Kita yang Beda - Part 3

7
4
Deskripsi

maaf ya baru bisa update, minggu lalu author lagi kurang fit. Semoga tulisan ini bisa menemani weekend kalian ya😊

Setelah lama dibuat penasaran, sosok pria misterius akhirnya terungkap. Rain dibuat sangat terkejut ketika mengetahui sosok pria yang selama ini membuatnya berdebar, ternyata orang yang tak dikenali namun sangat dekat dengannya.

Author

Suara dering telpon membangunkan Rain yang tidurnya mulai pulas, Rain meraih ponselnya sambil menyipitkan mata menatap layar ponsel yang silau. Tertulis nama pria misterius itu disana 'cowo absurd', Rain menyentuh tombol hijaunya hendak menggeser untuk mengangkat panggilan itu. Namun Rain berubah fikiran seketika, menutup mukanya dengan selimut dengan ponsel masih digenggamannya,

“aaaaah, nyebelin banget si, kenapa baru telpon sekarang coba" 

Rain setengah berteriak sambil menghentak-hentakkan kakinya di kasur. Rain kembali menatap ponselnya begitu dering ponselnya berhenti, pukul 23.03 terlihat pada layar ponsel. Ada satu panggilan tak terjawab dari pria misterius itu di  layar ponsel Rain. Tiba-tiba posel Rain berdering lagi, untuk pertama kalinya pria itu menelpon Rain hingga dua kali.

“Loh, kok telpon lagi. Biasanya kalo ga diangkat kan ga telpon lagi, apa ada  yang penting kali ya. Aduuh, angkat ga yaaa..”

Rain berpikir ulang, menimbang apa sebaiknya dia mengangkat telpon pria itu atau tidak. 

“Hallo Rain” Rain akhirnya memutuskan untuk mengangkat telpon itu.

“Hmmm” jawab Rain singkat, jelas berusaha menutupi rasa bahagianya karena mendapat telpon dari pria itu.

“Maaf, apa aku terlalu malam menelponmu Rain?”

Rain kembali menatap ponselnya, pukul 23.07, meyakinkan diri bahwa memang sudah mulai larut.

“Mhmm”

“Apa aku mengganggu tidurmu, maaf sebaiknya ku matikan telfonnya sekarang”

“haa, aah ngga, ga apa-apa kok” Rain buru-buru menanggapi, tak mau pria itu mematikan telfonnya begitu saja.

Lagi pula Rain sudah terlanjur bangun karena telfon itu, dan sejujurnya dia memang menunggu telfon dari pria itu dari tadi, hanya saja Rain masih belum bisa menyadari perasaannya sendiri.

“oh syukurlah, maaf ya Rain aku baru bisa menelpon sekarang. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan dulu tadi”

“yaaa, ga masalah. Lagian aku besok juga ga ada kegiatan pagi, jadi besok bangun kesianganpun ga masalah. hahhah"

Rain tertawa kecil, membuat pria dibalik telfon tersenyum. Kali ini senyuman itu tidak di balik masker lagi, pria itu tengah beristirahat di satu ruangan yang hanya ada dia sendiri di dalamnya, jadi masker bukan lagi  suatu kewajiban.

“Rain, kapan kamu ada waktu luang? aku mau ngajak kamu keluar, apa kamu mau?”

Rain tercekat, lagi-lagi jantungnya berdetak lebih cepat. Rain berdebar membayangkan akan bertemu dengan pria yang mulai mengisi harinya dan sejujurnya juga mulai mengisi hatinya itu.
Rain berfikir, menimbang dan meyakinkan dirinya bahwa dia belum siap untuk bertemu dengan pria itu. Rain masih terlalu gugup dan berdebar untuk bisa bertemu dengannya. Meskipun Rain sudah terbiasa bertemu dengan banyak orang yang tak dikenalinya untuk sesi curhat, namun yang ini berbeda , pria ini mampu membuat Rain berdebar dan tersenyum bahkan sebelum sempat mengenalnnya.

“Kamu tau sendiri kan, aku hanya tinggal menyusun skripsiku. Itu artinya aku selalu free setiap hari kecuali di jadwal siaranku atau ketika ada pendengar yang membuat janji temu untuk curhat. Hanya saja aku terlalu mager buat keluar dari kamar” ucap rain terkekeh, yang sebenarnya hanya tawa yang dipaksakan.

“Hmm, ok. Bagaimana kalau minggu depan?”

Rain terkejut, lagi. Pria itu selalu saja berhasil membuat Rain terkejut dan membuat jantungnya berdetak lebih cepat seperti usai lomba lari. 

“apanya minggu depan?" Rain sengaja berpura-pura tidak mengerti untuk mengundur waktu agar dia dapat berpikir.

“Rain, apa kamu mau bertemu denganku minggu depan? kebetulan aku libur hari selasa minggu depan. Terserah kamu mau kemana aja, nemenin kamu bikin skripsipun juga tidak masalah”

“aaaa, aku ga ada kegiatan sih minggu depan, tapi aku ga bisa janji. Siapa tau ada keperluan mendadak”

“Ok, aku anggap itu sebagai, ya. Mau aku jemput dimana?

“haa, kan aku bilang ga janji” Rain sedikit panik

“iya, ga masalah. Kalo nanti akhirnya harus dibatalkan juga tidak apa-apa”

“hmm, okey kalo gitu. Tapi ga usah jemput deh”

“jadi, mau bertemu dimana?"

“Bagaimana kalo di perpusnas? aku mau cari literatur buat skripsiku”

Gadis itu memilih tempat yang tak biasa dipilih manusia normal untuk pertemuan pertama dengan seorang pria. Namun pria itupun tak keberatan sama sekali, justru dia senang karena Rain mau meluangkan waktu untuknya.

“Ok, jam berapa?”

“Jam 10 pagi gimana? soalnya sore aku juga harus siap-siap untuk siaran”

“siap, jam 10 pagi di perpusnas” pria itu memastikan, suaranya terdengar bersemangat.

“okeyy” Rain tersenyum, dia tak bisa berhenti berdebar membayangkan akan bagaimana pertemuannya nanti.

“terimakasih Rain, sebaiknya sekarang kamu tidur, tidak baik tidur terlalu larut. Maaf aku membuatmu masih terbangun malam-malam begini, aku tidak bisa menahan untuk tidak menelponmu Rain”

Rain hanya diam, pipinya memerah mendengar ucapan pria itu. Sesungguhnya Rainpun susah payah menahan dan meyakinkan diri bahwa Ia tak menunggu telfon dari pria itu.

“Ok Rain, aku matikan telfonnya ya. kamu tidur ya Rain”

“hmm, ok”

***

Author

“Lu serius Rain, tapi kenapa mesti di perpusnas sih?” Vania berseru tidak percaya dengan tempat yang dipilih Rain.

Rain menelpon Vania keesokan paginya, dia tak mau terlalu banyak menumpuk hutang cerita pada temannya itu. Rain hanya tertawa, tawa yang terdengar menyebalkan oleh Vania. Karena sebenarnya Rain sendiri bingung harus kemana, karena memang gadis itu tak terbiasa untuk pertemuan dengan seorang pria.

“malah ketawa lagi. Ih rain, dari sekian banyak tempat yang keren dan oke buat ketemuan, kenapa harus perpustakaan cobaa?” Vania gemas dengan tingkah temannya.

“Ya mau gimana lagi. Gua ga punya ide, kebetulan aja dia bilang nemenin gua skripsian juga ga apa-apa. Yaudah sekalian aja gua ajak ke perpus buat nyari literatur” 

Tawa Rain semakin  kencang begitu menyadari bahwa dirinya memang sekonyol itu. Dari sekian banyak tempat yang lebih bisa dipilih seperti cafe, taman atau tempat lainnya, gadis ini justru memilih perpustakaan. Tempat yang penuh dengan tumpukan buku dan dilarang berisik.

“aaaahhh Rain, bener deh gua ga habis fikir sama lu” Vania semakin gemas dengan temannya.

“Yaudah sih Van, kan yang penting gua mau di ajak ketemu sama dia. Lu juga penasaran kan siapa orangnya?”

“ok ok, iya gua juga penasaran banget siapa cowok yang bisa bikin temen gua yang mati rasa jadi bisa ngerasain lagi apa itu cinta”

“Dih apaan si Van, siapa juga yang suka sama dia. Kenal juga kaga” Rain buru-buru merevisi kalimat Vania, sementara pipinya mulia merah dan memanas. Beruntung Vania tak dapat melihatnya karena mereka tidak sedang video call, jika Vania melihatnya gagal sudah usaha Rain meyakinkan dirinya bahwa ia hanya sebatas penasaran.

“udah ah Van, gua mau lanjut tidur lagi deh”

“Yaudah, lagian lu telpon gua pagi banget, masih jam setengah tujuh ini”

“ya kan mumpung gua bangun dan inget, daripada ntar lupa lu malah nuntut gua lagi gara-gara ga cerita sama lu”

“Yaudah deh, daah” Vania menutup telpon

Rain kembali melanjutkan tidurnya, matanya terlalu berat karena jam tidurnya berkurang semalam. Setelah pria itu mematikan telfonnya justru Rain tidak bisa tidur, kepalanya sibuk memikirkan tentang pria itu, pertemuannya minggu depan dan menebak-nebak alur ceritanya akan seperti apa selanjutnya.

Rain terbangun pukul 12.01 karena suara dering dari panggilan pria itu. Dia kembali memenuhi kunjungan rutin hariannya. Rain membuka mata, menatap layar ponsel dan tersenyum begitu melihat nama pria itu disana. cowo absurd tertulis sedang memanggil di layar ponselnya.

“Hallo”

“Siang Rain, baru bangun?”

“haa, kamu tau dari mana?” Pria itu selalu saja membuat Rain terkejut, dia selalu saja tahu tentang Rain. Ya tebakannya selalu benar, jika memang dia hanya menebak.

“Suaramu jelas suara orang bangun tidur Rain." pria itu tertawa renyah,Rain ikut tertawa, sadar pertanyaannya itu cukup konyol.

“Jadi tak ada kegiatan hari ini?”

“Sejauh ini belum” jawab Rain singkat.

“Ada perubahan rencana untuk pertemuan kita? apa ada jadwal lain yang harus kamu penuhi di hari  yang sama?"

“ah, sejauh ini tidak”

“syukurlah, aku sedang menghitung mundur untuk pertemuan kita” ucap pria itu, dia tersenyum dari balik maskernya. Senyum yang nantinya membuat Rain selalu merindu, senyum yang nantinya membuat hidup Rain berubah dalam banyak hal.

“Ok Rain, aku harus kembali bekerja. Nanti akan ku telfon lagi seperti biasa, daah Rain”

“Ok, daah”

Kali ini Rain sempat menjawab sebelum telfon itu ditutup. Rain tersenyum, entah dari mana datangnya kebahagiaan itu. Hidup Rain yang kemarin datar, kini penuh warna. 
Rain bangun dari tempat tidur, hendak berjalan ke kamar mandi. Namun kepalanya terasa pusing, membuatnya hampir saja terjatuh, Rain buru-buru menumpukan tangannya pada dinding kamarnya dan perlahan  kembali duduk di kasur.
Rain baru menyadari bahwa badannya terasa sedikit memanas.

Rain kembali merebahkan badannya, senyumnya tadi sudah menghilang. Tubuhnya terasa lemas, mungkin karena efek nyaris tidak tidur semalaman, Rain baru tidur tadi ketika usai subuh dan sudah terbangun lagi sebelum setengah tujuh dan memilih untuk menelpon Vania.

Rain memejamkan matanya, nafasnya juga mulai terasa panas. Beberapa menit kemudian Rain mengambil minum dari meja di samping kasurnya, Rain menghabiskan langsung satu gelas air minum itu. Rain kembali merebahkan tubuhnya di kasur, memejamkan mata, berharap bisa sedikit membuatnya membaik, tapi tubuhnya semakin terasa lemas.

Rain meraih ponselnya, menelpon Novi untuk memintanya menghandle sift Rain hari ini. Rain memutuskan untuk tidak masuk kerja dan beristirahat di kamarnya, karena Ia takkan kuat untuk berangkat kerja dan siaran dengan keadaan seperti itu.

***

Author

Pukul 18.02 ponsel Rain berdering, kunjungan kedua pria itu. Rain masih tertidur, tak biasanya Rain tidak terbangun ketiaka ponselnya berdering. Dering ponselnya berhenti, tertulis satu panggilan tidak terjawab dari cowo absurd di layar ponselnya yang mulai meredup.

Pria itu terus menelpon Rain hingga meniggalkan delapan panggilan tak terjawab di layar posel Rain. Rain terbangun tepat di dering terakhir panggilan ke delapan itu. Rain meraih ponselnya, menatap layar bertuliskan ‘8 panggilan tak terjawab’ dari cowo absurd.

Rain memicingkan matanya, kepalanya masih terasa pusing, nafasnya masih mamanas di tenggorokan. Akhirnya Rain menyentuh layar ponselnya dan memutuskan untuk menelpon balik pria itu. Menakjubkan, telpon Rain langsung di angkat bahkan ketika nada sambung pertamanya belum selesai.

“Hallo Rain, kamu baik-baik saja?"

“hmm, iya, kenapa?” Rain menjawab, suaranya terdengar sedikit lemah. Padahal sebenarnya Rain bingung bagaimana pria itu bisa menanyakan kondisi Rain disaat dia memang tidak baik-baik saja. Seolah dia tau bahwa Rain sedang sakit.

“Rain, suaramu berbeda. Apa kamu sakit?”

“ah tidak, hanya sedikit tidak enak badan”

“sudah minum obat? Apa kamu sudah makan? Atau mau ku antar ke dokter?”

Pria itu bahkan membuat Rain tersenyum meski Ia sedang sakit

“hahaha, aku cuma ga enak badan kok. aku ga sakit, jadi ga perlu ke dokter, nanti juga sembuh” Rain tertawa kecil, namun terdengar seperti dipaksakan di balik suaranya yang lemah.

“Raainn, ayo laah”

“apa?”

“Boleh aku minta alamatmu?”

“Buat apa?” Rain sedikit terkejut

“Jangan khawatir, aku hanya ingin memesan makanan utukmu”

“terimakasih, tapi aku rasa tidak usah. Terlalu merepotkan” 

“Sama sekali tidak merepotkan Rain. Apa aku harus cari tau sendiri? Kamu tahu kan aku selalu bisa mencari tahu apapun tentangmu?"

“ga usaaah, terimakasih untuk niat baiknya”

“Oh baiklah, kalau begitu aku yang akan cari tau sendiri”

“Aaah jangan-jangan. Ia akan aku kirimkan alamatku, tapi hanya untuk memesan makanan, tidak lebih tidak kurang dan aku tidak menerima kunjungan tamu” 

Rain buru-buru menjawab, khawatir pria itu akan menanyakan alamat Rain pada teman-teman Rain yang mungkin saja dia tau. Dan bisa-bisa akan jadi perbincangan nantinya, padahal Rain sendiri belum mengerti apa dan bagaimana yang terjadi di antara mereka sebenarnya.

“ok, aku tunggu sekarang. telfonnya aku matikan dulu ya, nanti kamu harus menelfonku lagi setelah makanannya sampai, ok?”

“hmm, baiklah”

Telfon itu terputus, Rain mulai mengetikkan alamatnya untuk dikirimkan pada pria itu.

“Hanya makanan, tidak lebih” Rain menambahkan di ujung pesannya

“Badanmu panas? atau tenggorokanmu sakit, pusing, atau sakit kepala?” pria itu membalas dengan pertanyaan seperti seorang dokter

“kenapa?”

“Agar aku tak salah memesan obat”

“tidak usaaaah”

“jawab saja Rain, kecuali kamu mau minum obat yang salah"

“panas, pusing, sedikit lemas” Rain mengetikkan tanpa kata tambahan, jelas mulai terlihat tingkah juteknya.

Pria itu justru tersenyum dari balik maskernya, sambil mengetikkan balasan untuk pesan Rain

“Ok”

Rain tersenyum meski merasa kesal, karna secara tidak langsung Ia dipaksa menjawab pertanyaan-pertanyaan pria itu. Namun di balik senyumnya  yang lemah itu terlihat jelas kebahagiaan di matanya, mata gadis itu selalu berbinar semenjak pria misterius itu memasuki hidupnya.

Pukul 18.48 telpon Rain berdering, panggilan dari nomor tak dikenal. Rain segera mengangkatnya, itu telpon dari driver yang mengantarkan makanan untuknya. Rain melangkah lemas keluar kamarnya dan mengambil pesanan itu ke depan.

Rain kembali ke kamar, duduk di pinggir kasur yang menghadap ke meja. Rain meletakkan kantong yang baru saja Ia ambil di atas meja dan membukanya. Satu cup coklat hangat, satu box ayam bakar lengkap dengan nasinya, satu botol air mineral ukuran satu setengah liter, juga 2 strip obat penurun panas dan pereda nyeri.

Rain tersenyum, untuk pertama kalinya Ia merasa begitu berharga dan istimewa. Perlahan gadis itu mulai meminum coklat hangatnya, kemudian Ia teringat untuk menelpon pria itu. Rain meraih ponselnya, membuka whatsApp, membuka kontak bertuliskan cowo absurd untuk kemudian menyentuh tombol berwarna hijau itu.

Tak lama, hanya satu kalli nada sambung telfon Rain sudah diangkat pria di seberang sana.

“Hallo Rain”

“hmm iya, makasih ya”

“untuk?"

“semuanya” jawab Rain ragu-ragu

“haha, apa Raaain? apanya yang semuanya?” pria itu tertawa kecil

“Iyaaa semua kebaikan kamu, pertama kamu pernah tanpa sengaja membangunkan aku disaat aku hampir telat berangkat kerja. kedua kamu mengirimkan makanan dan minuman saat aku berangkat kerja lebih awal hari itu. yaaa, meski aku tak tau kenapa kamu bisa tahu aku disana. Dan ketiga kamu mengirimkan aku makanan dan obat hari ini, yang sejujurnya kau memang belum makan apa-apa sejak tadi pagi, karena sepanjang hari aku hanya tidur”

Pria itu tertawa kecil di balik maskernya, begitu gemas dengan gadis yang terlalu polos merincikan semua hal kecil yang sempat Ia lakukan.

“Yaampuun Rain, harus sedetail itu? Ga perlu berterimakasih, aku melakukan sesuatu karena aku senang melakukannya”

“kamu  senang melakukannya?”

“Ya, aku senang jika kamu senang”

Rain tersenyum, pipinya merona. Ucapan pria itu terdengar begitu tulus, sama sekali tak ada nada godaan ataupun rayuan di dalamnya.

