
"Masih bocah udah nikah? Kurang bercanda apa takdir sama gue?"
~Fatimah Az-Zahra Hanidar.
***
Namanya adalah Fatimah Azzahra Hanidar, biasa disapa Zahra, nama itu terdengar sangat lembut, kalem dan indah. Namun sang pemilik nama sama sekali tidak seperti itu, Zahra adalah gadis bar-bar yang memanfaatkan kekayaan orang tua untuk berfoya-foya. Rambutnya tak pernah hitam, tutur katanya tak pernah sopan. Arifin Hanidar sebagai ayah dari Zahra merasa khawatir dengan anak gadis semata wayanhgnya itu, dia...
1.Zahra Dengan Hidupnya
‘Sebagai hamba manusia memang terkadang lupa kalau terlalu mengejar dunia akan membuat lalai.’
~De Beste Imam
Thierogiara
***
Dengan tawa bahagia yang menghiasi wajahnya seorang gadis berambut hijau baru saja keluar dari sebuah gerai di dalam mall yang menjual berbagai jenis barang-barang k-pop. Sekitar empat tahun ini Zahra memang menobatkan dirinya sebagai k-popers. Gadis itu selalu berusaha untuk terlihat paling keren dan paling cinta dengan idolnya. Jika salah satu Boyband kesukaannya comeback maka Zahra tak akan segan-segan merogoh kocek hingga jutaan rupiah hanya untuk membeli album dan merchandise yang pihak agensi keluarkan.
Iya! Zahra memang sangat menyukai para penyanyi dan aktor dari Negeri Ginseng tersebut. Bahkan sekarang jika ditanya apa cita-citanya, mungkin Zahra akan langsung menjawab kalau cita-citanya adalah menjadi istri dari Kim Taehyung--salah satu member dari Boyband BTS.
Tiga gadis tujuh belas tahun dengan rambut warna-warni itu tampak santai berjalan menyusuri toko demi toko di dalam mall. Bukannya malu mereka justru senang saat menjadi pusat perhatian.
Ketiganya masuk ke sebuah kafe untuk makan siang kemudian pulang ke rumah setelah itu.
"Kayaknya gue bosen banget deh sama warna rambut ini, mau ganti cocoknya apa ya?" Zahra bertanya sembari berkaca dengan layar ponselnya.
"Yakin lo? Baru juga sebulan lo ganti warna rambut, entar rambut lo rusak sayang tau," sambut Olla menanggapi.
Di kalangan mereka sangat wajar tradisi mewarnai rambut, namun Zahra sangat sering bahkan belum genap satu bulan terkadang gadis itu sudah mengganti warna rambutnya kembali.
"Iya sih, tapi lo lihat dong emangnya masih pantes?" Zahra bertanya lagi, kali ini sambil menopang kedua pipinya dengan tangan tersenyum menunggu jawaban dari kedua sahabatnya.
"Gue sih terserah lo aja, tapi yang ini masih pantes kok, kulit lo kan putih warna mencolok juga cocok sama lo," terang Veby, Veby adalah seseorang yang warna rambutnya bisa dibilang paling normal, rambut gadis itu di ombre dengan warna merah, tak terlalu mencolok seperti Zahra yang warna hijau dan Olla yang berwarna ungu.
Zahra kembali mematut wajahnya melalui layar ponsel. Benar kata Veby, sejatinya Zahra memang selalu cantik setiap hari, tapi tetap saja rasanya kurang puas kalau sudah bosan dengan satu warna.
"Emangnya lo nggak pernah lagi direcokin sama abi lo suruh berhijab?" tanya Veby, sekali lagi Veby adalah sosok yang paling waras dan dewasa dalam persahabatan mereka. Bahkan karena kedua orang tua Zahra tak menyukai Zahra bergaul dengan mereka, Veby memutuskan untuk menjadikan rumahnya tempat mereka berkumpul menghabiskan waktu jika ada kesempatan.
Tidak suka tak lantas membuat kedua orang tua Zahra mengusir mereka saat bermain ke rumahnya, namun Veby dan Olla sendiri yang merasakan bagaimana perlakuan kedua orang tua Zahra terhadap mereka. Maka dari itu diputuskan saat mereka akan berkumpul bersama atau bahkan menginap maka tempat yang dipilih adalah rumah Veby.
"Kalau itu mah jangan ditanya, sering banget lah! Terakhir gue warnain ini aja ancamannya mau dibotak." Zahra bercerita dengan nada agak sedih, keluarganya memang sedikit, bukan sedikit lagi tapi memiliki banyak perbedaan dengan keluarga Veby dan Olla, kalau kedua orang tua sahabatnya itu sangat mengerti anaknya, sangat open mindeddengan pergaulan zaman sekarang, kalau kedua orang tua Zahra berbeda, mereka selalu memaksakan kehendak dan ingin sekali Zahra hidup seperti apa yang mereka inginkan.
Beruntung Zahra terlahir menjadi anak perempuan satu-satunya dengan berbagai ancaman yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri, pada akhirnya Zahra bisa hidup sebagaimana yang dia inginkan. Dua saudara laki-laki Zahra juga sangat menyayanginya hingga keduanya tak sanggup untuk bertindak tegas ke Zahra. Pokoknya ada banyak keuntungan yang Zahra dapet hanya karena dia terlahir menjadi anak perempuan satu-satunya.
"Kenapa nggak nurut aja sih lo! Sekarang model hijab juga udah beragam, lo nggak bakal kelihatan tua hanya karena make kain di atas kepala." Tentu saja yang berkata itu adalah Veby, sempat terpikir oleh Zahra tentang hal ini, namun ternyata nafsu setan masih lebih kuat dalam dirinya, bagaimanapun Zahra belum pernah masuk diskotik, dia masih ingin mencicipi kebandalan yang lebih jauh dari ini. Kalau dia berhijab sekarang, akan sangat aneh ketika dia melakukan sesuatu yang menyimpang jauh dari norma agama nantinya. Dan lebih lagi Zahra memiliki keinginan untuk kuliah ke Belanda, dia sangat ingin melihat sejarah Indonesia di salah satu universitas tertua di Leiden.
"Lo kenapa sih Veb, biarin aja sih si Zahra kayak gini, dia kerenan kalau bar-bar, pake hijab nggak cocok banget." Akhirnya Olla menimpali.
"Iya, gue nggak pantes kayaknya," ujar Zahra sembari memakai lipstik warna hitamnya, Zahra memang tipe gadis yang menyukai sesuatu yang dark.
Kemudian Veby hanya mengetikkan bahu, mereka bertiga melanjutkan kegiatan dengan makan siang karena kebetulan makanan sudah datang.
***
Arifin—abi Zahra—sedang duduk bersama kedua anak laki-lakinya. Fatih dan Al, tampak duduk tak nyaman.
"Harus bagaimana lagi mendidik Zahra? Kalian nggak lihat story yang dia bagikan di whatsapp. Anak itu benar-benar sudah tak memiliki rasa malu." Arifin mengurut keningnya sendiri, bisa-bisanya anak gadisnya itu meng-uploadvideo sedang berjoget-joget sambil karaokean.
Fatih menghela napas, menurutnya itu adalah sesuatu yang wajar mengingat adiknya memang masih remaja, namun tentu saja kewajaran itu tak akan pernah sesuai dengan konsep hidup Arifin, semua anak-anaknya harus menjadi anak yang saleh dan salehah.
"Kayaknya Abi nggak perlu terlalu keras sama Zahra, mungkin dia emang nggak bisa kalau dikerasin, coba pelan-pelan ajak dia bicara," ujar Al kalem, laki-laki dua puluh lima tahun tersebut berprofesi sebagai pilot, itu alasan kenapa dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar dan jarang tahu apa yang terjadi di rumah.
"Abi sudah selalu ajak Zahra bicara baik-baik, bahkan Abi tanya maunya apa kalau menurut Abi kemauan dia masuk akal, Abi akan turuti kemauan dia. Mungkin ini juga gara-gara kalian berdua yang selalu memanjakan Zahra!"
Fatih melirik Al kemudian menghela napas. Memang Zahra jadi memiliki banyak uang jajan ya karena mereka berdua, karena keduanya belum menikah dan gaji mereka lumayan besar alhasil mereka berdua sibuk memanjakan Zahra dengan uang karena memang sudah tak tahu lagi uangnya harus dikemanakan.
"Abi nikahkan Zahra, dia sepertinya butuh suami untuk membimbing karena jujur saja Abi udah nggak sanggup mendidiknya lagi," putus Arifin membuat Fatih dan Al kaget setengah mati.
"Ya nggak gitu caranya Bi, biar aja Zahra menikmati masa remajanya dulu nanti dia pasti bakal berubah kok." Fatih berusaha membicara selembut mungkin pada abinya.
"Memangnya kalian berdua dulu waktu remaja begitu? Abi merasa gagal mendidik Zahra!" Arifin berkata penuh emosi membuat Fatih dan Al terdiam.
"Jadi Abi mau menikahkan Zahra sama siapa?" tanya Al, kalau menurut abinya itu adalah yang terbaik mereka berdua mungkin akan ikut saja.
"Andaru."
Kompak dua bersaudara itu membelalakkan mata.
"Abi yakin? Ini bukan masalah Andaru anak supir Abi, tapi mereka berdua masih sama-sama sekolah, Abi yakin Andaru bisa mendidik Zahra?" tanya Al tak percaya, dia tahu Andaru, remaja itu sering berada di rumahnya mengantar Zahra ke mana-mana karena memang kedua orang tua mereka sangat percaya dengan anak itu.
"Sangat yakin, Abi lihat Zahra juga sudah mulai ketergantungan sama Andaru. Anaknya saleh, kalau kalian berdua sibuk Abi sering diskusi keagamaan sama dia, meski masih remaja pemikiran Andaru sangat hebat, selain bisa menjadi imam yang baik untuk Zahra, Abi yakin Andaru juga bisa menjadi partner belajar Zahra yang katanya mau kuliah ke Belanda."
Fatih diam, jujur saja semuanya membuatnya cukup terkejut, namun soal kebaikan Andaru memang tak bisa diragukan lagi, bocah tujuh belas tahun yang tak pernah mengenyam pendidikan pesantren namun mampu menghafal sepuluh juz dalam Al-Qur'an itu sangat luar biasa. Selain abinya, Fatih juga sering berdiskusi dengan Andaru dan menurutnya Andaru memang anak yang pintar.
"Andaru mau?" tanya Fatih, sejauh yang Fatih lihat Andaru tak pernah memikirkan soal perempuan.
"Katanya IsyaAllah kalau Abi percaya sama dia," ujar Arifin.
"Abi nggak bisa memutuskan begitu saja karena ini menyangkut masa depan dua orang manusia, mereka berhak atas hidup mereka." Al yang memang selalu menjadi yang paling logis, pendidikan agama itu penting menurutnya, tapi selagi masih hidup di dunia mereka harus tetap mengejar dunia. Al yakin kalau Andaru hanya sungkan karena ayahnya bekerja dengan Arifin, Andaru tetaplah memiliki masa depan, anak laki-laki tersebut tak mungkin dikorbankan untuk merubah Zahra.
"Abi akan tetap menikahkan Zahra dengan Andaru!! Andaru adalah satu-satunya orang yang tepat untuk Zahra," pungkas Arifin tanpa bantahan.
"Umi gimana?" tanya Fatih perihal pendapat uminya karena bagaimanapun Zahra anak uminya juga.
"Umi ikut abi aja," ujar Yumna selaku umi dari Zahra, Fatih dan Al.
Arifin beranjak dari duduknya diikuti oleh Yumna.
"Kayaknya ini bukan hanya perihal mengubah Zahra, tapi karena Abi emang nggak mau melewatkan kesempatan untuk memiliki menantu seperti Andaru," ujar Fatih menyeruput kopinya.
Al mengangguk setuju dengan pendapat abangnya.
***
Zahra keluar dari taksi online yang mengantarnya ke rumah, gadis itu tersenyum melambaikan tangannya karena kedua temannya masih berada di dalam taksi, saat netranya sudah tak dapat menjangkau mobil barulah Zahra membuka pagar untuk masuk ke dalam rumah.
Namun hawa panas karena pembakaran di tong sampah yang tumben-tumbenan berada di halaman dalam sedikit mengusik Zahra. Gadis itu berniat melangkah saat tiba-tiba sebuah foto polaroid kecil terbang ke hadapannya membuat Zahra refleks mengutip foto yang terbawa angin tersebut.
Zahra membelalakkan matanya terkejut saat mendapati foto salah satu Idol kesukaannya itu berada di luar. Awalnya Zahra ingin masuk begitu saja ke dalam rumah, namun gadis itu menaruh kecurigaan terhadap tong sampah yang tumben-tumbenan malah dibakar bukannya dibiarkan diangkut oleh truk pengangkut sampah.
Melangkah dengan sedikit berlari Zahra mendekati tong tersebut dan betapa terkejutnya dia mendapati yang di dalam tong adalah album dan berbagai barang k-kpop miliknya yang sudah setengah terbakar.
Saat Zahra ingin memasukkan tangannya mengeluarkan benda-benda kesayangannya itu agar tak ludes terbakar seseorang menariknya.
"Ini apa-apaan sih Bang! Ini semua tuh mahal dan Zahra masih suka kenapa dibuang, terus dibakar lagi." Dan detik selanjutnya remaja tujuh belas tahun tersebut menangis, menangisi koleksi barang-barang kesukaannya hangus terbakar. Seketika belanjaannya tergeletak mengenaskan di atas rumput dan tawa bahagia karena menghabiskan waktu dengan teman-temannya satu harian berganti menjadi tangisan memilukan.
***
2. Lamaran Diterima
“Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, hendaklah kamu nikahkan dia, karena kalau engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad).
***
Album Map Of The Soul : 7 beserta segala kelengkapannya, Black Pink In Your Area, album EXO mulai dari Growl sampai Obsession 2019 beberapa album milik Got7, lightstik dan berbagai merchandise k-pop milik Zahra sudah gosong di beberapa bagian. Sekarang yang gadis itu lakukan adalah meratap sembari beberapa kali menghapus air matanya.
Fatih dan Al hanya bisa menyaksikan kesedihan adik mereka tanpa tahu harus bagaimana. Keputusan abi mereka sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.
Zahra mengepalkan tangannya lantas masuk ke dalam rumah untuk menemui abinya yang dia yakini menjadi dalang terbakarnya semua barang-barang kesukaannya itu.
"Abi tau nggak kalau harga barang-barang yang Abi bakar itu mahal? Biii kenapa sih? Kenapa aku nggak boleh ngelakuin apa yang aku suka!!" Zahra langsung mengeluarkan protesnya di depan abinya yang saat itu menonton TV.
"Pertama yang nyuruh kamu beli barang-barang itu siapa?! Setiap manusia akan dikumpulkan dengan seseorang yang mereka idolakan di akhirat kelak. Abi nggak suka kamu suka sama mereka, lebih baik kamu mengidolakan Rasulullah, lebih baik kamu mengidolakan putri Rasulullah yang namanya sama dengan nama kamu Fatimah Az-Zahra." Arifin tampak berusaha untuk tenang, Zahra memang sudah sering membangkang, sudah sering melawan, memberontak, kali ini Arifin tidak ingin terpancing dengan rayuan atau tangisan Zahra, karena dia akan menikahkan Zahra.
"Bi aku punya kehidupan, aku berhak atas hidupku, aku senang melakukan apa yang aku lakukan, kenapa sih Abi gini banget, toh aku nggak pernah ngebuat Abi malu kan?!" Air mata Zahra kembali berjatuhan, dia lelah, lelah dengan standar hidup yang abinya tetapkan.
"Kehidupan seperti apa yang kamu maksud, kamu membuat malu Zahra! Sudah tidak mau sekolah di pesantren! Kelakuan kamu seperti perempuan tidak ada adab, ini apa lagi ini, kamu pikir kamu cantik dengan warna rambut seperti ini?!" Arifin bangkit dari posisi duduknya. Membuat Fatih dan Al jaga-jaga di tempat masing-masing.
"Zahra capek ya Abi atur-atur, Zahra cuma pengen hidup kayak anak-anak normal yang bebas berekspresi!!!" Suara Zahra meninggi membuat Fatih dan Al yang semula menunduk mendengarkan langsung mendongak.
"Jangan kurang ajar sama Abi Ra," ingatkan Fatih.
"Iya! Abi emang harus dihormati iya! Semuanya tentang keputusan Abi! Emang aku nggak boleh menikmati hidupku?!!! Emangnya aku sengaja dilahirkan untuk diatur-atur?! Kalian semua sih kolot! Zaman udah modern masih aja ngatur-ngatur hidup orang lain! Aku capek jadi anak Abi!"
Seketika Zahra menyelesaikan kalimatnya Arifin mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk menampar anaknya yang melawan itu. Namun belum sempat tangan Arifin mendarat di pipi Zahra, Yumna langsung memeluk tubuh Arifin membuat laki-laki paruh baya tersebut mengurungkan niatnya.
Melihat abinya ingin menamparnya membuat Zahra merasa sangat kecewa. Gadis itu langsung beranjak menghentak-hentakkan kakinya menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
"Kamu akan Abi nikahkan!!!"
Zahra langsung menghentikan langkahnya lantas menoleh ke arah abinya, dia mendapati sorot mata serius dari sang abi. Apa lagi ini?
"Abi sudah nggak sanggup lagi mendidik kamu!!"
Memilih menghiraukan hal tersebut Zahra berjalan cepat menuju ke kamarnya. Terserah! Terserah! Zahra sudah jengah hidup di rumah itu!
***
Yumna berjalan menyusuri anak tangga menuju kamar Zahra, sedari berselisih dengan abinya tadi, gadis itu sama sekali belum keluar dari kamarnya.
"Ra, Zahra." Yumna mengetuk pintu kamar Zahra, sudah ketukan ke tiga namun anaknya itu belum juga memberikan tanda kalau akan membukakan pintu.
Iseng Yumna menekan handle pintu dan ternyata kamar tersebut tidak dikunci, ibu tiga anak tersebut langsung masuk ke dalam kamar Zahra karena anaknya masih bergelung dalam selimut padahal di bawah sana ada yang harus ia temui.
"Ra, Zahra, bangun Sayang." Yumna memegang pipi Zahra memilih untuk membangunkan anak itu dengan cara yang lembut.
Zahra menggeliat, kebanyakan menangis membuat matanya sangat sulit terbuka, apalagi matanya sangat bengkak rasanya seperti ada lem perekat antara bawah mata dan kelopaknya.
"Zahra," panggil Yumna sekali lagi.
"Hmmmm, ada apa sih Mi?" tanya Zahra masih dengan mata yang terpejam.
"Cuci muka beres-beres sana, ada orang yang mau ketemu di bawah," jelas Yumna.
Mata Zahra yang semula susah terbuka langsung terbuka sempurna karena kaget. Dia tak memiliki janji dengan siapa pun, lantas siapa yang datang?
Apa jangan-jangan...
"Siapa?" tanya Zahra penasaran dan sedikit curiga.
"Ada seseorang," kata Yumna ingin kalau Zahra melihat langsung ke bawah sana.
Zahra mengerutkan dahinya. "Ada hubungannya sama apa yang abi bilang tadi?" tanya Zahra penuh rasa curiga, tolonglah abinya tak mungkin serius ingin menikahkan bocah tujuh belas tahun seperti dirinya kan? Dua abang Zahra yang jarak usianya jauh dengannya bahkan belum ada yang menikah.
"Iya," jawab Yumna seolah hal ini adalah hal yang sangat biasa.
"Miii..." Zahra tak sanggup berkata-kata.
Yumna mengelus bahu Zahra. "Makanya cuci muka dulu sana dan temuin calon suami kamu."
Zahra langsung tertawa hambar."Mi ini nggak lucu! Umi setuju sama keputusan abi?" tanya Zahra, dia sangat berharap kalau uminya itu akan berada di pihaknya.
"Iya, kamu emang bandel, kayaknya kamu memang butuh seseorang yang bisa membimbing kamu." Dan kini nada bicara Yumna berubah menjadi sewot.
"Ya ampun Mi, aku kan masih SMA, masih sekolah, masih butuh bimbingan orang tua," protes Zahra, gadis itu selalu protes dengan apa pun yang terjadi, tentu saja untuk yang kali ini pun dia juga protes.
"Masih butuh bimbingan orang tua, tapi nggak pernah mau kalau dibimbing. Udah cepet sana cuci muka, dandan yang bener, temuin calon kamu!!!" Yumna berkata tegas membuat Zahra menelan ludahnya susah payah.
Zahra tak mengira kalau ungkapan abinya tadi bisa seserius ini, jujur saja Zahra sama sekali tak kepikiran. Dia malah asik memikirkan barang-barang k-pop-nya yang jadi rusak karena ulah abinya yang sembarangan.
"Zahra nggak mau nikah Mi." Zahra memegang tangan uminya berharap mendapat dukungan. Zahra memang beberapa kali menjalani sebuah hubungan, namun dia juga tak mau kalau harus memulai hubungan yang sangat serius seperti pernikahan ini.
Yumna membebaskan tangannya dari genggaman Zahra. "Umi ikut apa pun keputusan abi." Yumna bangkit dari posisi duduknya lantas berjalan menuju pintu.
Sebelum keluar dia mengatakan, "cepet siap-siap, Umi tunggu di bawah."
Tentu saja Zahra tak mengindahkan apa yang uminya katakan.
Dia hanya mencuci muka lantas turun masih dengan menggunakan seragam sekolah yang sudah kusut dan rambut yang lumayan acak-acakan, semua ini semata-mata agar seseorang yang ingin melamarnya mundur.
Zahra berjalan cepat menuruni tangga, dia sangat penasaran, orang gila mana yang berinisiatif melamar bocah sepertinya?
Dan begitu sampai di ruang tamu dia sangat terkejut karena yang duduk di sana adalah supir abinya beserta keluarga.
Di tempatnya duduk Arifin sudah menghela napas, walaupun dia sudah mengenal baik keluarga Andaru, tetap saja memalukan melihat tampilan Zahra saat ini.
"Oh kirain siapa." Zahra malah melenggang santai, dia sudah bisa mengontrol keterkejutannya, tentu saja yang harus ia temui bukan keluarga Andaru kan?
"Mau ke mana kamu?" tanya Arifin membuat Zahra menghentikan langkahnya.
"Mau minum ke dapur," jawab Zahra santai.
"Ya udah nanti balik sini lagi," ujar Arifin tegas.
"Oke." Meski tak tahu apa tujuannya Zahra tetap ke dapur setelah selesai minum langsung kembali ke ruang tamu.
"Jadi, niat kami ke sini untuk melamar anak Bapak untuk menjadi istri Andaru," ujar Nurdin--ayah Andaru--tanpa basa-basi begitu Zahra mendudukkan dirinya.
"Saya terima lamarannya," ujar Arifin tegas.
Zahra mengedipkan matanya tak percaya, semuanya terjadi secepat itu membuatnya belum sempat mencerna apa yang terjadi.
Lalu semuanya berucap syukur sementara Zahra masih diam di tempatnya. Bibirnya seolah sudah melekat sulit mengeluarkan yang sebenarnya ingin ia keluarkan.
Lalu pembicaraan dilanjut dengan pemilihan hari pernikahan yang akhirnya diputuskan akan dilangsungkan dalam sepuluh hari mendatang karena ada beberapa berkas yang harus diselesaikan.
Pembicaraan selesai, semuanya sudah diputuskan tanpa persetujuan dari Zahra.
"Boleh aku bicara sama Andaru?" tanya Zahra pada semua orang, dia mengenal Andaru mengenal baik bahkan. Tapi tak pernah terpikir oleh Zahra bahwa laki-laki itu akan menjadi suaminya, apalagi dengan umur semuda ini.
Arifin mengizinkan dan semuanya mengangguk. Yang akan menjalaninya adalah Andaru dan Zahra, jadi sepertinya mereka memang butuh ruang untuk saling berkomunikasi.
Zahra berjalan diikuti Andaru di belakangnya. Zahra mengajak Andaru menyingkir sejauh mungkin dari keluarga mereka.
"Maksud lo apa sih? Ru, hidup kita nggak pernah sebercanda ini." Zahra menarik ikat rambutnya sendiri lantas kembali mengumpulkan rambutnya dan mengikatnya.
"Kalau aku bercanda nggak akan ada lamaran buat kamu hari ini," jelas Andaru dengan nada dingin khasnya.
"Lo suka sama gue?" Mereka memang terbiasa bersama, Andaru selalu mengantar Zahra karena memang kedua orang tua Zahra sangat percaya dengan cowok itu.
"Semua ini bukan tentang perasaan."
"Terus lo mau apa? Pernikahan itu cuma sekali seumur hidup, lo nggak bisa memulainya sama orang yang salah!!"
"Mending lo batalin semuanya, kita selesai sampai di sini karena gue nggak bakal pernah percaya lagi sama lo," terang Zahra mengurut keningnya sendiri, semua yang terjadi benar-benar membuat kepalanya sakit.
Andaru menggeleng. "Semuanya akan tetap berjalan sebagaimana yang sudah direncanakan."
***
3. Tak Punya Pilihan
'Beberapa hal memang harus diterima, bukan karena Allah benci, tapi karena mungkin itu adalah yang terbaik.'
De Beste Imam
~Thierogiara
***
Zahra mengurut keningnya, dia tak tahu lagi dengan jalan pikiran abinya yang sangat rumit untuk dimengerti. Bagaimana bisa dia menikah di umur segini dengan seseorang yang juga umurnya sama dengannya.
"Abi yakin mau nikahin Zahra sama Andaru?" tanya Zahra, cita-cita menikah muda tak ada dalam kamusnya, apalagi dengan sosok seperti Andaru.
"Yakin," jawab Arifin tanpa menoleh ke arah Zahra, bagaimanapun dia adalah seorang ayah, bohong kalau dia tak luluh dengan tatapan anak perempuannya.
"Bi! Aku sama Andaru itu beda banget. Dia cuma anak supir dan aku udah biasa hidup enak." Zahra melipat kedua tangannya di depan dada, dia merasa perlu mengungkapkan semua kegelisahan hatinya agar orang tuanya sadar kalau semua ini tak benar.
"Jaga bicara kamu Zahra, siapa yang mengajarkan kamu untuk menilai seseorang dari segi ekonomi?" Yumna angkat bicara, kalau masalah ini maka dia sebagai ibu harus ikut turun tangan.
Zahra mengatupkan bibirnya, apa hidupnya benar-benar sebercanda itu di mata kedua orang tuanya? Kenapa kedua orang tuanya sama sekali tak memikirkan masa depannya, dia masih ingin ke Belanda, dia masih memiliki mimpi untuk belajar di Leiden University. Zahra tak siap dengan pernikahan dan segala permasalahan di dalamnya.
"Aku masih punya masa depan," kata Zahra mulai putus asa.
"Gimana sama kuliah ke Belanda? Gimana sama mimpi-mimpi aku soal sejarah Indonesia di sana? Aku nggak mau nikah Bi, bukan nggak mau tapi nggak bisa." Dan kini Zahra sudah menurunkan emosinya, Zahra berusaha memelas agar abi dan uminya sedikit melunak.
"Kamu pikir kamu akan bisa mencapai itu semua dengan kelakuan kamu yang sekarang? Kamu akan tetap menikah, dengan atau tanpa persetujuanmu," pungkas Arifin masih enggan menatap ke arah Zahra, keputusannya sudah bulat, Zahra harus memiliki sosok yang tepat untuk berada di sampingnya, menggandeng tangannya guna menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Zahra memejamkan matanya. "Kenapa? Aku janji bakal ikutin maunya Abi mulai sekarang, pokoknya aku janji nggak bakal ngelakuin hal yang nggak Abi suka, tapi tolong jangan nikahin Zahra Bi, Zahra nggak mau." Zahra memegang lengan abinya, Arifin menoleh jujur saja dia hampir terpengaruh dengan bujukan Zahra, namun kemudian dia sadar kalau ini adalah yang kesekian kali Zahra mengatakan kalau dia ingin berubah.
"Andaru, adalah sosok yang baik agamanya, ketika Abi memintanya untuk menikah dengan kamu dia menjawab dengan matap kalau dia mau, kamu nggak akan menemukan sosok seperti dia lagi di lain waktu, sebagai ayah, Abi selalu mau kamu mendapatkan yang terbaik." Karena Zahra melunak dan mulai berbicara lembut dengannya, Arifin juga melakukan hal yang sama.
"Umi... " Kini Zahra beralih ke uminya.
"Kalian hanya menikah, kamu akan mendapat bimbingan dari Andaru, tak ada paksaan kamu harus menjalani pernikahan sebagaimana mestinya." Yumna mengelus kepala Zahra lembut.
Merasa sudah tak ada lagi yang bisa ia lakukan, gadis itu memilih bangkit dari duduknya kemudian berjalan cepat menaiki tangga meninggalkan kedua orang tuanya. Zahra kesal tentu saja! Masa depannya terancam terjadi tak sesuai dengan keinginannya. Selamanya dia akan bersama Andaru, hal yang sama sekali tak pernah Zahra bayangkan sebelumnya.
Saat Zahra akan masuk ke kamarnya, matanya tak sengaja menangkap kedua abangnya sedang duduk di balkon. Maka Zahra berbelok, kedua abangnya sangat menyayanginya, Zahra tahu kalau keduanya juga pasti tidak setuju dengan keputusan kedua orang tua mereka.
Zahra mendudukkan dirinya di sebuah bangku kemudian menghela napas lelah.
"Kayaknya di antara kita bertiga, anaknya abi sama umi yang paling nggak beruntung cuma aku," ujar Zahra memulai obrolan, kedua abangnya sudah sukses Fatih adalah sosok ustadz muda yang mengajar di salah satu pesantren, tak hanya itu lelaki dua puluh tujuh tahun tersebut bahkan memiliki sebuah brand busana muslim untuk laki-laki yang relasinya adalah para artis dan celebgram. Sementara Al sudah menjadi kapten penerbangan nasional. Kedua abang Zahra tak pernah dipaksa untuk mengikuti kemauan kedua orang tua mereka. Hanya Zahra! Titik.
"Ngomong apa sih Dek!" tegur Al tak suka.
"Iyalah, kalian yang udah cukup umur nggak pernah tuh direcokin soal pernikahan, kenapa aku yang bahkan nggak ngerti sama dunia itu dipaksa untuk menjalaninya. Dunia itu nggak adil, seharusnya aku emang nggak usah lahir sebagai anaknya abi sama umi, aku nggak cocok di keluarga ini," terang Zahra dengan sorot mata sendu yang amat sulit dijelaskan.
Berbeda dengan Al yang sudah mulai terpancing, Fatih memilih untuk tetap tenang, dia sudah biasa menghadapi murid-muridnya, tak terlalu sulit untuk memahami Zahra.
"Setiap orang tua mau yang terbaik untuk anaknya, abi pilihkan Andaru karena suatu saat mungkin kamu nggak akan menemukan sosok seperti itu, kamu nggak akan menemukan seorang penghafal Qur'an seperti Andaru," terang Fatih, dia sedikit mempermasalahkan umur Zahra yang masih muda, namun dia tak mempermasalahkan soal Andaru, karena Fatih yakin Andaru adalah pengaruh baik untuk Zahra.
"Baaang, tolong bilang sama abi Zahra nggak mau nikah." Kini Zahra memasang pupy eyes ke arah Fatih, dia tahu abangnya sangat menyayanginya, pilihan terakhir adalah membujuk mereka untuk membujuk kedua orang tua.
"Semua ini adalah yang terbaik." Fatih mengelus kepala Zahra penuh cinta.
"Makanya jangan bandel, dibilangin kalau udah tujuh belas tahun udah jangan lagi suka gonta-ganti warna rambut, masih aja bandel!!" omel Al. Dia sudah mewanti-wanti kalau Zahra harus berhenti nakal saat sudah umur 17 tahun, karena ini terkadang abinya mengambil keputusan yang sangat tidak terduga. Umur 17 tahun adalah umur yang sudah cukup dewasa di keluarga mereka, maka menikah di umur segitu tidak akan menjadi masalah, asal dengan orang yang tahu asal usulnya, sudah kenal dan sudah dipastikan siap.
"Ish." Zahra memukul perut Al, abangnya yang satu itu memang sangat menyebalkan. "Tujuh belas tahun aku juga masih remaja, nggak mau nikah umur segini," keluh Zahra.
"Menurut kamu remaja, menurut abi sama umi? Kamu sih bandel banget Ra, mau jadi apa sih?" Al tak habis pikir dengan kelakuan adiknya itu, sering memakai lipstik berwarna hitam menurut Al itu sangat tidak masuk akal.
"Kamu terus berusaha memberontak menunjukkan kenakalan kamu, kamu pikir abi nggak bakal bertindak?"
"Makanya aku bilang aku nggak cocok terlahir di keluarga ini." Zahra melipat kedua tangannya di depan dada lantas kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Mau nyalahin takdir Allah? Sendirinya yang nggak mau berubah, malah mau nyalahin Allah!!!"
Fatih menatap Al lantas menggeleng, Zahra sedang tidak akur dengan kedua orang tua mereka, di saat seperti ini mereka tak boleh membuat hubungan mereka dengan Zahra renggang, nanti siapa lagi tempat Zahra mengadu? Siapa lagi yang akan Zahra dengarkan?
"Aku tuh di sini mau cari pembelaan, selama ini kalian sebenarnya sayangnya cuma pura-pura ya sama aku?" tanya Zahra marah.
"Abang setuju sama abi," ujar Fatih. "Kamu mungkin akan lebih baik jika ada yang membimbing."
"Pura-pura apaan sih." Al mengacak rambut Zahra.
Zahra langsung menghempas tangan Al. "Ish tolongin aku sih!!" kesal Zahra.
"Udahlah nurut aja, kapan lagi kamu dapet yang kayak Andaru," ujar Fatih.
"Ganteng juga kok Andaru," kata Al.
Zahra bangkit dari duduknya menghentakkan kaki lantas pergi dari sana. "Kalian berdua sama aja!!!"
***
4. Apa Pun Itu
'Setiap orang memiliki masa lalu, masa lalumu milikmu dan masa depan adalah milik kita saat kita memutuskan untuk bersama.'
De Beste Imam
~Thierogiara
***
Dengan tangan terkepal Zahra berjalan cepat menyusuri koridor, dia sudah lama menunggu, mulai dari pergi sekolah hingga harus menyelesaikan tiga mata pelajaran, sepanjang pelajaran dia asik memikirkan kalimat-kalimat yang berpotensi membuat Andaru menyerah.
Iya! Sekarang adalah jam istirahat pertama, Zahra akan mendatangi Andaru dan bernegosiasi perihal pernikahan mereka. Tentu saja Zahra tak akan pasrah secepat itu, dia adalah gadis ambisius, Zahra jarang sekali menyerah akan keinginannya.
Setelah sampai di depan kelas Andaru, tanpa sungkan Zahra melongokkan kepalanya di pintu melihat ke dalam kelas. Seperti biasa, Andaru sedang sibuk mencatat sesuatu di buku tulisnya. Zahra menyipitkan matanya, kenapa hanya dia yang sangat khawatir? Andaru kelihatannya biasa saja.
"Andaru!!! Gue mau ngomong!!!" teriak Zahra, bukan hanya Andaru yang menoleh, tapi hampir seluruh siswa dan siswi yang berada di dalam kelas ikut menoleh ke arah Zahra.
Andaru menutup bukunya kemudian berjalan santai menuju Zahra. "Ada apa?" tanyanya dengan wajah tenang.
Zahra tertawa jemawa. "Ikut gue," ujarnya.
Andaru menurut, laki-laki itu mengayunkan kakinya mengikuti langkah Zahra. Berurusan dengan Zahra adalah hal yang lumrah baginya, namun kini Andaru tak bisa sesantai biasanya karena yang akan mereka bahas adalah poin penting dari hidup manusia.
Zahra berhenti di sebuah tempat paling sepi di sekolah mereka. Pembicaraan ini sangat pribadi, Zahra tentu tak mau orang-orang tahu tentang apa yang terjadi dalam hidupnya sekarang ini.
"Apa alasan lo mau nikahin gue?" tanya Zahra to the point, dia masih belum paham dengan tujuan Andaru, sekuat apa pun Zahra menebak-nebak nyatanya ekspresi Andaru yang selalu datar itu tak membuatnya menemukan apa pun.
"Pernikahan itu sunnah."
"Oke lo orang paling saleh di dunia ini, tapi kenapa harus gue. Lo lihat ini." Zahra menunjuk rambutnya sendiri. "Gue nggak pake hijab, gue bukan cewek salehah, ngaji gue terbata-bata, gue cuma kebetulan lahir di keluarga yang religius, nggak ada untungnya nikahin gue."
"Pak Arifin bilang kamu butuh bimbingan." Dan ini yang sangat mengesalkan untuk Zahra, ekspresi datar itu, hal itu seolah sudah melekat pada diri Andaru.
Zahra menghela napasnya. "Emangnya lo mampu ngasih makan gue? Gue ini anak majikan bokap lo, gue nggak biasa hidup susah." Kemudian Zahra meminta maaf pada Andaru dalam hati, sebar-barnya Zahra, dia bukanlah tipe orang yang akan puas setelah merendahkan orang lain.
"Maka aku akan pastikan kamu nggak hidup susah," ujar Andaru, iya Zahra tahu kalau selama ini Andaru bekerja, tapi tetap saja itu tak bisa dijadikan alasan untuknya menerima cowok itu.
"Ru mending lo mundur deh, gue nggak suka sama lo."
"Apa yang akan kita jalani nanti bukan tentang perasaan Ra," kata Andaru, kalau semuanya tentang rasa maka sejak pertama kali Arifin menawarinya untuk menikah dengan Zahra, Andaru akan langsung menolak.
"Jadi apa alasan lo mau nikahin gue?!!!" Zahra sudah mengepalkan tangannya, kesal sekali dengan Andaru.
"Keluarga kamu udah baik banget sama keluargaku."
"Lo bisa balas budi tapi nggak kayak gini caranya!!"
"Aku mau melakukannya dengan cara ini."
Zahra mengangkat tangannya mendekatkannya ke wajah Andaru dengan segenap emosinya, dia geram ingin mencakar wajah Andaru, namun tidak bisa karena ternyata cowok di hadapannya masih tetap tenang di tempatnya.
Zahra mundur satu langkah menjauh dari Andaru. Gadis itu menyugar rambutnya kemudian melipat tangan di depan dada. "Gue ini bukan cewek baik-baik," kata Zahra.
Andaru masih diam menunggu kelanjutan penjelasan Zahra. Andaru sering menjadi supir Zahra, sedikit banyak dia tahu kenakalan yang Zahra lakukan.
"Gue suka gonta-ganti pacar, gue ciuman sama banyak cowok dan kayaknya lo nggak perlu dengar yang lebih jauh soal ini," terang Zahra.
Andaru menunduk, perihal Zahra sering gonta-ganti pacar, Andaru tahu soal itu. Zahra cantik wajar jika banyak laki-laki yang mengajaknya berpacaran. Namun Andaru tak pernah tahu kalau dunia Zahra seliar itu.
"Terus?"
"Ya masa lo mau nikah sama cewek kayak gue, lo rugi kalau nikah sama gue Ru, mending lo mundur aja, bilang sama abi semuanya batal."
Andaru berusaha untuk tetap tenang. Andaru tak pernah main-main saat menerima tawaran Arifin untuk menikahi Zahra, dia sudah memikirkan semuanya matang-matang, tentang dirinya juga tentang masa depan mereka. Andaru tak pernah memprediksi kalau Zahra akan berusaha sekeras ini menggagalkan semuanya. Iya Andaru tahu bahkan sangat tahu tentang status sosial keluarga mereka yang sangat berbeda, tapi bukan dia yang memulai Arifin lah yang memintanya untuk ikut memulai.
"Memangnya itu penting? Ketika menikah kita hanya harus fokus pada masa depan, bukannya terjebak di masa lalu," ujar Andaru masih enggan menyerah.
Zahra menatapnya sinis kemudian melangkah dari sana meninggalkan Andaru, mereka sama-sama ambisius namun jujur saja Zahra akhirnya merasa kalah.
Andaru hanya menghela napas, urusan akan bagaimana nantinya ya mari lihat saja, kalau memang berlanjut Andaru hanya perlu menjabat tangan Arifin lantas mengucap janji di hadapan para saksi disaksikan langsung oleh Allah.
***
Zahra tidak makan, padahal rasanya sangat mustahil gadis itu tak menyentuh makanan di jam istirahat kedua setelah jam istirahat pertama juga tidak makan.
Veby dan Olla saling sikut-menyikut, mereka penasaran namun Zahra sepertinya masih dalam mode tidak bisa ditanyai.
"Ada apa sih Ra." Dan Olla yang lebih dulu tak tahan, toh kalaupun Zahra marah ya sudah mereka hanya perlu untuk tak saling menyapa lantas memperbaiki keadaan setelahnya.
"Abi lo marah lagi?" tanya Veby yang akhirnya memutuskan untuk ikut-ikutan bertanya. Sudah lumrah jika Zahra berselisih dengan abinya, Zahra pembangkang, Veby dan Olla tahu itu.
"Lebih parah dari itu," kata Zahra.
"Maksudnya? Lo diusir dari rumah?" tanya Olla mulai panik, kalau Zahra sampai diusir berarti dia harus rela keluarganya mengikuti alur drama Zahra, karena pasti Zahra akan kabur ke rumahnya.
"Nggak! Gue nggak bisa jelasin sama kalian, pokoknya gue kesel, gue benci, tapi gue juga nggak tau lagi harus gimana. Apa gue kabur aja?"
"Kenapa sih? Lo disuruh potong rambut? Di suruh pake baju ketutup? Ya turutin aja sih kayak biasanya, entar lama-lama juga balik lagi kayak semula," ujar Veby, terkadang karena malas mendengar omelan abinya, Zahra memang mengikuti kemauannya, kemudian setelah beberapa saat dia akan kembali seperti sedia kala. Tapi yang ini beda, sekalipun dia mengikuti keinginan abinya, keadaan tak akan pernah kembali sebab Andaru sudah mengikatnya dengan sebuah janji di hadapan saksi.
"Nggak semudah itu." Zahra lantas menjatuhkan kepalanya ke atas meja, memeluk kepalanya dengan tangan, dia tak akan menjelaskan apa pun, pada siapa pun.
***
5. Rencana Gila Zahra
'Seburuk apa pun kamu aku yakin bahwa jodoh adalah cerminan diri, yang perlu kulakukan adalah terus memperbaiki diri, agar dirimu juga ikut menjadi baik.'
Andaru~
De Beste Imam
~Thierogiara
***
Zahra berjalan ke sana kemari mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Dia masih belum menerima atau bahkan tak akan pernah menerima. Sekarang bukan tentang status sosialnya yang jauh berbeda dengan Andaru, lebih dari itu Zahra sangat memusingkan soal masa depannya, soal kuliah ke Leiden University yang sudah lama ia impi-impikan. Menikah sama sekali tak ada dalam list sesuatu yang ingin Zahra lakukan dalam waktu dekat. Zahra tak siap dengan semuanya, dia terlalu dini untuk menjadi tempat Andaru pulang. Semua ini bukan hanya soal dirinya, Zahra juga memikirkan masa depan Andaru, mereka berdua tak boleh berhenti kemudian putar haluan di sini.
Ponsel Zahra berdenting, tanda sebuah pesan masuk, dengan malas-malasan gadis itu mengeluarkannya dari dalam saku celana.
Andaru :
'Mau pulang bareng?'
Zahra menarik sudut bibirnya sedikit tersenyum, bagaimana bisa Andaru sesantai itu? Sudah biasa memang cowok itu menawari Zahra untuk pulang bersama, namun keadaannya sedang berbeda, kenapa hanya Zahra yang geregetan?
Zahra memejamkan matanya lantas membalas.
Zahra :
'Iya.'
Zahra menyambar tasnya kemudian berjalan keluar kelas. Saat sampai di luar mendapati seorang teman sekelasnya yang paling tampan sedang bermain ponsel membuat Zahra kepikiran sesuatu.
"Ma, lo mau nolongin gue nggak?" Zahra menepuk bahu Tama membuat remaja yang semula menunduk itu mengangkat kepalanya untuk memastikan.
Tama melepas earphone yang masih terpasang di telinganya. "Nolongin apa?" tanya Tama dengan alis berkerutnya.
"Nanti kalau Andaru dateng pura-pura peluk gue, dia suka sama gue dan gue bingung harus gimana, mau langsung nolak tapi nggak enak," terang Zahra.
"Lah bukannya kalian selama ini emang ada hubungan?"
"Idih kata siapa?"
"Ya lo sama dia kan sering ke mana-mana bareng, kata orang tipe cowok alim kayak Andaru sekalinya peduli sama cewek kemungkinannya ya cuma satu, dia suka banget sama tuh cewek." Tama menerangkan membuat Zahra menganga, kesimpulan bodoh macam itu? Mereka selalu bersama karena Andaru memang bekerja untuk orang tuanya.
"Iiih enggak, kita nggak ada hubungan apa-apa!!"
"Hahaha!! Nggak usah menjelaskan sama gue Ra, gue nggak naksir sama lo. Tadi lo bilang dia suka sama lo kan? Berarti gosip nggak sepenuhnya salah," ujar Tama dengan senyum manisnya yang selalu mampu meluluh lantahkan hati para gadis.
"Jadi mau bantuin gue nggak?" Zahra memilih mengalihkan pembicaraan, dia enggan terlalu memikirkan apa yang Tama katakan, perihal Andaru menyukainya tentu saja dia berbohong, selama ini cowok itu tak pernah menunjukkan tanda-tanda itu, bahkan ketertarikan akan wanita pun tak pernah Zahra lihat dalam diri Andaru.
"Ya udah gue bantuin, cuma peluk ini, lebih dari itu juga gue mau."
Zahra langsung memukul perut Tama yang bicara sembarangan. "Awas aja lo macem-macem!!!" ancam Zahra.
Tama tertawa namun tetap memegangi perutnya.
"Eh ada suara langkah kaki, cepetan." Tama langsung memposisikan dirinya di hadapan Zahra kemudian tanpa sungkan melingkarkan tangannya pada pinggang gadis itu, demi sebuah peran Tama sampai menempelkan dagunya ke bahu Zahra.
Zahra mengelus punggung Tama, sampai saat Andaru muncul dari balik belokkan, Zahra pura-pura terkejut dan Andaru yang dia harapkan juga akan terkejut hanya menampilkan ekspresi datar.
Zahra membelalakkan matanya lantas melambia-lambaikan tangan menyuruh Andaru mundur dan meninggalkannya berdua dengan Tama.
"Katanya mau pulang bareng." Bukannya pergi Andaru malah mengatakan hal tersebut membuat Zahra kesal setengah mati, dia sangat ingin menggerawuk ekspresi datar yang Andaru tampilkan.
Tama yang sudah kadung menjiwai peran menolehkan kepalanya, perlahan cowok yang tingginya hampir sama dengan Andaru tersebut melepaskan tangannya dari tubuh Zahra.
"Haish, lo nggak punya kerjaan lain selain ganggu orang?" tanya Tama, Zahra sudah mewanti-wanti dalam hati kalau Tama tak akan membawa serius drama ini, mereka tak boleh bertengkar karena dirinya.
"Zahra mau pulang sama aku," ungkap Andaru menatap Zahra serius berharap kalau gadis yang kini sedang salah tingkah itu membalas tatapannya juga.
Tama tertawa jumawa. "Nggak perlu, dia bisa pulang sama gue."
Andaru lantas mengeluarkan ponselnya, mengutak-atik sebentar lantas memperlihatkannya pada Tama. Tama terdiam membaca chat Andaru dan Zahra.
"Ayo pulang," ajak Andaru.
"Lo nggak perlu repot-repot ngurusin cewek gue." Tama masih berusaha menahan kepergian Andaru dan Zahra, Zahra sedikit bangga sebab teman sekelasnya itu benar-benar masuk ke dalam permainan.
"Dia calon istriku," kata Andaru singkat namun mampu membuat Tama bungkam. "Ayo," ajak Andaru pada Zahra.
Andaru jalan terlebih dahulu meninggalkan Zahra di belakangnya.
"Jangan dengerin dia Ma, dia cuma bercanda, gue duluan ya," pamit Zahra menepuk bahu Tama, buru-buru gadis itu mengejar Andaru menyamai langkah Andaru.
"Kenapa lo bilang gitu sama Tama?" Zahra berusaha sangat keras menyamai langkah Andaru.
"Ya biar dia tau," ujar Andaru santai.
Zahra menghentikan langkahnya.
"Iiih nyebelin banget sih lo!!!" Setelah puas menghentakkan kakinya, Zahra kembali berjalan menyusul Andaru.
"Kata umimu kamu harus pulang cepat ada keperluan katanya." Andaru memberitahu sambil memasang helm ke kepalanya.
"Bodo amat!!" Zahra malah ngambek ala-ala cewek.
Dengan menghela napas, Andaru memasangkan helm ke kepala calon istrinya itu.
Untungnya begitu naik ke atas motor, dia tak perlu memaksa Zahra karena gadis itu naik dengan sendirinya. Di saat seperti ini Zahra malah memiliki ide jahil lainnya.
"Gue calon istri lo kan? Yang kayak gini mah nggak apa-apa." Dengan santainya Zahra menempelkan pipinya ke punggung Andaru, sementara tangannya sudah melingkar sempurna di perut cowok itu.
"Masih calon belum sah, yang kayak gini tetap nggak boleh, berdosa Zahra!!"
Zahra sama sekali tak mengindahkan perkataan Andaru. Gadis itu tak bergeming dia membiarkan tangannya melingkar di perut Andaru, lihat akan sekuat apa Andaru mengatur kekesalannya.
"Nggak ada yang bisa menjamin kita selamat sampai rumah, memangnya kamu mau meninggal dalam keadaan berdosa?"
"Kenapa sih lo dosa mulu! Masih muda perasaan," kata Zahra sebal, gadis itu akhirnya menarik tangannya.
"Kematian itu nggak mengenal usia, tua muda, siap atau tidak siap, semuanya rahasia Allah, Allah sudah menetapkan ketentuan untuk hambanya, setiap manusia pasti mati."
"Iya deh iya." Dan Andaru baru menjalankan motornya dengan tenang. Haruskah Zahra merasa bersyukur? Andaru sangat baik, tapi tipe ideal Zahra bukanlah cowok baik-baik.
Lima belas menit yang penuh suara angin itu akhirnya berlalu, Zahra dan Andaru sampai di rumah Zahra. Tanpa menunggu Andaru, gadis itu lebih dulu masuk ke dalam rumah.
"Siap-siap jangan lama-lama, habis ini kita ke butik fitting baju akad kamu," pesan Yumna begitu Zahra masuk ke dalam rumah.
"Harus banget ya?" Zahra melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ya haruslah, pernikahan itu sekali seumur hidup, memangnya kamu mau pernikahan kamu nggak berkesan?" tanya Yumna yang berdiri di bawah.
Zahra yang berada di anak tangga paling atas mengembuskan napasnya, lelah sekali terus-terusan mengikuti kemauan kedua orang tuanya. "Bahkan pernikahan itu sendiri bukan sesuatu yang spesial buat aku." Gadis itu kemudian melangkah menuju kamarnya untuk berganti pakaian.
Yumna menggeleng-gelengkan kepalanya, dia sendiri sebenarnya bukan tidak sayang dengan Zahra, bahkan dia sangat sayang dengan anak perempuannya itu, namun ini semua lebih kepada Yumna ingin Zahra menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Gadis itu sudah terlalu sepele dengan apa yang kedua orang tuanya sampaikan, maka dibutuhkan orang lain yang lebih tegas untuk merubah sikap Zahra, untuk memperbaiki apa yang sempat salah dengan gadis itu.
Sepuluh menit kemudian Zahra turun ke lantai satu sudah rapi dengan baju yang lebih bagus.
Dia melangkah begitu saja meninggalkan uminya yang sedang menunggunya di depan TV. Zahra berjalan cepat menuju halaman kemudian masuk ke dalam mobil.
"Andaru kan yang nyetir, kamu duduk di depan dong," ujar Yumna dari kaca.
Malas berdebat, Zahra memilih keluar dari mobil kemudian pindah duduk di samping Andaru yang tampak tenang di balik kemudi.
Kemudian Yumna naik di kursi penumpang belakang. Perjalanan diisi dengan keheningan, bahkan sampai tempat fitting Zahra tampak tak berbicara sama sekali, hanya Andaru yang sesekali mengobrol dengan Yumna. Zahra tak tertarik dengan apa pun.
Zahra berjalan mengikuti uminya yang kemudian diikuti Andaru di belakangnya.
Seorang palayan toko menyambut mereka kemudian menggiring ketiganya ke suatu tempat yang sudah dijanjikan. Sebelum ini Yumna memang sudah membuat janji dengan pemilik butik.
"Selamat datang," kata Kamila selaku pemilik butik.
"Siapa yang mau menikah Yum?" tanya wanita berkerudung yang tampilannya kurang lebih sama dengan Yumna itu.
"Zahra, kan aku udah bilang kemarin Mil," ujar Yumna memberitahu.
"Zahra anak kamu yang paling kecil?" tanya Kamila agak terkejut.
"Iyalah emangnya Zahra yang mana lagi?"
"Lah aku malah ngira kalau calonnya Fatih atau Al itu namanya Zahra juga. Emangnya Zahra udah selesai sekolahnya?" tanya Kamila heran, terakhir dia dan Yumna sama-sama mendaftarkan anak mereka ke SMA Pengubah Bangsa, tak mungkin anaknya belum tamat tapi Zahra sudah tamat kan?
"Belum Mil, Zahra tuh bandel banget dan kamu tau sendiri kan Arifin gimana? Aku ikut keputusan dia aja, nggak mungkin abinya nggak ngasih yang terbaik buat Zahra." Yumna tersenyum sambil membelai-belai kepala Zahra.
Kini Kamila beralih menatap Zahra, kemudian teman baik Yumna itu mengangguk, iya dari tampilannya pun Kamila bisa menebak seperti apa Zahra.
"Ya udah yuk Ra, dan... " Kamila menggantung kalimatnya meminta Andaru meneruskan.
"Andaru Tante," ucap Andaru sembari menyalami tangan Kamila.
Kamila mengangguk lantas menepuk pundak Andaru memintanya untuk ikut.
Andaru dan Zahra di bawa ke sebuah ruangan kemudian dititipkan pada karyawan Kamila untuk diukur tubuhnya.
"Kalian berdua mau menikah?" tanya salah satu perancang busana butik Kamila.
"Iya," jawab Andaru karena Zahra tampak enggan menjawab.
"Yakin?" tanya Deby karena sepenampakannya dua orang di depannya ini sangat muda.
"Iya, gila kan orang tua gue," kata Zahra tanpa pikir panjang.
Andaru menoleh dan sadar bahwa benar-benar ada yang perlu diperbaiki dalam diri Zahra.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
