Love Is Suck [Bab 5-8] - Gratis

4
0
Deskripsi

Bastian kian penasaran akan Jihan. Seperti apakah gadis yang jauh dari kriteria ini? Apa yang membuat lelaki kalangan jet-set seperti dia bisa melirik gadis biasa seperti Jihan?

Bab 5. Ikatan Sekental Caramel

Hujan turun cukup deras hari ini. Jihan menurunkan kerai bambu teras untuk menghindari tempias air hujan yang memercik. Ibunya sedang menyeduh teh untuknya di dapur. 

Dalam kondisi santai pun, ibunya masih merepotkan diri untuk mengurus Jihan, termasuk memastikan bajunya selalu rapi dan dicuci setiap hari. 

“Hari ini kami akan trial produk baru, Bu. Doakan semoga lancar, ya?” ucap Jihan sambil menarik kursi meja makan. Runi muncul dengan dua cangkir teh hangat. 

“Pasti ibu doain. Kamu jangan lupa telpon Bella. Tanyain tanggal dua puluh bisa pulang atau nggak,” balas ibunya. 

Jihan menghela napas. Masih aja ibunya memikirkan ulang tahun kakaknya. Tiga bulan lalu, Bella lupa mengucapkan ulang tahun ibunya dan tidak pulang sama sekali. 

Hanya permintaan maaf singkat yang dikirimkan melalui pesan singkat! 

Ya, pesan singkat bukan telepon ataupun penebusan dengan pulang untuk memberi kejutan, misalnya. 

Jihan cukup kecewa, hingga akhirnya dia bisa mengukur seberapa besar Bella masih ingin terlibat dalam kehidupan mereka. 

“Jihan ke toko dulu,” pamitnya. 

Ibunya menatap kepergian Jihan dengan mata sayu. Putri bungsunya masih marah dengan Bella. Runi tidak menyalahkan sikap Jihan. Bella memang sedikit menjauh sejak menjadi dokter dan diterima bertugas di salah satu rumah sakit swasta yang cukup terkenal.

Bella memang lebih cerdas dan berprestasi dibandingkan adiknya. Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh juga yang membuat keduanya tidak dekat. 

Jihan tidak bisa menerima keputusan Bella yang memilih menjadi dokter di rumah sakit yang berjarak jauh, dibandingkan bertugas di rumah sakit terdekat untuk merawat ibunya. 

Runi sudah divonis menderita beberapa komplikasi. Diabetes dan asam urat akut, salah satunya. 

Belum lagi kondisi fisiknya ketika osteoporosis mulai menyerang Runi lebih dini. Usianya belum melewati angka lima puluh tahun, tapi Runi mulai merasa payah.  

Dalam hati, dia berharap semoga kedua putrinya bisa kembali menjalin tali persaudaraan yang erat. Itu akan menjadi mimpi dan hadiah yang terindah dalam hidupnya sebagai seorang ibu.

***

Jihan melangkah masuk ke wilayah dapur dan segera memakai celemek bersih yang masih terbungkus plastik laundry. Kedua chef andalannya sudah siap dengan bahan di meja preparation. 

“Wah, geng penggempur valentine sudah siap, nih!” seru Jihan dengan semangat. 

Sarah dan Rieken tersenyum dengan lebar.

“Luna mulai cuti,” jelas Jihan saat Rie menelengkan kepalanya ke arah pintu masuk. 

Sarah yang sedang menimbang margarin pun berhenti bergerak.

“Omnya sakit lagi?” tanya Sarah. 

Jihan mengangguk. Sarah menghela napas panjang. Entah apa alasan Sarah selalu memiliki waktu untuk bersimpati dan memberi perhatian pada orang-orang di sekelilingnya. Jihan pun memiliki sifat yang sama. 

“Jadi benar kalo ….”

“Ya. Rahasiakan, Rie. Kita harus jaga perasaan dan nama baik Luna!” sambar Jihan buru-buru, seraya menutup pintu kaca ruang preparation tersebut.

“Semoga dia tidak terpapar,” gumam Sarah. 

“Sudah ada tes dua kali sejak omnya mengaku. Hasilnya negatif. Mungkin itu yang bikin om Ari mutusin buat karantina dan menjauh dari keponakannya.” 

Sarah terdiam saat Jihan memberitahu kondisi Luna dan pamannya.

“Aku nawarin dia kalo mau tinggal di sini. Mungkin lebih baik daripada sendirian di rumah segede itu,” lanjut Jihan seiring menuang kuning telur dan butter di baskom dan mulai mengocok dengan mixer. Getar halus terdengar dari mesin pengocok adonan. Rie masih bungkam dan tidak berkomentar. 

“Rie, aku tahu kamu nggak setuju kalo Luna masih ngurusin omnya. Tapi kalo kita berada di posisi Luna, mungkin kita akan berbuat hal yang sama,” cetus Jihan menyudahi adukannya saat adonan mulai mengembang menjadi busa putih. 

Rie menuang sedikit demi sedikit tepung dan tangan Jihan mulai mengaduk manual hingga tercampur rata.

“Aku kenal Luna udah tiga tahun. Dia nggak pantes aja kalo harus sakit juga. Perjuangan dia untuk mencapai titik sekarang nggak gampang, dan Ari itu sudah merajalela sebagai gay. Luna yang menasehati terus menerus, nggak juga didengerin. Tapi ternyata sekarang kena getahnya, kan?” ungkap Rie memberikan alasan kenapa dia tidak menyukai Ari yang masih menggantungkan diri pada Luna.   

“Ari itu juga baik sih sebenarnya. Kehidupan yang kejam membuat dia tenggelam ke dunia hitam. Aku satu SMA sama dia dulu,” tanggap Sarah.

“Satu SMA? Emang omnya Luna masih muda?” tanya Jihan yang belum kenal baik.

“Baru tiga puluh dua, sama kayak aku,” jawab Sarah. 

“Aduh, muda banget,” sesal Jihan dengan prihatin. 

“Ari itu cerdas. Dia akan memastikan kalo Luna nggak akan tertular. Aku kenal dia dengan baik karena Ari pernah menjadi sahabatku,” sambung Sarah kemudian. 

“Serius?” tanya Rie. Sarah mengangguk.

“Dua rius,” candanya. 

Jihan mulai memahami kenapa Sarah begitu perhatian dan memikirkan Luna. Karena Ari adalah sahabatnya, dan Sarah tahu betul akan kehidupan mereka dulu.

“Rie, kita nggak bakal ninggalin Luna sendiri. Ikatan kita nggak sekedar hanya ketemu di toko dan bikin kue bareng-bareng,” hibur Luna dengan sungguh-sungguh. Jihan membenarkan.

