om-Om lo itu, Dikta masuk rumah sakit!!" 

"Satu sekolah harus tau. Kalau lo itu sebenarnya Jalang. Lo jual diri ke Om-Om. Dan lo pakai uang dari Om-Om itu buat bayar preman. Lo nggak terima diputusin Dikta, tapi nggak gini juga caranya, Lan!!" 

Hening yang terjadi berganti menjadi riuh bisikan. Murid-murid mendadak menggerombol menggosipi Bulan. 

Gadis yang sekujur tubuhnya basah itu tersenyum santai. Bersedekap. "Padahal gue udah nggak mau ada urusan sama lo berdua. Gue diem aja supaya anak-anak nggak gosipin lo berdua. Tapi lo malah balik fitnah gue. Fine, gue bocorin tabiat buruk lo itu. 

"Gue nggak jual diri. Gue nggak pacaran sama Om-Om, karena gue sama pacar baru gue cuma beda sepuluh tahun. Dan gue nggak diputusin, melainkan gue yang mutusin Dikta. Dikta dan Chika selingkuh, sampai mereka bahkan udah tidur bareng di hotel. Terserah kalian mau percaya atau enggak. Tapi gue ada buktinya!!" teriak Bulan. 

"Lo semua jangan percaya sama omongan Bulan, atau gue bakal keluarin kalian dari sekolah. Gue yang punya sekolahan ini!!!" jerit Chika. 

"Aaaa!!!" teriak Chika saat setumpuk sampah mengotori kepalanya. 

"Bisa diem nggak lo, Chik!!" pekik Gantara. 

"TARA... APA MAKSUD LO!!!" 

"Brisik anjing!!! Pelanin suara lo. Lo ngerti bahasa manusia nggak sih. Brisik!!" 

"Gimana gue bisa diem. Lo nyiram sampah ke gue!!" 

"Kan biar sama kaya lo!!" Gantara berlari ke tengah lapangan, menepuk tangan meminta atensi semua orang. 

"Yang dibilang Bulan itu bener. Chika selingkuh sama Dikta udah lima bulan. Gue saksinya. Mereka nginep di hotel juga bener. Jadi lo semua, jangan pernah kemakan omongan Chika kalau dia jelekin Bulan. Karena apa yang Chika dan Dikta dapet sekarang, belum cukup buat menebus kesalahan mereka sama Bulan!!" 

"Dan lo Chik, gua kasih tau, yang gebukin Dikta itu bukan preman. Tapi anak-anak Pionter. Dikta resmi dikeluarkan dan itu hadiahnya. Lagian bego, udah tau Bulan adiknya pendiri dari Pionter, dia malah beraninya macem-macem." 

"Jangan salahin Bulan untuk luka-luka yang bakal Dikta atau bahkan lo dapetin nantinya. Itu baru Jeff yang nyuruh, Bang Pion belum ngomong apapun!!" kecam Gantara. Dia menarik Bulan pergi dari sana, menjadikan Chika satu-satunya atensi semua murid yang kini balik menggosipinya. 

"Tara, lo mau bawa gue ke mana?!" pekik Bulan. Mengikuti langkah Gantara membuatnya lelah. Langkahnya terlalu cepat dan lebar. 

"Ah, sorry, Lan. Saking keselnya sampe nggak sadar. Ngikutin gue susah, ya. Makannya tinggi," ejek Gantara, menepuk kepala Bulan. 

"Ish, apasih Lo. Gue udah tinggi, ya. Lo nya aja yang kelewatan tingginya." 

"Enggak lah. Lo yang pendek, Lan." 

"Iya deh, terserah. Ngeselin lo. Jadi ini mau ke mana?" 

"Kamar mandi. Ganti baju lo. Tapi beli dulu baju baru." 

"Aishhh baru ngeh baju gue basah. Malesin banget sumpah. Tapi ngomong-ngomong, kenapa lo bantuin gue. Lo nggak takut diamuk orang tuanya Chika. Kan, dia yang punya sekolah...." 

"Alah, kaya bakal berani aja si Chika. Biarin lah, sama-sama manusia ini. Selagi gue nggak salah, gue nggak takut." 

"Ini baru anak buah Pionter," bangga Bulan menepuk bahu Gantara. 

*** 

"Gantara, lo dipanggil BK!!" pekik salah satu murid, datang terogoh-ogoh. 

"Kan, apa gue bilang. Jangan macem-macem sama gue," sindir Chika mengibas rambutnya. 

"Udah, Lan, santai. Kalo gue dihukum, tinggal kasih tau bokapnya kalau anaknya demen nana ninu di hotel." Bulan memang nampak cemas sampai Gantara balik merasa tidak enak. Takutnya karena ulahnya yang menyiram sampah pada Chika akan menyeret Bulan juga. 

"Lo nggak usah ikut camput, Tar!!" geram Chika. 

"Ikut campur apa. Gue mah, mau ngasih fakta doang. Napa, takut lo. Makannya jangan murah!!" Gantara terkekeh, pergi dengan santainya dari kelas. 

"Lo pake pelet apa sih. Kenapa sekarang Gantara jadi bela lo terus. Lo kan tau, gue suka sama Gantara!!" kesal Chika memukul meja Bulan. 

"Yang jelas gue nggak pake pelet muka dua dan jual diri. Dan satu lagi, lo juga tau kalau gue sama Dikta pacaran, tapi masih lo embat juga kan, Dikta nya. Jadi apa bedanya. Lagian gue juga nggak suka Gantara. Dih...." 

"Anjing ya lo, Lan. Gue nyesel temenan sama lo. Lo ternyata suka nikung temen sendiri." 

"Nggak ngaca dia. Coba kalau lo bukan anak yang punya sekolah. Nih, semua orang yang ada di sini bakal nyorakin kegoblogkan lo, Chik. Mending diem deh, mulut lo masih bau sampah!!" 

Bulan melenggang pergi dengan cepat. Tensi darahnya bisa naik kalau harus terus-terusan meladeni Chika. Baru sadar dia, kalau mantan sahabatnya itu ternyata aneh. 

"Aishhh. Pengin tenang!!" geram Bulan. 

"Yaudah ayo pergi," ajak seseorang. 

"Kak... ngapain di sini?" Tak ada yang lebih mengagetkan selain kehadiran Abian di sekolahnya. Perasaan saat dia tadi diantar, lelaki itu langsung pergi menuju kantornya. 

"Siapa Gantara. Kok dia bantu kamu sampai segitunya?" 

"Loh, Kak...." 

"Apasih, yang saya nggak tau. Jadi kamu lagi kesel sekarang. Saya beli sekolah ini aja ya, biar Chika nggak macem-macem." 

"Hah!! Jangan aneh-aneh, deh. Please, Kak, yang normal aja. Aku nggak papa sumpah. Chika mah bukan lawan yang sebanding." 

Tangan Bulan ditarik, memeluk perut Abian. "Kok saya nggak boleh bantu kamu, sedangkan Gantara boleh." 

"Kak... bukan waktunya buat cemburu. Ini lepas, nggak enak dilihat yang lainnya. Kakak nggak mau denger gosip aneh, kan, tentang Bulan." 

"Tapi kenapa nggak boleh, Bulan...." 

"Boleh. Tapi nggak gitu caranya. Lepas, ya." 

"Hmmm." 

"Gantara cuma temen. Dia anak Pionter, wajar kan, kalo dia bela aku." 

"Wajar. Tapi saya yang nggak terima. Jadi karena kamu lagi kesel, mending kita pergi dari sini. Mau es krim apa shoping?" 

"Bulan mau es krim. Tapi nggak sekarang." 

"Kenapa?" 

