Bukankah cinta itu anugerah? Bukankah hati tidak akan jatuh pada hati yang salah? Lalu apakah takdir akan selalu mempertemukan kita dengan orang yang tepat?
Apakah menjadi suatu kesalahan bila aku mencintai dia yang berbeda?
Dia membuatku menyayanginya dengan semua kekesalan yang selalu dia hadirkan untukku. Aku menyukai setiap hal tentangnya, aku menyukai setiap waktuku bersamanya.
Namun mengapa, disaat semua terasa begitu indah, disaat aku semakin menyayanginya, aku semakin takut akan akhir...
Rain, begitu mereka memanggilku. Namaku? Rain Audrey Putri, wanita yang selalu terlihat cuek dan jutek, tidak bersahabat dan menyebalkan.
Tenang-tenang itu bukan yang sebenarnya, hanya kelihatannya saja dan tentunya bagi orang-orang yang belum mengenalku.
Jadi apa kau mau mengenalku lebih jauh? Ku harap kau tidak akan menyesal setelahnya, akan aku ceritakan semuanya.
Namun sekali kau memilih ingin mengetahui ceritaku, kau takkan bisa berhenti hingga akhir. Hei, jangan takut dulu karena aku bukan pemangsa namun aku juga tidak pernah membiarkan diriku dimangsa.
Selamat memasuki duniaku, perjalanan kita akan sangat panjang dan penuh suka duka.
*****
“Demikian presentasi kelompok saya pada hari ini, saya tutup tanpa sesi tanya jawab” ucap Rain menutup presentasinya di depan kelas, mahasiswi semester akhir itu lantas mendapat tatapan sedikit kesal dari dosennya.
“Rain?”
Satu kata dari Pak Widjaksana, dosen mata kuliah Sastra yang berusia paruh baya itu terkenal tegas namun sangat bersahabat dengan mahasiswanya.
“Saya tahu teman-teman saya sudah cukup pintar dan pasti mengerti apa yang saya jelaskan Pak”, jawab Rain dengan santai, padahal jelas itu adalah permintaan dari temna-teman kelasnya karena Pak Widjaksana mengambil waktu di minggu tenang mereka untuk menyelesaikan pertemuan terkahir di kelasnnya.
Lagi pula mereka seharusnya sudah mulai memikirkan skripsi, bukannya malah terjebak dikelas bersama dosen dan menghabiskan waktu 2 kali 45 menit untuk menyelesaikan kelas yang seharusnya sudah diselesaikan sejak 3 bulan lalu. Hanya karena Pak Widjaksana sibuk di jam mata kuliahnya saat itu, mereka semua harus mengikuti schedule dosennya untuk masuk perkuliahan di minggu tenang seperti ini, padahal mereka berharap Pak Widjaksana akan memberikan mereka nilai standar saja tanpa harus mengadakan kelas akhirnya.
“Baik kalau begitu biarkan saya yang menjadi moderatornya, dari kalian siapa yang ingin bertanya?"
Pak Widjaksana mengambil alih tugas Rain. Serempak mahasiwa dan mahasiswi itu menjawab
“tidak ada paaak”.
Sontak Pak Widjaksana melotot dan terdiam “baiklah baiklaah, kalian menang. Kelas terakhir kita saya tutup, semoga skripsi kalian selesai tepat waktu” Pak Widjaksana mengalah begitu saja seolah tau apa yang ada di dalam kepala mahasiswanya.
Pak Widjaksana merapikan barang-barangnya dan melangkah keluar kelas. Tepat selangkah dosennya meninggalkan pintu, kelas itu langsung riuh. Obrolan dan keluhan seputar skripsi menjadi topik utama mereka, tentu saja semuanya ingin lulus tepat waktu.
****
Rain
Begitu pak Widjaksana keluar, aku langsung meraih ponselku yang dari tadi layarnya terus berkedip selama aku presentasi.
“Ah, notifikasi grub whatsApp”. Aku memasukkan ponselku ke ransel, belum berniat mengintip isi obrolan di grup itu. Ya, aku tergabung disebuah grub whatsApp dimana anggotanya adalah para penyiar radio dan para pendengar setia kami.
Sebagai informasi, aku bekerja paruh waktu sebagai penyiar radio di sebuah stasiun radio yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Entah apa yang mereka bicarakan sejak tadi sampai aku menerima 103 notifikasi dari grub yang satu ini.
Grup ini memang selalu ramai, karena memang tujuan dibuatnya grup ini adalah untuk sharing dan ngobrol bareng antara penyiar dengan para pendengar di luar jam siaran. Anggotanyapun tidak hanya penyiar dari stasiunku saja, tapi juga dari beberapa stasiun lain bahkan dari kota tetangga.
Aku melirik jam tanganku, pukul 12.47 dan sudah seharusnya aku makan siang.
Aku berjalan keluar dari kelas, bersama dua temanku vania dan Boni, mereka ini sepasang kekasih yang kemana-mana selalu mengikutiku dan aku yang selalu menjadi pendengar sekaligus menjadi konsultan yang baik untuk hubungan mereka.
Haaaah, bagaimana mungkin aku selalu bisa menangani masalah percintaan orang lain tapi tak mampu menangani masalahku sendiri. Hebatnya, tak satupun manusia yang mampu membuatku tertarik hingga detik ini. Ya, itu setelah patah hati terbesarku karena di khianati cinta pertamaku.
Bukan berarti aku belum moveon, bahkan saat beberapa waktu lalu dia tiba-tiba datang dan berkata mau memperbaiki hubungan denganku, aku dengan begitu datar menolaknya. Hanya saja sampai saat ini aku belum menemukan sesosok makhluk yang dapat membuatku tertarik, berdebar dan terpesona entah bagaimanpun itu caranya.
Dari beberapa yang berusaha mendekatiku, mulai dari teman satu kelas, satu vakultas, satu stasiun radio, sampai pendengar yang tegabung di grup belum satupun yang bisa membuatku berdebar dan terpesona. Biasa saja, tidak membuatku tertarik sama sekali. Hidupku terasa seperti yang biasa orang sebut dengan ‘datar-datar saja’.
“Eh Ra, kenapa sih. Diem terus dari tadi” Vania yang berjalan disebelah menyikut lenganku.
“Rain, tolong ucapkan dengan lengkap nona Vania yang terhormat” kataku menunjukkan ekspresi kesal, meski sebenarnya hanya pura-pura.
“Iya iyaaaaa, Nona Raaaaaaain. Apa yang sedang anda fikirkan?”
“Ga ada, gua cuma lagi mikir mau makan apa siang ini” jawabku seadanya.
“Jadi mau makan apa?”
“Karena gua bingung mau makan apa, jadi gua memutuskan untuk tidak makan siang ini” jawabku dengan tersenyum.
Vania mendengus kesal saat aku terus berjalan mendahului langkahnya sambil melambaikan tangan “Gua duluan ya, kalian makan aja berdua. Gua mau langsung pulang.”
“Dasar nyebelin lu” ucap Vania setengah berteriak karena kesal. Namun dia takkan pernah benar-benar marah padaku, karena aku adalah konsultan untuk urusan percintaannya. Kalau bukan karena aku mereka berdua sudah putus sejak tahun lalu hanya karna salah paham. Ah itu tidak usah diceritakan, privasi klien.
*emot senyum
*****
Rain berjalan menuju halte bis terdekat, menunggu koridor 2P. Tak lama menunggu Rainpun melangkahkan kaki memasuki bus, mencari kursi kosong didekat jendela kaca yang terpasang permanen untuk kemudian duduk dan menatap keluar..
Rain selalu suka duduk di sisi jendela, menatap riuhnya Ibu Kota ditengah terik sang surya. Betapa menyenangkannya bisa melepaskan lelah di tempat yang tenang dan jauh dari semua kebisingan, itu salah satu hal yang selalu didambakan Rain.
