MENGEJAR CAKRAWALA | 2 - Kami di Masa Lalu

9
3
Deskripsi

Lala merasa Bapaknya berubah. Bapak yang dulunya sangat terbuka, tiba-tiba saja menjadi konservatif. Lala dilarang meninggalkan rumah! Lala terpaksa berjuang mati-matian untuk keluar dari desa Kidung Kidul di ujung selatan Malang.

Kenapa Bapak berubah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak? Lala harus mencari tahu! Berbekal petuah ibu, dan bersama dengan teman masa kecilnya–Rais, Lala akan menjalankan sebuah rencana besar!

[Musim panen, 2012]

Nduk, ayo bangun. Sudah jam empat subuh.”

Kurasakan sebuah usapan di pucuk kepalaku. Tangan besar dan hangat Bapak meresap hingga ke sanubari. Tepian kasurku melesak karena Bapak duduk menyamping di sana, berusaha membangunkanku dengan pijatan-pijatan pelan di lengan.

“Uh–lima menit ya, Pak,” pintaku dengan suara serak.

Kantuk masih menggelayut berat di kelopak mataku. Hasil tidur telat karena dongeng Ibu terlalu asyik dari biasanya. Dongeng yang semalam terpaksa bersambung karena Bapak menegur kami.

“Oke. Bapak kasih lima menit. Kalau lima menit nanti nggak bangun, hukumannya adalah gelitik kaki.”

Aku mengangguk, yang penting penawaran lima menit telah dikabulkan. Ancaman gelitikan Bapak bisa dipikirkan nanti.

Tubuhku kembali seimbang. Bapak beranjak dari tepian kasur dan meninggalkan kamarku. Seketika aku memanfaatkan ekstensi waktu yang diberikan Bapak.

Lima menit yang berharga sebelum memulai hari Senin. Ugh!

Rasa-rasanya baru semenit aku tidur, namun aroma kaldu sapi sudah memenuhi paru-paruku. Seketika aku terbelalak dan bangkit untuk duduk. Suara berdenting dari dapur menyapa pendengaranku. Samar-samar ada suara Bapak dan Ibu yang sedang bercakap.

Kusibak selimut dan bergegas berjalan ke dapur sambil bersusah payah mengumpulkan nyawaku yang masih tercecer. Sebenarnya pandangan mataku masih buram, tapi aroma kaldu sapi ini menuntunku dengan cara yang luar biasa akurat.

“Lah, katanya tadi lima menit!” seru Bapak pura-pura terkejut setelah memergokiku mengintip di pintu dapur.

“Ibu masak apa?” perhatianku seratus persen terpusat pada panci yang dipegang Ibu di atas kompor.

Bapak menggeleng, “Oalah, gara-gara ini toh langsung bangun.”

Tawanya menggelegar memenuhi dapur kecil kami.

Ibu mengintip dari balik bahunya. Figurnya yang tinggi dan rambutnya yang panjang sepunggung masih tercetak jelas di memori otakku. Cantik dan menawan.

Sambil tersenyum Ibu menjawab, “Tentu saja kesukaan Lala.”

“Bakso, Bu?!” kesadaranku terkumpul sepenuhnya.

“Iya, tadi malam dapat kiriman pentol frozen dari Pak Haji, tapi karena sudah terlalu malam dan Lala sudah tidur, jadinya disimpan dulu.”

Air liurku rasanya sudah menetes.

Bapak bangkit dan merapikan rambutku, “Sudah, sudah. Karena Lala sudah bangun ayo kita salat dulu. Ayo Bu, dimatikan dulu kompornya. Kita berjemaah.”

Bapak mendorongku pelan menuju kamar mandi. Meluruskan kepalaku yang terus meneleng menatap panci bakso yang beraroma sedap. Sesekali bapak mengusap kepalaku sambil tertawa. Terdengar sayup suara Bapak yang berujar ‘udah, udah’, meyakinkanku bahwa panci baksonya tak akan ke mana-mana.

Sebelum masuk ke kamar mandi, Bapak berjongkok di hadapanku, membantuku menggulung lengan piyama dan menaikkannya hingga ke atas siku.