"Masih jam pelajaran, Kak. Aku nggak mau jadi bodoh. Nanti pas pulang, ya. Sekarang aku mau nyusul Gantara. Kasian. Gara-gara aku dia jadi kena masalah." 

"Gantara lagi. Udah biarin, dia nggak akan kenapa-napa. Aman." 

"Kak.... Kakak nggak beneran niat beli sekolah ini, kan?" 

"Nggak tau. Kalo lagi bad mood gini ya bisa aja." 

Bulan menarik Abian ke area koridor yang sepi. Di mana di sana juga tidak ada CCTV. 

"Jangan, ya. Kan udah aku balikin mood nya," kata Bulan usai mencium bibir Abian. 

"Lagi." 

"Nanti. Sekarang aku mau ke kelas. Guru bentar lagi dateng." 

"Jangan lupa es krimnya!!!" pekik Bulan berjalan menjauh. Memberi lambaian tangan serta senyum manis yang membahagiakan Abian. 

*** 

Biasanya urusan dengan BK akan berjalan lama. Tapi entah apa yang terjadi, Gantara bisa kembali dengan cepat. Menyungging wajah sombong untuk Chika yang nampak kaget. Bahkan dia tidak mendapat hukuman apapun. Berdiri di depan tiang bendera seharian misalnya. 

Bu Rana yang sedang konsentrasi menjelaskan tentang biologi manusia menurunkan sedikit kaca matanya saat Gantara mengetuk pintu. Namun dengan cepat kembali seperti semula, menatap serius bukunya. 

Saat suara pintu kembali terketuk dua puluh menit kemudian, Bu Rana berdecak kesal. Dia paling tidak suka saat jam mengajarnya terganggu. Osis pun sering diwanti-wanti agar tidak datang ke kelas di mana ia sedang berada. 

"Kenapa?!" sinis Bu Rana, menurunkan kaca matanya lagi. 

"Mau bagi es krim, Bu," ragu si ketua Osis. Anggotanya sudah membagikan es krim dengan ukuran cup sebesar telapak tangan itu pada para murid, dan juga ke meja Bu Rana yang penuh tumpukan buku. 

"Bu, kata Pak kepala sekolah, khusus dua jam terakhir pelajaran akan dikosongkan. Ibu bisa kembali ke ruang guru. Ada hadiah besar menanti, Bu. Tadi saya ngintip sedikit, Bu Rosa dapat tas mewah. Di meja Ibu juga sudah ada kotak hadiahnya. Siapa tau itu hadiah yang sama." Dasar Ibu-Ibu, mendengar kata hadiah dan gratis muka sinisnya langsung berganti ramah. Dia membereskan bukunya cepat, tanpa pamit langsung pergi meninggalkan kelas. 

"Lan, ada yang nunggu lo di parkiran. Nanti kalo ketemu, bilangin makasih ya, buat es krimnya. Kapan lagi makan es krim mahal begini," kata ketua osis, berlalu pergi. 

Bulan menghela napas. Dia tau siapa pelakunya sekarang. Lolosnya Gantara dari hukuman dan es krim ini pasti dalangnya adalah dia. 

Es krim nya ditinggalkan, Bulan berlari cepat ke arah parkiran. Ada food truck es krim yang terparkir dan tengah dikerumuni oleh murid-murid. Namun bukan itu tujuannya, melainkan mobil hitam yang terparkir sendirian. Menjauh dari mobi lainnya. 

"Apa maksudnya?" tanya Bulan tidak sabar. 

Yang ditanya tersenyum jail, menyendokkan es krim untuk disuapkan pada gadis itu. 

"Kak, jawab dulu," rengek Bulan. Es krimnya enak, cup milik Abian diambilnya, dimakan sendiri. 

"Habisin dulu." 

"Jawab dulu, ish!!" 

"Ya tadi katanya mau es krim, yaudah ini es krimnya. Enak, kan?" 