“Luna itu sendiri, nggak punya siapa-siapa lagi. Keluarganya mana mau peduli lagi? Dia nggak punya adik atau kakak. Nenek kakeknya juga udah nggak ada. Tinggal orang tua yang sibuk mengejar pamor dan harta,” timpal Rie lirih. “Mereka bahkan sanggup membuang anak yang seharusnya mereka rengkuh. Perjodohan itulah yang membuat Luna kabur.”

“Dia punya kita,” sambar Jihan. 

Definitely!” seru Sarah setuju. Rie mulai terlihat lega. 

“Siap panggang produk pertama! Chiffon Chocolate Chunk meluncur.” Rie memasukkan loyang ke oven dan mereka pun melanjutkan food testing mereka.

***

Senin berlalu dengan cepat. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jihan mematikan semua lampu dan bersiap mengunci pintu depan toko. Ponsel di saku celemeknya berdering, Jihan segera meraih dan melihat nama pemanggil. Rieken?

‘Halo, Rie?’

‘Jice, Luna mau bunuh diri! Buruan ke rumah sakit sekarang!’

‘A-apa?!’ 

Telepon dimatikan. Mendadak Jihan panik. Dia terjebak dalam kebingungan karena tidak sempat menanyakan rumah sakitnya. Dengan gugup Jihan melempar kunci pada Tia.

“Kunci dan kasih ke ibu, aku mau ke rumah sakit sekarang!” 

Tia tertegun dan hanya mengangguk tanpa mengucapkan kata. 

Jihan menyambar tas dan keluar dari pintu karyawan. Baru hendak menyeberang, mobil jaguar hitam, yang ia kenali sebagai milik Bastian, meluncur. 

Tanpa pikir panjang, Jihan menghentikannya. Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, gadis itu mendekati kaca pengemudi, Bastian menurunkan kacanya.

“Toko udah tutup?” tanyanya heran. 

“Ya, bisa antar aku ke rumah sakit?! Penting!” pinta Jihan.

Tanpa bertanya lagi, pria itu membuka kunci pintu samping lalu mengiyakan. Keduanya meluncur ke rumah sakit di seberang, seiring Jihan menceritakan apa yang telah terjadi.

Bastian melirik sesekali, melihat bagaimana Jihan bercerita. Meski kalimatnya belepotan, ditambah wajah yang masih bertebaran tepung, Jihan mampu membuat pria tersebut terkesan.

Ada sesuatu yang membuat gadis itu tampak menarik dan Bastian baru menyadari jika kepolosan Jihanlah yang membuat dirinya terpaku.

Mobil berhenti tepat di pintu masuk UGD. Setelah menanyakan pada resepsionis, Luna ternyata tidak ada di rumah sakit tersebut.

“Rumah sakit yang di daerah atas, dekat rumah Luna!” ucap Jihan dengan panik. 

Bastian segera memutar kemudinya dan melaju ke arah Bawen. Dua puluh menit mereka sampai dan Jihan berlari melewati parkiran. Rie dan Sarah sudah menunggu dengan cemas, di ruang tunggu UGD. 

“Gi-gimana kejadiannya?” tanya Jihan dengan wajah pucat. 

“Luna mengiris tangan dengan cutter,” jawab Rie lemas. “Aku nemuin dia di kamar mandi, setelah berhasil dobrak pintu dapur.”

Wajah Sarah tampak sembab. Jihan menutup mulutnya dan bersandar di tembok dengan pikiran tidak menentu. Tidak lama Bastian muncul dan Sarah mengernyitkan dahi.

“Aku butuh akses cepat. Jangan diskusikan lebih lanjut,” jawab Jihan membalas pertanyaan Sarah dan Rie lewat tatapan mata mereka.  

Seorang suster keluar dan meminta salah seorang keluarga Luna Pramitasari untuk menemui mereka.  

“Saya Sarah, kerabat pasien.” Terdengar Sarah memberitahu suster tersebut. 

Sejenak keduanya berbincang dengan serius. Sarah kemudian tampak mengangguk dengan raut muka gusar. Baik Jihan maupun Rie menunggu dengan tidak sabar. 

Sarah kembali menemui mereka. 

“Luna kehilangan banyak darah. Mereka nggak punya stok cukup untuk darah golongan O karena operasi hari ini padat banget. Waktunya tinggal dua jam dari sekarang. Kalo ada yang golongan darahnya sama bisa jadi pendonor atau terpaksa harus ambil di Semarang. Tapi waktunya nggak akan cukup,” ucap Sarah dengan bibir gemetar 

“Darahku golongan B,” jawab Rie dengan kecewa.

“Aku AB,” imbuh Jihan. 

“Aku golongan darah O! Bilang sama mereka, aku siap jadi pendonor!” sambar Bastian dengan santai menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. 

Ketiga wanita tersebut terkejut, tercengang dengan mulut membuka. Tidak menyangka jika Bastian akan mengajukan diri untuk menjadi pendonor. 

“Kalian akan membuka mulut terus-terusan atau mau gerak cepat untuk nyelametin temen kalian?” tanya Bastian dari meja pendaftaran pasien. 

“I-iya,” sahut Sarah tergagap dan belum lepas dari rasa syoknya. 

“Ternyata dia tidak seautis penampilannya,” gumam Rie menatap Sarah dan Bastian yang mengikuti suster menuju ruangan Luna dirawat. 

“Ini akan menjadi awal ikatan kuat seperti karamel yang lengket di antara kita,” desis Jihan. 

Rie melirik Jihan dengan rasa geli. Istilah Jihan terdengar lucu dan terdengar menyiratkan kesukaannya yang mendalam terhadap dunia kue!

Tangan Rie merangkul gadis itu dengan erat. “Kamu gadis tersinting yang pernah kukenal.”

Jihan meringis dan mereka duduk dengan penuh doa, berharap Luna selamat.

[-]
 

Bab 6. Rasa Manis Menyingkirkan Duka

Sementara masih mengantuk, Jihan harus membuka toko dan memaksakan diri untuk tetap bertugas. Sarah dan Rie bergantian menjaga Luna hingga sembuh kembali. Peristiwa dua malam lalu benar-benar di luar dari dugaan siapa pun.

Jihan mengulurkan seloyang kue untuk dipotong pada Asti, service attendant.

"Jangan lupa buat ganti tag harga, ya?" pesan Jihan dengan pelan.

"Ya, Mbak."

Jihan mengusap kening dengan punggung tangannya. Gadis itu mengubah jam buka tokonya hingga pukul sepuluh. Sebagai bantuan, beberapa karyawan merelakan untuk kerja pagi dan merangkap semua yang Sarah dan Rie tinggalkan.

Sejauh ini mereka baik-baik saja, walau lelah mendera.

"Luna udah mulai siuman." Rie yang baru datang memberitahu Jihan, seraya mengelap tangannya dengan handuk.

"Sebenernya gimana sih kejadian awal?" tanya Jihan. “Aku pikir Luna baik-baik aja dan nggak ada indikasi dia stres berat!”

Rie menghela napas berat.

"Jangan hakimi dia, Jice. Luna itu salah satu produk gagal dari broken home yang akhirnya meledak," pinta Rie sebelum bercerita.

Mata Jihan terbeliak.

"Aku tanya kejadiannya, Rie! Bukan mau jadi tim juri hidupnya Luna," tukas Jihan merasa tertuduh.

"Maaf, aku terlalu cemas," sesal Rie dengan bersandar pada tembok.

Di ruang preparation itu hanya mereka berdua. Jihan menghela napas, namun paham tentang sikap Rie. Luna adalah sahabat terdekat Rie, sementara ia datang kemudian, sebagai pihak yang baru.

"Luna kayaknya nggak kuat ngadepin kalo omnya meninggal nanti, dia akan sendiri. Selama ini Ari satu-satunya kerabat yang Luna kenal dan mau merangkul keponakannya dengan tulus."

Rie memakai celemeknya dengan lesu.

"Dia mengiris tangannya sendiri waktu dokter memvonis Ari kemungkinan bisa bertahan dalam tinggal hitungan bulan. Tadinya aku pikir Luna ngirim sms mau curhat. Ternyata pamitan mau niat metong. Untung aku meluncur buru-buru," papar Rie dengan pelan.

Jihan kian terhenyak.

"Kenapa dia bisa mikir pendek? Kita kan selalu ada buat dia?" Jihan menggelengkan kepala berulang kali.

"Kalut, cemas, kemudian panik. Orang bisa buntu. Pikirannya terblokir untuk mikir waras," timpal Rie dengan getir.

"Ya. Mungkin itu situasi yang Luna hadepin.” Jihan termenung dan teringat akan Bastian yang menjadi dewa penolong malam itu.

Jihan menatap Rie yang bersiap untuk mulai membuat adonan.

"Kalo kamu butuh sesuatu dan dalam kondisi kalut, jangan bikin hal yang kayak Luna lakuin, Rie! Aku nggak bakal maafin kamu!"

Rie tersenyum dan mengangguk. Jihan memeluk gadis tomboi itu dengan sekuatnya.

“Jangan kenceng-kenceng, aku nggak bisa napas!” keluh Rie dengan suara tercekik.

Jihan tertawa dan mengusap air matanya yang sempat menitik.

“Aku harus bikin kalimat yang super bagus buat Mr. Autis, karena udah nolong malam itu. Kamu ada ide?” tanya Jihan kemudian.

“Katakan dengan hati,” balas Rie setengah berbisik, dengan niat menggodanya.

Jihan melotot dan menggelengkan kepala kesal.

“Percuma nanyain kamu!”

Rie terkekeh dan membiarkan Jihan keluar sementara menggerutu.

***

Empat hari berlalu dan Bastian tidak pernah muncul. Rasanya sungkan jika menelepon Nadia yang tidak ada kaitannya dengan kejadian malam itu.

Lagi pula Jihan akan merasa bersalah, karena meminjam tunangan orang tanpa izin lebih dahulu. Dirinya benar-benar ingin menghindari kecurigaan yang tidak penting.

Hari kelima, Luna mulai membaik dan dokter memperbolehkan pulang.

Semenjak Luna kembali dari rumah sakit, Runi mengambil alih keputusan dan meminta Luna untuk tinggal bersamanya. Gadis berusia dua puluh empat tahun ini tampak terpukul dan belum pulih secara mental.

Fisiknya mungkin membaik dengan cepat, tapi tidak dengan jiwanya. Semua karyawan terlihat lega karena Luna bisa kembali dalam keadaan selamat.

Runi memang masih melarang untuk stafnya menengok Luna. Baginya yang terbaik saat ini adalah membiarkan Luna tenang dan membawa ke psikiater untuk membenahi mentalnya.

"Bagaimana caranya supaya Luna nggak tersinggung, ya?" tanya Runi pada ketiga gadis yang duduk di depannya.

Keempatnya duduk di teras kafe sembari menonton para tentara muda yang sedang berlatih. Toko kue mereka memang dekat dengan markas tentara di area Ambarawa bawah.

"Mungkin nggak kita pilih jalan terus terang, Bu? Nggak baik juga kita mengemukakan dalih dan alasan lain. Tujuannya ‘kan supaya Luna mau membuka diri dan pikirannya bisa berubah," saran Sarah.

"Ya, mengubah mind-set dia. Itu yang paling penting," sahut Runi setuju.

"Kalo dia nolak gimana?" tanya Jihan cemas. “Psikiater ‘kan identik sama hal-hal yang menyangkut kejiwaan?”

"Pasti akan ada resiko itu, Jice. Nah, fungsi kita sebagai orang terdekat dibutuhkan, untuk membujuk sampe berhasil," balas Rie.

"Ibu pikir kalian tahu yang harus dilakukan. Sarah bisa koordinir untuk semuanya?" tanya Runi.

"Bisa, Bu. Sarah besok langsung bergerak," jawabnya dengan sigap.

"Ji, jangan lupa ucapkan terima kasih dan kirim sesuatu untuk Bastian dan keluarga Jansen. Mereka yang sumbang keperluan medis Luna juga, lho," ingat Runi pada putrinya.

Jihan mengiyakan dengan ceria.

"Mbak Nadia katanya mau dateng besok sore, aku bisa bareng dia ke Semarang,” sambut Jihan. Runi mengangguk dan tampak puas.

"Saatnya menarik napas lega dan menikmati kue kita," ajak Runi sembari memotong kue dan disambut tawa ketiga gadisnya.

***

“Aku nggak bisa datang cepat di ulang tahu Shera.” Nadia menata barang-barang di dalam tasnya.

Bastian melirik ke arah Nadia dan kekasihnya menghela napas.

“Jangan kasih aku tatapan kejam, Bas. Ada dateline kasus yang nggak bisa kutinggalin. Janji, agak sorean aku pasti udah ada di Semarang.”

“Shera berharap semuanya datang, Nad.”

“Tapi aku bukannya nggak datang, cuman agak telat.”

Bastian membuang muka kesal. Dia benar-benar tidak bisa mengharapkan Nadia sibuk dengan karir dan mengabaikan adik iparnya.

Alasan Bastian menikah karena Shera akan mendapatkan kasih sayang dari seorang wanita yang akan menjadi istrinya.

“Bas ….”

“Udah, pergilah. Nggak usah pikirin Shera!”

Nadia tidak bisa memberikan alasan yang tepat, karena Bastian memang tidak begitu setuju dengan kesibukannya.

Diam-diam, Bastian mulai menyesal karena terjebak dengan pernikahan yang keluarganya pikir baik. Dia tidak menemukan hal yang baik dengan Nadia, selain nikmat di ranjang!

