Lala merasa Bapaknya berubah. Bapak yang dulunya sangat terbuka, tiba-tiba saja menjadi konservatif. Lala dilarang meninggalkan rumah! Lala terpaksa berjuang mati-matian untuk keluar dari desa Kidung Kidul di ujung selatan Malang.
Kenapa Bapak berubah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak? Lala harus mencari tahu! Berbekal petuah ibu, dan bersama dengan teman masa kecilnya–Rais, Lala akan menjalankan sebuah rencana besar!
Semenjak hari itu aku jadi makin rajin pergi ke perpustakaan. Sejak seringnya aku hadir di perpustakaan, aku juga makin akrab dengan Rais si bocah ireng—juga Pak Sumarno. Tidak tahu sudah kali keberapa kami tertangkap basah menjajar buku-buku di lantai perpustakaan. Membaca dua-tiga buku dongeng dalam satu kali kunjungan. Tak jarang Pak Sumarno sampai mengangkat kopiahnya tinggi-tinggi untuk memperingati kami agar tidak terlalu berlama-lama membaca di perpustakaan.
Sejujurnya, bukan membaca yang membuat kami betah di ruangan yang kini sudah terang itu. Yap, dahan pohon langsat yang menghalangi cahaya matahari sudah ditebas habis oleh Pak Sumarno. Hal-hal yang membuatku betah berlama-lama di sana adalah obrolanku dan Rais perihal dunia—anak-anak, tentu saja—yang membuat kami bersedekap sambil bercerita ngalor-ngidul. Rais dengan segala kesibukannya sebagai koki cilik, sedang aku yang sangat tergila-gila dengan dongeng anak. Berkat kegilaanku ini, makin hari imajinasiku makin melanglang buana. Tidak sekali-dua kali kusulap bumbu dapur Rais menjadi monster yang akan melahap ayam inguannya. Terakhir kali ia sedikit jengkel saat aku bercerita Si Kunyit mendapat kutukan Dewa dan ia berubah warna menjadi ungu! Dengan perasaan sedikit bersalah, aku meminta maaf padanya dan berjanji lain kali aku akan mengubah Si Kunyit menjadi warna neon, hahaha!
Selain pengelanaan pikiranku dengan Rais, Kalam Kalani adalah alasan terkuat mengapa aku rajin pergi ke perpustakaan. Sedikit banyak Kalam Kalani merubah pandanganku soal semesta cerita. Tulisannya hampir setara seperti magis yang dibawa Ibu, memantik imajinasiku dengan begitu mudahnya. Sudah kuyakinkan diriku yang kala itu masih bocah bahwa Kalam Kalani adalah penguasa di negeri dongeng, dan penguasa sihir di dunia nyataku.
Aku sudah membaca keempat buku Kalam Kalani dan semuanya menakjubkan! Pada awalnya ada sedikit rasa denial dalam diriku. Mana mungkin penulis ini bisa mengalahkan cerita-cerita Ibu? Tapi, itulah kenyataan yang ada, dongeng-dongeng Kalam Kalani benar-benar menghipnotisku. Tak kuasa aku mengenyahkan pikiran-pikiran tentang apa yang selanjutnya akan dilakukan tokoh utama dalam cerita itu. Bagaimana jika pencariannya gagal? Bagaimana jika ia dikhianati? Atau bagaimana jika ia ditinggalkan? Imajinasi dalam kepalaku menari-nari liar di dalam badanku yang kaku di bangku perpustakaan, memandang hamparan lapangan upacara tepat di depannya.
Suatu ketika, Ibu pernah memergokiku tak kunjung tidur karena terus membaca buku dongeng tulisan Kalam Kalani. Di malam itu adalah kali ketujuh aku membaca cerita tentang Putri Pelita dan Burung Niu. Kukira Ibu akan marah besar, atau minimal menegurku karena esok aku masih harus sekolah. Tapi tidak, Ibu justru menawarkan untuk membacakan kisah itu hingga selesai.
“Bahaya kalau tidak segera tidur,” ujarnya. “Menitahkan bocah yang sedang penasaran untuk tidur juga tentu sama bahayanya.”
Ibu menelusup masuk ke selimutku, kali ini turut membaringkan diri di ranjangku yang menghangat. Aku menyiapkan diri, menarik selimut hingga sebatas hidung dan merapatkan jari-jari kakiku. Dongeng dan ilustrasi dari Kalam Kalani, dipadukan dengan suara indah Ibu? Pasti ini adalah hari keberuntunganku!
Suara Ibu mengalun dengan nada yang indah, “Putri Pelita dan Burung Niu.”
Cerita dimulai, dan aku terbang ke dunia imajinasiku. Membayangkan diriku menjadi Putri Pelita sang peri kecil tanpa sayap yang serba ingin tahu. Di dalam rumah Nenek Nana ada Cermin Serbatahu yang menjawab semua rasa ingin tahu Putri Pelita. Berkat pengetahuan yang diberikan oleh Cermin Serbatahu, Putri Pelita ingin berpetualang ke luar rumah. Namun, Nenek Nana melarangnya pergi! Katanya, dunia luar terlalu berbahaya. Namun berkat bantuan Burung Niu dan keberanian Putri Pelita untuk berkata jujur kepada Nenek Nana, akhirnya Nenek Nana mengizinkan Putri Pelita untuk pergi berpetualang bersama Burung Niu. Putri Pelita berhasil keluar dari rumah Nenek Nana dan pergi untuk berpetualang ke penjuru dunia yang ia lihat di dalam Cermin Serbatahu.
Jantungku berdebar kencang bahkan setelah Ibu selesai menutup buku dongeng itu dan mengembalikannya ke atas nakas. Ibu menangkap binar di mataku yang tak kunjung pudar.
“Sepertinya anak Ibu sangat suka dengan dongeng milik Kalam Kalani ini.”
Astaga, apakah Ibu mulai merasa tersaingi?!
Mataku mengerjap cepat. Masih berusaha kembali dari kekaguman.
“Suka sih, tapi nggak sebanyak sukanya Lala sama dongeng Ibu kok!”
Jemariku terangkat sambil membentuk angka dua. Suer suer!
“Apa yang membuat Lala suka sekali dengan dongeng Putri Pelita?”
“Putri Pelita itu kecil, tapi dia berani banget, Bu! Walaupun Nenek Nana bilang dunia itu berbahaya, dia tetap ingin pergi. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya. Seperti Lala kemarin ketika ke perpustakaan!”
Senyum Ibu terkembang. “Ibu juga seperti Putri Pelita.”
“Maksudnya apa, Bu? Ibu dulu juga takut untuk pergi menjadi jurnalis?”
Ibu mengangguk pelan.
“Banyak hal yang Ibu takutkan kala itu. Tapi, rasa ingin tahu dan menyebarkan kebaikan membuat Ibu berhasil mengatasi berbagai rasa takut Ibu. Akhirnya Ibu juga bisa pergi melihat dunia seperti Putri Pelita.”
Makin Ibu bertutur, makin aku mengaguminya. Juga mengagumi Kalam Kalani. Bagaimana bisa ceritanya terkait dengan banyak ragam kehidupan, termasuk hidupku dan hidup Ibu—dan mungkin hidup banyak orang yang membacanya.
“Hebat sekali ya Bu, Kalam Kalani ini—eh tapi masih keren cerita Ibu, kok!” ralatku buru-buru. Aku tak ingin Ibu merasa kunomor duakan! Ibu tetap nomor satu!
Ibu terkikik geli, “Walaupun Lala lebih suka dengan buku dongeng itu, Ibu juga tidak apa-apa, kok. Justru Ibu senang, sekarang Lala sudah berani meminjam buku sendiri, memilih buku apa saja yang Lala mau baca. Ibu jadi ingin berterima kasih kepada Kalam Kalani karena telah menyihir Lala menjadi kutu buku!”
Syukurlah Ibu tidak merasa aku duakan—tapi, kutu buku?!
“Lala nggak mau disebut kutu, Bu!”
“Kalau bukan kutu, apa dong sebutannya?”
“Mm–cacing kayaknya lebih lucu.”
Ibu tertawa lebar sampai menengadahkan kepalanya. Aku yang masih kecil tak tahu di mana letak candanya. Tapi melihat Ibu tertawa sampai terpingkal-pingkal, mau tak mau aku juga jadi ikut cekikikan.
“Oke, oke. Kalau begitu Ibu sudah tahu buku kesukaan Lala. Besok, Ibu akan minta ke Bapak untuk membelikan buku dongeng Kalam Kalani untuk Lala.”
Mataku berbinar terang, tak kusangka aku akan memiliki salah satu buku Kalam Kalani. “Memangnya boleh, Bu?”
Dengan senyum seindah cahaya bulan Ibu menjawab, “Tentu saja boleh. Ibu juga suka dengan tulisan Kalam Kalani.”
***
Aku dan Rais punya perjanjian. Sampai mati tempat ini akan menjadi rahasia di antara kami berdua. Bahkan Bapak dan Mbak Rah tidak boleh tahu.
Sepulang dari shift-ku dan Rais di Tumirah Bakery, kami bergegas menuju halaman belakang toko roti. Ada celah di antara Tumirah Bakery dengan bangunan di sebelahnya yang kami manfaatkan keberadaannya. Celah itu sangat sempit dan hanya bisa dimasuki oleh satu orang dengan posisi menyamping. Di situlah tempat kami menyembunyikan banyak hal. Mimpiku, mimpi Rais, dan rencana besarku.
Rais berjalan lebih dulu, menuju tirai terpal yang kami pasang untuk menutupi celah itu. Ia celingak-celinguk sambil menyibak tirai terpal yang sudah mulai terkikis. Tugas kami selalu sama, Rais berjaga di luar dan aku masuk ke celah sempit. Buru-buru aku melemparkan tas jinjingku ke tanah sebelum aku menyamping dan masuk ke celah itu.
Batu bata berlumut menyambut indra penciumanku. Sangat lembap dan dingin. Celah ini sangat sempit hingga jarak tubuhku dan tembok-tembok ini hanya sejengkal tangan orang dewasa. Aku dan Rais sudah mencari tempat persembunyian lain tapi yang satu ini adalah yang paling sempurna.
Setelah tiga langkah menyamping dan aku bisa meraih sebuah tas ransel hitam. Mengangkatnya, kemudian berusaha membawanya keluar celah. Setelah berhasil keluar, aku meletakkannya dengan perlahan di tanah dan membuka isinya. Memastikan semua masih tertata dengan baik di dalam. Hal-hal yang kami simpan di celah ini mungkin terlihat seperti rongsokan, tapi bagi kami berdua ini adalah harta karun tak ternilai. Peraturan kami sederhana, apa pun yang tak ingin diketahui orang lain bisa disimpan di sini. Selama barang itu muat untuk masuk ke tas, dan muat untuk masuk ke celah tembok.
Wajahku tersenyum ketika aku mengeluarkan map berwarna ungu dari dalam tas ransel itu. Aku berjongkok untuk membuka isinya di pangkuanku.
Lima buah buku dongeng yang paling aku jaga.
Masih tersimpan rapi dalam keadaan baik. Berjajar dengan apik dan pas di dalam map. Aku mengambil salah satunya. Tekstur sampulnya selalu terasa nyaman dalam genggaman tanganku. Warnanya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Mataku tak bisa lepas barang sedetik dan perasaan itu selalu datang. Kagum, senang, dan terkadang rindu. Aku memeluk buku-buku itu dalam senyum.
Rais mengeluarkan dua lembar koran bekas untuk alas duduk kami. Sambil melemparnya ke arahku, ia geleng-geleng kepala.
