Lala merasa Bapaknya berubah. Bapak yang dulunya sangat terbuka, tiba-tiba saja menjadi konservatif. Lala dilarang meninggalkan rumah! Lala terpaksa berjuang mati-matian untuk keluar dari desa Kidung Kidul di ujung selatan Malang.
Kenapa Bapak berubah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak? Lala harus mencari tahu! Berbekal petuah ibu, dan bersama dengan teman masa kecilnya–Rais, Lala akan menjalankan sebuah rencana besar!
[Teras rumah kami, 2012]
Libur sekolah selalu menjadi saat yang paling kutunggu. Tak hanya aku, mungkin seantero siswa di dunia ini. Selain aku bisa mengambil jeda dari pelajaran-pelajaran dan guru-guru saklek, aku juga jadi punya lebih banyak waktu untuk kuhabiskan bersama Ibu. Salah satu kegiatan yang selalu kami lakukan adalah mengarang sebuah cerita bersama-sama.
Kala itu, aku dan Ibu sedang bersantai di teras depan rumah. Ibu duduk manis di atas tikar ditemani secangkir teh hangat. Aku yang sudah lelah duduk, kini tidur tengkurap sambil berpangku tangan. Crayon dan spidol berwarna sudah tersebar ke setiap sudut tikar dan bercampur baur. Cenil pasar kami sudah tandas setengahnya. Parutan kelapa sudah lembek menyatu dengan lelehan gula jawa. Sembari menunggu Bapak pulang dari sawah, aku dan Ibu mencorat-coret berlembar-lembar kertas kosong untuk membangun sebuah dunia khayalan. Meskipun gambar kami berdua tidak bagus-bagus amat, tapi bagi Ibu warna adalah salah satu anugerah dalam hidup yang sangat ia syukuri.
“Ibu sedang menggambar apa?” tanyaku sambil melirik ke arah kertas di pangkuan Ibu. Sepertinya Ibu sedang menggambar seekor burung kecil berwarna biru.
“Ini adalah burung ‘zombi’. Sang penguasa pulau yang bangkit kembali,” jawab Ibu sambil tersenyum.
Aku sedikit bergidik mendengarnya. “Apakah dia hidup kembali setelah mati?”
Ibu mengangsurkan gambarnya ke arahku. Sesekali membelai rambutku yang terurai diterpa angin dingin Kidung Kidul.
“Bukan, burung ini dijuluki demikian karena ia pernah dianggap punah. Namun, pada suatu hari keberadaannya ditemukan oleh seorang penjelajah, seakan-akan ia kembali dari kepunahan.”
Itulah Ibu, tutur kata yang terucap dari bibirnya selalu saja indah. Menelusup halus di dalam sanubariku.
“Waaah! Aku juga mau bisa seperti Ibu. Pandai mendongeng dan merangkai cerita.”
“Lala bisa juga, kok!”
“Beneran, Bu?!”
Seketika aku bangkit duduk dan mendekat ke arah Ibu. Ibu tertawa melihat mataku yang berbinar-binar. “Tentu saja Lala bisa. Coba deh sini.”
Ibu mengambil selembar kertas kosong yang baru, kemudian meletakkannya di atas pangkuanku. Saat aku ingin bertanya untuk apa kertas kosong ini, suara Ibu sudah melantun lembut.
“Saat membuat dongeng untuk Lala, Ibu selalu membayangkan karakter apa yang sesuai dengan kepribadian anak-anak supaya Lala selalu bisa merasakan petualangan yang sama seperti tokoh yang Ibu buat.”
Mataku tidak berkedip selama Ibu menjelaskan. Semua informasi ini sangat baru dan menarik untukku.
“Nah, sekarang coba Lala bayangkan sebuah karakter yang melambangkan sesuatu atau seseorang.”
Suara Ibu bagaikan komando, membuatku berhenti lalu berpikir sejenak. Pandanganku naik ke langit, menatap awan yang bergerak perlahan. Sekelebat burung gereja terbang di atas rumah kami, berkelompok tiga-tiga kemudian hinggap di kabel listrik. Sejenak kemudian kawanannya menyusul hinggap berjajar di bagian timur. Begitu bebas dan lepas. Satu-satunya batasan mereka adalah luasnya atmosfer bumi.