***

Pukul sepuluh pagi, Jihan sudah menyiapkan tiga loyang kue. Carrot cake, Caramel Flan dan Almond Dates Cake. Dengan penuh semangat ia meletakkan dalam kotak dan menyimpan di pendingin.

Ini bakal mereka sukai’, harap Jihan dengan antusias tinggi.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk dan Nadia mengabarkan jika dirinya tidak jadi datang karena ada pekerjaan mendadak.

Jihan tampak kecewa dan mendesah dengan cemas.

Gimana caranya ngirim kue ini sekarang?

Dirinya tidak tahu alamat Bastian sama sekali.

"Kamu kayak orang lagi kebelet. Kenapa, Jice?" tanya Rie.

"Mbak Nadia nggak jadi datang. Aku bingung mau kirim kuenya ke mana?" jawab Jihan dengan wajah cemberut.

"Kenapa nggak nelpon aja, sih?"

"Nggak punya nomornya."

"Ezra atau Tia mungkin punya. Mereka kan suka nyimpen nomor tamu kalo ada pesanan," saran Rie tidak habis akal.

"Udah ngecek. Tapi nggak ada," sanggah Jihan dengan mata melirik dan bibir makin mengerucut.

"Ya ,udah. Jangan dipikir berlebihan. Nanti juga ada malaikat penolongmu datang,” hibur Rie dengan senyum dikulum.

Mata Jihan melotot, karena melihat gelagat Rie yang akan menggodanya habis-habisan.

“Mbak Jihan, ada Mr. Autis nyariin!” seru Tia hanya dengan melongokkan kepalanya ke dapur sebentar dan pergi lagi. Rie tertawa sepuasnya, sementara Jihan meringis.

“Dosa menginginkan milik orang,” tukas Jihan menyangkal semua tuduhan Rie yang kian gencar.

“Kan cuman mengagumi,” kelit Rie masih mencoba meyakinkan Jihan.

Gadis itu mendorong tubuh Rie supaya menjauh dan melenggang ke depan. Bastian sudah duduk di meja dekat kaca dengan seorang pria berambut putih dengan wajah mirip orang asing.

“Hai, selamat pagi,” sapa Jihan dengan kikuk.

Pria tua itu menoleh dan wajahnya terlihat ramah. Berbeda sekali dengan Bastian yang dingin dan acuh, selalu memiliki ekspresi datar. Terkadang senyuman tipis dan tawa kecil Bastian lebih mirip dengan seringai sinis.

“Opa, kenalkan ini Jihan, si Tukang Kue. Jihan, ini Opa Ruben.” Bastian mengenalkan mereka berdua dengan singkat.

Tetap saja, sebutan ‘tukang kue’ terlanjur melekat pada diri Jihan. Ruben menarik kursi dan meminta Jihan duduk bersama mereka.

“Terima kasih,” ucap Jihan masih tampak kaku dan sungkan.

“Jadi kamu adalah si pembuat keajaiban itu?” ujar Ruben dengan senyum hangat.

“Ke-keajaiban?” tanya Jihan dengan gugup juga bingung.

Carrot cake buatanmu mirip sekali dengan kue oma. Opa terkenang dan pengen coba lagi,” terang Bastian dengan sikap datar.

’Ini cowok bener-bener nggak punya emosi, apa, ya?’ batin Jihan bingung.

“Oh, terima kasih. Sebetulnya saya mau antar kue untuk Pak Bastian, karena sudah bantu kami menjadi pendonor sahabat kami,” tanggap Jihan dengan wajah bersinar.

Kepercayaan dirinya mulai tumbuh dan ia sangat gembira dengan pujian dari Ruben.

“Tumben mukamu bersih hari ini. Berapa kali cuci muka?” tanya Bastian dengan tampang serius.

Jihan tergagap meraba wajahnya dan menelan ludah.

“Ak-aku ….”

“Tian, jangan mulai jahil!” seru Ruben mulai kesal. “Maaf, Nak. Bastian ini suka bercanda dan konyol,” sesal Ruben merasa tidak enak pada gadis muda yang tampak salah tingkah tersebut.

“Eng-enggak apa-apa, kok, Opa.” Jihan mengangguk dengan senyum terpaksa. ‘Suka bercanda? Perasaan dari awal dia judes dan ekspresinya datar!’

“Mengenai bantuan, dia nggak harus nerima balasan karena sudah jadi tugas Bastian,” sambung Ruben mulai merasa sungkan.

“Aduh, Opa. Biarin aja. Enak dapat imbalan!” tukas Bastian.

‘Kalo nggak ada hutang budi, udah aku damprat manusia satu ini!’ Jihan membatin dengan hati geram.

Tidak lama, Tia membawa tiga kotak kue yang akan diberikan untuk mereka.

“Wah, sering-sering aja aku bantuin kamu, Tukang Kue! Dapet gratisan terus!” Bastian melirik tiga kotak yang dalam ukuran cukup besar tersebut.

“Sebanyak ini?” Mata pria tua itu terbeliak dengan senyum yang tidak berhenti terukir. Seperti anak kecil yang melihat permen dan es krim, Ruben terus menerus mengintip isi kotak itu.

“Mau coba sekarang, Opa?” tanya Jihan mengacuhkan ucapan Bastian yang tidak berhenti mengejeknya. Ruben mengangguk dengan cepat.

Bastian sebetulnya ingin mencegah, namun dia tidak tega melihat kakeknya terlihat sangat gembira. Sudah lama pria itu tidak melihat wajah yang bercahaya pada Ruben. Jihan bangkit dan meminta Asti untuk mengambilkan potongan masing-masing kue sebanyak dua porsi.

Dengan cekatan Ezra membawa piring kecil dan Asti membantu menyajikan di piring.

Saat garpu itu membawa suapan pertama almond dates cake, mata Ruben terpejam. Dia kelihatan sangat menikmati dan menghayati setiap remahan yang meleleh dalam mulutnya. Bastian hanya tertegun dan menatap ekspresi opanya.

“Gimana, Opa?” tanya Bastian akhirnya penasaran.

“Coba sendiri,” jawab kakeknya dengan senyum.

Bastian menyuap kue yang sama dan dalam hatinya dia membenarkan ekspresi kakeknya.

Jihan tertawa senang dan bertepuk tangan. Bastian melirik dan terpaksa gadis itu menghentikan tepukannya.

Kadang Jihan lupa bersikap dan itu sebetulnya mengundang kegemasan dalam diri Bastian. Sosok Jihan seperti gadis kecil yang tidak pernah berpikir panjang untuk mengeluarkan emosi juga tindakannya.

“Keajaiban kedua,” cetus Ruben seiring menyuap caramel flan ke mulutnya.

Berikutnya sangat di luar dugaan dan Jihan hanya tertegun dengan hati bingung. Pria berambut putih itu mengunyah dengan mata berkaca-kaca.

“Rasa ini, mampu menyingkirkan segala kesulitan hatiku sejak ditinggal Mini,” ucapnya dengan terbata-bata.