“Kukira setelah sekian lama hiatus, kamu bakal lupa sama penulis buku dongeng ini.”
Aku menggeleng kuat.
Lupa soal penulis buku dongeng ini adalah hal yang mustahil bagiku. Sejak kecil aku sudah tumbuh bersama dengan tulisan-tulisannya. Hingga beranjak dewasa pun aku masih kagum pada dunia yang ia ciptakan.
“Nggak.. Nggak mungkin aku lupa. Aku tumbuh bersama dongeng-dongeng ini seperti aku tumbuh bersama orang tuaku. Sudah berapa kali aku bilang, aku akan menjadi pembaca nomor satu!”
Aku memasukkannya kembali. Mengunci map ungu itu dan memeluknya sebelum memasukkannya kembali ke tas.
Selanjutnya aku mengecek isi tas. Ada kotak plastik berisi uang tabungan dan ponsel lamaku. Di sana juga ada map hitam milik Rais, tapi aku membiarkannya. Semuanya masih aman dan berada dalam tempatnya. Sampai ketika aku melihat ada benda baru yang sebelumnya tak pernah aku lihat. Buku yang masih berplastik.
“Kamu masukin barang baru, Is?” tanyaku padanya.
“Baru kemarin. Mau bilang tapi lupa terus. Buka aja, sih.”
Aku mengeluarkan buku baru itu dari dalam tas. Entah kenapa aku merasa benda ini familiar. Ketika buku itu sepenuhnya berada di tanganku, aku terbelalak.
“Kapan datangnya?! Kok kamu nggak bilang sama aku, sih?!”
“Namanya juga lupa! Nyampe ke toko kemarin lusa. Baru aku masukin tas kemarin sore.”
Astaga, astaga, astaga!
Dengan perlahan aku membuka plastik pembungkus sambil tak henti-hentinya aku berdecak kagum dengan semburat oranye yang tersebar di sampulnya. Sebuah buku dongeng anak dengan nama penulis favoritku tercetak dengan indah di bawah judul.
Kalam Kalani.
Nama yang dulu menjadi bagian dari hidupku, dan kini justru menjadi bagian dari rahasia yang kusembunyikan dari Bapak.
Kepergian Ibu tidak meninggalkan harta benda, tapi meninggalkan kenangan dan warisan pustaka. Pemikiran-pemikiran yang Ibu tuangkan, petualangan yang diabadikan dalam goresan pena dan berita, menjadi abadi di dunia fana ini. Termasuk dongeng yang selalu Ibu bisikkan padaku setiap malam.
Salah satu momen yang masih melekat di memoriku hingga kini adalah dongeng-dongeng Kalam Kalani yang selalu dibacakan oleh Ibu dan Bapak. Menjadi pembaca nomor satunya juga bukan semata-mata karena Kalam Kalani begitu pandai merangkai cerita, namun tulisannya juga selalu mengingatkanku pada Ibu. Tidak hanya soal memori yang kami ciptakan bersama ketika membaca dongeng Kalam Kalani, tetapi bagaimana pola bercerita dan cara penokohan yang menjadi ciri khas Ibu, ada dalam dongeng-dongeng Kalam Kalani.
Tiba-tiba Rais membuyarkan lamunan decak kagumku, “Asal kamu tahu, nyarinya sulit banget! Edisi ini bahkan udah nggak ada yang baru karena limited!”
“Iya aku tahu! Makasih udah bantu.”
“Itu juga, bukannya kamu udah punya buku yang lain? Kenapa ngoleksi lagi?”
“Kan sudah aku bilang, semua koleksiku yang dulu disimpan sama Bapak di kamar Ibu, dan aku nggak dikasih akses.”
Sesulit apa pun, aku akan selalu menjadi pembaca nomor satu Kalam Kalani. Entah sudah berapa momen kejatuhan dalam hidupku yang berhasil dibangkitkan oleh cerita-cerita luar biasa darinya. Meski Bapak berubah dan melarangku membacanya lagi, aku akan selalu berusaha untuk tetap dekat dengan sumber kekuatanku.
“Dongeng Kalam Kalani selalu bikin aku lebih dekat sama Ibu. Seakan-akan semua cerita Ibu ditulis lagi olehnya. Belum lagi ilustrasinya, bikin ceritanya makin hidup! Kamu yang paling tahu soal ini, Is.”
Kalam Kalani—penulis favoritku sepanjang masa—pernah hiatus secara tiba-tiba. Bertepatan dengan perginya Ibu, payung redaksi seri buku dongeng Putri Pelita merilis berita hiatus. Tanpa alasan, dan nihil penjelasan. Hanya ada permintaan maaf resmi dari pimpinan redaksi. Berselang tiga tahun kemudian ia kembali dengan edisi sangat terbatas. Hanya sedikit sekali edisi cetak, pun di zaman serba maju ini, tanpa edisi digital. Namun, rasanya seperti dihempas jatuh ketika kabar itu diikuti salam perpisahan. Edisi kembalinya Kalam Kalani adalah sekaligus salam perpisahan untuk para pembaca. Kalam Kalani berpamitan dari dunia dengan karya terakhirnya. Tidak sampai aku mengusahakan memiliki buku terakhir itu, tapi Bapak kepalang berubah. Kalam Kalani adalah bagian dari kami dan Ibu yang berusaha dikubur Bapak jauh-jauh. Jangankan memiliki, menilik isinya pun aku tak sempat.
“Iya memang, kala itu aku seneng banget ketika dengar kalau Kalam Kalani akan rilis buku lagi setelah sekian tahun hiatus. Tapi, begitu tahu kalau buku barunya adalah sekaligus buku terakhir, entah kenapa aku merasa kehilangan—untuk yang kedua kalinya.”
Patah hatiku yang kesekian.
“Gimana edisi yang lama-lama? Kamu udah nemu penjualnya?” Rais bertanya padaku sambil memainkan ujung koran yang kami duduki.
Aku menggeleng. “Susah, udah lama banget soalnya.”
“Kayaknya emang udah nggak ada deh, La. Kenapa nggak ngomong ke bapakmu aja sih, untuk ngasih ke kamu lagi semua koleksimu itu?”
“Bapak udah nutup semua akses ke Ibu, Is. Termasuk buku dongeng Kalam Kalani.”
“Kayaknya kamu bukan cuma nge-fans doang deh sama Kalam Kalani. Ada apa, sih? Kenapa belum cerita?”
Aku menunduk, mendadak lesu. Insting gila yang akhir-akhir ini terus berputar di otakku mendadak muncul. “Aku belum yakin. Makanya aku belum bisa cerita.”
Buku Kalam Kalani terus terbit bahkan setelah Ibu pergi, meskipun sempat ada tahun-tahun di mana ia hiatus lama sekali dan kemudian kembali, lalu hiatus lagi untuk kedua kalinya dan akhirnya kembali lagi. Pada suatu titik yang sulit kujelaskan, aku merasa Ibu hidup dalam dongeng Kalam Kalani. Pesan yang disampaikan pun juga sedikit banyak terdapat kesamaan. Semua dongeng Kalam Kalani terasa familiar walaupun tokoh-tokohnya berbeda. Ketika pikiranku sedang kacau akibat rindu, sekelebat pertanyaan gila terlintas.
Apakah Ibu berteman dengan Kalam Kalani? Atau cerita-cerita Ibu dibeli oleh Kalam Kalani? Yang tentu saja langsung kutepis jauh-jauh. Namun, meski kecil sekali kemungkinannya, aku ingin memercayai bahwa ada sebuah hubungan tipis antara Ibu dan Kalam Kalani. Sebuah ikatan yang ingin aku rasakan untuk membuatku lebih dekat dengan Ibu.
“Terus kapan mau cerita?” suara Rais mengembalikanku ke dunia nyata.
“Ya nanti kalau sudah yakin.”
Rais hanya bisa menggaruk rambut ikalnya. “Ya udah kalo gitu. Sudah ngecek tasnya?”
Aku menggeleng. Kuraih tas jinjing yang kulempar ke tanah. Tujuanku kemari adalah menambahkan benda yang harus kusimpan dan Bapak tidak boleh tahu. Seikat tali pramuka.
Rais terbelalak, “Heh, buat apa talinya?!”
Sambil memasukkan tali ke tas, aku menyergahnya, “Nggak usah mikir aneh-aneh. Kita sudah sepakat semua yang masuk ke tas ini adalah benda-benda untuk bertahan hidup.”
“Mau bertahan hidup di mana kamu pake tali pramuka?”
“Kalau aku jelasin sekarang, kamu juga nggak bakal ngerti. Udahlah, sekarang kita ke Pak Sumarno dulu.”
Dengan cekatan aku rapikan kembali semua isi tas ransel itu. Menutupnya kembali kemudian bergegas untuk menyembunyikannya dari dunia.
“Aku udah ngira kamu bakal ngajak ke Pak Sumarno.”
“Buku ini sudah lama aku tunggu. Aku nggak mau buang-buang waktu lagi. Ayo!”
Tanpa memedulikan langit yang sebentar lagi senja, aku dan Rais pergi meninggalkan tempat rahasia kami.
***
Toko buku bekas Pak Sumarno akan selalu menjadi tempat singgahku dan Rais. Sudah terlupakan rencana besar yang ingin aku pastikan. Untukku, pengaruh Kalam Kalani memang sedahsyat itu. Rencana besar bisa menunggu.
“Heboh sekali. Ada apa ini?” Pak Sumarno menghampiriku yang terus-terusan tersenyum.
“Ketemu bukunya, Pak!”
Aku mengangkat buku Kalam Kalani yang tadi sempat disembunyikan Rais diam-diam di tas rahasia kami, menunjukkannya ke Pak Sumarno sambil nyengir.
Setelah merapikan kembali tempat persembunyian kami, aku dan Rais bergegas pergi ke toko buku bekas Pak Sumarno. Beliau adalah guru Bahasa Indonesia kami ketika SD. Setelah pensiun dari dunia pendidikan, ia membuka toko buku bekas ini karena ingin terus menjaga wasilah. Aku dan Rais adalah pelanggan setianya selama bertahun-tahun. Karena hanya melalui toko buku bekas Pak Sumarno-lah, kami bisa melihat dunia luar.
Toko buku bekas Pak Sumarno hanyalah garasi rumah yang berisi buku. Di depan toko hanya ada sebuah kursi panjang dan meja. Begitu sampai, aku langsung duduk di kursi itu. Tak pernah ada yang duduk berlama-lama di sana kecuali aku dan Rais. Selain Rais, Pak Sumarno adalah salah satu orang yang kupercaya perihal kecintaanku terhadap Kalam Kalani. Tak sabar aku ingin membaca buku terakhir Kalam Kalani, tapi jelas tak mungkin kubawa pulang. Jika Bapak tahu, ia bisa marah dan merebutnya dariku.
“Dapat dari mana?” suara serak Pak Sumarno menyapa gendang telingaku. Setelah diingat-ingat, lama juga aku tak singgah kemari.
“Rais yang nemu, Pak.”
Tiba-tiba saja Rais muncul dari dalam toko dan sudah membawa tiga botol minuman dingin. “Seharian saya nyari di internet, Pak. Ketemu ada yang punya dan mau jual. Dikirim dari Aceh.”
“Wah, jauh juga.”
Kunyamankan posisi duduk di kursi favorit kami, lalu Rais dan Pak Sumarno bergabung bersamaku. Angin sore Kidung Kidul menyelimuti kami bertiga. Cahaya jingga dari langit menerangi sampul buku yang sudah ada di pangkuanku. Perasaan hangat yang sudah lama tak kurasakan mulai menyeruak. Ada perasaan familiar yang aneh menghampiri diriku saat aku membaca judulnya. Sebuah memori yang sangat kabur mulai muncul ke permukaan. Jantungku berdegup kencang seiring aku menyentuh setiap kata yang tercetak di sampulnya. Sebuah kenangan indah yang hampir terlupakan kini menyembur deras. Judul buku terakhir Kalam Kalani pernah ada dalam hidupku di masa lalu.
Putri Pelita dan Tangga Menuju Surga.
Dengan perasaan campur aduk antara kegembiraan dan kerinduan, aku membuka halaman pertama buku terbaru Kalam Kalani. Aku terpesona oleh kata-kata yang mengalir, seperti biasanya. Namun saat hampir menuju akhir halaman, sesuatu yang tak terduga terjadi. Di sana, di tengah-tengah cerita, aku menemukan karakter yang membuat jantungku berhenti sejenak.
Seekor burung feniks muncul di hadapanku dengan warna merah-oranye yang menyala. Membentangkan sayap hingga memenuhi seluruh halaman. Ekornya terkibas gagah, mengeluarkan percikan api yang muncul dari setiap helaian bulunya. Aku tak tahu perasaan apa ini, tapi sebuah gelenyar aneh merambat di dadaku. Sebuah semangat mulai hangat menyebar ke seluruh sanubari. Di punggungnya, burung api itu menggendong seorang makhluk kecil. Rambut hitamnya terbang berkibar terkena hempasan angin yang terasa panas.
Sedetik kemudian aku tercekat. Aku teringat jelas, itu adalah gambar yang pernah kubuat bersama Ibu ketika aku masih kecil. Kami duduk di meja ruang tamu, dengan pensil warna berserakan di sekeliling kami, menciptakan dunia imajinasi kami sendiri. Karakter itu adalah karakter yang kuciptakan bersama Ibu. Karakter yang aku ciptakan dengan detail dan kasih sayang.
Aku memandangi halaman itu dengan mata terbelalak. Bagaimana mungkin karakter yang pernah kugambar bersama Ibu muncul dalam buku Kalam Kalani? Rasa penasaran dan keheranan merasuk dalam pikiranku. Aku membalik halaman-halaman berikutnya dengan cepat, mencari petunjuk lain yang mungkin bisa menjelaskan keanehan ini.
“La?”
Suara Rais keheranan. Ia mungkin terkejut karena dengan tiba-tiba aku membalik buku ini seperti kesetanan. Seperti mencari-cari hal penting yang hilang. Tapi, memang diriku saat ini seperti itu. Pikiran-pikiran yang sudah lama kutepis kini kembali muncul. Seakan-akan firasat yang terkalahkan oleh logika tertawa menari-nari di atas kepalaku. Tanganku tak henti-hentinya membalik halaman. Kubaca dengan cepat semua kalimat yang tertulis di buku dongeng itu.
Makin jauh aku membalik halaman, makin banyak kutemukan elemen yang mengingatkanku pada masa kecilku. Ada ngengat flanel yang pernah aku sebutkan kepada Ibu secara serampangan ketika ingin dibuatkan dongeng baru, bahkan ulat kucing anggora yang selalu kuceritakan kepada Ibu sebelum tidur. Setiap elemen terasa begitu akrab, begitu personal.
Aku berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan merasakan gelombang emosi mengalir melalui diriku. Perasaan rindu terhadap Ibu makin kuat.
Apakah dugaanku selama ini salah? Apakah kenyataannya justru lebih gila daripada dugaanku?
Pertanyaan yang selama ini kusimpan dalam benakku tiba-tiba terasa begitu dekat dengan jawaban.
“Lala! Ada apa?” Rais mengguncang bahuku. Sepertinya ia menemukanku terlalu terkejut.
“Ibu adalah Kalam Kalani,” bisikku pada mereka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