"Ya nggak sekarang. Pasti Kakak juga, ya, yang ngide kasih hadiah ke guru biar jam pelajaran jadi kosong." 

"Ya gimana, ya, saya habisan kangen kamu. Mau nagih janji. Siapa suruh tadi mancing." 

Bulan mengerti maksud Abian. Putar badan, konsentrasi pada es krimnya. "Habis. Aku ke kelas lagi. Makasih, ya," pamitnya ingin cepat pergi tapi justru malah ditahan oleh lelaki yang kini sudah menyatukan benda kenyal di bawah hidung mereka, memagutnya pelan. 

"Kak...." Di parkiran sekolah bukanlah tempat yang aman. Bulan mendorong dada lelaki itu, namun tangannya justru yang tertahan. 

"Nggak akan ada yang liat. Kaca mobilnya aman," kata Abian, memagut kembali bibir cherry kekasihnya. 

Ini pasti karena Abian yang jauh lebih dewasa. Baru sehari mereka resmi menjadi kekasih, sudah lebih dari lima kali mereka melakukan ini. Katanya bibir Bulan candu. Tapi Bulan sendiri mengerti maksudnya. Pria dewasa seperti Abian sudah waktunya untuk melakukannya. Di sisi lain Bulan menikmati dan di sisi satunya dia takut kalau mereka akan melewati batas. 

Dan ya, satu batas telah terlewat. Bukan hanya pagutan, entah bagaimana itu bisa terjadi, tubuh Bulan sudah berada di atas tubuh lelaki itu. 

"Kak." rintih Bulan, menahan tangan Abian yang menaikkan roknya perlahan. 

"Maaf," lirih Abian. Dia kelewatan tapi enggan menurunkan gadisnya. 

"Nanti malam ikut saya, ya." 

"Ke mana?" 

"Pesta teman relasi. Jangan takut. Ada Brianny dan Kahlani juga." 

"Kak Dara?" 

"Dia masih harus menyusui Laza. Nggak mungkin ikut datang." 

Sesuaikan dirimu dengan dia, Lan. Itung-itung belajar menjadi dewasa. 

Bulan mengangguk. Teringat pesan Ayahnya. Belajar dewasa karena memiliki kekasih yang telah dewasa. Seperti sebuah tuntutan. Tapi inilah resiko Bulan ketika ia akhirnya memilih untuk menerima cinta Abian. 

"Kita pulang. Saya sudah mintai ijin. Tapi bukan ke rumah. Melainkan ke butik. Cari baju yang cocok buat kamu. Mau, kan?" 

Lagi-lagi Bulan mengangguk. Takut kalau mengeluarkan suara justru gugupnya akan menghadirkan sumbang. Dia juga masih malu sebab paha atasnya telah terekspos. Dan malu untuk dirinya yang tangannya masih bergelayut pada leher jenjang lelaki itu. Bulan mati kutu, takut bergerak padahal ia sama sekali tidak nyaman dengan posisinya sekarang. 

"Give me your lips before we go. Just ten minute...." parau Abian memagut kembali benda kenyal itu. Dia tidak akan puas jika yang diberikan hanyalah kecupan kecil tanpa rasa.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PERFECT BOYFRIEND -3. (Pesta)
7
0
“Let's break up. Kamu terlalu sempurna untuk aku yang nggak ada apa-apanya, Kak.”“Fine. Kita putus dari hubungan ini dan menjalin hubungan kembali ke jenjang yang lebih serius. Besok kita nikah. Gak ada penolakan!"Abian terlalu sempurna. Ya, memang. Kesempurnaan itulah yang membuat Bulan merasa insecure. Gadis itu hanyalah seorang pelajar untuk Abian si pengusaha muda yang tampan nan kaya raya. Ratusan kali dia mengatakan putus, ratusan kali juga Abian mengancam akan membawanya ke jenjang pernikahan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan