MENGEJAR CAKRAWALA | 3 - Sepasang Pendongeng Ulung

3
0
Deskripsi

Lala merasa Bapaknya berubah. Bapak yang dulunya sangat terbuka, tiba-tiba saja menjadi konservatif. Lala dilarang meninggalkan rumah! Lala terpaksa berjuang mati-matian untuk keluar dari desa Kidung Kidul di ujung selatan Malang.

Kenapa Bapak berubah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak? Lala harus mencari tahu! Berbekal petuah ibu, dan bersama dengan teman masa kecilnya–Rais, Lala akan menjalankan sebuah rencana besar!

[Mendekati Iduladha, 2012]

Bapak dan Ibu adalah sepasang pendongeng ulung. Tak ada habisnya kisah yang bisa mereka ceritakan kepadaku. Tak ada objek yang tak bisa mereka seret ke dalam sebuah skenario.

Bapak lebih sering menceritakan bagaimana sejarah memberi pelajaran. Terkadang ia mengulang kisah-kisah membosankan guru sejarah kami di sekolah, merangkainya menjadi dongeng peperangan yang dahsyat. Bagaikan mendengarkan sebuah film kolosal dan menjadikannya lullaby. Membuat kutukan Kerajaan Singasari menjadi sangat mengesankan.

Dari sekian banyak kisah sejarah yang diceritakan oleh Bapak, satu yang paling aku suka adalah kisah cinta Bapak dan Ibu. Tak hanya soal saling memberi cinta dan kasih, namun juga bagaimana keduanya tetap menghormati satu sama lain sebagai sesama manusia.

Bapak lebih konservatif, mungkin didikan orang tuanya–kakekku–cenderung begitu. Sedangkan Ibu adalah seseorang yang bebas. Perempuan paling bebas yang pernah aku kenal.

Terkadang aku penasaran bagaimana kakek-nenek dari pihak Ibu mendidiknya hingga menjadi demikian. Namun sayang, aku tak pernah mengenal mereka. Aku hanya bisa mendengarnya dari cerita-cerita Ibu. Pernah suatu kali Ibu bilang bahwa orang tuanya sudah tiada ketika ia masih sangat kecil.

Bapak dan ibuku bukanlah penduduk asli desa yang kami tinggali. Keduanya datang kemari ketika baru saja melangsungkan pernikahan. Bapak dan Ibu memutuskan untuk pensiun dini dan melanjutkan hidup dari alam, padi, dan sapi. Bapak menjual sawah warisan kakek dan membangun sebuah rumah sederhana di Desa Kidung Kidul. Sejauh yang bisa aku ingat, Bapak tidak lahir dari keluarga petani atau peternak, tapi kini Bapak sudah terlihat seperti sarjana pertanian atau bahkan dokter hewan. Ketika aku bertanya dari mana Bapak mengetahui segala hal mengenai padi dan sapi, Bapak hanya menjawab bahwa petualangan Bapak yang mengajarkan segalanya.

Dulu Bapak adalah seorang penyunting di salah satu redaksi media cetak terkenal di ibu kota. Tak ayal banyak sekali pengetahuan yang ia dapat dari mengedit jutaan artikel. Bapak pernah meliput seorang petani tua dan anaknya yang menjadi penggembala sapi. Bapak juga pernah meliput seorang dokter hewan yang berkiprah di pedalaman Jawa Timur. Bapak selalu mengajarkan kepadaku bahwa ia senantiasa mengosongkan gelasnya ketika dia melakukan liputan. Gelas yang penuh hanya akan tumpah ruah ketika memaksa untuk diisi.

Jika Bapak adalah seorang penyunting, maka Ibu adalah jurnalis di redaksi yang sama. Seperti cerita-cerita metropop pada umumnya, Bapak dan Ibu dipertemukan dalam pekerjaan. Ketika aku bertanya kepada Bapak kapan pertama kali ia melihat Ibu, Bapak seketika akan menjawabnya dengan gaya seperti pujangga murahan.

“Bapak bahkan sudah lama jatuh cinta pada Ibu jauh sebelum Bapak bertemu dengannya.”

Malam itu, giliran Bapak yang mendongeng untukku. Membicarakan Ibu yang sedang tadarusan di langgar kampung kami.

“Bagaimana bisa?” tanyaku kepada Bapak.

Kebiasaanku terhadap cerita Bapak tidak pernah berubah, selalu skeptis dan bertanya-tanya.

“Bapak sudah jatuh cinta kepada ibumu sejak hari pertama Bapak membaca tulisannya.”

Mataku berbinar. Bagaimana mungkin seseorang bisa jatuh cinta tanpa bertemu? Bagaimana mungkin sebuah tulisan bisa memikat seorang laki-laki seperti Bapak? Yang menurut curhatan Ibu, Bapak tergolong karyawan kuper yang cuma kerja-kerja-kerja.

Hawa kamarku mulai dingin dan aku mengeratkan selimut. “Tulisan Ibu yang seperti apa yang membuat Bapak jatuh cinta?”

Dengan senyum hangat, Bapak menengadah memandang langit-langit kamarku. Seakan-akan kejadian itu terjadi di atas plafon.

“Hari itu benar-benar hari sial Bapak. Sejak pagi Bapak sudah terjebak kemacetan kota. Setelah itu ketika jarak kantor Bapak tinggal satu kilo lagi, Bapak kena tilang polisi gara-gara pakai knalpot brong!”

Bapak geleng-geleng payah. Tawa kami memenuhi kamarku.

“Tidak sampai di situ, di kantor pun tiba-tiba saja banyak sekali pekerjaan yang mustahil untuk diselesaikan dalam satu hari. Tapi karena Bapak bertekad kuat untuk mematahkan kesialan pada hari itu, Bapak bekerja keras mati-matian. Mengorbankan jam istirahat Bapak, makan sepotong roti dan sekotak susu sambil terus mengedit deretan abjad. Bapak hanya mengambil jeda untuk salat. Sampai akhirnya matahari tergelincir ke peraduannya. Warna oranye di langit digantikan dengan gelap malam. Lampu-lampu kantor dan jalanan mulai menyala satu per satu. Namun, Bapak seakan tidak peduli. Bapak terus saja bekerja hingga semenit lagi berganti hari. Alhamdulillah, semua pekerjaan hari itu akhirnya selesai.

“Raut muka Bapak sudah seperti mayat hidup. Lelah, pucat, dan rasa-rasanya Bapak bisa muntah kapan saja. Seluruh otot terasa kencang, bahkan pinggang terasa akan patah. Bapak juga bisa maklum kalau-kalau ada office boy yang berteriak mendapati bola mata Bapak melihat ke arah yang berbeda seperti bunglon.”

Aku menutupkan selimut ke atas kepala, “Bapak, serem, ih!”

Tawa Bapak menggelegar. Puas mengerjaiku yang penakut ini. Tak berhenti sampai di situ, Bapak bahkan membuat lingkaran dari telunjuk dan jari tengahnya lalu bergerak-gerak aneh seperti alien.

“Bapaaakk!!” aku merengek sambil tertawa.

“Hahaha … mari kita lanjutkan. Tepat tengah malam Bapak bersiap-siap pulang. Bapak kira kesialan di hari itu telah usai. Dunia sudah melihat kerja keras Bapak dan membiarkan Bapak untuk segera menyudahi hari. Namun Bapak salah, kiranya alam sedang menghukum Bapak.

“Ketua tim datang dengan langkah tergesa. Membawa sebuah flashdisk kecil di tangannya. Perasaan Bapak sudah tak enak.”

“Ada pekerjaan di detik-detik terakhir Bapak akan pulang?!” sahutku pada cerita Bapak.

Bapak mengangguk mantap, “Tidak ada yang lebih buruk di dunia ini daripada pekerjaan mendadak yang disodorkan kepada seseorang yang akan pulang kerja setelah lembur sehari semalam!

“Raut muka ketua tim juga sudah sama jeleknya dengan Bapak, namun ia memerlukan bantuan. Kami terpaksa bekerja sama untuk bisa keluar dari neraka pekerjaan malam itu. Bapak harus menyunting sebuah artikel majalah traveling untuk dicetak esok pagi. 

“Bapak sudah pasrah. Sudah tidak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diri Bapak bahkan hanya sekedar untuk mengeluh atau menyemangati diri. Kala itu Bapak hanya ingin segera pulang dan istirahat. Hingga saat ini pun Bapak masih ingat betul judul headline yang sedang Bapak sunting.”

Dengan gestur penuh kekaguman Bapak menggambar sebuah garis imajiner di atmosfer kamarku.

“Judulnya Tangga Menuju Surga.”

Seperti yang aku bayangkan, Ibu selalu memesona. Tak ayal Bapak bisa jatuh cinta kepadanya dan aku yakin siapa pun bisa jatuh cinta dengan mudah kepada Ibu. Boleh jika mengatakan aku berlebihan, tapi ibuku adalah jelmaan bidadari baik hati.

Kemudian aku bertanya kepada Bapak, “Apa isi tulisan Tangga Menuju Surga? Dan bagaimana pada akhirnya Ibu jatuh cinta kepada Bapak?”

“Isi Tangga Menuju Surga akan Bapak kisahkan lain malam. Sekarang Lala sudah harus tidur karena besok waktunya sekolah.”

Dibandingkan memaksa Bapak dan malah berujung tidak diberi jatah cerita, lebih baik aku menurutinya meski terpaksa.

Sembari menarik selimut, aku memandangi Bapak yang tersenyum, “Kalau soal Ibu jatuh cinta pada Bapak?”

Sebuah kecupan mendarat di keningku. “Kalau itu, tanyakan sendiri kepada ibumu.”

 

***

 

Jika Bapak adalah seorang pendongeng sejarah, maka Ibu adalah dalang alam semesta. Jika Bapak kehabisan dongeng, Ibu seakan akan bisa memetik skenario dari langit di luar jendela kamarku kemudian menyajikannya seperti sihir ajaib. Menghidupkan seorang raja, seekor gajah, sebatang pohon, bahkan sebongkah batu besar di sungai. Mengajarkan arti kehidupan melalui elemen-elemen di alam semesta.

Meskipun Ibu sudah lama meninggalkan dunia redaksi, aku tahu ia tak akan pernah bisa lepas dari rangkaian kata. Seringkali aku melihat Ibu duduk dengan khidmat menghadap laptopnya. Jemarinya menari lincah mengetikkan kata demi kata. Raut wajah Ibu serius, kacamata baca bertengger di batang hidungnya. Beberapa kali aku memanggil Ibu karena haus, tapi Ibu seakan tak mendengar apa-apa.

“Bu? Ngapain?”

“Eh,” Ibu terlonjak kaget melihatku yang tiba-tiba muncul di balik layar laptopnya.

“Lala manggil-manggil Ibu tadi, tapi Ibu nggak dengar,” aku memasang muka yang bersungut-sungut. Pura-pura marah.

Ibu tersenyum kemudian membuat wajah menangis yang dibuat-buat, “Maaf ya, Nduk. Ibu tadi sedang konsentrasi tingkat tinggi, hehehe.”

Kala itu, aku yang masih kecil sangat kebingungan dengan kalimat sederhana Ibu. “Apa itu konsentrasi?”

Ibu membuat kacamata kuda bayangan dengan kedua telapak tangannya, menggerakkannya ke pelipis kemudian ke depan layar. Ibu melakukannya berkali-kali sambil berkata ‘fokus La, fokus’.

Aku tergelak, “Baiklah, Lala maafkan. Ibu fokus apa, sih?”

“Ibu sedang menulis tentang kampung nelayan.”

“Kampung nelayan? Yang di ujung selatan Kidung Kidul itu Bu?”

Ibu mengangguk.

“Apa yang Ibu tulis?”

“Soal bagaimana para nelayan menghidupi keluarga mereka. Betapa luas lautan sampai bisa menyambung nyawa hingga pendidikan.”

“Kepada siapa Ibu menulis ini? Apakah ini semacam surat?”

Ibu menggeleng. “Ibu menulis sebuah cerita yang akan dibaca oleh seisi dunia.”

Mendengar kata ‘dunia’ membuat mataku terbelalak. Di sekolah, aku diajarkan bagaimana bumi ini begitu luas dan dihuni oleh miliaran manusia, dan tulisan Ibu akan dibaca oleh miliaran orang itu? Yang benar saja! Itu luar biasa!

Aku terperanjat, memutari meja makan kemudian duduk di sebelah Ibu. “Apakah orang di Benua Antartika juga akan membaca tulisan Ibu?”

“Bisa jadi begitu.”

Aku bertepuk tangan. Masih terkagum-kagum dengan yang Ibu lakukan. Sesaat kemudian aku teringat satu hal. Pelajaran yang selalu dikatakan Ibu, yaitu alasan melakukan sesuatu.

“Kenapa Ibu menulis tentang kampung nelayan? Apa yang ingin Ibu dapatkan?”

Pertanyaan yang terlalu rumit dari seorang anak SD.

Ibu hanya tersenyum. Membelai rambutku yang sudah panjang sepinggang. “Ibu meletakkan banyak harapan di tulisan ini.”

Harapan, ya?

“Sekarang Lala mungkin belum paham. Tapi, Ibu yakin suatu saat Lala akan mengerti bahwa kata-kata merupakan hal yang kuat.”

Ibu memandangku dengan tatapan penuh harapan. Ia menangkup pipiku dengan telapak tangannya yang hangat. Seakan memberi mantra perlindungan, suaranya melembut.

“Kata-kata bisa mengubah hal yang mustahil menjadi mungkin. Kata-kata bisa mengubah seseorang. Kata-kata juga bisa membangkitkan semangat. Kata-kata bisa menanamkan keyakinan.”

Ada jeda yang panjang setelah itu. Ibu menghela nafas sambil memandangi langit-langit ruang makan kami. Menerawang ke kejadian-kejadian yang mungkin sudah pernah terjadi di hidupnya.

Pandangannya kembali kepadaku kemudian melanjutkan, “Namun di saat yang bersamaan, kata-kata bisa menjadi belati tajam yang melukai. Kata-kata juga bisa menjadi senjata untuk berkilah. Bagai sebuah pisau, kata-kata bisa menjadi penolong sekaligus penjahat. Kata-kata bergantung pada manusia yang menggunakannya.”

Tiba-tiba Ibu terkekeh karena raut mukaku yang makin kebingungan.

“Lalu, soal kata-kata yang bisa membuat perubahan itu, apakah Ibu pernah menyaksikannya?”

“Tentu saja pernah. Bahkan sering kali.”

“Bisa ceritakan padaku, Bu?”

“Lala anakku. Kita hidup di atas desa yang berubah karena kata-kata.”

 

***

 

Zaman dahulu, Kidung Kidul hanyalah salah satu dari banyak wilayah sepi di selatan Jawa Timur. Desa ini sangat luas, namun hanya beberapa rumah saja yang bercokol. Letaknya yang jauh di selatan dan terpisah puluhan kilometer dari kota membuat manusia enggan beranak pinak. Kebanyakan keluarga nelayan saja yang rela membangun kehidupan di sana karena geografis Kidung Kidul yang bersentuhan langsung dengan laut selatan. Setiap hari Kidung Kidul hanya dilewati truk-truk pengangkut ikan, sepertiga di antaranya mengangkut pasir pantai. Bagi para tengkulak ikan dan penambang pasir, Kidung Kidul adalah harta karun. Desa ini tetap menjadi sebuah rahasia untuk segelintir pengusaha dalam jangka waktu yang lama.

Sampai pada suatu hari, seorang penjelajah menemukan bibir pantai yang indah bukan main. Melalui dua buah foto dan narasi panjang, penjelajah ini mengabarkan ke seluruh Indonesia bahwa ia telah menemukan setitik prototipe surga di selatan Malang.

Siapa pula yang tak tertarik dengan gambaran surga? Orang-orang kota berdatangan silih berganti. Pencinta alam datang berduyun-duyun. Tak jarang juga banyak yang datang hanya untuk meladeni rasa takut ketinggalan tren. Dalam sekejap, Kidung Kidul memiliki kehidupan. Akibat banyaknya turis, penduduk dari desa yang lebih di utara mulai melihat harapan baru. Mata pencaharian bermunculan dan Kidung Kidul mulai riuh. Sebagian besar warga mendirikan warung makan, sebagian yang lain memilih jalan kreatif untuk membuat suvenir dan oleh-oleh.  Meski begitu, tak serta merta Kidung Kidul menjadi hidup. Desa ini hanya muncul saat matahari nampak. Begitu jingga merajai langit, Kidung Kidul hanyalah selarat hutan jati. Hingga suatu ketika, Pak Presiden ingin berkunjung ke pantai selatan.

Koran traveling yang mengulas sudut surga pantai selatan itu, entah bagaimana sampai ke istana dan jatuh di meja jamuan Presiden. Orang nomor satu di negeri ini ingin menilik surga terpencil di timur Pulau Jawa. Hanya dengan satu titah, sibuklah seluruh jajaran. Hari kedatangan Presiden telah ditentukan. Segala protokol telah dipersiapkan. Kabar mengenai kunjungan sudah disebar ke berbagai lapisan pemerintahan, hingga ujungnya sampai ke telinga Kepala Desa Kidung Kidul.

Di tengah pudarnya harapan Kepala Desa terhadap Kidung Kidul, muncul celah kesempatan yang tak dinyana. Para petinggi provinsi berbondong-bondong datang ke desa. Tak mungkin datang sendiri, pamong praja pun berduyun-duyun ikut mendampingi. Semua skema perbaikan desa dipaparkan, segala program kemajuan disodorkan. Dalam semalam Kidung Kidul berubah. Hanya butuh sekejap saja untuk mengubah jalanan berbatu menjadi berkerikil, lalu kerikil itu ditimpa lagi oleh aspal hitam yang panas. Hampir seminggu warga harus memutar jalan hanya untuk sekadar pergi ke pasar akibat aspal yang masih basah. Tapi, warga desa pun tak mengeluh. Mereka semua mafhum bahwa ini adalah titik permulaan menuju perubahan.

Seperti memeriksakan sebuah penyakit linu ke dokter spesialis, terkadang saat penyebab sakit sudah diketahui, ia telah menjangkit separuh tubuh dan bukan hanya sekadar linu. Hal itu pula yang terjadi di Kidung Kidul. Ketika Menteri Pariwisata ikut cawe-cawe, terbongkarlah sudah bahwa Kidung Kidul memerlukan pembangunan lebih dari yang mereka kira. Belum ada sekolah permanen, belum ada klinik, dan jangankan swalayan, sekadar mencari kebutuhan pokok saja mereka harus berjalan kaki berkilometer. Program kunjungan Presiden berubah menjadi program pembangunan.

Seiring berjalannya program pembangunan, kunjungan Presiden dilaksanakan. Anak-anak sekolah dan warga desa sudah berjajar rapi sedari pagi. Membingkai sepanjang jalan aspal baru sambil melambaikan bendera kecil dari bahan plastik murahan. Ketika mereka sudah mulai bosan dan kepanasan, sebuah mobil mewah melintas. Sosok gagah menyembul dari kap mobil dan melambaikan tangan. Menyapa rakyatnya yang tinggal nun jauh di ujung pulau. Seluruh warga desa bersorak ramai. Figur yang selama ini mereka saksikan di surat kabar dan televisi, melintas di hadapan mereka. Presiden berkenan turun dari istana untuk sekadar mengintip surga mereka yang tersembunyi.

Wartawan dari berbagai penjuru negeri datang untuk meliput. Kini seluruh negeri memberi perhatian penuh pada tanah pasir yang menjorok di Kidung Kidul. Pantai Ceruk Kidung Kidul menjadi topik perbincangan seantero negeri. Pada hari kunjungan Presiden, wisatawan membanjiri pantai empat kali lipat dibandingkan hari biasa. Sumber mata pencaharian mulai bermunculan, pertumbuhan penduduk merambat naik. Kidung Kidul seakan bangkit dari kematian.

Kebangkitan ini tak berhenti hanya sampai di situ; perubahan demi perubahan terus terjadi di tanah Kidung Kidul. Sekolah permanen mulai dibangun, pasar besar yang awalnya terbuka ke langit kini diberi naungan. Bidak-bidak pedagang yang seadanya dan reyot telah dirubuhkan dan diubah menjadi etalase kayu. Kidung Kidul tak hanya bangkit, ia juga merekah.

Diriku di masa kanak-kanak tentu terbelalak lebar mendengar cerita Ibu tentang tanah kelahiranku. Tanah yang lahir karena kehebatan kata-kata. Tanah yang merekah karena sebuah tulisan. Tuhan memang telah bermurah hati memberikan setetes air surga ke sudut selatan pulau ini. Namun tanpa kesadaran manusia, surga itu akan tetap tersembunyi di sana.

”Tapi, Nduk ... Kidung Kidul dan ceruknya adalah salah satu yang beruntung,” kata Ibu sambil mengulas sebuah senyum.

”Kenapa beruntung?”

”Karena manusia kala itu sadar akan pentingnya surga ini. Untuk bisa melihatnya lebih lama, mereka bersama-sama menjaganya. Menjaga surga itu sendiri, dan menjaganya dari manusia lain yang serakah.”

”Serakah, Bu?”

Ibu mengangguk, “Banyak sekali surga yang bisa ditemukan di negeri ini, namun tak lama surga itu rusak dan tak indah lagi. Manusia serakah hanya mementingkan ego diri sendiri. Datang untuk berfoto, untuk sekadar aktualisasi diri, namun tidak untuk ikut menjaga.”

“Oh, seperti pantai ngetren yang akhirnya rusak itu ya, Bu?”

“Betul,” wajah Ibu berangsur lesu. “Tak hanya pantai, lereng gunung, gua, hutan, semuanya tak luput dari ketamakan manusia. Ibu bahkan pernah berharap bahwa surga-surga itu agar tetap bersembunyi. Biarlah indahnya dinikmati hanya oleh satwa-satwa, atau sebagian kecil dari orang-orang yang sadar.”

“Tapi tidak juga,” suara Bapak menyahut dari belakang kami, mengejutkan aku dan Ibu. Disusul bau rumput yang bercampur dengan sedikit aroma ternak. Harusnya kami bisa mengantisipasi kedatangan Bapak.

Bapak baru saja pulang ngarit, bajunya masih basah oleh keringat. Caping masih tergantung di punggungnya, celana training terangkat sampai selutut.

 “Kalau surga di Kidung Kidul tetap bersembunyi, ratusan warga di sini tidak akan memiliki berkah sebesar hari ini.”

Bapak berangsur ke dapur untuk mencuci tangan di wastafel. Bau sabun lemon menguar ke seluruh isi ruangan. Dari balik punggungnya yang lelah, ia mengintip aku dan Ibu.

“Ibu dan Bapak tidak akan punya kehidupan yang tenang. Tidak akan ada peternakan Bapak, dan tidak akan ada Lala.”

Ibu tersenyum ke arah Bapak. Tatapan penuh cinta yang selalu aku ingin tahu bagaimana merasakannya ketika sudah dewasa.

“Meskipun Bapak dan Ibu adalah pendatang,” lanjut Ibu, “kami bersyukur dan sebisa mungkin menjaga Kidung Kidul. Karena ini sudah menjadi tanah kelahiran Lala–anak kesayangan Ibu.”

Aku dan Ibu saling memeluk dalam senyum. Pelukan Ibu selalu hangat dan penuh kasih. Pelukan Ibu yang selalu aku rindukan.

Bapak bergegas mendekat, ingin bersatu bersama kami. Tapi tidak! Bapak bau! Buru-buru aku mengangkat tangan bak polisi cepek menghentikan sepeda motor.

“SETOP! Ah, Bapak! Mandi dulu laahh!”

Ibu tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Bapak yang serba salah. Sedetik kemudian Bapak mengulas senyum. “Ya sudah, kalau begitu salim saja dulu. Kalau tangan Bapak kan udah bersih ini.”

Bapak membuat gestur mencium tangan seperti bintang iklan sabun cuci piring, “Hm, aroma lemon!”

Ibu menggeleng sambil tertawa. Ia melepas pelukan kami dan meraih tangan Bapak, mencium punggung tangan Bapak yang kemudian dibalas dengan usapan di pucuk kepala Ibu. Disusul aku yang turut melakukan hal serupa.

“Oh, iya! Bapak hampir lupa!”

Tiba-tiba saja Bapak menepuk jidat dan bergegas mengambil tas jinjing yang biasa dibawa ketika bekerja. Tas itu ia tinggalkan di teras rumah karena bagian bawahnya yang kotor terkena lempung. Tas rami Bapak hanyalah tas anyam dari bahan plastik yang biasa digunakan emak-emak untuk belanja di pasar besar.

“Tadi pagi Bapak dan Mas Tejo ke rumah Pak Haji Ni’am untuk memastikan pesanan Idul Kurban. Eh, ternyata sedang ada persiapan selamatan di pondok pesantren. Lalu Pak Haji menitipkan sesuatu buat Lala.”

Mendengar bahwa ada sesuatu yang dititipkan untukku membuat aku penasaran bukan main. “Apa itu, Pak? Titipan dari Pak Haji?”

Bapak mengeluarkan sebungkus kantong plastik hitam berukuran sedang. Terlihat seperti ada masa berbentuk cair yang dimasukkan ke sana. Bapak meletakkan bungkusan itu di atas meja. Aku bergegas mengintip ke dalam bungkusan. Ada mie putih, tahu, gorengan, dan tiga bungkusan kuah di dalamnya. Baru kuintip sedikit, aroma kaldu sapi sudah tercium sangat kuat. Seketika perutku menjadi sangat lapar.

“Tara! Bakso sapi kesukaan Lala!” ujar Bapak di tengah-tengah kami. “Wah, wah, buatan Ning Fidah ini pasti.”

Aku berdiri melompat. Beruntung sekali nasibku hari ini. Sekolah libur, bisa bersantai di rumah sedari pagi, mendapat dongeng dari Ibu, dan di saat siang mendera Bapak pulang membawa bakso. Bukan bakso biasa, tapi bakso buatan Ning Fidah–anak Pak Haji Ni’am–yang berbeda dengan bakso yang biasa dijual di pasar. Entah apa resep bakso Ning Fidah tapi hanya saat selamatan pondok saja warga bisa menikmatinya.

“Ayo, Pak! Kita buka baksonya!”

“Eh! Jangan dong, dihangatkan dulu. Bapak juga belum mandi ini.”

“Ah! Bapak lama!”

“Ya sabar toh, Nduk. Ini kalo Bapak nggak jadi supplier sapi ke Pak Haji juga nggak kebagian bakso loh.”

Ibu menutup laptopnya kemudian meraih kantong kresek hitam dari atas meja. Membuat gestur menahan riuh seperti moderator debat.

“Oke oke, para pencinta bakso, bisa kita tenang sejenak? Kalau begitu, Bapak silakan mandi dulu sembari Ibu dan Lala menyiapkan baksonya. Bagaimana?”

“Oke!” teriakku sambil melompat girang.

Bapak mengangguk. “Setuju. Tapi, Lala janji nggak akan curang makan duluan.”

“Janji!”

Bapak bersedekap, “Janji apa?”

“Janji kelingking!”

Bapak menggeleng. “Untuk urusan bakso, Bapak butuh janji yang lebih mengikat daripada janji kelingking.”

“Baik! Aku akan Janji Gajah!”

“Janji Gajah?” Bapak menjulurkan tangannya ke arahku.

“Janji Gajah!”

Aku meraih tangan Bapak kemudian mengaitkan jemari kami. Tangan kami berayun ke kanan dan ke kiri. Makin mengerat seiring aku berputar cantik di bawah lengan Bapak. Bapak meraih tanganku yang lain. Saling mengeratkan jemari kami kemudian kembali bergoyang ke kanan dan ke kiri. Selayaknya gajah yang membelitkan belalainya, tanda percaya satu sama lain.

 

***

 

“Terus, sekarang gimana?”

Suara Rais membuyarkan lamunan masa kecilku. Posisi kami masih sama, termenung di meja kasir toko roti.

Rais benar, Bapak sudah berubah. Bapak yang sekarang sudah bukan Bapak yang kukenal dulu. Tanpa aku sadar, otakku masih terus mencari titik waktu di mana Bapak mulai berubah. Tapi, titik itu belum nampak.

Lagi-lagi Rais benar. Aku tidak bisa begini terus lantas menyerah. Semestinya ada cara lain supaya aku bisa menyongsong masa depanku.

Sebenarnya, masih ada satu cara. Cara terakhir.

“Rais,” panggilku lirih.

Ia menoleh ke arahku dengan pandangan curiga.

“Apa aku harus melakukan rencana besar itu, ya?” tanyaku lirih.

Seketika mata Rais terbelalak lebar. Ia bangkit dari dingklik-nya hingga hampir terjengkang.

“Hah?! Kamu serius? Jangan ngawur kamu, La!”

Aku menghela nafas panjang. Aku sudah mengira reaksinya bakal seperti ini.

“Ya terus gimana?!” jawabku tak kalah kencang. “Kalau aku diam terus, nggak akan ada yang berubah. Sampai mati aku akan terus di kampung ini.”

Rais memegangi kepalanya. Pusing.

“Tapi, kamu nggak kasihan apa sama bapakmu?”

Aku memutar posisi dudukku kemudian menghadapnya.

“Sekarang pertanyaanmu aku balik. Emang Bapak nggak kasihan sama aku?!”

Rais kembali duduk di dingklik-nya. Lemas.

“Kamu masih menyimpan semua titipanku dengan baik, ‘kan, Is?”

Rais mengangguk dengan raut wajah yang tidak bisa kuartikan. Ia mengusap wajahnya gusar.

Di balik kaca toko terlihat Mbak Rah kembali dari tugasnya mengantar roti untuk Pak Haji. Tanda bahwa aku dan Rais harus segera mengakhiri pembahasan kami.

“Bagus,” kataku sambil bangkit untuk mulai menyiapkan rak proofing.  “Sore ini setelah toko tutup, kita ke sana. Aku mau cek sekali lagi.”

Buru-buru aku mengencangkan tali apron dan bergegas menuju dapur belakang. Meskipun Mbak Rah baik, namun ia tetaplah pemilik toko yang saklek akan waktu. Begitu cepat gerakku hingga sedetik kemudian aku sudah hilang di balik dapur jika saja Rais tidak menahan tanganku. Pandangan matanya penuh permohonan.

Makin erat genggamannya saat ia berkata lirih.

“La, pikirin lagi, ya.”

Aku mengangguk singkat. Genggamannya terlepas dan aku berangsur ke dapur. Meskipun aku mengangguk setuju, di dalam hati aku mengingkari.

Aku nggak janji.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Novel
Selanjutnya MENGEJAR CAKRAWALA | 4 - Kalam Kalani (1)
4
1
Lala merasa Bapaknya berubah. Bapak yang dulunya sangat terbuka, tiba-tiba saja menjadi konservatif. Lala dilarang meninggalkan rumah! Lala terpaksa berjuang mati-matian untuk keluar dari desa Kidung Kidul di ujung selatan Malang.Kenapa Bapak berubah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak? Lala harus mencari tahu! Berbekal petuah ibu, dan bersama dengan teman masa kecilnya–Rais, Lala akan menjalankan sebuah rencana besar!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan