Lala merasa Bapaknya berubah. Bapak yang dulunya sangat terbuka, tiba-tiba saja menjadi konservatif. Lala dilarang meninggalkan rumah! Lala terpaksa berjuang mati-matian untuk keluar dari desa Kidung Kidul di ujung selatan Malang.
Kenapa Bapak berubah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak? Lala harus mencari tahu! Berbekal petuah ibu, dan bersama dengan teman masa kecilnya–Rais, Lala akan menjalankan sebuah rencana besar!
[Musim hujan, 2023]
“Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi?”
Kemudian sunyi yang lama.
Makanan di atas meja seakan menjadi hambar seketika. Denting sendok yang beradu telah lama hilang, menyisakan detak jam yang memenuhi ruang makan kami. Suara sayup tadarus di saung desa menyelimuti kehampaan. Bersamaan dengannya, mimpi seorang anak perlahan memudar.
“Jadi anak Bapak yang nurut saja, itu sudah lebih dari cukup.”
Tubuhku mematung.
Daripada marah, diriku dipenuhi luapan keheranan. Aku tahu betul siapa orang tuaku. Aku tahu betul siapa Bapak. Kalimat barusan terasa seperti lelucon karena diucapkan oleh seseorang yang selalu membicarakan soal mimpi.
“Kenapa, Pak?” suaraku memecah keheningan.
Tak akan kubiarkan keberanian yang sudah kukumpulkan sejak lama kandas begitu saja hanya dengan satu helaan nafas. Setidaknya aku harus melawan barang sedikit. Satu-satunya harapanku kini adalah adanya alasan masuk akal di balik ucapan konyol itu.
Kudengar napas panjang Bapak.
“Sekarang buat apa Lala kuliah? Hidup Lala sudah tercukupi, toh? Makan nggak pernah kurang, kita juga nggak punya utang. Rumah nggak bocor. Sandang, pangan, papan untuk Bapak dan Lala, sudah lebih dari cukup.”
Napasku serasa ditarik seiring kata demi kata yang keluar dari mulut Bapak. Benarkah itu alasannya?
“Justru karena itu ‘kan, Pak? Karena kebutuhan dasar rumah kita sudah tercukupi, bukannya tidak apa-apa kalau Lala kuliah?”
Pandanganku ke sana kemari, takut melihat langsung ke arah bola mata Bapak yang menua dan lelah. Pundak Bapak merosot. Ia teguk air putih di cangkir blirik perlahan.
“Nduk—”
“Kuliahnya Lala nggak mahal kok, Pak. Beasiswa!”
Kesabaranku menguap, ingin buru-buru aku keluarkan kartu terakhir agar semua cepat selesai. Aku tak pernah sanggup bertahan lama dalam sebuah perdebatan, apalagi dengan Bapak.
Degup jantungku berpacu, kurasakan genggaman tanganku di sendok dan garpu mengerat. Tidak, terlalu erat!
Alis Bapak mengernyit, “Kamu apply beasiswa?”
Hilang sudah ramah tamah Bapak. Jika namaku sudah tak ia sebut, maka ia sudah naik pitam. Hembusan napas di setiap kata Bapak terasa dingin, mendesis penuh kekecewaan.
Aku memaksa sendi-sendi leherku yang tegang untuk mengangguk pelan.
“Tanpa sepengetahuan Bapak?”
Suara ‘tuk’ menutup pertanyaan. Bapak menunjuk meja makan kami bagai menulis sebuah titik tanda penyelesaian.
‘Ya Allah, berakhir sudah’, bisikku dalam hati.
Atmosfer yang semula tenang, terasa mulai bergejolak. Buku jariku yang menggenggam sendok makin memutih akibat menahan takut. Kekhawatiran ini terlalu besar untuk kusandarkan pada seonggok besi. Keinginanku menyelesaikan makan malam sudah menguap entah ke mana–apalagi Bapak.
“Ma–maaf karena nggak izin Bapak dulu, tapi Lala lolos!”
“Lantas apa kalau kamu lolos?” ujar Bapak sambil meletakkan alat makannya. “Ninggalin Bapak, terus bergaul sama dunia yang udah rusak?! Iya?! Begitu mau kamu?!”
Apa? Tidak, tidak–bukan begitu!
Dalam hati aku berteriak sekencang guntur. Namun apa daya, bibirku terkatup karena rasa hormatku padanya. Jangankan meninggalkan Bapak, menjawabnya pun aku tak punya nyali. Rasa hormat dan sayangku memenangkan segalanya. Menutup keegoisan diri bagai lilin yang mati perlahan di dalam gelas terbalik. Perlahan padam dan mati.
“Bukan, Pak. Lala nggak pernah berpikir begitu,” kuhela nafas perlahan, sebisa mungkin mengendalikan diri. Air mataku tak boleh jatuh sekarang. Suaraku mencicit kecil, “Lala punya bakat dan Lala ingin bisa hidup dari itu, Pak.”
”Kayak Bapak nggak bisa ngidupin kamu aja.”
Astaga, bukan begitu juga Pak!
Terdengar bunyi kaki kursi yang beradu dengan lantai. Bapak bergegas berdiri lantas beranjak pergi, membawa peralatan makannya menuju wastafel. Gerakannya cepat namun dipaksakan. Bapak ingin buru-buru mengakhiri perdebatan kami.
“Pak, bukan begitu maksud Lala. Dengerin Lala dulu, ya. Tolong–”
Bapak masih diam. Memunggungiku sambil pura-pura sibuk mencuci piring bekas makan. Kesunyian menerjang rumah kami bagai topan. Suara tonggeret di luar rumah mengolok-olok dua orang ayah dan anak yang entah sejak kapan memulai perang dingin.
“Lala punya cita-cita,” mulaiku lirih. “Lala juga ingin belajar banyak hal. Lala ingin menjalani hidup dari sesuatu yang Lala cintai. Lala ingin menulis, Pak. Dan pena Lala akan membawa kehidupan untuk Lala.”
Betapa aku cinta menulis seperti aku mencintai Bapak dan Ibu.
“Tapi, jadi penulis juga nggak segitunya perlu kuliah, kan? Kalau masih ngotot mau kuliah, cari yang online saja! Kuliah yang bisa dari rumah!”
Dari rumah? Kemudian terkurung selamanya, begitu?
”Kuliah bukan hanya soal ilmu Pak, tapi juga pengalaman,” potongku cepat. “Gimana bisa tahu asin kalau nggak pernah menelan garam? Dan gimana bisa tahu rasa panas kalau nggak pernah terbakar? Kalau Lala tetap tinggal di desa, mau jadi apa? Lala sudah dilarang bantu Bapak di sawah dan kandang, belajar bertani nggak boleh, beternak nggak boleh, belajar mengolah susu sapi pun juga Bapak larang. Ngarit apalagi. Lantas apa? Bantu Mbak Rah jualan roti terus? Baik kalau itu mau Bapak, tapi sampai kapan? Sampai kapan Lala akan begini terus?”
Sunyi kembali menyelimuti kami. Kulihat raut wajah Bapak mulai melunak, tapi aku tidak.
”Lala pengin jadi jurnalis kayak Ibu. Lala juga pengin melihat dunia yang dilihat Ibu. Selama ini Lala cuma baca semuanya dari buku, atau dari cerita Bapak dan Ibu. Lala juga ingin melihat dengan mata kepala Lala sendiri.”
Lagi. Sudah malam ke sekian dalam rentetan hidup kami berdua, suaraku meninggi. Kadang kala aku juga bertanya-tanya. Apa yang menyebabkan aku dan Bapak tetap berada dalam satu meja makan meskipun sebagian besar hanya kami isi dengan perdebatan, bantahan, dan sanggahan.
Ah ya, mungkin pesan Ibu. ‘Tak peduli permasalahan apa yang mendera keluarga kecil kita, tetaplah bersama di meja makan. Siapa tahu ada hati yang terketuk, kemudian berbesar hati untuk meminta maaf dan memaklumi.’
Yang mana sebagian besar akulah yang selalu melakukan demikian.
“Dunia nggak seburuk itu, Pak. Apa yang sebenarnya selama ini Bapak khawatirkan?”
Jika memang ada hal yang Bapak takutkan, maka suarakanlah. Sampaikan padaku meskipun itu menghancurkan. Bukan bermain abu-abu dan tarik-ulur seperti yang selama ini aku dan Bapak lakukan. Jika tidak boleh, maka larang dan beri alasan. Jika boleh, maka lepaskan.
Bapak berbalik padaku. Memandangku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan sepenuhnya. Entah apa yang Bapak sembunyikan, tapi kelelahan mendominasi sorot matanya.
“Dunia itu keji, Lala! Yang Bapak ceritakan ke kamu selama ini hanya sisi terang. Kamu nggak tahu gimana dunia memperlakukan Bapak–memperlakukan Ibu!!!” suara Bapak terdengar pilu. Menyiramkan air ke bara api kemarahanku. Seketika yang tersisa hanya desis hampa dan asap rasa bersalah.
“Bapak nggak sanggup lihat kamu jauh.”
Ada getir yang pahit dalam nada bicara Bapak. Sejenak bisa kurasakan luka dalam setiap kata. Namun, itu bukan hanya luka seseorang. Luka kehilangan itu adalah milik kami. Aku dan Bapak.
“Lala nggak akan ke mana-mana. Lala cuma kuliah, Pak! Nggak ada yang meninggalkan dan ditinggalkan–”
Aku memotong kalimatku sendiri. Detak nadiku sudah terasa hingga ke ubun-ubun. Sambil menghela nafas aku memijit pelipis. Kutarik nafas panjang untuk mengatur segala apapun yang sedang bergejolak di dalam diriku.
“Lala tumbuh dari cerita petualangan Ibu. Lala dibesarkan dengan petuah-petuah hasil pengelanaan Bapak. Bukankah sangat wajar jika Lala menginginkannya? Sebuah kebebasan?”
‘Apa yang Bapak harapkan dari seorang anak kecil yang dewasa bersama petualangan orang tuanya? Menjadi putri tidur?! Mustahil’, aku memberontak dalam diam.
Tak sampai hati aku melemparkan demikian kepada Bapak. Sudah terlalu banyak kesulitan yang Bapak tanggung, aku tahu betul jika demikian. Tapi untuk masa depanku, ada genggaman tanganku yang turut andil mengendalikannya. Ada sebagian dari diriku yang hidup di dalamnya, dan aku tak akan membiarkannya mati begitu saja.
Kerongkonganku mulai terasa tercekik. Aku terlalu keras pada diri sendiri untuk tidak menangis. Menahan semua gejolak perasaan dalam waktu yang lama. Aku tak ingin terlihat lemah di depan Bapak, aku harus memenangkan perdebatan ini.
“Bapak cuma punya kamu, Nduk. Nggak ada lagi....”
Skakmat.
Selesai sudah semua argumen. Selesai sudah tangga cita-cita yang kubangun dengan terseok-seok. Selesai sudah pengharapan ini. Berbulan-bulan aku menyiapkan segala jawaban, mental, dan tameng untuk perdebatan kali ini. Aku bahkan sudah siap untuk meledak lebih kencang jika Bapak sama kerasnya. Namun malam ini di luar dugaanku. Bapak telah menyudahinya dengan telak.
Luka kehilangan yang sudah kami tahan bertahun-tahun, Bapak buka kembali untuk menahan langkahku. Mendorongku untuk merangsek masuk tempurung penyesalannya. Jika sudah begini, apalah arti daya dan upayaku. Tak sampai hati diriku untuk menambahkan luka kehilangan lain dalam diri Bapak.
Satu hal yang Bapak tak akan pernah paham. Jika luka kehilangan membawa perih di hidup Bapak, ia justru membawa rasa dalam hidupku. Bapak tak akan pernah paham bahwa luka itu adalah satu-satunya yang bisa kurasakan dari kehadirannya. Luka itu yang membuatku merasa dekat dengannya. Memeluk luka itu adalah caraku untuk terus mengingatnya. Dengannya aku merasa hidup.
Namun sudahlah, setelah ini semua tak akan sama lagi. Ruang makan kami tak pernah hangat lagi. Meja makan kami berubah menjadi meja peradilan. Yang bisa kami telan hanya perdebatan dan bantahan, kesunyian menjadi lauk pauk. Jarak kami makin merenggang, makin menjauh, makin tak mengerti satu sama lain.
Sejak kapan aku dan Bapak jadi begini?
Bisakah kita kembali seperti dulu?
***
Lonceng pintu toko berdenting lebih kencang dari biasanya. Kekuatan amarahku mengejutkan penghuni Tumirah Bakery.
“Selamat data–eh Mbak Lala!” Mbak Rah yang buru-buru keluar dari dapur sambil mengusap-usap celemeknya, melempar senyum termanisnya padaku. Dengan sedikit terpaksa aku membalas balik senyumnya. Luka batin dari pertengkaranku dan Bapak tak kunjung kering dari semalam.
Aroma roti yang baru saja keluar dari oven sedikit banyak membuat kekalutanku hilang. Gundukan-gundukan keemasan yang ditata rapi di atas loyang-loyang stainless benar-benar memanjakan mata. Selain bau tepung yang menyenangkan, salah satu alasan aku sering datang kemari adalah sang pemilik dan adik laki-lakinya yang sudah kuanggap seperti keluarga.
Aku sudah menjadi bagian dari Tumirah Bakery semenjak toko roti ini berdiri. Seluruh tubuhku sudah hafal betul bagaimana seluk beluk toko kecil ini. Begitu mbrobos masuk ke balik etalase, tanganku sudah otomatis menggapai celemek marun dengan bordiran logo “TM” berwarna perak. Mengalungkannya ke leher dan mengikat sabuknya ke belakang. Sebuah kain kotak-kotak kuraih dan mulai mengelap bagian atas etalase.
“Maaf ya Mbak Rah, agak kesiangan aku.”
“Lha kenapa sih Mbak, pakai minta maaf segala. Saya sudah bersyukur dibantu terus sama Mbak Lala dan keluarga,” sambil menata bagelen di keranjang anyam, Mbak Rah lagi-lagi tersenyum. Perempuan yang hampir berusia tiga puluh itu begitu manis ketika mengurus roti-roti.
Entah apa alasan sebenarnya di balik panggilan ‘mbak’ dari Mbak Rah untukku. Padahal, jarak usia kami terpaut hampir dua kali jauhnya. Sudah aku katakan jutaan kali untuk tidak memanggilku ‘mbak’, tapi ia selalu berdalih dengan alasan sudah terlalu enak memanggilku dengan sebutan ‘Mbak Lala’. Akhirnya aku mengalah karena capek melarang.
“Promo hari ini apa, Mbak Rah? Sini aku yang tulis.”
Dengan sedikit berjinjit aku meraih papan tulis hitam yang disandarkan di atas etalase, bertopang punggung ke arah tembok batu bata toko yang dibangun dengan kesan ‘unfinished’.
“Hmm–yang bisa bikin Mbak Lala ketawa dapat roti bawang korea!”
Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengar celetukan Mbak Rah, “Lah, lah! Promo macam apa itu? Lagian, kenapa bonusnya roti yang mahal?”
“Ya karena tawanya Mbak Lala itu mahal–mendamaikan hati,” ujarnya sambil pura-pura tersipu malu.
“Halah, halah.. wes wes! Promonya sama aja kayak yang kemarin. Beli dua roti bawang gratis lidah kucing packing kecil. Ya?”
“Oke!” balasnya sambil tertawa-tawa.
Tak lama kemudian perbincangan kami ditengahi oleh kedatangan sepeda motor tua. Berisik dan knalpotnya meletus-letus. Asap putihnya menghalangi seluruh kaca Tumirah Bakery, sudah seperti fogging!
Sayup-sayup terdengar suara terima kasih yang tertahan ketika asapnya hilang dihempas angin, lalu nampaklah Pak Mul tukang ojek perempatan dan Rais kawan baikku.
“Lha ini anaknya, Rais sudah datang,” Mbak Rah menepuk bahuku. “Kalau gitu, saya tinggal ngantar roti ke rumah Pak Haji ya. Bentar aja kok.”
Aku mengangguk mengiyakan pamitan Mbak Rah. Dengan sigap Mbak Rah menyambar dua kresek besar berisi roti yang sudah dipak dalam kardus-kardus kecil. Itu adalah pesanan yang sudah kami siapkan untuk acara Diba’an ibu-ibu kampung nanti sore. Dengan cekatan Mbak Rah naik ke boncengan sepeda fogging Pak Mul, menunjuk-nunjuk arah rumah Pak Haji dengan dagunya. Belum sepenuhnya asap putih itu hilang, dengan satu kali genjot motor Pak Mul kembali mengepul. Rupanya suara mesin tua yang kelelahan masih bisa mengalahkan tonggeret pagi.
Pak Mul putar balik untuk mengantar Mbak Rah ke rumah Pak Haji, sedangkan Rais masuk ke toko sambil memikul karung goni berisi tepung di bahu kanan dan menenteng sekeranjang besar berisi telur yang dilindungi rami. Rupanya, ia baru saja kembali dari pasar.
Bergegas aku mengambil keranjang telur dari tangannya, membiarkan ia masuk terlebih dulu ke dapur belakang dan menurunkan karung tepung di pojok ruangan.
“Gimana kata Bapakmu? Sudah ngomong kan tadi malam?” tanyanya sambil mengelap keringat dengan lengan baju. Rambut ikalnya jadi putih sebagian akibat tepung yang bocor.
Aku menggeleng. Luka dari tadi malam terbuka kembali. Sambil menata butir-butir telur ke rak khusus, aku curhat ke Rais.
“Nggak dikasih izin sama Bapak," ujarku sambil terus mengangsurkan telur-telur ke rak paling bawah.
“Lah gimana sih? Katamu kalau kuliahnya beasiswa, Bapakmu bakal ngebolehin.”
Aku hanya bisa mengedikkan bahu. Aku sendiri pun tak tahu.
Rais menyabet serbet kemudian bergegas membersihkan sisa-sisa tepung di rak khusus untuk proofing adonan. Sebelum jam dua belas, rak itu harus sudah bersih. Mbak Rah akan menata adonan di sana dan didiamkan hingga mengembang.
“Terus gimana?” suara ‘ngik-ngik’ rak reyot yang dilap Rais mengisi suasana dapur yang berubah canggung.
“Ya sudah. Aku nggak berangkat.”
“Tapi itu beasiswa sulit loh, La. Kamu udah susah payah dapetinnya. Masa mau kamu lepas gitu aja?”
“Mau gimana lagi, Is. Bapak nggak ngebolehin,” tanpa aku sadar aku menggenggam keranjang telur terlalu erat. “Aku bisa apa?” suaraku terdengar putus asa.
Suara ‘ngik-ngik’ rak proofing sudah menghilang. Seketika aroma keputusasaan menguar ke mana-mana. Melingkupi kami.
Rais menghela nafas, “Berarti Bapakmu aja yang kolo–em, konservatif!”
Secepat kilat aku memutar kepala. Tega sekali dia bilang Bapakku terbelakang. “Bapak nggak kolot ya!”
Rais melipir ke area depan toko, pura-pura mengecek kotak uang dan buku catatan. Aku mengekorinya, menghentak-hentakkan kakiku tanda tersinggung. Meskipun aku dan Bapak sering bertengkar, bukan berarti aku akan setuju jika ada orang lain yang berkata buruk tentangnya.
“Nggak ada yang bilang Bapakmu kolot.”
“Itu tadi?!”
“Iya deh maaf. Tapi udah buru-buru kuralat jadi konservatif.”
“Bapak nggak kolot!”
“Iya iya, aku minta maaf udah bilang Bapakmu kolot. Tapi kalau nggak kolot, apa coba namanya?”
Aku terdiam.
“Ke perpustakaan kota aja kita kudu sembunyi-sembunyi. Kucing-kucingan terus sama Bapakmu. Tiap pergi ke kota juga selalu aja aku yang kamu jadiin tumbal. Sudah jelek kayaknya citraku ini di mata Bapakmu.
“Kamu bilang Bapakmu orangnya open-minded kan? Orang open-minded mana yang ngelarang kuliah, La? Yang bener aja!”
Selesai mendampratku, Rais menarik lap yang tersampir di pundaknya dengan kasar, melanjutkan membersihkan meja kasir dalam diam.
Aku tahu betul Rais juga kecewa atas berita yang kubawa. Aku tahu betul bagaimana ia selalu membantuku dalam situasi apapun termasuk beasiswa ini. Tapi mau dikata apa? Restu Bapak juga penting buatku. Mimpiku memang penting, tapi jika berangkat tanpa restu Bapak, bukannya malah jadi durhaka?
Di tengah keheningan yang lama, Rais membuka percakapan. “Jujur, aku makin nggak ngerti sama Bapakmu.”
Dengan gerakan malas-malasan aku menarik kursi lipat kondangan untuk memulai pekerjaanku. Menjaga kasir.
Helaan napas kuhembuskan keras-keras untuk menjawab pernyataan Rais. “Aku juga.”
“Waktu kamu izin kuliah, Bapakmu bilang kayak gimana emang?”
Bagai kaset kusut, suara Bapak terngiang-ngiang di dalam rongga kepalaku. Tiap kali otakku memutar memorinya, rasa sakitnya masih sama.
“Katanya, buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi.”
Rais buru-buru melangkah ke arahku yang kini sudah berpangku tangan di atas buku catatan keuangan toko roti. Memandang jalanan Kidung Kidul yang sepi sesekali dilalui andong dan prawoto (truk pengangkut).
Aku meliriknya sekilas dengan ogah-ogahan. Rais membelalak tak percaya dengan pernyataanku yang barusan.
Rais memajukan tubuhnya dengan keheranan, “Hah?! Kamu bercanda ya?”
“Serius! Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Bapak pas dengar aku mau kuliah.”
Rais mundur sejenak. Ia masuk ke dapur untuk mengambil bangku tinggi, ditempatkannya bangku itu di belakang etalase untuk ikut duduk menjaga toko bersamaku.
“Kamu yakin Bapakmu pernah kuliah? Ibumu dulu jurnalis kan?”
“Iya! Ya kali aku bohong ke kamu. Buat apa?!”
Aku rasa Rais ingin membuatku tersinggung untuk yang kedua kali.
“Nggak mungkin, La. Orang berpendidikan kayak Pak Tris nggak mungkin ngomong kayak gitu. Kamu salah dengar kali!”
“Nggak, Is. Aku yakin Bapak ngomong gitu tadi malam!”
Bagaimana mungkin aku salah dengar. Kata-kata itu begitu menyakitkan hingga rasa-rasanya sampai kapan pun aku akan selalu merasa terkhianati. Tapi dengan sedikit terpaksa, harus aku akui bahwa Rais ada benarnya. Jika memang Bapak dan Ibu adalah orang yang berpendidikan dan terbuka akan dunia, mana mungkin Bapak berkata demikian? Hah! Otakku makin ruwet sekarang.
“Tapi La, apa kamu yakin?” Rais menjeda kalimatnya yang dilontarkan dengan berbisik.
“Yakin apa?!”
“Yakin kalau Bapakmu memang orang yang kamu kenal?”
Pertanyaan Rais terasa janggal bagiku, “Maksudnya?”
“Yaaa... kamu selalu cerita kalau dulu pas kamu kecil, Bapakmu selalu ngomongin soal mimpi dan cita-cita. Kelas berapa itu?”
Pikiranku melayang ke sudut toko roti Mbak Rah, berusaha mendapatkan jawabannya dari sana.
“Kelas dua.”
“SMP?”
Aku menggeleng, “SD.”
“Astaga lama banget!”
Aku mengernyit melihat Rais menepuk kepalanya. “Emangnya kenapa sih?”
“Itu hampir sepuluh tahun yang lalu. Ingatanmu bisa aja salah. Kali aja dulu Bapakmu memang kolot!”
“Nggak, lah! Nggak mungkin ingatanku salah! Aku tahu betul siapa bapakku. Aku tahu betul siapa ibuku.”
Rais makin ngelantur. Mana mungkin aku melupakan momen-momen berharga dalam hidup?! Semuanya masih terasa jelas di kepalaku seperti baru terjadi kemarin. Aku jelas mengetahui siapa bapakku dan siapa ibuku.
Aku mengenal mereka dengan baik.
“Lantas, kenapa sekarang beliau berbeda? Apa kamu masih kenal sama bapakmu yang sekarang?”
Bagai petir di siang bolong pertanyaan Rais menyambar ubun-ubunku. Secara langsung ia telah menyuarakan keresahan yang kualami beberapa tahun terakhir, yang hingga saat ini masih kuusut asal-usulnya, sejak kapan tepatnya aku mulai merasa jauh dari Bapak. Sejak kapan tepatnya Bapak berubah.
Pertanyaan Rais tak bisa kujawab. Semua kenanganku dan Bapak di masa lalu seketika menerobos keluar dari sudut kotak memori yang paling dalam. Menyeruak karena keabsahannya dipertanyakan oleh hati nuraniku.
Di tengah aroma tepung, dibalut hangatnya roti-roti yang baru saja jadi, diselimuti jalanan Kidung Kidul yang damai, ingatanku menari-nari liar ke masa lalu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