“Lala akan menggambar burung api, Bu!”
Aku menangkap kilatan di mata Ibu. “Burung api?” tanyanya padaku.
Aku mengangguk semangat. Sambil meraih spidol warna oranye, aku bertutur pada Ibu.
“Iya, burung api, Bu! Terbakar!” tanganku terbentang ke atas untuk menggambarkan kobaran api.
“Kenapa burung api?”
“Karena burung api itu bebas, pemberani, dan selalu terbakar oleh kecintaannya terhadap kehidupan,” jawabku. “Seperti Ibu yang selalu berani untuk pergi jauh, bebas berkarya, mencari surga-surga tersembunyi, dan selalu penuh semangat untuk mengabarkan keindahannya ke seluruh penjuru dunia.”
Ibu terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca mendengar tutur kataku. “Terima kasih, Lala. Itu pujian yang sangat indah.”
Aku tersenyum senang. Kemudian menghamburkan diri ke pelukan Ibu. Membiarkan kehangatannya meresap ke dalam diriku.
“Lala,” panggilnya kemudian. “Lala harus menggambar burung api itu di buku jurnal Ibu. Ibu ingin ia hidup abadi di sana. Lala bersedia?”
Kertas putih di pangkuanku sudah kulemparkan entah ke mana. Berganti dengan jurnal bersampul beludru yang disodorkan Ibu padaku. Aku siap menorehkan khayalan-khayalan masa kecilku di lembaran halaman kekuningan. Burung api itu akan hidup abadi di dalam jurnal Ibu.
Jika aku boleh menjelmakan sifat-sifat Ibu menjadi sebuah makhluk mitos, maka ia akan menjelma menjadi seekor burung api. Semangatnya membara dan penuh kebebasan.
Bersama dengan keajaiban yang sedang kami ciptakan bersama, aku berteriak kencang, “Tentu saja, Bu!”
***
Sejak gambar burung api saat itu, aku makin tergila-gila dengan gambar karakter dongeng. Aku selalu meminta Bapak dan Ibu menggambar ketika mereka bercerita. Meskipun kami semua tidak memiliki kemampuan menggambar yang mumpuni, itu bukan masalah besar. Justru gambar-gambar yang gagal itu menjadi hiburan tersendiri bagi kami. Awalnya seperti itu. Hingga pada suatu malam, di antara dongeng-dongeng Bapak dan Ibu, aku meminta lebih. Aku ingin karakter dongeng mereka menjadi lebih nyata. Aku ingin seekor beruang yang digambarkan seperti beruang. Bukan sapi berbulu yang digambar oleh Bapak.
“Bapak! Beruang! Kenapa sapi?”
“Ya Bapak sanggupnya segini aja, Nduk,” ucapnya pasrah menghadapi anak kecil yang merajuk di atas kertas. Ibu justru tertawa kencang. Entah terhibur oleh gambar Bapak yang terlalu gagal atau karena aku yang sudah tidak terima dengan usaha-usaha Bapak.
“Lala ingin dongengnya digambar dengan bagus, Bu! Apakah bisa?”
“Sayang sekali, Ibu dan Bapak tidak bisa menggambar.”
“Yaaahhhh …” mukaku seketika lesu.
“Tapi—” pancing Ibu dengan nada dibuat-buat, “—ada sebuah tempat di mana Lala bisa membaca dongeng dengan gambar yang sangat indah.”
Seketika aku mengabaikan Bapak. Membuang muka dengan main-main dan duduk tegak di hadapan Ibu. “Di mana, Bu?! Kasih tahu Lala!”
“Perpustakaan sekolah.”
Di antara banyak tempat di Kidung Kidul, tempat itu justru yang ingin aku hindari.
“Hah?! Tidak ada tempat lainkah, Bu?! Perpustakaan sekolah Lala itu berhantu!”
Alis Ibu saling tertaut setelah mendengar jawabanku. “Kata siapa perpustakaan sekolah berhantu?”
“Kata teman-teman, Bu!”
Hampir semua orang bilang aku adalah anak yang pemberani dan penuh rasa penasaran. Tapi kalau sudah menyangkut hal-hal tak kasat mata, nyaliku otomatis menciut hingga sekecil biji kubis! Menurutku tempat gelap yang penuh dengan suara-suara aneh adalah tempat terakhir yang bisa terpikirkan olehku. Diberi bermangkok-mangkok bakso pun aku tak akan menyanggupi.
“Lalu, teman-teman Lala tahu dari mana?”
“Kakak kelas.”
“Yakin beritanya benar?” Ibu bertanya sembari mengusap pucuk hidungku.
“Betul, Bu!”
Ibu hanya tertawa sambil menggeleng-geleng. Mungkin Ibu belum tahu, tapi berita itu bukanlah rumor belaka. Hampir separuh kelas tiga memberikan kesaksian yang sama.
Berita ini mulai menyebar sekitar dua bulan yang lalu, ketika anak-anak kelas tiga diberi tugas guru Bahasa Indonesia untuk meminjam buku di perpustakaan sebagai tugas membaca dan bercerita. Awal mulanya ada seorang anak berlari terbirit-birit keluar dari perpustakaan, lalu seminggu kemudian seorang siswi perempuan menangis ketakutan hingga harus dipulangkan. Berita itu menghebohkan hingga seminggu lamanya, kemudian terlupakan di kalangan anak kelas empat ke atas. Namun bagi anak-anak kelas satu dan dua, perihal hantu perpustakaan masih menjadi buah bibir. Jangan tanya soal bagaimana riuhnya anak-anak kelas tiga.
Terlepas dari semua itu, perpustakaan sekolahku memang bukan tempat biasa. Perpustakaan sekolah adalah gedung tua yang terpisah dengan gedung kelas. Dari luar bangunan terlihat rak-rak kayu yang tinggi, lorong-lorong sempit, dan cahaya lampu yang redup. Setiap kali membayangkan bahwa aku harus pergi ke sana, aku selalu merasa seperti sedang akan memasuki gua kelelawar. Aku mengeluh kepada Ibu dan bertanya padanya apakah ada pilihan lain selain pergi ke perpustakaan.
“Lala takut sama hantu?”
Aku mengangguk. Badanku makin tenggelam ke dalam selimut.
Ibu tersenyum lembut dan mengusap kepalaku. "Tidak apa-apa untuk merasa takut, Lala," katanya. "Setiap orang punya ketakutan masing-masing, yang penting adalah bagaimana kita menghadapi ketakutan itu.”
“Dan, jangan lupa untuk cari tahu lebih dulu kebenaran ceritanya,” imbuh Bapak.
Aku mengangguk sambil bersembunyi di balik selimut.
“Nanti ya, kalau Lala sudah berani.”
Bapak dan Ibu tertawa bersamaan.
“Sayang sekali, padahal di dalam perpustakaan ada banyak sekali rahasia seperti di dalam Jendela Sejuta Cerita.”
Ibu berangsur menyandar pada kepala ranjang di sebelahku. Jemarinya yang lentik memainkan poniku, merapikannya ke kanan dan ke kiri.
Saat mendengar Jendela Sejuta Cerita, aku langsung bangkit duduk. Menendang selimutku hingga tersibak. Ketakutanku seakan hilang seketika saat Ibu menyebutkan benda ajaib yang selalu ia ceritakan kepadaku hampir setiap malam. Kisah seorang perempuan kecil yang selalu penasaran dan berpetualang melalui sebuah jendela. Mataku melebar karena antusias sampai rasa-rasanya aku ingin melompat dari kasur.
”Di luar sana ada banyak sekali cerita yang luar biasa. Bahkan melebihi dongeng-dongeng Ibu dan Bapak.”
Aku menoleh ke atas, ke wajah cantik Ibu.
Lebih baik daripada cerita Ibu? Hm, rasa-rasanya dongeng milik Ibu dan Bapak sudah terlalu indah. Apakah betul-betul ada yang bisa lebih indah?
“Apa iya, Bu?”
”Tentu saja. Lala bahkan bisa menjelajah dongeng-dongeng di dunia. Berpetualang hanya dengan duduk diam. Seperti Lady Lucy yang selalu berhadapan dengan Jendela Sejuta Cerita.”
Hampir saja aku melompat kegirangan kalau saja ingatan soal hantu perpustakaan itu tak kembali lagi.
“Ahhh, tapi perpustakaan itu berhantu, Bu!”
Kali ini giliran aku bersembunyi ke pelukan Bapak. “Hantunya bisa diusir nggak sih, Pak?”
Dengan perlahan Bapak membawaku kembali berbaring di tempat tidur, menepuk-nepuk bantal dan merapikan selimutku. Kemudian ia juga turut menelusup masuk di sebelah kanan, disusul Ibu yang juga turut berbaring sehingga kini aku diapit oleh keduanya.
“Dicari tahu dulu kebenaran beritanya. Bapak tidak bisa mengusir hantu di perpustakaan, tapi Bapak punya doa untuk bikin Lala lebih berani.”
“Apa itu, Pak? Kasih tahu Lala!”
“Mudah saja. Lala tinggal tarik napas lalu ucapkan dalam hati hingga ketakutan Lala mereda.”
‘Ya Allah, Lala mendapat cinta dari Bapak dan Ibu. Lala juga mengharap cinta dariMu. Berikan Lala keberanian.’
Aku mengulang doa dari Bapak. Makin kuucap, makin dalam perasaan cinta. Menyelimutiku dengan hangat dan penuh. Pelukan kami mengerat seiring aku melantunkan doa itu. Ingin rasanya aku menambahkan satu doa lagi kepada Sang Mahadaya. Aku ingin waktu berhenti untuk sejenak. Duniaku sudah cukup indah dengan adanya Ibu dan Bapak. Aku ingin keindahan ini ada untuk selamanya.
“Besok siang, Lala akan mencoba lebih berani,” bisikku dalam malam.
Senyum Ibu mengembang cantik. Pipinya terangkat naik dan matanya menghilang hingga segaris. Sungguh cantik dan tiba-tiba saja aku ingin mengatakannya.
”Lala sayang Ibu.”
”Ibu juga sayang Lala.”
“Sama Bapak sayang juga, nggak?” tentu saja orang tua satu ini tidak mau kalah.
Aku mengangguk semangat, “Lala juga sayang Bapak.”
Sambil menarik selimut Bapak menimpali, “Lala adalah karunia Bapak dan Ibu yang paling berharga.”
Lalu kami bertiga berpelukan dalam hangat hingga tertidur.
***
Kata-kata Bapak dan Ibu malam itu membuatku lebih berani dari biasanya–meski sedikit. Dipupuknya rasa penasaranku dengan begitu hebatnya hingga aku mati-matian menyingkirkan rasa takutku. Kata mereka ada banyak dongeng luar biasa di tempat buku-buku dikumpulkan, ditata, dan diarsipkan. Yap, di perpustakaan sekolah—yang rumornya masih berhantu.
Tepat saat jeda istirahat di Kamis siang, aku berdiri sedikit jauh dari gedung tua itu. Mondar-mandir sambil menenangkan diri. Kuperhatikan lagi gedung yang mengasingkan diri di sebelah barat sekolah. Kubikel menyedihkan berukuran dua puluh lima meter persegi dengan enam rak buku tinggi yang bersaf dua-dua. Tidak ada satu orang pun yang menjaga. Semua guru sudah sibuk dengan peran yang berangkap-rangkap. Toh di sini buku dan ilmu tidak dianggap seperti harta karun—belum.
Kulangkahkan kakiku perlahan. Ketika sudah dekat, aku mengendap-endap seperti anak kecil yang tak ingin tertangkap basah untuk mengambil bola yang masuk ke pekarangan. Seakan masuk ke dunia lain, sinar matahari mulai hilang dan tergantikan dengan lampu remang. Mataku berkelana ke sana kemari berusaha menyesuaikan perbedaan penerangan yang lumayan mencolok.
Setelah masuk, secuil ketakutanku terhapus perlahan. Ternyata bagian dalam perpustakaan lumayan terang dan tidak berbau apak, bahkan dugaanku salah. Kukira semua buku akan berwarna kekuningan dan berjamur, nyatanya semua terawat dengan rapi dan bersih.
Aku masuk di antara rak-rak kayu yang hampir menyentuh langit-langit. Mungkin tingginya bisa sampai dua setengah kali tinggiku. Semua buku dikelompokkan berdasarkan kategori, di pojok-pojoknya terdapat kertas label yang direkatkan dengan hati-hati. Aku berjalan mengular, melewati rak demi rak sambil mencari seksi incaranku—Dongeng Anak.
Di labirin kedua aku menemukan sebuah sudut bagian bawah rak yang dikategorikan dengan sangat jelas. Tulisan ‘Dongeng Anak’ tercetak dengan apik di sana. Aku sedikit memuji penataan seksi di perpustakaan, karena dongeng-dongeng semacam ini memang diperuntukkan bagi bayi-bayi pembaca dan tidak mungkin bisa terjamah jika buku ini diletakkan barang sekotak lebih tinggi. Aku berjongkok untuk melihatnya lebih dekat, namun di saat yang bersamaan aku mendengar sebuah suara.
Seperti gumaman ‘umm-aha’ tidak jelas. Lalu kikikan samar dan putus-putus. Ingatanku seketika kembali ke celetukan teman-teman! Apakah itu hantu penunggu perpustakaan?!
Aku menggelengkan kepala cepat-cepat. Bisa jadi aku salah dengar.
‘Ya Allah, Lala mendapat cinta dari Bapak dan Ibu. Lala juga mengharap cinta dariMu. Berikan Lala keberanian.’
‘Ya Allah, Lala mendapat cinta dari Bapak dan Ibu. Lala juga mengharap cinta dariMu. Berikan Lala keberanian.’
Buru-buru aku merapalkan doa yang diajarkan Bapak. Sangat cepat hingga lidahku terbelit dalam pikiran.
Ah, tidak! Tidak! Kata Bapak, hantu tidak mau mengganggu murid yang ingin belajar. Dan aku, lebih percaya pada Bapak ketimbang teman-temanku. Dengan sedikit celingak-celinguk dan menelan ludah kegugupan, aku melanjutkan pencarianku.
Posisi berjongkok berganti menjadi bersila. Jemariku terulur dan menyentuh seksi itu untuk pertama kali. Ada sebuah sengatan kesenangan saat jariku bertemu dengan punggung-punggung buku yang tertutup. Deretan buku warna-warni tersusun dengan rapi. Semua warna yang ada di sana, menarik seluruh indraku dengan menyenangkan. Buku-buku ini siap mengajakku berpetualang keliling dunia ajaib.
Sebuah buku dengan sampul dominan hijau menarik perhatianku. Tulisan putih di punggung buku membuat jantungku berdebar. Kutarik perlahan buku itu. Rupanya ia lebih panjang dari yang kukira.
Seekor burung berwarna biru terbang melesat ke udara. Sayapnya terbentang lebar melawan gravitasi—melawan batasan-batasan di tanah. Di punggung burung itu duduk seorang gadis kecil, berpegang erat pada leher burung. Rambutnya terbang dihempas oleh angin kencang, namun wajahnya cerah, riang, dan siap berpetualang. Di bawah mereka, nampak sesosok nenek tua yang marah-marah sambil membawa kuali yang bercahaya. Ekspresi marahnya lucu sekali. Mengingatkanku pada Bapak yang sewot ketika aku bermain terlalu lama. Sampul buku ini memberikan gelenyar aneh pada diriku. Namun terlepas dari itu semua, gadis kecil di sampul buku itu seperti membawa banyak sekali mimpi dan harapan—dan ia sedang menyongsongnya.
Seperti mendapat serangan magis, otakku memutar judul hebat itu terus menerus. Mataku tak bisa lepas darinya hingga beberapa saat.
Putri Pelita dan Burung Niu.
Secepat kilat kudekap buku itu. Buku dongeng pertama datang padaku dengan begitu cepat. Aku harus selesai membacanya hari ini. Tak banyak waktu untuk memilah dan memilih karena waktuku sudah habis untuk memutari seisi perpustakaan. Berdasarkan perhitungan kasarku, aku hanya memiliki waktu beberapa menit lagi sampai—
“Kalau mau pinjam, bawa ke meja penjaga sekarang.”
“ASTAGA!!” pekikku begitu mendengar sebuah suara yang mengejutkanku. Apakah itu hantu penunggu perpustakaan?! Aku sudah siap berlari kalau saja suara itu tidak melanjutkan.
“Lima menit lagi jam istirahat kelas dua akan selesai.”
Seketika keterkejutan dan ketakutanku sirna, berganti menjadi kekesalan luar biasa. Jantungku berdebar kencang efek terkejut dan kini rasa marah mulai muncul. Rasa-rasanya inginku berdecak pada siapa pun itu. Tak peduli jika itu guru penjaga perpustakaan.
Seorang bocah ingusan dengan rambut ikal mengintip dari balik rak buku. Kepalanya yang kecil menyembul dari balik judul-judul masakan nusantara.
“Sebentar lagi bel masuk berbunyi,” lanjutnya karena aku tak segera menjawab.
Matanya berkedip beberapa kali, melihat ke arahku lalu menyambung ke bukuku. Begitu terus secara bergantian. Raut kikuk sangat jelas tergambar di wajahnya.
Ah, aku ingat anak ini. Dia adalah murid baru di kelasku. Dengan cepat aku mengenali wajah gugup yang dua bulan lalu memperkenalkan diri di depan kelas.
“Yap! Baru saja aku mau berdiri. Terima kasih.”
Bergegas aku melompat berdiri sambil menenteng buku dongeng yang kupilih. Menepuk-nepuk rok belakangku kemudian berjalan cepat dengan menghentak-hentak marah menuju meja guru—yang entah sejak kapan ada seseorang di sana.
“Selamat siang, Pak. Saya mau pinjam buku.”
Pak Sumarno—yang kini kuketahui namanya dari bordir di seragamnya—berdeham kemudian melihat ke arah belakangku. Refleks aku turut melihat arah pandang Pak Sumarno dan menemukan anak laki-laki tukang bikin kaget. Ia berdiri mematung sambil mendekap tiga buku yang ukurannya lebih besar daripada wajahnya!
“Mau nunut pinjam buku ke siapa lagi kamu, heh?” kata Pak Sumarno dalam sambil menyunggingkan senyum. Kumisnya yang lebat terangkat. Matanya yang sudah mulai keriput makin menghilang karena ditelan pipinya sendiri. Sejauh yang bisa kuingat, Pak Sumarno jarang masuk ke kelas kami. Aku lebih sering melihatnya di ruang kelas enam.
“Mau nunut dia, Pak,” kata anak laki-laki itu sambil menunjukku dengan dagunya.
Astaga, tidak sopan!
Pak Sumarno menggeleng-geleng, kemudian menurunkan kacamata bacanya untuk mengeja bordir namaku di seragam.
“Satu kartu siswa hanya boleh membawa pulang dua buku dan tidak lebih! Nduk Kelana mengizinkan tidak?”
Oh, jadi itu yang dimaksud dengan nunut? Dia ingin menggunakan satu kuota pinjamanku untuk buku ketiganya. Aku mendengus geli. Seharusnya dia bisa saja kan bilang lebih awal? Dan lebih sopan tentunya.
“Boleh, Pak,” ujarku sambil meletakkan buku dongeng di atas meja. “Bahkan saya bisa memberikan dua kuota buku saya andaikan dia bicara baik-baik. Tidak tiba-tiba muncul seperti hantu.”
“Nah, Rais. Lain kali kamu minta baik-baik ke teman kamu. Bapak yakin kamu bisa meminjam sepuluh buku. Kalau begini, bukannya dapat teman baru, malah bikin takut anak kelas tiga. Hahaha.”
Tunggu dulu. Hantu?! Kelas tiga?!
OH! Semuanya terasa masuk akal sekarang. Rumor tentang hantu perpustakaan mulai menghebohkan sekolah dua bulan lalu, dan bocah ini datang ke sekolah sebagai murid baru juga dua bulan yang lalu. Suara gumaman dan tertawa yang didengar anak-anak kelas tiga adalah suara Rais! Aaargh, dasar bocah ireng!!!
Aku meliriknya sekilas. Ia hanya bisa tersenyum kikuk sambil garuk-garuk kepala. Jujur, rambut ikalnya sedikit mengganggu.
Pak Sumarno hanya geleng-geleng melihat tingkah kami. Sembari ia meminta semua buku yang akan kami pinjam, ia berdeham. Menuliskan nama-nama kami di kartu pinjam yang diselipkan di belakang buku.
“Tolong jaga buku-buku ini dengan baik. Janji sama Bapak, buku ini harus kembali dengan keadaan seperti saat kalian meminjamnya. Tanggung jawab adalah sebagian dari menghargai diri sendiri.”
Tak pernah aku menyesal telah memberanikan diri pergi ke perpustakaan—yang katanya—horor di sekolahku. Ada banyak hal menyenangkan yang bisa aku dapat.
Pertama, perpustakaan itu tidak menakutkan, tempat itu hanya gelap karena cahaya matahari terhalang oleh naungan pohon langsat. Suara-suara yang membuat anak kelas tiga takut hanyalah bocah ireng yang terlalu asik membaca sambil tertawa-tawa sendiri. Sungguh konyol.
Kedua, banyak sekali dongeng seru yang aku temukan di sana. Bapak tidak akan percaya bahwa ada dongeng yang bisa menandingi kesaktian khayalannya. Untuk tandingan cerita Ibu, sepertinya agak susah mencarinya. Aku harus menyelam lebih dalam untuk menemukannya. Itu pun jika ada salah satunya di perpustakaan ini, haha.
Ketiga, Pak Sumarno adalah guru sekaligus penjaga perpustakaan yang baik.
Keempat, aku mendapatkan teman baru.
Ketika Pak Sumarno selesai, ia mengembalikan buku yang kami pinjam dengan senyuman. Sambil membetulkan kopiahnya ia berujar pelan, “Selamat berpetualang, anak-anak.”
Sesampainya di rumah, di meja makan kami, tentu saja aku menceritakan semua yang aku lakukan di perpustakaan sekolah. Aku bercerita bagaimana akhirnya aku tahu dari mana rumor hantu perpustakaan itu berasal. Aku juga bercerita bahwa gedung itu menjadi gelap karena sinar matahari yang terhalang, termasuk bercerita soal pertemuanku dengan Pak Sumarno dan Rais.
Yap, Rais si bocah ireng dengan rambut ikal yang numpang kuota buku pinjamanku. Tadi siang perbincanganku dan Rais sedikit berlanjut dalam perjalanan kami kembali ke kelas. Berkat itu aku jadi tahu kalau buku yang dipinjamnya adalah buku masakan. Ia meminjam dua buku masakan tradisional Asia Tenggara dan satu buku masakan tradisional Asia Timur. Tentu saja pada awalnya aku menganggapnya aneh. Mana ada anak kecil yang peduli dengan masakan luar negeri? Apalagi anak-anak desa seperti kami. Namun setelah Ibu bercerita bahwa ia mengenal keluarga Rais, semua terasa masuk akal.
Rais tinggal dengan kakak kandungnya, gadis manis penjual roti keliling yang akhir-akhir ini menjadi langganan Ibu. Orang-orang di desa memanggilnya Mbak Rah. Mereka hanya tinggal berdua dan hidup dari berjualan roti buatan sendiri. Tentu saja mereka terbiasa dengan resep dan bahan masakan. Aku hanya bisa manggut-manggut sepanjang penjelasan Ibu. Hebat juga kalau si Rais itu benar-benar bisa memasak masakan tradisional yang—menurutku—ribet.
“Kalau Lala selalu penasaran dari mana datangnya roti-roti lezat itu, maka dari dapur Mbak Rah-lah ia berasal,” kata Ibu sambil menuangkan kuah soto ke piringku kemudian menaburinya dengan kecambah pendek-pendek.
“Oh! Berarti mereka benar-benar bisa membuat makanan, ya. Kukira bocah itu hanya salah meminjam buku.”
Ibu hanya terkikik mendengar celotehanku, “Sudah, sudah. Daripada membahas buku Rais, bagaimana kalau Lala ceritakan kepada Ibu dan Bapak buku apa yang tadi Lala pinjam?”
“Ah iya! Lala meminjam satu dongeng anak.”
Malam itu aku menceritakan sebuah buku yang awalnya kupilih hanya karena dari warna punggung bukunya. Tak bisa kupungkiri bahwa ilustrasi yang kuat menjadi perhatian utamaku.
Tak kuasa aku menahan keinginanku untuk segera membuka buku dongeng itu dan menyelam dalam lembah khayalan. Sore hari sesampainya di rumah, aku bergegas lari ke kamar dan mengeluarkan buku pinjaman itu dari tas sekolah. Bahkan aku sampai lupa melakukan ritual sepulang sekolah. Lupa mencopot kaus kaki, lupa berganti baju, lupa cuci kaki dan cuci tangan.
Aku tidak sabar! Aku tidak sabar!
Kutarik cepat ritsleting tas sekolahku dan kukeluarkan buku itu dengan tergesa-gesa. Burung Niu dan Putri Pelita itu melesat lagi di depan kedua indraku. Kedua kalinya aku terpesona dengan decak kagum yang masih sama. Namun belum sampai aku membaca halaman pertamanya, salah satu keraguanku muncul.
Sepertinya tidak akan lebih bagus dari dongeng Ibu, sih. Kuakui ilustrasinya bagus—tapi—ah! Mari kita coba.
Diriku yang congkak mengambil alih, terlanjur mendewakan dongeng-dongeng Ibu. Semenjak diriku mampu mengingat, aku selalu meyakini bahwa tidak ada satu pun dongeng di dunia ini yang akan menandingi kedahsyatan cerita Ibu. Karena Ibu adalah pendongeng yang dilahirkan oleh alam.
Namun, kali ini sepertinya keyakinanku mulai sedikit goyah. Satu halaman, dua halaman, tiga halaman, hingga lembar terakhir kubalik tanpa henti. Kuraba setiap sudut buku itu, ingin merasakan halus dan lembut bulu-bulu Burung Niu itu. Tanpa diduga, buku dongeng yang aku pinjam dari perpustakaan rupanya membawa semesta cerita yang luar biasa.
Hembusan napas panjang aku lepaskan dengan puas bersamaan dengan tertutupnya bagian akhir buku. Tanpa kusadari aku menahan napas di akhir cerita. Di setiap lembar bukunya, mataku terbelalak hampir sama lebarnya seperti saat-saat Ibu mendongengiku sebelum tidur. Sudut mataku berair saat akhirnya Putri Pelita yang dikurung oleh Nenek Nana akhirnya bisa bebas berpetualang dengan bantuan Burung Niu. Sungguh malang nasibnya, namun sungguh besar keinginannya. Dalam sebuah potongan cerita anak aku belajar apa itu cita-cita dan kebebasan.
Di meja makan keluarga kami malam itu, aku menceritakan lagi cerita ajaib Putri Pelita dan Burung Niu dengan perasaan yang sama. Bahkan terlalu menggebu-gebu. Tak sadar kuah soto yang kumakan sampai menyembur ke mana-mana.
Melihatku yang terlalu bersemangat dalam bercerita, Ibu tersenyum lebar. “Wah, sepertinya ceritanya sangat menarik.”
Aku mengangguk dengan cepat, “Menarik sekali, Bu! Tapi masih cerita Ibu yang paling keren!”
“Tentu saja Lala akan bilang begitu. Tidak ada kecap nomor dua.”
“Hehe iya, dong! Ibu nomor satu! Penulis buku itu nomor dua, hehe.”
Suara tawa Ibu menggelegar renyah. Disambut dengan cekikikan Bapak di seberang meja makan kami.
“Lala suka buku itu?” tanya Bapak dari balik panci soto.
“Suka, Pak! Apalagi bukunya ada gambarnya gitu. Besok Lala mau pinjam yang lain!”
Mungkin benar apa kata Ibu di lain hari, jatuh hati pada buku itu seperti mencari belahan jiwa. Terus mencari hingga ada satu kisah yang bisa mengetuk hati. Kisah Putri Pelita dan Burung Niu itu, adalah cinta pertamaku pada buku.
Sambil mengusap pelan rambutku, Ibu berujar lirih, “Syukurlah, anakku Kelana.”
Namun dari seluruh cerita yang membakar semangat berpetualang, dari semua kebesaran hati yang pilu, ada sebaris nama yang tercetak tepat di sampul buku itu. Bertengger di bawah cakar kecil Burung Niu dan Sang Putri, menggetarkan hatiku hingga lubuk paling dalam.
Satu nama yang mungkin bisa menyaingi kedahsyatan dongeng Ibu, penulis cerita Putri Pelita dan Burung Niu.
Kalam Kalani.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