Tapi semester akhir ini membuatnya seperti tak ada waktu luang buat healing, atau bahkan sekedar me time dengan tidur panjang di kamarnya. Ditambah lagi dia harus segera menyelesaikan skripsinya jika tidak ingin menjadi mahasiswa abadi di kampus itu.
Sebenarnya Rain adalah mahasiswi yang pintar, terbukti dari nilai IP nya setiap semester yang selalu di atas 3.5 dari skala 4. Hanya saja dia suka menunda karena memilih menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan paruh waktunya dan urusan lain seperti kegiatan sosial menjadi konsultan patah hati.
Iya, gadis ini sering menjadi pendengar sekaligus penasehat untuk orang-orang patah hati yang datang bercerita padanya dan meminta solusi untuk hubungan mereka. Entah itu via telfon, chat, video call, bahkan ada yang mendatanginya langsung. Mulai dari teman lama semasa SMA, teman kuliah, teman kerja, teman dari temannya, teman dari temannya yang punya teman tadi, bahkan para pendengar siarannya.
Bus terus melaju pada jalurnya dengan kecepatan standar, beberapa penumpang turun dan naik setiap bus berhenti di halte berikutnya. Rain masih 2 halte lagi untuk sampai di halte tujuannya, untuk kemudian berjalan kaki menuju kost-kostan yang selalu menjadi tempat pulangnya hampir di 4 tahun terakhir ini.
“Persiapan halte Mercu Buana, periksa kembali barang bawaan anda, jangan sampai ada yang tertinggal" suara petugas yang berdiri di dekat pintu bus itu menyebutkan halte tujuan Rain.
Baru saja rain berdiri ketika ponselnya berdering pelan, Rain melihat layarnya yang menyala bertuliskan cowo absurd, membuat keningnya berkerut dan mendengus kesal.
“Nngapain lagi sih ni cowo absurd telpon, ga bosen apa. Padahal ga pernah di angkat tetep aja kekeuh nelponin terus” gumam Rain dari balik masker.
Baru saja Rain mengantongi ponsel di kantong sweaternya dan maju satu langkah dari kursinya, bus sudah melaju lagi menuju halte berikutnya. Rain yang baru saja sadar terlamabat turun di haltenya semakin kesal karna harus turun di halte berikutnya dan ikut rute balik arah untuk kembali ke halte mercu buana.
“Hah shit, kelewat kan gua. Gara-gara cowo absurd ini gua mesti muter balik ini. Haaah”
Rain terus mengumpat dari balik maskernya. Mengumpati seseorang yang bahkan belum dikenalinya. Seseorang yang nanti justru merubah banyak hal dihidupnya, seseorang yang belum ia sadari perlahan mulai mengisi harinya.
Rain turun di halte berikutnya, menumpangi bus dengan rute berlawanan untuk kembali ke halte tujuannya. Tak lama Rain sudah sampai kembali di halte Mercu Buana. Bergegas iya turun dari bus dan menuju pintu keluar halte, mendekatkan QR kode yang ada di ponselnya pada pemindai dan melangkah keluar menunggalkan halte.
****
Rain
“Apa sih maunya cowo absurd ini” gumamku sambil terus melangkah menuruni JPO setelah meninggalkan halte busway beberapa meter di belakangku. Beberapa waktu terakhir pria ini terus menelponku meski tak pernah aku angkat.
Beberapa waktu lalu saat aku kirimkan pesan padanya “maaf saya sedang sibuk, jika ada keperluan silahkan lewat chat saja.” dan aku mendapat balasan “aku hanya ingin menelpon”.
Itulah mengapa ku namai dengan cowo absurd. Tapi itu minggu lalu, 4 hari terakhir ini dia mulai rutin menelpon di jam yang sama seakan tahu kapan aku free dan bisa memegang ponselku, padahal last seen dan status online di whatsapp ku jelas-jelas tidak aku aktifkan.
Selama 4 hari terakhir ini pula pria itu menelpon 3 kali sehari, rutin di jam yang sama seperti minum obat dan selalu hanya 1 kali nada dering ponselku, mungkin hanya 3 kali nada sambung di ponselnya.
Perlahan pria ini mulai membuatku penasaran dan kesal sekaligus. Namun aku masih enggan menanggapinya, aku ingin lihat sampai kapan dia betah meminum obat rutinnya ini.
****
Sesampainya di kost Rain melepas sepatu tepat didepan pintu, menaruh di rak, melepas topi dan sweaternya yang dilempar sembarangan ke kasur, untuk kemudian menghempaskan badannya di kasur yang cukup empuk itu. Matanya memejam dan Rain menghela napas panjang seolah begitu lelah dengan hidupnya. Beberapa menit kemudian Rain tertidur, masih dengan posisi setengah menggantung, badannya yang telentang dan kaki menjuntai di pinggir kasur.
Pukul 18.01, Rain terbangun karena ponselnya kembali berdering. Pria itu menelpon lagi, Rain bisa tahu tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya karena baru saja tadi Rain menggunakan notifikasi khusus untuk kontak WA pria itu. Notifikasi khusus? Ya, khusus, namun apakah itu berarti seseorang yang belum dikenalinya itu mulai menjadi istimewa untuknya?
Jangan berfikir terlalu keras, karena bahkan Rain tidak sedikitpun menyadari bahwa pria itu mulai mengisi harinya bahkan tanpa ada percakapan satu katapun, hanya nada dering ponsel 3 kali sehari.
Rain sontak kaget begitu menyadari bahwa itu telfon kedua dari si pria absurd hari ini, yang menandakan bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Tadi siang untuk pertama kalinya pria itu terlambat menelpon di jam pertamanya, biasanya Ia menelpon di jam istirahat siang pukul 12.00. Tapi justru tadi dia menelpon ketika Rain hendak turun bus dan membuatnya melewati halte tujuannya.
Rain bergegas ke kamar mandi, kurang dari 10 menit gadis itu telah bersiap untuk berganti pakaian. Iya, benar, jelas gadis itu tidak mandi, karena dia akan terlambat untuk ke stasiun radio jika Ia berlama-lama di kamar mandi. Pukul 19.00 Rain sudah harus mengudara sebagai the last aster yang peofesional, gadis itu memang suka menunda tapi Ia tak pernah mau terlambat dalam hal apapun. Bahkan Ia memilih begadang untuk mengerjakan makalah 1 hari sebelum deadline, alih-alih mengerjakannya jauh hari atau menunda mengumpulkannya.
Pukul 18.15 Rain sudah berjalan meninggalkan kost nya dengan ransel yang hanya tersampir di pundak kirinya, celana jogger dan kaos over size yang menjadi ciri khasnya, tangan kirinya memegang sweater navy kesayangannya. Rambutnya terkuncir rapi, di balik topi baseball hitam polos yang Ia kenakan, tak lupa masker yang selalu menutupi sebagian wajahnya.
Gadis bertubuh mungil itu terus berjalan dengan cepat, sepatu kets yang iya kenakan memudahkannya untuk berjalan dengan cepat. Ya, Rain dapat dikategorikan mungil jika dibanding dengan teman-teman sebayanya. Dengan tinggi yang tak mencapai 160cm dan berat kurang dari 45kg membuat Rain terlihat mungil dengan kaos over sizenya itu. Rain memiliki kulit yang putih, rambut hitam yang cukup panjang melewati bahu namun selalu ditutupi dengan topi.
Rain memiliki banyak koleksi topi seperti model topi baseball juga bucket hat, begitupun dengan sepatu kets yang memenuhi rak sepatunya, bahkan Ia tak memiliki sendal karena selalu menggunakan sepatunya kemana-mana.
Rain melangkah memasuki bus, mencari kursi yang kosong di dekat jendela untuk kemudian duduk disana.
Rain menghembuskan nafas, karena bangun terlambat tadi membuatnya seakan lupa bernafas karena terburu-buru.
Rain membuka ponselnya, membuka aplikasi whatsapp dan mengklik kontak cowo absurd untuk kemudian mulai mengetik pesan.
“Terimakasih, telfonmu tadi sedikit menyelamatkan aku. Hampir saja aku terlambat untuk siaran malam ini gara-gara tadi ketiduran”
kemudian menekan tombol send untuk hanya beberapa menit saja tanda centangnya berubah menjadi biru, sementara penerima pesan tersenyum di seberang sana dari balik maskernya, namun tidak membalas pesan itu.
“Ih, di read doang, kampret emang” umpat Rain melihat centang biru yang tak mendapat balasan.
Rain melangkah keluar bus begitu sampai di halte tujuannya, kemudian berlari-lari kecil menerobos gerimis menuju gedung stasiun radio tempatnya bekerja, sweater hoodienya telah Ia gunakan sejak akan keluar halte tadi dan Rain menaikkan tudung hoodienya menutupi kepalanya, tanpa perlu melepas topi yang Ia kenakan.
“Malam pak” sapa Rain pada seorang security yang sedang berjaga di depan loby.
“Malam mba, kehujanan ya?”
“Gerimis doang pak, duluan ya pak” jawab Rain sembari berjalan menuju tangga setelah kalimatnya dibalas anggukan oleh security itu.
Rain selalu lebih memilih naik tangga daripada harus menggunakan lift, ada ketakutan tersendiri di dalam dirinya seperti trauma atau phobia, entahlah. Lagipula stasiun radionya hanya di lantai 2.
Security itu menatap punggung Rain yang perlahan hilang menaiki anak tangga, Iapun tersenyum di balik maskernya.
****
Rain
“Malaaaam” sapaku begitu memasuki ruang kerja staff yang menjadi penghubung ke ruang siaran, merekapun mengangguk.
“Masih ujan Rain?” tanya salah satu dari mereka.
“ngga, gerimis doang” jawabku sambil terus berjalan, jam dipergelangan tanganku menunjukkan pukul 18.58, setidaknya aku tidak terlambat pikirku.
Aku memasuki ruang siaran, bersiap untuk mengudara selama 120 menit kedepan, menggantikan Novi yang baru saja menyelesaikan siarannya.
Aku mengambil posisi ternyaman di tempat dudukku untuk kemudian mulai menjalankan tugas.
“Asslamu'alaikum warrohmatullahi wabarakatu, selamat malam sad boy dan sad girl semuanya. Kembali lagi bersama the last aster, yang akan menemani malam kelam temen-temen sad boy dan sad girl selama 2 jam kedepan. Mari kita bicara soal luka, karena sekuat apapun dan sehebat apapun seseorang dalam menyembuhkan lukanya ada bekas yang akan selalu menjadi history dan koneksi untuk kembali membahasnya. Ngomong-ngomong soal luka nih, dari temen-temen sendiri apa sih luka yang begitu membekas. Yuk kita ngobrol bareng di sesi curhat malam ini, seperti biasa curhatnya aku terima via whatsapp di nomer 08578232xxxx dan untuk yang mau request lagu boleh di nomer yang sama ya. Okeyy, untuk lagu pertama aku mau puterin satu lagu nih buat temen-temen semua biar yang galau makin galau, yang bahagia harus ikutan galau juga ya,, hehehehe.. Pilihan terbaik-Ziva Magnolya selamaaaat bergalau riaaaa”
Aku selalu membuka siaranku dengan mengucapkan salam, meskipun aku tau pendengarku berasal dari latar belakang agama yang berbeda-beda, namun mereka mengerti dan berkata itulah yang membedakanku dengan penyiar lainnya. Mereka juga berkata tidak takut menunjukkan identitas agama itu merupakan hal yang baik, karena kebanyakan orang terlalu sensitif akan hal itu.
Aku memutarkan lagu, dan mulai sibuk membuka chat pendengar setiaku. Mereka menyebut dirinya fans the last aster sang konsultan cinta, padahal mereka sendiri tidak tahu idola mereka ini justru sudah lupa seperti apa itu cinta. Tapi entah kenapa saranku selalu saja berhasil membantu masalah banyak hati diluar sana.
Aku terus membaca chat satu-persatu, memilih mana yang akan dibahas lebih dulu. Hingga aku terhenti di satu pesan, aku menyentuh layar ponsel untuk membuka profilnya. Aku merasa mengenali nomer ini, nomer yang beberapa waktu terakhir rutin menelponku, nomer yang baru saja tadi menyelamatkan aku dari keterlambatan. Aku bisa mengenali nomer ini dari profilnya yang hanya menampilkan sketsa bayangan hitam seorang pria.
Aku langsung meraih ponsel pribadiku, memastikan aku tidak salah mengenali nomer itu, dan ternyata benar. Mataku langsung terbelalak begitu kembali ke ponsel fasilitas kerja itu, nafasku sesaat seakan terhenti di tenggorokan.
Pesan itu bertuliskan,
“jangan lupa minum minuman hangat Rain, biar ga masuk angin. Diluar ada banyak namamu yang sedang jatuh dari langit”
Bukan, bukan bentuk perhatian dari pesannya yang membuatku kaget. Tapi dia berbicara pada Rain, dia menuliskan namaku, nama asliku. Jika dia hanya salah satu pendengar setiaku, dia hanya akan mengenal the las aster bukan Rain. Tapi dia jelas-jelas tahu namaku, siapa sebenarnya pria ini.
Pria ini membuatku kaget sekaligus penasaran di tambah lagi dia satu-satunya orang yang mengaitkan namaku dengan hujan. Selama ini orang-orang bahkan menganggap namaku hanya sebatas Rain seperti nama-nama pada umumnya, tidak ada yang tahu bahwa Rain pada kata pertama dinamaku sebenarnya memang Rain yang berarti hujan. Bahkan temanku sendiripun tak pernah menyadari itu.
Aku menggigit bibir, nafasku sedikit berat dan aku merasakan bahwa aku mulai berdebar.
****
“Apa? Lu berdebar Rain? Jangan-jangan lu kena serangan ‘aritmia’ Rain”
Sorak Vania dari seberang telfon dengan nada sedikit menggoda.
Rain memutuskan untuk menceritakan tentang pria itu pada Vania begitu dia sampai di kost.
Rain yang sedang rebahan langsung duduk demi menerima ejekan temannya itu
“Sialan lu, gua serius Van. Penasaran banget gua sama ini orang. Tapi kesel juga, tapi penasaran juga”
Rain seperti bingung dengan perasaannya sendiri.
“Gua justru lebih kaget Rain, seorang Rain yang bahkan tak pernah tersentuh hatinya oleh tipe pria manapun yang pernah mendekatinya. Tak pernah tersentuh hatinya seromantis apapun pria yang mencoba mendekatinya. Hampir 4 tahun Rain, selama gua kenal elu bahkan sama sekali gua ga ngeliat lu tertarik sama mereka. Bahkan gua sempat mikir kalo temen gua ini sebenernya ga suka cowo, tapi sukanya sama gua”
Vania terkekeh setelah mengucapkan itu semua, jelas senang menggoda Rain yang menurut pendapatnya mulai tertarik dengan seorang pria yang bahkan tak dikenalinya.
“Sekarang tiba-tiba ada pria misterius yang membuat nona Rain berdebar, waaaah pria ini pantas mendapatkan penghargaan nobel. Bisa-bisanya dia membuat nona Rain tertarik dengannya".
Vania meneruskan sorakannya begitu bersemangat menggoda temannya, sementara Rain hanya mendengus kesal.
Tanpa disadari percakapan mereka malam itu menjadi awal dari semuanya. Ucapan Vania benar, Rain mulai tertarik meski Ia tetap bersikeras bahwa Ia hanya penasaran.
Tanpa disadari percakapan malam itu menjadi awal luka dan bahagia yang kemudian membuat hidup Rain berubah dari ‘datar-datar saja’ menjadi penuh cerita.
……………………..
Kita lanjut di Part 2 ya guys…😉
Selamat memasuki dunia Rain yang penuh teka-teki, jangan lelah menunggu Rain setiap weekend ya.
Aku mau ngopi dulu😄 see u guysss…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