“Ok, sekarang kamu makan dan minum obatnya ya. Nanti aku telfon lagi di jam kujunganku”

“hmm, ok”

Telfon itu di tutup, Rain melanjutkan makannya, menghabiskan coklat hangatnya, kemudian meminum obatnya. Usai meminum obatnya Rain bersandar pada bantal yang sudah ditatanya bersandarkan dinding di atas kasurnya. Rain meluruskan kaki, tersenyum mengingat semua hal yang dilkukan pria itu. Bagaimana Ia perlahan mulai mengubah banyak hal dalam hidup Rain.

Efek obat itu mulai terasa, Rain mulai merasakan kantuk dan perlahan tertidur. 
Sesuai janjinya, pria itu menelpon Rain tepat pukul sepuluh malam. Rain langsung terbangun begitu mendengar suara dering dari ponselnya. Rain menatap layar ponsel dan kemudian menggeser tombol hijau itu.

“Hallo Rain”

“hmm, iya?”

“Bagaimana keadaanmu, sudah membaik?”

Rain memegang keningnya, memastikan bahwa suhu badannya sudah mulai stabil

“hmm ya, sudah lebih baik”

“Syukurlah. Sebaiknya kamu istirahat, agar besok sembuh"

“hmm yaaa, okey”

“Jangan matikan telfonnya, aku akan temani kamu tidur malam ini”

“Haa?" Rain bingung sekaligus kaget, tidak dapat mencerna kalimat pria itu

“Jangan matikan telfonnya Rain, aku akan temani kamu tidur malam ini, via telfon, setidaknya aku bisa mendengar jika terjadi sesuatu denganmu” Pria itu menjelaskan.

“ooh, okey” Rain tersenyum, merapikan bantal dan mulai merebahkan badannya

“pejamin matanya”

“sudah” jawab Rain

“yasudah, tidur. baca do'a dan tidur yang nyenyak yaa”

Rain tidak menjawab, dia hanya tersenyum dengan matanya yang terpejam, Rain merasa sangat bahagia meski fisiknya sedang kurang baik. Pria itu tetap menemani Rain dari telfonnya hingga gadis itu tertidur.

****

Rain

Aku terbangun karena suara berisik anak-anak yang sedang bermain di luar, menandakan bahwa ini hari minggu. Aku menatap langit-langit kamar, berfikir apa yang kualami semalam hanya mimpi?
Aku bergegas mengambil ponselku.

“Haaah” aku rasa seruan kagetku itu cukup kencang untuk terdengar si pemilik nomer diseberang sana.

Bagaimana tidak, ternyata semalam itu bukan mimpi, dan bahkan panggilan telfon itu belum berakhir hingga aku bangun kembali. tertulis jelas di layar ponselku panggilan itu 10:02:41 dan masih terus berjalan, sedangkan jam diponselku menunjukkan pukul 08.02.

“Rain, kamu sudah bangun?” 

“haa, iya. baru aja” jawabku kaget tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari balik telfon.

“Bagaimana? sudah lebih baik”

“sudah, jauh lebih baik. Sembuh bahkan, makasih ya” Aku menyandarkan tubuhku pada bantal yang sudah ku tata, mengambil posisi ternyaman.

“Syukurlah, yaudah kalau gitu telfonnya aku matikan dulu ya”

“hmm, okey. Sekali lagi, terimakasih”

“Untuk apalagi?”

“yaa apapun itu” ucapku, bingung harus bicara apa

“haha, iyaa Rain. Daah” dia tertawa kecil, entah kenapa aku suka mendengarnya

“Daah”

telfon itu akhirnya terputus, setelah lebih dari sepuluh jam menemaniku. Entah apa yang dia lakukan semalaman, apa dia benar-benar menunggui aku di dalam telpon yang jelas terdengar sangat konyol atau justru dia tertidur pulas di seberang sana. 

Tak bisa ku pungkiri, ada kebahagiaan setiap kali aku menerima kunjungan darinya, namun aku sendiri masih belum mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan.

Akhirnya aku memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi setelah hampir satu jam bermalas-malasan di kasur. Usai dari kamar mandi aku segera berganti pakaian, tubuhku terasa jauh lebih baik dari kemarin. Pukul 10.00 aku telah selesai dengan semua perlengkapanku, laptop, alat tulis, buku-buku dan tak lupa yang terpenting charger. Aku berniat memulai skripsiku hari ini.

Aku mengikatkan tali sepatuku, memasang bucket hat dengan rambut ku biarkan terurai karena masih lembab. Aku melangkah meninggalkan kamar kost, tentu saja setelah aku menguncinya. Aku berjalan menuju halte bus, menunggu selama tujuh menit untuk kemudian menaiki bus yang biasa mengantarku ke halte terdekat dengan stasiun radio.

Aku mencari kursi kosong di pinggir jendela permanen itu, menatap cuaca yang cerah diluar sana. Pukul 10.26, jalanan ramai dipenuhi orang-orang yang baru selesai berolah raga, juga mereka-mereka yang mau menghabiskan waktu liburnya untuk bersantai.

Iya, aku sengaja memilih gedung stasiun radio sebagai tempat untuk memulai skripsiku hari ini, karena selain aku bisa menumpang wifi, tempat nyaman juga tenang karena ini hari libur kantor, gedung itu akan sangat sepi hari ini.

Aku melangkah turun dari bus begitu sampai di halte tujuanku, mendekatkan QR kode di ponselku pada pemindai di pintu keluar halte dan melangkah meninggalkan halte.
Aku sempatkan mampir untuk membeli minuman sebelum terus berjalan menuju gedung stasiun radio.

Langkahku terhenti begitu sampai di depan pintu loby karena mendengar sapaan seseorang.

“Tunggu mba Rain, biar saya bukakan pintunya” Pria tinggi itu berpakaian rapi dengan kemeja kotak dan celana jeans, buru-buru berjalan dari arah belakangku, membuka dan menahan pintu untukku.

Aku mengenalinya dari suara dan postur tubuhnya, itu kepala security yang biasa menyapaku setiap aku melewati loby sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. Tapi dengan pakaiannya yang tanpa seragam itu, bukankah seharusnya Ia sedang tidak bertugas?

“Eh, makasih pak. Ga perlu repot-repot harusnya pak, aku bisa kok. Lagian kayanya bapak juga lagi ga tugas kan, rapi banget gitu” aku tertawa pelan.

“Ah, tidak apa-apa mba. Saya juga mau masuk kok, ini baru saja dari gereja, kebetulan saya nanti sift malem mba”

Jawabnya, matanya menyipit pertanda Ia sedang tersenyum di balik maskernya. Entah kenapa suaranya terdengar sangat ramah di telingaku. kalau dilihat-lihat sepertinya kepala security ini masih muda di banding security lainnya, bahkan terlihat seumuran denganku, tapi Ia begitu sopan dan ramah pada siapa saja.

“Yaudah aku duluan ya pak, makasiih" ucapku mengangguk yang dibalas anggukan oleh bapak itu.

Aku berjalan menuju sofa yang ada di loby, tempat ini cukup nyaman untuk aku memulai skripsiku. Ac nya sejuk, tempatnya yang tenang dengan sofa empuk dan pemandangan yang bebas keluar karena bagian depan loby full kaca yang dapat melihat tembus suasana diluar.

Aku mengeluarkan laptopku, menyalakannya, memasang headset dan menyetel musik, menyamankan dudukku dan mulai bersiap menulis.

Waktu berlalu tanpa terasa, jam di laptopku menunjukkan pukul 14.44. Saat aku berniat mulai menulis ternyata semuanya mengalir begitu saja, hingga aku lupa waktu. Perutku mulai lapar ketika tiba-tiba ponselku berdering. Nomer tak dikenal, namun kuangkat telfon itu tanpa berpikir lama.

“Ya. Hallo?”

“Hallo mba, saya udah di depan gedung mba”

“Eh, maaf ini siapa? Gedung apa?”

Aku bingung si penelpon langsung berkata bahwa ia sudah di depan gedung.

“Saya dari g*food mba, mau anter orderan atas nama mba Rain, saya sudah di depan mba, sesuai map"

Ya, tak perlu ditanyakan lagi, aku sudah bisa menebak kalau ini lagi-lagi pastu ulah cowo absurd itu 

“Oh iya, sebentar pak”

Aku menutup telfon dan berjalan keluar lobby, laptop dan barang-barangku ku biarkan tergeletak disana. Toh tidak ada orang disini, lagipula ada cctv jadi aman.

Benar, driver itu sudah menunggu di depan. Aku langsung mengambil makanan yang dia bawa, dan kembali ke dalam. Entah apa pria itu memata-mataiku atau dia seorang cenayang, sampai-sampai dia tau bahwa aku belum makan dan memang aku sedang lapar. Ah ya, dia juga tak menelponku di jam kunjungan pertamanya tadi, apa dia juga tahu bahwa aku sedang fokus memulai skripsiku? Ah, entahlah. Terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa ku jawab sendirian.

Aku kembali duduk di sofa, menggeser sedikit laptopku untuk menaruh makanan yang baru saja ku terima. Langsung ku buka makanan itu, 1 cup lechy tea dingin, 1 box fried chicken lengkap dengan nasinya, kentang goreng dan juga air mineral. Benar-benar paket lengkap, hingga aku tak perlu lagi keluar bahkan untuk sekedar membeli minuman.

Aky meraih ponselku, membuka WhatsApp dan mulai mengetik pesan untuk pria itu.

“Makasih ya makanannya, banyak banget, lama-lama aku bisa gendut kalo sering begini😊😄” tak lupa aku tambahkan emotikon senyum dan tertawa.

Di menit yang sama aku sudah menerima balasan pesan dari pria itu,

“Sama-sama. Di makan ya, lebih baik gendut dari pada sakit karna telat makan Rain”

Aku tak bisa menahan senyumku, entah kenapa dia selalu saja membuatku tersenyum bahkan saat aku masih belum mengenalnya.

Kemudian aku mengetik untuk membalas pesannya

“Okey, aku makan”

Ya, hanya itu yang bisa ku balas. Meskipun sudah setiap hari berkomunikasi dengannya tetap saja terkadang aku bingung harus bicara apa.

Aku mulai menyantap makananku, makanan ini datang disaat yang tepat. Tepat ketika aku lapar dan aku malas untuk keluar, tadinya aku mau memesan makanan juga karna terlalu mager untuk keluar. Tapi justru makanan itu datang sendiri.

Setelah selesai makan aku langsung lanjut mengerjakan skripsiku, aku ingin mengatur pertemuan pertama dengan dosen pembimbingku minggu depan, aku ingin skripsiku bisa selesai dengan cepat.

Aku berhenti mengetik, tangan dan jari-jariku mulai terasa pegal. Aku meregang kan tanganku, berhenti sejenak untuk berisitirahat. Jam di laptopku menunjukkan pukul 17.13, pantas saja pegal, aju sudah mengetik terlalu lama.

Aku menyandarkan punggungku, meraih ponsel dan membuka Instagram. Hanya sekedar scroll beranda, karena bingung harus melakukan apa lagi. Tapi tiba-tiba pria menelponku, tapi ini kan di luar jam kunjungannya.

“Yaa?” Aku mengangkat telfon itu

“Hai Rain, bagaimana skripsinya?”

“Loh, kok kamu tau aku lagi ngerjain skripsi?” Mataku mulai berkeliling memastikan apa dia ada disini, tapi aku tak menemukan sosok yang bisa ku curigai. Lantas apa dia cenayang atau paranormal hingga bisa mengetahui banyak hal tentang aku?

“Hahhaha, aku hanya bertanya Rain. Aku bukan mata-mata apalagi paranormal yang bisa tau semua yang kamu lakukan” dia tertawa, tawa yang menyenangkan. Tapi berhasil membuat pipiku memanas karena malu dengan fikiranku sendiri.

Sepertinya aku saja yang berlebihan, dia benar, dia hanya bertanya. Itu pertanyaan bukan pernyataan, itu berarti dia tidak tau.

“Aku ikut tertawa, ya kan aku ga bisa pastikan. Siapa tau kamu itu mata-mata kan” aku tertawa lagi, berusaha bergurau agar tak terlalu memalukan dengan fikiran-fikiranku yang sangat mudah di tebak olehnya.

“Tenang saja Rain, jika aku mata-mata, aku hanya akan memata-mataimu agar lebih banyak tau tentangmu”

Aku terdiam mendengar kalimatnya, aku tak begitu mengerti apa maksud di balik kalimat itu. Bahkan akhir-akhir ini aku tak begitu mengerti dengan diriku sendiri. Sejak pria itu mulai mengisi hariku, aku merasa ada yang berbeda, meski aku tak tau itu apa.

“Jadi bagaimana skripsimu?” Dia bertanya lagi, mungkin karna aku hanya diam dan tak menanggapi.

“Ah ya, aku sudah memulainya. Baru bab awal tapi akan segera ku selesai kan, karena aku berencana menghubungi dosen pembimbingku minggu depan untuk mengatur jadwal temu."

“Bagus Rain, tetap semangat ya. Aku yakin kamu bisa menyelesaikannya dengan baik ”

“Okey, terimakasih”

Tak seperti biasanya yang hanya beberapa menit saja, telpon itu terus berlanjut satu jam berikutnya. Meskipun lebih banyak dia yang bicara dibanding aku, aku senang, dia seakan tau kapan aku membutuhkan teman.

Dia berusaha membahas apa saja agar aku tak hanya diam di balik telpon, entah kenapa aku merasa dia menjadi paket pelengkap untukku.

“Rain sudah dulu ya, aku harus siap-siap bekerja. Telponnya aku tutup ya. Jaga kesehatan”

“Hmm iya ok, terimakasih”

****

Author

Setelah selesai siaran Rain langsung pulang. Sesampai di kamarnya Rain langsung mandi dan berganti pakaian, kemudian merebahkan tubuhnya di kasur.

Rain menatap layar ponselnya, melirik jam di pojok atas yang menunjukkan pukul 21.52. 

“Delapan menit lagi nih” gadis itu bergumam.

Tanpa disadari gadis itu sedang menunggu kunjungan dari pria yang mulai mengisi hatinya itu. Meski ia terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa Ia hanya penasaran, tapi bahkan dinding kamarnyapun bisa mengetahui bahwa Rain memiliki perasaan yang lebih dari sekedar penasaran.

Gadis itu lebih banyak tersenyum dan senyum-senyum sendiri akhir-akhir ini. Dan dia mulai menantikan telfon dari pria yang tak Ia kenali itu.

Tepat pukul 22.00 ponsel Rain berdering, sudah bisa dipastikan itu panggilan yang sudah di tunggu Rain sejak tadi. Rain sengaja membiarkannya beberapa saat sebelum mengangkat telfon itu, Ia tak mau terlihat sedang menunggu kunjungan dari pria itu.

“Hallo Rain”

Pria itu lebih dulu menyapa ketika Rain mengangkat telfonnya.

“Iya, hallo”

“Kamu sedang apa Rain? Aku pikir telfonku tak akan di angkat”

“Hmm ga ada, cuma rebahan”

“Ok, kamu sudah mengantuk?”

“Sedikit” jawab Rain berbohong, padahal dia sudah mengantuk dan lelah sejak tadi, tapi karna menunggu telfon pria itu dia berusaha menahannya.

“Sudah malam Rain, sebaiknya kamu tidur”

“Hmm yaa, baiklah” 

ucap Rain, ada nada kecewa di dalamnya. Bagaimana tidak, Rain menahan kantuknya demi menunggu telfon pria itu, tapi justru ketika menerima telfon darinya Rain justru di suruh tidur.

“Jangan matikan telfonnya, aku akan temani kamu tidur”

Rain tersenyum, sontak kecewa yang tadi dia rasakan langsung hilang, pria itu seakan tahu apa yang diinginkan Rain.

“Yaa, baiklah” ucap Rain dengan nada yang biasa saja, berusaha menutupi bahwa sebenarnya ia sangat senang.

Rain memejamkan matanya, wajahnya terlihat bahagia meski binar matanya tertutup kelopak matanya yang memejam.

Berawal ketika Rain sakit, kebiasaan itu terus berlanjut setiap malam. Pria itu selalu menemani tidur Rain, Rain yang biasanya selalu terbangun tengah malam kini tidurnya menjadi lebih nyaman dan tenang.

***

Senin malam, sehari sebelum waktu pertemuannya dengan pria itu. Rain mulai gelisah, memikirkan bagaimana sebaiknya ia bersikap nanti.

Rain melirik ponselnya, sudah pukul 22.12 tapi pria itu masih belum menelponnya. Rain membuka ponselnya dan mulai mengetik pesan WhatsApp untuk pria itu, namun Rain menghapusnya kembali.

“Ngga ngga, gua ga boleh chat dia duluan, gengsi dong” gumam Rain 

Rain merebahkan badannya, dan terus menatap layar ponselnya namun yang di tunggu-tunggu tak kunjung menelfon. Tampak jelas kekecewaan di wajahnya.

Baru saja Rain mulai tertidur saat ponselnya berdering, akhirnya pria itu menelelfonnya. Rain segera mengangkat panggilan itu.

“Hmm, yaa” ucap Rain memberatkan suaranya, berusaha terdengar seperti baru bangun tidur.

“Kamu sudah tidur Rain? Maaf aku terlambat menelfonmu”

“Aah tidak apa-apa”

“Rain maaf, apa kamu keberatan jika pertemuan kita besok harus ditunda?”

Rain diam, jelas ada kekecewaan di wajah itu. Bahkan mata Rain mulai berkaca-kaca, meski ia berusaha untuk tidak ada apa-apa.

“Yaa, tidak masalah” Rain berusaha menjawab dengan tenang, tak mau fikirannya terbaca lagi oleh pria itu.

“Maaf Rain, ada hal yang harus aku lakukan besok. Apa kamu mau jika pertemuannya aku alihkan hari Senin awal bulan depan?"

“Iya ga apa-apa, lagian juga besok ada salah satu pendengar yang mau bertemu denganku, mau curhat katanya. Heheh” Rain memaksakan tawanya yang justru terdengar canggung. Tentu saja Rain berbohong tentang hal itu, tapi toh dia tak mau terdengar begitu menyedihkan karna pertemuannya dibatalkan.

“Oh syukurlah kalau begitu, aku takut mengecewakan mu Rain”

Sejujurnya Rain memang kecewa, namun Rain sendiri juga belum yakin apakah dia siap untuk bertemu dengan pria itu.

“Yasudah Rain, sudah larut. Kamu tidur ya, aku temani” 

“Hmm, iyaa”

Rain menyamankan posisi tidurnya, lalu memejamkan mata, berusaha mengatur pikirannya yang acak. Rain berusaha meyakinkan hatinya bahwa ia baik-baik saja.

***

Rain terbangun dan langsung meraih ponselnya, pukul 08.08.Tak seperti biasa, panggilan telfon itu sudah berakhir. Rain ingin menanyakan pada pria itu, mengapa kali ini dia mematikan telfonnya sebelum Rain bangun. Tapi tentu saja Rain takkan mau melakukannya, gengsi.

Namun tiba-tiba pria mengirim pesan,

“Maaf Rain, telfonnya ku matikan sepuluh menit yang lalu. Ponselku lowbat”

Rain buru-buru mengecek panggilannya, melihat berapa jam panggilan semalam berlangsung dan mulai menghitung. Rain tersenyum, benar saja telfon itu baru berakhir sekitar sepuluh menit yang lalu.

“Chat aku kalau sudah bangun ya Rain” pria itu mengirim pesan lagi.

“Aku sudah bangun kok”

Baru saja pesan itu dikirim Rain, centangnya langsung berwarna biru dan ponsel Rain langsung berdering. Rain mengangkatnya bahkan di dering pertama.

“Selamat pagi Rain”

“Selamat pagi juga” suara Rain terdengar lebih ceria pagi ini, meski semalam sempat merasa kecewa.

“Kamu baru bangun?”

“Hmmm, yaa hahhaha” Rain tertawa, ketahuan bangun kesiangan, pria itupun ikut tertawa.

“Ok, kamu punya waktu dua puluh menit untuk mandi sebelum driver yang mengantar sarapanmu sampai dan menelfonmu”

“Haah, apa?”

“Bergegas lah Rain, waktumu semakin berkurang” pria itu tertawa kecil.

“Iiiih, seenaknya” ucap Rain dengan nada kesal, padahal Ia senang dengan setiap perhatian yang dia terima dari pria itu.

“Udah, aku mau mandi dulu” ucap Rain yang langsung bergegas ke kamar mandi. Pria itu mematikan telfonnya sambil tertawa dari valik maskernya.

Rain mandi dengan cepat dan segera berganti pakaian, Ia selesai tepat ketika ponselnya berdering. Rain segera meraih ponselnya.

“Hallo mba Rain? Saya mau nganter orderannya mba, saya udah di depan"

“Ita, tunggu sebentar pak”

Rain segera keluar dan kembali ke kamar dengan membawa makanannya. Rain langsung mengirimkan pesan pada pria itu.

“Terimakasih, ini rekorku mandi dalam waktu kurang dari dua puluh menit😑” tak lupa Rain menambahkan emtikon kesal pada ujung pesannya, padahal itu hanya pura-pura.

Si penerima pesan justru tersenyum membacanya.

“Sesekali kamu memang harus siap dengan sesuatu di luar kebiasaan mu Rain, makanlah, jaga kesehatanmu 😊”

Rain tersenyum menerima balasan pesan itu.

“Ya, pasti” balas Rain. 

Rain mulai membuka dan menyantap makanannya, ini pertama kalimya Rain makan sepagi ini. Gadis itu sangat jarang sarapan, ia selalu melewatkan jam sarapannya hingga jam makan siang.

***

Hari terus berlalu, pria itu selalu membuat Rain tersenyum dengan semua sikapnya terhadap Rain. Setiap malam tidur Rain selalu ditemani telfon dari pria itu, dan setiap pagi rain bangun dengan tersenyum mendengar suara pria itu.

Hingga hari yang mendebarkanpun tiba. Rain terbangun, menatap layar ponsel yang menunjukkan pukul 06.59. panggilan suara itu masih berlangsung dari semalam.

“Hallo?” Rain memastikan apa lawan bicaranya ada di seberang sana.

“Iya Rain, baru bangun?”

Rain tersenyum, pria itu selalu ada setiap Rain terbangun. Entah apa yang dilakukannya sepanjang Rain tidur.

“Hmm, iya”

“Apa ada perubahan jadwal untuk hari ini rain?”

“Hmm, sepertinya tidak ada”

“Baiklah, kalau begitu kamu silahkan bersiap-siap, jangan lupa sarapan, aku tunggu di perpusnas ya”

“Okey, see u” ucap Rain dan telfon itupun terputus.

Rain bergegas ke kamar mandi. Usai dari kamar mandi Rain berdiri lama di depan lemari, menimbang baju mana sebaiknya yang Ia pakai. Setelah lama berpikir Rain akhirnya mengenakan celana joggernya dengan atasan kaos over size.

Rain menguncir rambutnya, mengenakan sepatu kets, menyandang ranselnya, menenteng sweater dan berjalan meninggalkan kamarnya.

Rain melupakan dua hal, sarapan dan topinya. Rain baru menyadari bahwa ia tak mengenakan topinya ketika sudah di dalam bus.

“Ah, topiku” gumam Rain dari balik maskernya.

Rain menatap layar ponselnya, pukul 9.02. Itu artinya dia punya cukup waktu untuk sampai di perpusnas tanpa terlambat.

Bus berhenti di halte tujuan Rain, gadis itu bergegas turun. Membuka ponselnya dan mengarahkan QR code ke pemindai yang ada di pintu keluar, kemudian gadis itu mulak melangkah menuju perpustakaan nasional.

Begitu sampai di depan gerbang perpustakaan nasional, langkah Rain terhenti, jantungnya berdetak kencang. Rain membuka ponselnya, dsn mengirimkan pesan pada pria itu.

“Aku sudah di gerbang, kamu dimana?”

Hanya beberapa detik, pesan Rain langsung di balas,

“Masuklah Rain, aku sudah di dalam, sejak tadi, menunggu”

“Tapi bagaimana aku tahu kamu yang mana, ada ratusan orang disini"

“Masuk saja, nanti kau akan tahu, ikuti kata hatimu”

Rainpun melangkah masuk, melewati ruangan pameran budaya dan sejarah dan terus ke dalam hingga sampai di depan pintu lobby.

Rain melangkah memasuki pintu, ia terus berjalan sambil mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan karna ia semakin berdebar.

Begitu memasuki lobby Rain melihat tiga pria di dekat sofa. Dua pria tengah duduk di sofa yang berbeda, dan yang satunya tengah berdiri di depan sofa dengan posisi membelakangi Rain.

Rain mulai menduga-duga, apa mungkin pria itu salah satu dari mereka. Rainpun kembali mengirim pesan pada pria itu.

“Kamu dimana?”

“Di lobby, lantai 1”

Rain justru semakin bingung, karena dua pria itu sama-sama sedang memegang ponselnya, entahlah pria yang sedang membelakanginya, tapi sepertinya juga iya.

“Eh, tunggu dulu. Kayanya gua kenal deh ini orang” gumam Rain memperhatikan pria yang sedang berdiri membelakanginya. Pakaiannya biasa saja namun rapi, jeans hitam dengan atasan kaos hitam. Stellan hitam itu membalut tubuh tinggi kekar, dengan punggung yang bidang dan kulit kining langsat. Membuatnya terlihat mempesona bahkan hanya dari belakang.

“Itu kayanya..” ucapan Rain terhenti karena pria itu tiba-tiba balik badan dan melambai ke arah Rain.

Rain mematung, “dia melambai ke gua bukan sih?”

Gadis itu bingung, namun pria itu justru mendekat dan menghampirinya.

“Hai” pria itu menyapa.

Deg, jantung Rain serasa hampir copot. Suara itu jelas suara yang selalu membuatnya senang dan tenang, dan Rain baru menyadari itu suara yang sama dengan suara yang sering menyapanya di lobby stasiun radio.

“Aaa, mmmm, bapak yang kerja di gedung stasiun radio kan? Mmm, lagi ada keperluan ya pak disini, kebetulan banget ya pak ketemu disini, hehehe” Rain gelagapan, detak jantungnya masih tak bisa ia kuasai. Rain menggaruk kepalanya yang tudak gatal, canggung.

Pria yang menghampirinya justru tertawa dari balik maskernya, matanya menyipit.

“Iyaa, aku disini untuk menemui seseorang”

“Ooh, urusan pekerjaan ya pak?” Rain asal menyahut"

Pria itu tertawa lagi,

“Bisa tidak memanggilku dengan kata bapak? Aku merasa terlalu tua dengan panggilan itu. Aku disini untuk menemui Rain, aku Aron”

Pria itu menurunkan maskernya dan mengulurkan tangan pada Rain untuk bersalaman.

Deg, kali ini Rain benar-benar kahilangan nafasnya selama beberapa detik. Rain buru-buru mengatur nafasnya lagi, jantungnya berdebar semakin cepat. Rain mematung, dia masih terlalu berdebar untuk bisa memberikan respon pada pria itu.

Bagaimana tidak, pria yang selama ini mengisi harinya via telfon ternyata adalah orang yang sering di temuinya saat di tempatnya bekerja. Mereka bekerja di gedung yang sama, sering berpapasan dan saling bertegur sapa, tapi Rain justru tak menyadarinya sama sekali.

Daaan, dia lebih tampan dibanding yang pernah Rain bayangkan di balik maskernya itu, daan lagi senyumnya begitu mempesona.

“Raain?"

Aron melambaikan tangannya di depan mata Rain yang tak berkedip. 

“Haaa, ah iya, kenapa?”

Rain gelagapan, gadis itu bingung harus merespon bagaimana. Aron tersenyum melihat tingkah gugup Rain.

“Mau ikut aku ke roof top di lantai 24? Sepertinya disana lebih nyaman dan udaranya lebih segar. Atau kamu mau berdiri disini terus hingga siang?" Aron tertawa kecil.

Rain ikut tertawa, tawa yang di paksakan

“Baiklah, ayo”

“Ladies first” Aron mempersilahkan Rain berjalan di depannya

Mereka menaiki eskalator ke lantai 2, kemudian naik lift hingga lantai 24. Aron sengaja tak mengajak Rain bicara selama menuju lantai 24, ia membiarkan gadis itu dengan fikirannya sendiri.

Lift berhenti berdesing, mereka sampai di lantai 24. Rain dan Aron melangkah keluar lift dan berjalan menuju roof top gedung itu.

Ada 5 bangku memanjang disana, dengan beberapa tanaman hias dalam pot. Bagian pinggirnya dibatasi pagar mika bening dengan tiang-tiang besi penyangga.

Rain dan Aron duduk bersisian di salah satu bangku panjang itu, angin bertiup menyegarkan di tengah udara kota yang tak cukup ramah.

“Jadi, setelah kamu tahu aku adalah bapak security yang sering bertemu denganmu di stasiun radio, apa kamu masih mau mengenalku?”

Aron membuka percakapan,

“Beri aku satu alasan untuk tak mau mengenalimu lagi” 

jawab Rain, dia sudah mulai bisa menguasai detak jantungnya.

“Yaa, sepertinya tadi di lobby kamu tak menjabat tanganku”

“Aah, maaf maaf. Tadi aku cuma kaget aja, ternyata kamu orang yang sudah aku tahu sejak lama, tapi aku tak menyadarinya sama sekali”

Rain mengulurkan tangannya, Aron membalas dengan menjabat tangan Rain. Keduanya tersenyum.

“Jadi, apa aku terlalu tua untuk harus di panggil bapak?” Aron bergurau

“Hahahha, tidak. Kamu tentu akan di panggil bapak jika dengan seragammu. Tapi sepertinya kamu seumuran denganku?”

Aron ikut tertawa,

“Tidak”

“Aah, jadi kamu lebih tua dariku?”

“Tidak, aku lebih muda darimu” jawab Aron.

“Oh ya? Masa sih?"

“Iya, kamu September kan?”

“Iyaaa, kamu tau darimana?”

“Aku tahu beberapa hal tentangmu, aku juni”

“Yaaa, itu sih kamu lebih tua 3 bulan namanya” Rain tertawa.

“Iyaa, juni di tahun berikutnya setelah kamu lahir”

Aron tertawa kecil, Rain justru berhenti tertawa.

 “Sungguh? Itu artinya kamu lebih muda satu tahun dibanding aku dong?”

“Yaa, bisa dibilang begitu. Tapi aku tak mau memanggilmu kakak atau mba. Kecuali mungkin dalam situasi formal” Aron tersenyum.

Rain terdiam, menatap mata indah Aron dan menebak-nebak apa maksud di balik kalimatnya barusan.

……………………………….……………………………….

Okey, kita lanjut minggu depan yaa😄

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kita Yang Beda
Selanjutnya Kita yang Beda - part 4
3
3
Jangan bosen tungguin tulisan ini yaa…. mohon maaf author sedang di kejar deadline nih, kelamaan ga upload nih kayanya,, 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan