
Kisah tentang penyesalan yang datang diakhir, merindu seraya meratapi nasib yang sudah kadung terjadi.
Cuaca malam hari begitu dingin, angin malam menembus celah-celah tembok, hingga menusuk ke tulang-tulang sendi. Aku meringkuk di atas kasur tipis, yang rasanya sama saja seperti tidur tanpa beralaskan apapun selain ranjang besi berukuran satu orang yang menempel di sisi kanan tembok. Tidak empuk, dan terasa lumayan keras. Selimut yang bahkan hanya bisa menutupi sebagian dari tubuhku adalah satu-satunya perisai yang kupunya.
Ruangan selebar 4x3 ini terasa begitu lembab dengan cat berwarna hijau yang sudah lapuk serta banyak yang mengelupas, terdapatkan pula coretan serta gambar-gambar tak senonoh yang terdapat pada dinding tembok. Tidak ada ventilasi lain selain pintu berjeruji besi. Ruangan yang diisikan sekitar empat orang tahanan dengan beragam usia dan berfasilitaskan westafel kecil di bagian tengah sisi tembok, terasa begitu pengap. Aroma apek dan pesing berbaur menjadi satu. Hal yang sudah biasa jika sewaktu-waktu westafel dijadikan sebagai tempat buang air kecil.
Di balik ruangan berukuran 4x3, aku masih saja terus menggigil kedinginan setiap malam nya, dan merasa sangat berkeringekat karna kepanasan di siang hari. Dahulu, kalau di rumah, sering kali aku menyalahkan ibu, meminta ia membelikan AC untukku agar aku bisa bersantai dan tidur lebih nyaman lagi. Tidur diatas kasur yang lebih empuk serta selimut yang bisa menyelimuti seluruh tubuhku ketika aku merasa kedinginan. Mengingat hal-hal itu, tanpa sengaja sedikit demi sedikit aku menitikan air mata, tetapi sebisa mungkin aku mengbungkam mulutku sekuat yang kubisa agar tak terdengar isak tangis di malam yang sunyi, di balik bilik sel. Menagis di lapas adalah pilihan buruk yang sebisa mungkin harus kuhindari, terlebih di hadapan para tahanan lainnya, sebagaimana pengalamanku pada hari-hari pertama aku menginjakan kakiku disini. Tak ada belas kasihan, yang ada hanya pandangan dingin yang menusuk dari para tahanan dan perlakuan tak mengenakan yang dapat diterima. Tidak ada kehangatan dan peluk penuh kasih.
Meski aku seorang pria yang sudah berada di pertengahan usia kepala dua, ibu masih saja merangkulku setiap kali ia tanpa sengaja melihatku menitikan air mata. Berbagai nasihat serta ocehan dilontarkannya yang dulu tidak begitu kutanggapi dengan serius, tetapi pada saat-saat seperti ini, itu adalah moment-moment yang kurindukan.
***
Sudah tiga tahun aku menjalani hukuman setelah aku mendapatkan hukuman pidana sepuluh tahun penjara atas tuduhan perampokan bank yang kulakukan bersama dengan seseorang yang tadinya kupikir teman, sebelum akhirnya dia menikamku dari belakang dan membuatku menerima hukuman tanpa keringanan apapun.
Aku yang sebelumnya hanya terlibat dalam kenakalan-kenakalan kecil seperti berjudi dan meminum-minuman keras oplosan, terpaksa ikut serta dalam aksi perampokan bank demi membayar hutang-hutang yang menumpuk atas kekalahan saat menjudi sebanyak sepuluh kali. Teman yang kupercayai menjanjikan pembagian hasil yang mengiurkan. Saat tertangkap, dia memberikan pengakuan yang sebaliknya dengan mengatakan bahwa akulah pesuruh dan dia menurut karna takut dan diancam. Entah apa yang ia lakukan, temanku mendapatkan keringanan hukuman seringan-ringannya menjadi tiga tahun penjara. Ibuku yang memiliki butik kecil di dekat rumah, harus menjual aset-aset yang dimilikinya demi membayar hutang-hutangku. Ketika mendengar kabar bahwa aku ditahan di kantor polisi, saat itu juga ibu pingsan dan jatuh sakit, terlebih saat mengetahui vonis penjara yang diberikan kepadaku.
Dirumah, aku tinggal bersama ibu dan salah seorang adik perempuanku yang memiliki perbedaan usia dua tahun di bawahku. Alyalah yang hadir saat sidang perkara atas kasusku di gelar, dan sidang serta keputusan disampaikan dengan segera karna pihak kami tidak bisa membayar pengacara untuk melakukan pembelaan. Setelah surat keputusan keluar, ibu hanya bisa berbaring di atas kasur tanpa berkomentar apapun, ia bahkan tidak melahap setiap makanan yang dibawakan oleh Alya. Ibu yang biasanya cerewet—semenjak hari itu, ibu menjadi lebih banyak diam. Alya juga mengatakan bahwa katanya berat badan Ibu sampai menurun drastis.
Alya yang kurang kuperhatikan—semenjak aku di penjara, dia rajin sekali menjenguk dan memberikan kabar tentang ibu dan kondisi rumah. Bagaimana mereka harus tinggal di kontrakan karna Alya harus menjual rumah kami untuk membayar sisa hutang dan sisa uang nya di pakai untuk biaya sewa rumah, pengobatan ibu serta biaya-biaya keperluan lainnya. Sesekali Alya berkunjung untuk menanyakan kondisiku dan sesekali pula ia datang hanya untuk meluapkan emosinya padaku, menceritakan betapa berat beban yang harus ia tanggung akibat perbuatanku, dan dilubuk hatiku yang paling dalam, aku akui bahwa hukuman ini memang pantas diberikan kepadaku. aku juga mengakui bahwa aku hanyalah bak seekor parasit di kehidupanku, kehidupan Alya dan Ibu. Seharusnya, saat ini Alya sedang giat-giatnya mengapai impiannya menjadi seorang dokter gigi, tetapi lagi-lagi karna aku, dia terpaksa berhenti kuliah dikarnakan persoalan biaya, dan dia juga harus merawat Ibu yang kondisi kesehatannya tidak stabil.
***
Tanpa sadar, air mata sudah membasahi kasur dan aku segera tersadar dari lamunanku. Jam berapa sekarang?. Jam hanya tersedia di dinding lorong koridor lapas, tetapi bisa kupastikan, saat ini adalah pukul dua malam karna jadwal tidur di lapas adalah pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Berarti, sudah sekitar tiga-empat jam aku terjaga. Tiba-tiba saja, perutku berbunyi dan merasa kroncongan seperti minta diisi ulang. Tidak biasanya aku seperti ini karna menurutku waktu tiga tahun adalah waktu yang lumayan lama untuk bisa beradaptasi dengan kebiasaan disini. Tetapi malam ini berbeda, seperti saat-saat aku sedang berada dirumah. Mungkin karna sedaritadi aku melamunkan kenangan-kenangan tentang rumah, kebiasaan lapar tengah malam kembali kurasakan.
Di rumah, Ibu biasanya selalu menstock persediaan Indomie di laci dapur, dan Indomie adalah menu favoriteku ketika rasa lapar melanda saat tengah malam, dan resep Indomie kesukaanku adalah resep Indomie Bangladesh ala-ala buatan Ibu. Indomie Bangladesh adalah menu wajib yang sering ibu buatkan khusus untukku setiap dua minggu sekali.
Sekarang sudah tahun ketiga aku berada di balik bilik lapas, mendekam kedinginan dan kesakitan seorang diri. Menerima hukuman yang sudah sepantasnya atau mungkin masih kurang untuk kudapatkan karna selama ini sudah banyak menyusahkan keluarga di rumah. Tetapi harus kuakui bahwa aku sangat merindukan rumah, mie buatan Ibu, kasur empuk, selimut tebal, Alya dan kehangatan kasih saying Ibu yang selama ini tidak kuhiraukan. Aku merindukan kehidupanku yang dulu yang telah kuhancurkan dengan sikapku sendiri. Aku merindukan rasa yang tak pernah kudapatkan di tempat ini.
Aku menekan perutku dengan kuat menggunakan selimut dengan harapan rasa lapar yang saat ini kurasakan bisa segera teratasi. Disini tidak ada makanan yang bisa kumakan saat merasa lapar pada dini hari. Tidak ada stock Indomie untukku. Tidak lagi bisa kurasakan resep Indomie buatan ibu. Tidak, memang sepertinya tidak akan pernah bisa kurasakan lagi rasa itu.
Sudah tahun ketiga aku dilapas dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mendapati diriku yang menyedihkan ini menangis sesegukan. Bukan karna kelaparan dan bukan juga karna merajuk atas keseharian yang tak menyenangkan yang kudapati di sini. Aku sudah terlalu dewasa untuk menangisi hal-hal sepele.
Suatu pagi, di suatu hari yang normal di penjara. Seorang petugas mengatakan bahwa aku mendapatkan kunjungan, aku sudah tau kalau itu adalah Alya, karna satu-satunya keluarga yang kupunya hanya Alya dan Ibu. Tidak ada yang lain. Alya terlihat begitu pucat dan muram, aku bisa mengatakan bahwa dia sehabis menangis. Alya adalah perempuan yang paling kuat yang pernah ku kenal setelah Ibu. Meski dia mengalami hari-hari yang berat, tidak sedikitpun dia mengeluhkan nya kepada Ibu. Dia selalu mengatakan bahwa semua nya baik-baik saja sampai-sampai aku menganggap bahwa dia adalah manusia dengan kehidupan yang paling menenangkan, tanpa tau bahwa dia sudah mengalami banyak hari-hari yang berat termasuk hari ini. Hari ini saat Alya berkunjung, hari dimana untuk pertama kalinya Alya menampakan ekspresi muram, matanya yang bengkak terlihat jelas olehku, walau dari jarak 5 meter. Tampilan nya terlihat sangat kusut, dan mengenakan tudung di atas kepalanya. Saat melihatku, ia tidak berhenti-henti menangis, bahkan ketika ia hendak ingin mengeluarkan satu atau dua patah kata, tangisan nya langsung membuncah. Aku yang melihatnya seperti itu langsung panik, dan saat itu aku tidak mengerti kenapa hatiku terasa amat gelisah. Aku tanya Alya terus menerus, memaksa dia untuk segera berbicara, tetapi tangisan Alya malah semakin hebat, hingga akhirnya dua kata keluar dari mulut nya “Ibu meninggal,”
Sontak tubuhku terasa lemas dan tersungkur kebawah. Alya yang melihatku seperti itu, langsung memelukku dengan erat. Tiba-tiba saja semua terasa seperti aku sedang berada dalam mimpi terburuk dalam hidupku, seperti tubuhku berada di awang-awang. suara tangisan Alya memenuhi pendengaranku, pandanganku lurus kedepan dan tampak buram. Semua kata-kata rasanya seperti tersekat di dalam kerongkongan, aku tidak bisa berkata apa-apa selain terus berpikir “aku harus segera bangun dari mimpi buruk ini”
Ini adalah tahun ketiga aku menjalani hukuman, dan hari kedua setelah hari kepergian Ibu. Malam hari yang begitu sunyi, hanya terdengar suara detik jam dan langkah kaki petugas yang terus mengecheck ke setiap bilik lapas secara bergantian satu sama lain. Aku memejamkan mata dengan air mata yang sudah mulai mengering. Sekarang waktunya aku untuk tidur. Mengistirahatkan tubuh sejenak dari segala kejadian-kejadian buruk yang terus berdatangan silih berganti. Merehatkan tubuh dari kekejaman realita yang tidak terhenti. Kekejaman yang kubuat sendiri. Yang diakibatkan oleh ulahku selama ini.
Sambil memejamkan mata, aku seraya membayangkan, berandai-andai, seharusnya aku menjalani hidupku dengan lebih baik. Mencari pekerjaan dan tidak menyusahkan Ibu serta Alya. Seharusnya aku menjadi anak yang baik, menuruti kata Ibu untuk tidak berjudi dan meminum-minuman keras. Menjadi contoh yang baik untuk Alya dan anak laki-laki yang bisa diandalkan. Seharusnya aku tidak terbuai oleh tawaran temanku. Kalau aku tidak ikut merampok, pasti tidak akan merasakan kekejaman di penjara. Pasti aku akan hidup dengan lebih tentram. Pasti Alya akan terus melanjutkan impian nya dan pasti Ibu akan terus menjalankan butik dan tidak jatuh sakit. Kalau aku hidup dengan lebih baik, pasti semua tidak akan seperti ini. Ibu tidak akan pergi meninggalkan aku dan Alya sendiri.
Aku akui bahwa aku memang begitu menyedihkan, merepotkan dan tidak tau malu, tetapi apakah aku masih boleh mengharapkan akhir yang baik setelah ini semua. Apa aku layak untuk mendambakan kehidupan yang lebih baik. Apakah boleh aku ingin merasakan kembali rasa yang kurindukan, kehangatan yang kudamba-dambakan walaupun hanya semangkuk. Tidak apa-apa meski hanya semangkuk harapan, semangkuk resep Indomie Ibu, menyicipi kembali rasa yang telah lama hilang, merasakan kembali kehangatan cinta kasih Ibu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