“Jangan lupa, sikunya harus kena air,” ujarnya pelan. Petuah untuk anak kelas satu SD yang baru saja berkomitmen untuk rajin salat.

Selanjutnya, Bapak membantu menggulung celanaku. Dalam hati aku berujar sambil manggut-manggut, ‘yang ini sampai mata kaki’.

Setelah memastikan piyamaku tidak akan basah karena wudu, Bapak membalik badanku. Dari belakang aku bisa merasakan tangan Bapak dengan hati-hati mengumpulkan helaian rambutku, memastikan rambutku tidak tertarik terlalu kencang. Bahkan bisa aku rasakan Bapak merapikan rambutku kelewat hati-hati, seakan rambutku bisa tercerabut hanya karena satu tarikan ringan. Dengan telaten Bapak mencepol rambutku, menusuknya dengan sumpit yang asal-asalan ia comot dari dapur.

“Sudah, ayo wudu.”

Bapak mengisi sebuah kendi tanah liat yang ditempatkan di pojok kamar mandi. Setelah penuh, ia mencabut sumbat di bagian dasar kendi. Seketika air meluncur turun dan aku mulai berwudu persis seperti yang diajarkan di sekolah. Bapak hanya memperhatikan cara wuduku, ia hanya berdiri diam di sebelah kendi. Setelah selesai, Bapak mempersilakanku untuk menyusul Ibu.

Di kamar Bapak dan Ibu, ada sudut yang dipasang karpet tebal. Di sana tersusun dua sajadah besar dan satu sajadah kecil. Ibu sudah siap menunggu kami, menyiapkan mukenaku dan sarung Bapak. Suara gemercik air sudah tidak terdengar, itu artinya Bapak sudah selesai wudu dan aku harus bergegas.

“Lubang kepalanya di sini, Lala...” tawa Ibu terdengar di tengah kesulitanku menemukan lubang kepala di mukena. Setelah lulus dari kesulitan mengenakan mukena, Ibu membantuku merapikan rambut. Dengan jarinya yang lentik Ibu mendorong masuk helai-helai poniku yang mencuat. Bisa kulihat wajah Ibu yang bersih dan mulus. Ia tersenyum dan aku pun turut serta.

Ikamat salat dikumandangkan Bapak. Kami bertiga berdiri menghadap Ka’bah nun jauh di barat untuk kemudian bersama-sama dalam kedamaian dan kasih sayang menyembah Sang Mahacinta.

 

***

 

Di rumah mungil kami, setiap pagi selalu diawali dengan semangat, doa, dan pengharapan. Sebuah kecupan di dahiku disematkan oleh Ibu tanda restu untuk menuntut ilmu. Sekecup lagi diberikan Ibu kepada Bapak untuk pengharapan akan rahmat dan rizki dari Sang Mahadaya.

Aku melambaikan tangan sembari naik ke motor tua otok-otok milik Bapak. Perlahan kami menjauh ke arah utara dan Ibu terlihat makin kecil. Melepaskanku untuk menuntut ilmu dan melepaskan Bapak untuk mencari nafkah.

Sehari-hari sebelum pergi bekerja, Bapak menyempatkan diri untuk mengantarku ke sekolah. Sepeda motor bututnya mengeluarkan asap putih di sepanjang jalan, seakan memberi jejak ke mana pun Bapak pergi. Alhamdulillah tidak separah sepeda motor fogging milik Pak Mul tukang ojek prapatan.

Sekolahku terletak lumayan jauh jika naik sepeda kayuh dan terlampau jauh jika berjalan kaki. Jalanan yang kami tempuh dari rumah ke sekolah juga cukup ekstrem. Dua kali tanjakan dan turunan, satu kali melewati jembatan, dan satu kali melewati sawah. Medan yang kurang ramah untuk ditempuh sendirian oleh gadis kecil kelas satu sekolah dasar. Ya, desa kami masih dikelilingi berlarat hutan dan dilindungi banyak air terjun.

Sesampainya kami di sekolah, Bapak akan selalu berhenti tepat di bawah naungan pohon beringin. Buru-buru Bapak menstandar motor bututnya dan turun. Kebiasaan Bapak selalu sama, menggendongku turun dari boncengan motor seperti seorang raja yang menggendong putri, penuh perhatian dan kasih sayang. Bapak selalu menganggapku harta karun paling berharga sedunia yang sewaktu-waktu bisa pecah.

“Waduh, rambutnya agak berantakan. Bapak terlalu kencang ya tadi bawa motornya? Maaf ya, Nduk...” ujarnya setelah menurunkanku kembali ke tanah.

Dengan cepat Bapak mengeluarkan sisir plastik kecil dari sakunya dan menyisir poniku dengan tergesa-gesa. Ujung jarinya meratakan helaian rambutku. Perhatian Bapak memang selapang padang dan aku merasakannya.

Aku menggeleng cepat, tersenyum jenaka. “Nggak apa-apa, Pak. Nanti juga berantakan lagi, hehe.”

Kurasakan tangan Bapak meraih kerah seragamku, menekuknya dengan hati-hati ke arah yang benar. Tak lupa dasi merahku juga turut diluruskannya. Padahal sejak pagi Ibu sudah berkali-kali mengecek kerapihanku, tapi rupanya pengecekan terakhir masih ada di tangan Bapak.

Nduk, ajining diri saka lathi, ajining rogo soko busono. Harga diri batin seseorang dilihat dari tutur katanya, harga diri raga seseorang dilihat dari pakaiannya."

Begitulah Bapak, selalu tiba-tiba mengeluarkan pepatah jawa yang aku tak mengerti. Belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya, Bapak sudah menjelaskannya dengan singkat.

“Salah satu cara untuk menghargai diri adalah dengan mengenakan pakaian. Tak perlu yang mewah atau menawan, cukup pakaian yang baik dan terhormat.”

Kedua tangannya mendarat di pundakku, seakan menyalurkan banyak cita-cita dan harapan.

“Menjadi pelajar adalah salah satu hal terhormat yang bisa dilakukan manusia. Gunakanlah pakaian yang baik untuk menghargai ilmu dan diri sendiri.”

Sejujurnya aku tak begitu mengerti. Tapi aku membuat memo di otak bahwa aku akan meminta penjelasan yang lebih panjang ketika sesi bercerita di rumah nanti.

Lonceng tanda masuk sudah berbunyi. Bapak bergegas berdiri dan turut serta berjalan denganku menuju gerbang sekolah. Sebelum melewati batas sekolah dan dunia luar, aku mencium tangan Bapak. Tanda bakti seorang anak yang selalu diajarkan oleh guru-guru kami. Tanda restu untuk menjadi pelajar, belajar, dan menjadi terhormat.

Bapak tersenyum bangga, melambai padaku yang terus menaiki anak tangga menuju area sekolah. Di saat-saat seperti ini aku merasa benar-benar seperti seorang tuan putri. Diperlakukan dengan penuh kehangatan, kehati-hatian, dan cinta kasih.

“Pulang sekolah nanti, Bapak dan Ibu akan jemput kamu. Tunggu kami di bawah pohon belimbing,” suara janji Bapak menggema hangat di telingaku. Ia mendongak ke atas dengan penuh harap.

Nggih, Pak!"

Aku melambaikan salam sampai jumpa ke arah Bapak di bawah sana sebelum aku bergerak maju menyongsong masa depanku. Sembari langkahku terus berayun menuju sekolah, sayup-sayup seakan kudengar suara Bapak menggema di dalam rongga kepalaku.

Tunggu kami di bawah pohon belimbing…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Novel
Selanjutnya Ramadhan Bersama Lala
1
0
Ini adalah kumpulan kegiatan Lala selama Ramadhan 2024 yang pernah dipost di instagram. Di sini kami bagikan kembali dalam full resolution yang bisa kamu download dan dijadikan wallpaper smartphone kamu.Ilustrasi oleh @niczierou, Farah Kartika, dan @_muhisa
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan