
Selamat membaca.
Yuuuuk jangan lupa vote dan komen 😘🔥
***
Sejak kemarin, berlanjut hingga malam ini, pikiran Scarlet terus saja terbayang binar aneh yang timbul dari tatapan Richard saat pertemuan di galeri itu. Jika ada yang ingin disampaikan, mengapa Richard tak utarakan? Atau, mungkinkah dia ingin membicarakan soal lukisan miliknya yang Scarlet beli? Scarlet justru khawatir jika ternyata uangnya tak membuat Richard puas.
Scarlet meraih ponselnya, lalu membuka aplikasi m-banking. Ia ingin memastikan bahwa saldo tabungannya masih banyak-kalau saja Richard ingin menambah bayaran atas lukisannya. Namun, jika dipikir-pikir, untuk apa juga lukisan yang sudah dibeli dengan harga deal ingin kembali dibahas? Scarlet menggeleng bingung. Lalu, apa arti dari tatapan itu?
"Apa kita pernah kenal dan gue punya hutang sama dia, ya?" gumam Scarlet seraya menyeret bola mata ke atas, sangat membingungkan.
Jika tidak ada jembatan untuk berinteraksi dengan pria itu, sementara Scarlet kepalang penasaran, mungkin ia perlu datang lagi ke galerinya?
"Hai, cewek! Awas kesambet!"
Scarlet terperangah bukan main, pandangannya terlempar ke halaman rumah di bawah. Kekasihnya berdiri di sana, bersandar pada kendaraannya dan menyunggingkan senyum yang mengejek. Scarlet yang barusan duduk di jendela kamarnya lantas beranjak cepat.
"Jevan! Kamu ngapain di situ?" seru Scarlet dengan sedikit berteriak.
"Merhatiin cewek yang lagi menghayal," sahut pria yang kini mengenakan kaos biru gelap itu.
"Ihhh ... tunggu! Aku turun." Dengan cepat Scarlet berlari keluar kamar, menuruni anak tangga, dan mendekat pada Jevan yang ternyata sudah berdiri di depan pintu utama.
"Sayang ...," sapa Scarlet dengan sedikit merengek. Wajah lembab karena baru selesai mandi itu menampilkan gurat memelas, seolah ingin mengadu bahwa dirinya sangat rindu.
"Hei, jelek banget ekspresinya." Tak butuh waktu lama, Jevan sudah menarik tubuh Scarlet untuk masuk ke dalam pelukan sebelum akhirnya menyapa dengan kecupan singkat di bibir lembabnya.
"Hayoo, ajak Jevan masuk dulu, Let. Jangan pacaran di depan pintu, ntar kejepit," celetuk Dinar-mama Scarlet-yang ternyata sudah menyajikan minuman dan camilan untuk Jevan.
"Mama bikin kaget aja."
"Masih untung Mama yang ngagetin, bukan setan," timpal Dinar, membuat Jevan tertawa, sementara putrinya mendengkus sebal.
Dinar kembali memutar tubuhnya, padahal barusan ia sudah hendak kembali ke dapur. Ia mengambil sebungkus rokok di dalam saku celananya dan memperlihatkan pada Jevan. "Rokok nggak, Jev?" tawarnya.
"Jevan nggak ngerokok, Ma," sahut Scarlet sebelum Jevan hendak bersuara.
"Ah, sama aja kayak Papa, nggak seru." Dinar melirik sebentar, lalu kembali melanjutkan langkahnya dan hilang di balik pintu dapur.
Jevan menyeruput es lidah buaya yang disajikan mama sang kekasih. Setelahnya, ia menatap Scarlet yang juga tengah memperhatikannya.
"Mama kamu masih ngerokok?"
"Emang ada kemungkinan bakal berhenti, ya? Malah nambah kebiasaan mabuknya, tuh."
Jevan tak lagi berbicara, tetapi Scarlet menyadari bahwa pria yang sudah menjadi kekasihnya selama tiga tahun itu kini tengah menatapnya dalam-dalam. Lantas, perempuan itu balik menatap.
"Kamu beneran nggak apa-apa dengan prinsip orang tua kamu yang menjalankan open relationship?"
Sudah Scarlet duga, pasti Jevan akan bertanya tentang hal itu lagi. Mungkin, dia tidak akan berhenti bertanya sampai Scarlet memberikan jawaban yang patut dipercaya. Masalahnya, setiap kali ditanya hal tersebut, Scarlet akan selalu berkata, "Mau gimana lagi? Itu udah prinsip mereka. Suara seorang anak nggak berlaku di sini." Lagi, dia menjawab seperti itu sekarang.
Bersama embusan napas lelah, tubuh mungil berbaju crop-top itu diempas untuk menyandar pada sofa yang diduduki. Lagi dan lagi, ia harus kembali bernostalgia ringan terkait hubungan kedua orang tuanya.
Dinar dan Alex menikah atas dasar suka sama suka, belum sampai pada tahap saling mencintai. Keputusan bodoh untuk menikah ketika belum sama-sama yakin itu juga diambil semata-mata karena Alex merasa bersalah telah seenak jidat meniduri Dinar-padahal saat itu dia main aman.
Saling menyukai, lalu muncul perasaan bersalah yang berujung pada pernikahan. Namun, ketika kehidupan rumah tangga mulai dijalani, tidak ada cinta yang mereka temukan. Bersyukurlah Scarlet, karena kabar Dinar saat mengandungnya, Alex mengurungi niatnya untuk mengajak bercerai. Mereka masih punya hati untuk bertahan demi Scarlet dapat lahir dengan orang tua lengkap.
Namun, rupanya 'berbaik hati' tadi hanya bertahan sampai Scarlet menginjak usia tujuh tahun. Terlalu dini baginya untuk mengerti kehancuran hubungan kedua orang tuanya, tetapi tetap saja nyatanya ia dapat memahami apa yang sedang terjadi-meskipun keduanya selalu berpura-pura baik-baik saja di hadapan Scarlet. Dia tahu, tapi tak mau peduli.
Tidak ada perpisahan yang terjadi di antara Dinar dan Alex, tetapi ketika Scarlet berhasil mendengar kalimat, "Oke, deal. Open relationship for us." maka ia mengerti bahwa orang tuanya telah berpisah dengan cara yang berbeda. Bersatu, tetapi tidak menyatu. Tidak berpisah, tetapi sepakat untuk membiarkan masing-masing memilih untuk dekat atau berhubungan dengan orang lain. Awalnya Scarlet selalu menghakimi keputusan kedua orang tuanya itu. Akan tetapi, lambat laun perempuan itu menjadi terbiasa. Terlalu sulit baginya untuk masuk dan mengusik prinsip gila itu, karena Scarlet merasa tidak ada hak dirinya atas hubungan kedua orang tuanya yang memang tidak saling mencintai.
Melihat kekasihnya tampak murung akibat pertanyaannya, membuat Jevan merasa bersalah. Ia lantas berangsur memangkas jarak dan memeluk tubuh Scarlet dalam sekali gerakan.
"Maaf, Sayang."
Scarlet mendongak hingga hidungnya menyentuh dagu Jevan. "Bukan salah kamu. Justru kamu yang bantu aku bangkit dari rasa capek itu."
"Kamu nggak berpikiran untuk pakai prinsip itu juga buat hubungan kita?"
Jevan berhasil membuat Scarlet secara cepat menarik diri dan menatap tajam padanya. Pertanyaan macam apa itu? Bisa-bisanya Jevan bertanya dengan gamblang.
"Kamu mau pacaran sama perempuan selain aku?" tuding Scarlet menggebu-gebu.
Alis Jevan menukik sebelum akhirnya ia tertawa. "Aku cuma tanya, Sayang."
"Pertanyaan kamu itu mengundang amarah!"
Jevan masih tertawa. "Maaf, maaf. Nggak mungkinlah. Kamu aja udah cukup, kok." Pria itu kembali memeluk Scarlet dengan gemas.
"Awas aja kalau selingkuh, aku betot perkakas kamu!" Scarlet melempar tonjokan di dada bidang Jevan hingga membuat pria itu meringis.
"Sadis banget, sih, pacarku."
Sekian menit menciptakan gurau saat saling merengkuh, keduanya beralih mengurai pelukan. Jevan kembali menyeruput minumannya, dan kali ini terasa berbeda. Sisa minuman menyembur dari mulutnya, membuat Scarlet terkejut sekaligus panik ketika Jevan bergantian memegang mulut dan perutnya.
"Sayang, ini minuman apa?" Jevan terus menjulurkan lidah yang terasa kecut, bahkan berkali-kali mengusap lidah dengan tisu.
"Itu minuman lidah buaya, kok!" Scarlet menggigit bibir bawahnya. Pasti ada yang tidak beres. "MAMA? MAMA KASIH APA KE MINUMAN JEVAN?" teriaknya.
"Alkohol lima sendok doang," sahut Dinar dengan santai.
"JEVAN NGGAK SUKA ALKOHOL MAMA, IH!"
"Perut aku mules," rintih Jevan dengan tubuh yang meringkuk di atas sofa. Scarlet benar-benar cemas kini.
"Payah banget, sih, kayak Papa." Dinar datang membawa kotak obat dan menyerahkannya kepada Scarlet.
Mengabaikan ledekan sang mama, Scarlet kini sibuk membongkar kotak obat.
"Podrex bukan?"
"Itu obat sakit kepala, Sayang."
"Bilanta, ya?"
"Astaga, itu buat mag. Ini aku mules."
"Ih, apa, dong?"
"Entrostob!"
"Itu buat menceret, emang kamu menceret?"
Jevan menggeleng cepat. Frustasi mencari obat, Scarlet memutuskan memindahkan kotak obat dari pangkuan, tangannya beralih menyingkap baju Jevan dan mengusap perutnya.
Jevan menyandar dengan senyum yang mengembang, lalu tercipta embusan napas lega. "Ternyata obatnya diusap sama kamu. Manjur banget."
Scarlet melotot diiringi rahang yang mengeras, lalu tangan memukul perut Jevan. "Kamu sakit bohongan, ya?!" pekiknya.
Jevan tertawa terbahak-bahak. "Udah lama nggak diperhatiin kamu."
***
Hmmm ... open relationship?🤔
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