Jihan mengangguk dan, secara refleks, mengenggam tangan Ruben dengan hangat. Bastian membuang muka dan menahan diri untuk tidak larut dalam haru.

[-]
 

Bab 7. Warna Dalam Pribadi Jihan

Bukan hanya Ruben dan Bastian saja yang memiliki kenangan baik sore itu. Jihan beserta seluruh karyawan toko memiliki kesan yang berbeda terhadap Bastian. 

Mr. Autis mungkin tidak lagi memiliki kesan menyebalkan, karena ada simpati yang muncul dengan kehadiran Bastian dengan kakeknya.

“Kamu jangan banyak duduk, tiduran aja biar cepat nggak kecapekan,” saran Jihan pada Luna. 

“Aku bosan di kamar terus,” keluhnya dengan lirih. 

“Bentar lagi pasti kamu pulih terus bisa kerja bareng lagi kita,” hibur Jihan sembari meletakkan tumpukan selimut dan handuk baru di atas meja. 

Luna terdiam dan memandang keluar jendela dengan wajah pucat. 

“Aku udah download film lumayan banyak. Kamu bisa habisin waktu buat nonton.” Jihan mengulurkan laptopnya.

“Semua ada di file movie. File C,” sambung Jihan. Luna tersenyum. 

“Ada film Harry Potter terbaru?” tanyanya. Jihan mengangguk.

“Lengkap!” serunya dengan tangan satu terentang. 

“Aku lihat mobil jaguar hitam sering nongol. Mr. Autis  beneran deketin kamu?” tanya Luna. 

Jihan berhenti melangkah. 

“Dapet ide dari mana?”

Luna mengedikkan bahunya.

“Aku nggak mungkin dideketin sama pria menarik kayak Bastian atau bahkan dokter Shaga. Masih banyak cewek cakep yang bisa mendekati kriteria mereka, Na. Kamu contohnya?”

Luna menatap Jihan dengan mata berkaca-kaca. 

“Aku nggak pernah tahu kenapa pria-pria itu begitu mudah tertarik sama kamu, Jihan. Banyak yang bilang aku lebih cantik dan seksi. Tapi hampir selalu kalah pamor, setiap ada kamu di dekatku.” 

Jihan kehilangan kata-kata begitu Luna mengungkapkan hal yang berbau iri tersebut.

“Jiwaku rapuh dan nggak sekuat kamu. Semua yang kamu ucapkan atau lontarkan, selalu tulus dan nggak berbelit-belit. Aku pengen sepolos dan selugu kamu. Pikiran juga logika ini nggak bisa sebebas itu berekspresi atau membuang kepahitan. Semua mengendap dan jadi akar racun buat diriku sendiri!”

Jihan menatap Luna dengan tubuh membeku. Gadis yang sepertinya begitu banyak mengalami kekecewaan dalam hidup tampak terpukul. 

“Na, aku memang nggak sepintar Bella dan semahir kamu dalam menyembunyikan perasaan. Seharusnya aku yang iri pada kalian berdua. Aku cuman seorang Jihan yang kadang ceroboh, berantakan dan nggak bisa mengerem mulut dengan baik. Tapi, inilah aku.”  

Walau ragu, akhirnya Jihan mendekat dan duduk di sebelah Luna yang melipat kaki di atas sofa.

“Kamu harus bangga, akan siapa jati dirimu. Nggak ada yang bisa paham, tentang rasa sakit juga kecewa yang kamu lalui. Jadikan itu kekuatanmu buat bangkit kembali. Kamu udah melewati proses, yang aku atau siapa pun belum pernah alami.”

Luna akhirnya merasa jauh lebih terhibur dan memeluk Jihan dengan erat. 

“Aku beruntung punya kalian,” bisik Luna dengan suara sengau. Jihan memejamkan mata, dalam pelukan Luna dengan kelegaan.

***

Jihan membersihkan nampan dan dengan hati-hati meletakkan kue baru di atas. Wajahnya tampak serius dan penuh konsentrasi.

“Aku bersumpah mau bayar berapa aja untuk makan itu,” bisik sebuah suara pria. 

Jihan melirik lurus dan melihat wajah Shaga sedang berada tepat di depannya. Tubuh pria itu membungkuk dan mengamati rainbow velvet yang tampak menggoda. 

“Dok, ini mengandung banyak lemak dan kalori yang bisa mengancam kesehatan,” jawab Jihan dengan nada memperingatkan. 

“Hmm, terdengar sangat membahayakan. Tapi kayaknya nggak masalah, aku ada asuransi kesehatan,” balas Shaga dengan mata memicing. 

“Jadi mau berapa?”

“Empat aja, bungkus.” 

Mata Jihan melebar, namun segera meletakkan di dalam kotak kecil. Shaga segera membayar di kasir dan mengacungkan kotak kuenya pada Jihan sebelum berlalu. 

“Terima kasih telah meracuni hidupku!” serunya dengan kedipan mata. 

Jihan membungkukkan tubuhnya dengan anggun.

“Sama-sama, Tabib Kesehatan! Semoga mantra manisku tidak membuatmu terikat seumur hidup!” balas Jihan dengan jenaka. 

Shaga tertawa dan menjauh dengan langkah panjang. 

“Dokter Shaga kok jadi sering ke sini, ya?” cetus Tia dengan wajah berkerut bingung.

“Masak?” balas Jihan melanjutkan memajang kue. 

Tia menoleh dan menatap Jihan dengan lekat. Putri bungsu Runi memang manis dan wajahnya tidak membosankan, dengan lesung pipit yang muncul setiap tersenyum. 

Kulitnya bersih dan wajahnya ayu tanpa riasan. Rambutnya yang hitam panjang lurus terikat rapi. Tingginya pas, sekitar 160 centi. Tapi dibandingkan Luna, Jihan mungkin masih kalah cantik. 

‘Apa yang membuat para pria itu tertarik untuk berbicara dan ngobrol dengannya?’ batin Tia dengan kagum.

Jihan juga bukan gadis yang pintar dalam menciptakan tema pembicaraan. Cenderung tidak percaya diri dan mudah gugup, namun terkadang ceplas ceplos. Ada sesuatu dengannya, dan Tia tidak mengerti apa.

“Tia, aku mau nebus obat ibu di apotek dulu. Kalo mbak Sarah nanti dateng, bilang aku keluar, ya?” pesan Jihan sambil membuka celemeknya. 

“Ok, Mbak,”sahut Tia buru-buru mengalihkan pandangan lalu pura-pura mengganti musik tokonya. 

“Bukan cuman kamu yang kagum. Aku kadang juga naksir. Terutama tiap lesung pipitnya nongol,” bisik Ezra di samping Tia.

Kasir itu terkekeh geli. “Sejak kapan kamu suka cewek?” ejek Tia dengan lirikan pesimis.

“Kalo ceweknya semenarik mbak Jihan, aku mau balik jadi cowok lagi!” tukas Ezra dengan kemayu. Tia menggelengkan kepala dan masih tertawa geli.

Sementara itu, Jihan melangkah menuju ke apotek dengan berjalan kaki. Sore itu memang cukup teduh dan menyenangkan untuk menikmati suasana luar. Sepatu ketsnya menapak trotoar menuju apotek yang tidak jauh dari rumah, sekitar setengah jam. 

Daun kering berwarna cokelat kehitaman gugur, memenuhi aspal dan juga trotoar yang ia lewati. Tapi yang paling dia sukai adalah kebersihan kota Ambarawa dari sampah. 

Yah, ideal sekali sih tidak, karena masih ada beberapa bungkus permen dan botol minuman mineral yang bergelimpangan. Tapi masih bisa ditolerir dibandingkan kota-kota lainnya. 

Jihan tiba di apotek dan menyorongkan kertas resep pada petugas.

“Tunggu sebentar, ya, Mbak?”

Jihan berbalik dan menunggu dengan sabar. Sepuluh menit berlalu dan namanya belum juga dipanggil. 

“Kemaren aku harus nunggu satu jam buat resep,” ucap pemuda yang duduk di sebelahnya. 

Jihan menoleh dan mengangguk. Khas orang daerah memang ramah, tapi Jihan sungkan untuk mendekatkan diri. Dia tidak lagi memiliki waktu untuk menikmati masa pertemanan dengan yang lain. Konsentrasinya hanya pada toko kue saat ini. 

“Aku kalo nggak butuh, malas mau ngantri dan beli obat di toko ini,” keluh pemuda itu lagi. 

Jihan menoleh sedikit lalu melemparkan senyum tipis. 

“Runi Dewina Sindu!” seru petugas farmasi. 

Jihan bangkit dengan lega, karena tidak lagi harus mendengarkan keluhan pria tersebut. Langkahnya terkesan buru-buru, menuju jendela penerimaan resep. 

“Mbak, kok bisa dia lebih dulu dibandingkan saya?” protes pemuda tadi dengan kesal. 

“Mas obat dari resep ibu Runi lebih mudah dan tidak perlu diracik. Obat yang Mas ajukan perlu kami racik terlebih dahulu, jadi mohon bersabar,” terang wanita itu dengan santai walaupun wajahnya tampak lelah. 

Jihan yang tidak ingin terlibat, segera membayar dan memasukkan obat ke dalam tas. 

“Kayaknya nggak ada bedanya, deh!” Pemuda itu masih ngotot dan ingin melihat jenis obat yang Jihan tebus sore itu.

“Hei! Kamu nggak bisa ngeliat obat orang laen seenaknya,” tukas Jihan terlihat mulai terganggu. 

“Aku cuman butuh bukti kalo mereka melayani semua dengan baik juga adil dan bukan karena males!” sanggah pemuda itu. 

Baik Jihan maupun petugas apotek itu membelalakkan matanya. Pemuda tersebut sangat tidak sopan dan kasar. Tangannya merenggut tas Jihan, mencoba mendapatkan obat tersebut. 

“Hei! Jangan dong!” pekik Jihan mencoba mempertahankan tasnya. 

Semua yang berada di ruangan tersebut berusaha menarik pemuda itu untuk membantu Jihan mendapatkan tasnya kembali. 

Tapi tubuh pria muda itu jauh lebih kuat. Dia mendorong dua pria yang mencoba menariknya, lalu mendorong tubuh Jihan, hingga gadis itu terdorong ke belakang, tanpa kendali.

Sebelum tubuh Jihan terhempas ke lantai, dua tangan kekar menyambar dan menyelamatkannya dari benturan keras lantai. Setelah menegakkan tubuh Jihan sepenuhnya, pria itu mengayunkan tinju dan menghantam rahang si perusuh dengan keras. 

Satu kali pukulan pemuda itu terpelanting dan dua pria segera meringkusnya. 

Jihan mematung dengan tubuh gemetar. Matanya berkaca-kaca, menatap pria yang telah membantu. Bastian!

“Kita pulang,” ajaknya dan menggandeng tangan Jihan keluar dari apotek. 

Jihan mengikuti dengan mulut terkunci. Kejadian barusan membuatnya sangat syok. Bastian membuka pintu mobil untuknya dan mempersilahkan masuk. Mobil bergulir meluncur kembali ke toko Pelangi. 

“Kita udah sampai,” ucap Bastian. 

Jihan masih membeku dan memandang lurus ke depan.

“Jihan, kamu nggak apa-apa?” tanya Bastian terdengar mulai khawatir. 

“Makasih,” sahut Jihan lirih, hampir tidak terdengar. 

“Sudah masuk sana. Kamu perlu istirahat.”

Jihan berpaling pada Bastian.

“Jangan cerita sama siapa pun. Aku nggak mau semua khawatir.” 

Pria itu menoleh dan melihat Jihan menatapnya dengan mata berair.

“Ok, ini rahasia kita berdua.”

Jihan mengangguk. Tangannya siap membuka pintu, namun akhirnya batal. Tanpa bisa menahan, ia pun menangis tersedu-sedu. 

Bastian menghela napas. 

‘Kenapa perempuan harus selalu menangis tiap mengekspresikan perasaan dan emosinya?’ keluh Bastian dalam hati. Lima menit berlalu dan Bastian menunggu, tanpa menyibukkan diri dengan ponsel, tidak seperti biasanya. 

“Makasih sekali lagi,” ujar Jihan dan mengusap air mata dengan lengan jaketnya. 

Bastian masih terdiam. 

Jihan keluar dari mobil dan segera melangkah dengan cepat, tanpa menoleh lagi. 

Bastian pun menarik napas panjang. Dirinya tidak mengerti, kenapa selalu menginginkan untuk mendatangi toko kue tersebut? 

Namun setelah apa yang baru saja terjadi, membuat pria itu sadar. Bukan toko kue yang membuatnya selalu ingin berkunjung, Jihanlah alasan yang paling tepat!

Salah satu karyawan memberitahu Bastian, jika Jihan sedang ada di apotek untuk menebus obat. Karena membutuhkan kepastian mengenai pesanan kue untuk Shera, Bastian memutuskan untuk mencari Jihan. 

Dia sudah hampir menikah dengan Nadia, wanita yang telah menjalin hubungan dengannya sejak lima tahun lalu. Nadia menjadi pacar, kemudian tunangan Bastian karena tuntutan neneknya dulu. 

Mini ingin menjalin hubungan baik dengan sahabatnya dan menjodohkan cucu mereka. 

Mini dan Andani sudah bersahabat sejak muda. Keduanya ingin persahabatan mereka berlanjut menjadi persaudaraan. 

Tapi sesungguhnya, Nadia cukup membuat Bastian tertarik dan tidak menolak perjodohan tersebut. Wanita itu sangat mandiri dan tidak pernah menyusahkan. Hubungan jarak jauh tidak menjadi kendala bagi keduanya untuk terus berkomitmen. 

Nadia juga tidak pernah menuntut macam-macam. Apa lagi sikap Bastian yang dingin dan tidak pernah hangat. Nadia bisa menerima diri Bastian apa adanya. 

Sebelumnya, hidup Bastian sangat sempurna. Ia puas dengan hubungan datar, tanpa gejolak yang aneh-aneh dengan Nadia. 

Namun, begitu Jihan hadir dalam hidupnya, Bastian mulai melihat warna lain yang berbeda. Hidupnya tidak lagi monoton karena dia memiliki tujuan khusus untuk mengunjungi toko Pelangi usai bekerja. 

Dan sikap juga karakter Jihan yang unik, membuat Bastian secara tidak sadar menyukai kehadirannya. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menarik, namun sulit untuk dideskripsikan. 

Jihan laksana candu yang perlahan membuatnya tertagih untuk terus mencari!


[-]

Bab 8. Pelangi Hidup

Hidup ini begitu menarik untuk terus dijalani, meski kadang cobaan dan ujian membuat sesak. Ada yang mengatakan jika kita hidup sudah ada yang mengatur, yaitu Sang Pencipta. 

Kita lahir, menjalani hidup kemudian mati, semua sudah terencana dalam buku takdir. 

Namun tidak ada satu pun manusia yang mengetahui secara pasti takdir tersebut. Walaupun dalam hidup ini ada yang memiliki anugerah untuk bisa melihat masa depan, namun kemutlakan tetap menjadi rahasia Sang Pencipta. 

Jihan masih menebak apa yang akan terjadi pada Luna berikutnya. Gadis itu selain sudah sehat dan pulih, keceriaannya juga kembali bersinar dengan perlahan. Akan tetapi, kadang Jihan melihat Luna seperti kehilangan pegangan diri. 

Sudah cukup lama berlalu sejak tragedi mengerikan Luna bunuh diri. Hidup ini bisa jungkir balik dan berwarna. Ritme dan arahnya benar-benar tidak bisa terprediksi. Setelah melihat hidup Luna yang bisa hancur dalam sekejap, Jihan begitu menghargai semua cinta yang ada dalam hidupnya.

Jihan paham akan apa yang Luna telah alami. Rasanya terjepit dan mengalami tekanan yang datang dari luar bukan hal mudah untuk dihadapi sendiri. Ia bertekad akan membantu Luna kembali seperti semula!

“Pagi!” sapa Jihan. 

Luna yang sedang menata tempat tidurnya menoleh lalu tersenyum. Matanya terpicing sejenak saat Jihan membuka tirai jendela lebih lebar lagi.

“Aku nggak bertugas sampe siang nanti, jadi aku mau nonton sama kamu!” seru Jihan seraya membuka laptop dan mulai mencari film yang mereka inginkan.

“Aku suka film horor,” ucap Luna dengan semangat melompat kembali ke tempat tidurnya yang telah rapi. Jihan mengikuti dan membuka daftar film yang telah ter-download

“Film ini juga keren,” gumam Luna seraya menunjuk ke layar. 

“Kan udah. Kita nonton lagi?” 

“Hayuk,” balas Luna dengan senyum melebar. Jihan menekan tombol play dan keduanya berdampingan dalam selimut siap menonton.

***

“Mbak Sarah, ada yang pesan untuk arisan lima puluh kotak besok pagi!” seru Ezra dari jendela pesanan yang menghubungkan toko dengan dapur. Ezra menancapkan kertas di paku pesanan dan berbalik kembali. 

“Siapa yang bakal gantiin Luna bikin kue? Ada pesanan cupcake juga, nih!” seru Sarah sembari memandang detail pesanan di kertas. 

“Katanya Jihan bisa cover, Mbak,” jawab Rie. Sarah mengangguk dan mengirim pesan pada Jihan sebelum dirinya lupa. 

“Rie, jangan lupa pesanan dokter Shaga, ya!” seru Sarah. 

“Sudah jadi. Ada di depan tinggal di antar,” jawab Rie kembali. 

Sarah mengangguk dengan puas. Sejak Luna tidak lagi bekerja, tokonya mengalami ketimpangan dan cukup repot. 

Kadang Jihan harus bangun pagi membuat produk dan beristirahat hingga siang. Selepas itu, Jihan harus kembali membuat untuk pesanan khusus pada shift kerja siang hingga malam. 

Dirinya sendiri juga tidak ketinggalan mengatur operasional toko menggantikan tugas Jihan selama istirahat.

“Ada yang merindukan aku?!” seru Jihan sudah muncul dengan wajah segar. Sarah menghela napas lega. 

Customer semakin menggila mendekati Valentine. Kita nggak bisa hanya tiga formasi chef. Harus ada pengganti Luna,” ucap Sarah dengan pelan mendekat. 

Jihan menoleh dan memandang Sarah dengan senyum.

“Luna akan kembali besok,” jawab Jihan dengan yakin. Sarah mengerutkan kening, tidak menangkap maksud ucapan Jihan.

“Besok?”

“Ya, besok. Dia butuh kerja untuk tetap waras,” sahut Jihan kembali. Rie yang terlanjur mendengar pembicaraan mereka hanya menatap Jihan dan mencoba memahami rencananya.

“Dia bukan butuh pulih dalam segi fisiknya aja. Tapi mentalnya juga,” tegas Sarah mulai terlihat menolak ide gila Jihan. 

“Itulah poinnya, Mbak. Luna bakal merasa makin terasing kalo terus menerus di rumah. Dengan berada di sini, Luna lebih merasakan perhatian juga kepedulian kita. Dia nggak bakal ngerasa sendiri lagi,” ucap Jihan memaparkan alasannya.  

Rie mulai mengerti. Jarinya mengetuk meja dengan raut wajah mendukung. Sarah mengangkat kedua tangannya dan mengalah.

“Kalo terjadi sesuatu, kalian berdua yang tanggung jawab!” serunya dengan suara lantang sembari melangkah menuju gudang, meninggalkan keduanya. 

***

“Semua udah lengkap dan sesuai pesanan, ya, Dok,” ucap Ezra sambil meletakkan kotak terakhir. 

Shaga tersenyum dan mengacungkan jempol. Dua suster membawa kotak kue tersebut masuk ke kantor. 

“Salam buat Jihan, ya? Bilang aku mau ambil kue almond ntar malem,” pesan Shaga. Ezra terhenyak, namun akhirnya mengangguk dengan senang. 

“Siap-siap, Dok! Pasti saya sampein,” jawab Ezra dengan ceria. Shaga melambaikan tangan dan masuk. Ezra memacu sepeda motornya dan dengan tidak sabar berlari ke arah Jihan.

“Mbak Jihan, dapet salam dari dokter Shaga!” pekik Ezra dengan histeris. 

Cowok yang sedikit kemayu itu terlihat kegirangan. Tangannya memegang pipi dan melompat penuh antusias. Semua staf di dapur bengong, sementara Jihan hampir menjatuhkan telor di tangannya.

“Ka-kamu ngaco, ih!” balas Jihan tergagap.

“Serius!”

“Mana mungkin!”

“Yah, kalo jodoh nggak kemana-mana! Dari pada sama Mr. Autis yang udah bertunangan, kenapa nggak sama dokter Shaga aja?” timpal Rie.

“Kalian semua pada ngawur!” Jihan meninggalkan Ezra dan menuju ruang preparation untuk membuat kue. 

Ezra tidak puas karena dia mengatakan sesungguhnya. Pemuda itu mengejar Jihan buru-buru.

“Beneran, Mbak! Ezra nggak ngapusi!” ucapnya dengan mimik serius.

“Nggak mungkin aku sama dia, Zra. Luna udah naksir duluan!” tukas Jihan jengkel dan akhirnya terlepas bicara. Sarah yang baru masuk kaget. Semua terdiam, sedangkan Jihan kini serba salah.

“Ezra keluar, aku mau ngomong sama Jihan,” pinta Sarah. 

Ezra tidak menjawab, namun segera keluar ruangan dan menutup pintu. Dari ruang preparation terdapat kaca lebar yang bisa melihat keluar. Rie menatap mereka dengan raut penasaran dari luar. 

“Apa yang kamu bilang tadi, Ji?” 

Jihan menghela napas pasrah. Dengan wajah menyesal, ia mencoba mengumpulkan kalimat yang tepat.

“Luna bukan mau coba bunuh diri gara-gara om Ari, Mbak. Luna ngaku kalo malam itu dia juga nyatain cinta sama Shaga dan ditolak,” jawab Jihan lirih. Sarah merasakan tubuhnya dingin.

“Luna udah bilang semuanya. Aku nggak bisa khianatin dia. Lagian aku juga nggak ada rasa kok sama dokter itu. Dia rada-rada aneh,” ucap Jihan juga sekaligus mengeluh. Sarah antara ingin menangis dan tertawa. 

Jihan benar-benar polos dan juga lugu secara bersamaan. Sarah memeluk Jihan dan mengecup rambutnya dalam-dalam.

“Aku mungkin menjadi putri tunggal di keluargaku, tapi di sini, aku punya kalian semua,” ucap Sarah setengah berbisik.

Jihan memeluk pinggang Sarah dengan erat. Tidak banyak yang tahu jika Sarah kehilangan adik kandungnya karena kanker tujuh tahun yang lalu, menyusul kemudian ibunya. Sarah kini tinggal dengan ayahnya yang masih aktif menjadi anggota DPRD. 

Sarah bukan bekerja untuk berkarir. Wanita berusia tiga puluh tahun itu menyandang gelar sarjana terbaik ITB. Tapi sayang, semuanya hancur ketika adik dan ibunya meninggal. Ayahnya sibuk dan memilih melibatkan diri dalam pekerjaan.

Wanita itu menempuh cara yang sama hingga bertemu dengan ibu Jihan, Runi, di sebuah bazar. Keduanya berbagi hal yang sama, kehilangan orang yang mereka cintai. 

Runi kemudian mengajak Sarah untuk menghabiskan waktu di toko hingga akhirnya memutuskan untuk terjun dan mengambil sekolah kuliner dan memperdalam ilmunya.  

“Kalian mau pelukan terus atau ikut lihat karnaval di depan?” tanya Rie sudah nongol dengan wajah cemberut karena tidak diajak serta dalam pelukan mereka.

“Bilang aja kamu sebel karena nggak tau gosip terbaru,” tukas Sarah. 

Rie melengos dan pura-pura cuek. 

“Ok, kayaknya dia nggak tertarik kok, Ji. Kita liat karnaval, yuk,” ajak Sarah kemudian. Rie meringis dan memohon supaya disertakan dalam diskusi mereka. Sarah dan Jihan pun tertawa.

“Raimu koyo clurut, Rie,” ledek Sarah dalam bahasa Jawa. Ketiganya pun terbahak.

“Dah, ceritanya ntar aja. Kita liat karnaval dulu,” ucap Sarah akhirnya. 

Mereka melangkah keluar dengan senyum terukir. Inilah hidup. Begitu berwarna dan penuh kejutan. Walaupun berat, tapi terkadang ada selingan yang membuat perasaan hangat. 

Persahabatan dan juga perhatian dari keluarga yang entah terhubung dengan darah ataupun tidak, menjadi penguat juga warna dalam adonan hidup kita. Jangan puas dengan hidup datar yang membosankan. Beranilah menerima tantangan dan melangkah maju untuk mencapai puncakmu!

***

Nadia mendesah dengan mata terpejam, saat Bastian mulai mengayunkan tubuhnya, menekan dengan deru napas memburu. Mereka saling mendekap, memacu diri menuju puncak asmara.

“Ahhh …. Basss ….”

Tunangannya melumat bibir Bastian, sambil menjepit pinggang kekar pria itu seiring memekik kecil. Bastian mempercepat dan melenguh panjang.

Ia meletakkan kepala di pundak Nadia, meresapi klimaks yang terasa membosankan dan tidak ada adrenalin lagi. Semua ia lakukan hanya sebagai kebutuhan biologis semata.

Lelaki itu melepaskan diri. Menjauh dan berjalan menuju ke kamar mandi. Setelah membasuh badan, ia menyambar handuk lalu keluar. 

Mengenakan pakaian dengan cepat dan memutuskan meraih rokok juga botol bir. Nadia melenggang ke kamar mandi, tidak ada pembicaraan antara keduanya.

Dalam renung malam, Bastian meneguk minuman dengan batin berkecamuk. Apakah ini kehidupan yang ingin dia jalani? 

Terasa hambar dan tidak bermakna!

Dalam benaknya mendadak terlintas wajah Jihan. Tawa juga senyum si lesung pipit, beserta dengan ekspresi polosnya. Bibir Bastian mendadak mengurai senyum dan batinnya penuh rasa tertarik ingin mengenal segala keunikan Jihan.

Rasanya dunia Bastian terasa penuh warna!

Menggoda dan meledek Jihan membuatnya begitu bersemangat. Sepertinya menyenangkan hidup bersama Jihan, menyaksikan semua kecerobohan gadis itu dan hidupnya pasti jauh lebih berwarna!


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Love Is Suck [Bab 9-11]
3
0
Tak menyangka jika Bastian dan Shaga ternyata adalah sepupuan, sepertinya mereka memiliki hal yang sama tentang Jihan. Siapa yang lebih berkesan untuk si tukang kue ini?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan