Bridal Show-ERGGH!! Chapter 1

11
2
Deskripsi

Pernikahan yang diatur oleh orang tua demi bersatunya dua keluarga terpadang? 
Ah, Klasik! 
Nggak mungkin masih ada!  
Tapi nggak bagi Elea Kirana Dharmawan yang terpaksa hidup satu atap dengan Bryan Ashle Widjaya pengusaha berbakat bertangan dingin pemegang kendali bisnis digital tanah air. 
Elea, wanita 28 tahun penuh dengan fantasi romantis menjalani hidup yang berat berkat Bryan yang bahkan lupa dengan nama lengkap Elea, istrinya sendiri!
Bagai bunga mawar yang sedang mekar, lalu...

CHAPTER 1

Tanpa sadar bibirku menyungging senyum tipis melihat potongan-potongan kehidupan orang lain di aplikasi Enstagram. 

Sembari menunggu multigrain bread dalam toaster matang aku semakin larut ke dalam dunia maya yang sebenarnya cukup membosankan. Tapi aku punya kebutuhan buat memperbarui pengetahuan perkembangan dunia luar melalui berbagai macam sumber meski harus menyaring supaya menjadi informasi yang lebih berguna. Pandangan mataku terkunci oleh foto yang baru diunggah oleh Aulia, teman SMA-ku beberapa menit lalu.

Terima kasih suamiku tersayang untuk kado satu tahun pernikahannya.

Begitu tulisan yang Aulia unggah bersama foto satu set perhiasan dari Gartier, satu tas Mermes exclusive edition, satu buah jam Audemars Pibuet Grande dan sertifikat kepemilikan rumah di California. Aku hanya bisa menghela napas mengingat kejadian dua hari lalu. Aku melihat suami Aulia makan malam romantis bersama seorang perempuan di private fine-dining The Empire Hotel milikku, yang kebetulan sedang aku datangi bersama Bryan karena ada acara keluarga. Padahal aku nggak kenal dengan suami Aulia secara personal tapi karena Aulia sering suka rela mengunggah foto suaminya–I can't help but notice her husband right away.

Saat itu aku berusaha berpikir positif, mungkin perempuan itu cuma rekan kerja. Tapi, ada ya rekan kerja sampai pegangan tangan, tatap-tatapan intens penuh maksud? 

Tergelitik perasaan ingin memberi tahu Aulia tapi segera aku urungkan. Mungkin Aulia tahu perilaku suaminya, hanya aja dia menolak buat peduli karena yang orang-orang perlu tahu Aulia dan suami adalah pasangan paling romantis sedunia.

I mean...

Aku juga demikian....

"Gue berangkat," suara Bryan membuyarkan lamunanku.

Aku berjalan ke sumber suara yang udah jauh, Bryan udah menyalakan mobil bersiap berangkat ke kantor. Aku kembali ke dapur lalu menatap dua buah sunny side up egg dengan baby spinach, dua gelas kosong dan satu teko keramik berisi teh chamomile hangat yang aku siapkan sedari tadi. Tanpa sadar aku menghela napas lagi nyaris bersamaan dengan bunyi suara rotiku yang muncul dari toaster. Kalau sedang ada waktu seperti pagi ini, aku menyiapkan sarapan untukku dan Bryan. Meski sejak menikah dua bulan lalu kami belum pernah sarapan berdua.

Bukan kok, bukan karena Bryan sibuk.

I believe no one is ever too busy. You know, It's just about priorities.

Aku emang bukan prioritasnya.

Dan dia juga bukan prioritasku.

Aku menarik kursi bar dekat meja dapur lalu menuang teko berisi teh ke gelas kosong, ku hirup aroma teh chamomile sambil mengecek jadwalku pagi ini.

10.00 - 11.00 : Opening speech. New building, Intercont School Yayasan Widjaya

12.30 - 15.00 : Cek interior, Interflorist and Boutique

16.00 sd selesai : Meeting with consultant, E' Bridal Boutique

Aku mengetik pesan, memberi tahu Bryan akan kemungkinan aku pulang larut malam. Biasanya meeting dengan consultant memakan waktu lama. Namun mendadak aku teringat sesuatu, membuat ibu jariku melayang di udara.

Sejak kapan kami bertukar kabar?

Bryan dan aku hanya dua orang manusia nggak mau saling mengenal yang kebetulan suami istri.

***

Forget the TYPO. Because Rineya is not Rineya kalau masih bisa ngetik dengan benar setelah undangan pernikahanku sampai ke rumahnya-tiba-tiba..

Aku memang sengaja nggak ngirim langsung undangan ke sahabat-sahabatku karena mereka pasti akan tahu tentang apa yang terjadi cuma dengan lihat wajahku. Nggak ada juga acara bridal shower kayak orang-orang sekarang ini.

Dua bulan lalu, aku adalah Elea Kirana Dharmawan, dan sekarang namaku bertambah panjang.

Elea Kirana Dharmawan-Widjaya.

Sama seperti aku yang nggak punya power buat nolak pernikahan ini, nama Dharmawan yang udah aku pakai lebih dari tiga dekade juga nggak bisa tuh seenaknya aku singkirkan walau udah resmi jadi istri Bryan Widjaya. Kata Papa, mendiang Kakek buyut bertitah semua keturunan wanita harus tetap menyandang nama Dharmawan meski udah dipersunting orang. Sementara keluarga Widjaya punya tradisi bahwa semua menantu wanitanya harus menyandang nama Widjaya.

Bisa dibayangkan betapa chaotic nya dua keluarga ini.

***

Throwback

"So? What do you think?" tanyaku penuh hati-hati.

Hari itu pertama kali aku bertemu Bryan. Aku ingat saat itu hujan deras. Keluarga Bryan datang untuk dinner di rumah. Aku pikir hanya makan malam urusan bisnis seperti biasa.

Tapi ternyata, urusan bisnis kali ini lebih dari biasanya.

Bryan masih diam dengan satu gelas martini di tangan. Raut wajahnya datar, meski terkesan sinis. Kami sedang beradu tatapan dingin di ruang baca, sementara keluargaku dan keluarga Bryan justru bersuka cita merayakan persatuan kedua keluarga yang sebentar lagi jadi nyata.

"I don't mind," jawab Bryan.

Dahiku berkerut, membuat kedua pangkal alisku nyaris bertemu.

"Kamu single?" tanyaku hati-hati, seperti wartawan majalah online.

Bryan bergeming.

"Do you even know me?" aku tanya serius. Maksudku, apa jangan-jangan dia memang udah tahu aku dari dulu dan sekarang bikin kejutan datang ngelamar tiba-tiba.

Me, and my absurd fantasy-of course.

Bryan mengubah posisi duduknya, menaruh kedua siku di masing-masing lutut. Pandangannya lurus kepadaku yang kebetulan berhadapan. Lalu entah mengapa membuat jantungku berdetak lebih kencang. Bola matanya coklat gelap, tatapannya tajam dan dalam membuatku merasa terintimidasi hanya dengan menatapnya.

"Kamu?" Satu kata terlontar dengan nada yang nggak enak didengar.

Aku menggelengkan kepala, "Kamu aja nggak tahu aku, how can you love me then?" aku menimpali.

"Since when we need love for getting married?" ujarnya santai membuatku terdiam sepersekian detik.

"Yah silahkan, kamu bisa menikah dengan diri sendiri. I am not in. Aku menolak pernikahan ini," kataku tegas lalu bangkit dari kursi hendak meninggalkannya sendirian.

"You can't refuse. Yang gue tahu pernikahan ini diatur karena lo nggak mau in charge di perusahaan bokap," kata Bryan membuatku berhenti melangkah.

Aku lulusan fashion design, menggeluti dunia fashion sejak tiga tahun yang lalu. Ayahku, Hari Dharmawan jelas menginginkan aku sekolah bisnis dan melanjutkan memonitor usaha keluarga yang sudah dibangun oleh lima generasi. Tapi aku teguh dengan pendirianku, membuat Papa menemukan ide konyol menjodohkanku dengan anak kolega bisnisnya -which extremely handsome but sarcastic and heartless. 

Padahal bisnis Dharmawan juga nggak akan runtuh walau aku absen memonitor karena selama ini yang pegang langsung perusahaan-perusahaan juga 'boneka-boneka' Papa.

Tapi aku paham, yang dikhawatirkan sebenarnya adalah kerumitan yang akan timbul kalau pemegang kendali utama bukan dari cucu pertama dari anak pertama Keturunan Dharmawan. Memang agak kompleks kalau diceritakan. Kalian bakal bosan kalau dengar ceritanya.

"Lo boleh melanjutkan usaha fashion lo dan gue bantu bokap lo pegang perusahaan Dharmawan. Lo lanjutkan hidup seperti biasa, gue juga. Bedanya kita akan tinggal serumah. Just live our life like before we met. Gue nggak akan mencampuri kehidupan pribadi lo dan lo juga jangan mencampuri kehidupan pribadi gue. Win-win solution, right?" jelas Bryan panjang lebar.

Ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar selama dua puluh menit kami duduk di sini. Efek stupefy ala Harry Potter membuatku nggak bergerak selama Bryan bicara. 
 

***

Present

Aku selalu menarik nafas panjang setiap mengingat pertemuan pertamaku dengan Bryan. Laki-laki yang sekarang menjadi suamiku, yang hanya aku dengar suara deru mobilnya setiap pagi.
 

***

Never underestimate the power of good lingerie on a tiring day. Good Luck! - Samantha Riyadi

***

Hujan dan macet adalah perpaduan istimewa jadi nggak heran sampe rumah pukul 11.00 malam. Untung kan, nggak ngabarin Bryan kalau pulang telat. Ternyata dia juga belum pulang.

Mungkin nggak pulang.

Jumat minggu lalu Bryan nggak pulang ke rumah. Entah menginap di Apartemen dekat Tower kantornya atau menginap di rumah orang tuanya- tapi pasti Mama mertua udah nge-chat sih kalau Bryan nginep di sana, atau... yaaa... di rumah-rumah lain yang aku nggak tahu.

And actually, I don't want to know.

Duh nggak penting banget mikirin orang itu.

Rasa letih langsung terasa ketika memasuki kamar. Walau begitu aku tetap harus membersihkan badan karena sudah seharian di luar. Aku sempatkan buat meramu reed aromatherapy diffuser, mandi dengan aroma-aroma relaksasi yang merebak seruangan adalah self reward. Aku punya banyak koleksi essentials, dari wangi wood, flowers, vanilla, coffe atau rempah-rempahan. Semua wewangian ini bisa membuat stress dan capekku hilang pelan-pelan. Aku menyalakan shower agar membasahi rambutku yang lepek karena keringat, lalu mencucinya dengan shampoo beraroma campuran buah bergamot, coconut, dan vanilla. Selesai mandi aku membuka lemari pakaian, tanpa sadar aku berdecak.

Ada beberapa lingerie yang aku dapat dari Samantha sebelum hari pernikahanku. Sekarang hanya menggantung bagai properti wardrobe. Such a waste...

Aku menghela nafas seraya meraih salah satu lingerie dari gantungan untuk aku pakai. Seenggaknya aku bisa bilang ke Samantha kalau hadiahnya aku pakai. 
Walau untuk diriku sendiri.

Mendadak aku ingat hadiah dari Rineya masih ada di ruang tamu. Segera aku beranjak sekalian memeriksa apa Menik dan yang lain sudah pulang. Samar-samar terdengar derap langkah seseorang dari bawah. Aku mengernyit, meski tidak terlalu jelas tapi aku masih bisa melihat sosok Bryan berjalan menuju ruang tamu yang hanya berjarak beberapa langkah dari anak tangga tempat aku berdiri.

Tumben orang itu pulang. Aku membatin.

Sepertinya Bryan menyadari kehadiranku, dia menoleh ke arah tangga. Mata kami bertemu tapi aku ragu mau menyapanya atau nggak. Jadi aku putuskan untuk diam, membalik badan lalu naik lagi ke atas. Belum genap dua langkah, suara Bryan menggema.

"Boleh ambilin minum?" pinta Bryan tiba-tiba. Aku menoleh, wajahnya kelihatan lelah mungkin hampir sama dengan ekspresiku ketika baru sampai dari rumah. Kemejanya kusut, beberapa kancing bajunya sudah dicopot, lengannya tergulung asal-asalan.

Perasaan iba membuatku tergerak.

"Air mineral? tea?" tanyaku setelah sampai di ruang tamu.

"Anything" jawabnya seraya mengikuti langkahku.

Kalau ikut ke dapur juga, ngapain minta diambilin minum?

Sebenarnya sedikit nggak tulus, tapi aku tetap meramu teh chamomile, menuangnya ke dalam cangkir kecil lalu aku dekatkan ke tepi meja di mana Bryan duduk.

Aku mengamati Bryan yang tengah menyesap teh buatanku, tergelitik ingin bertanya bagaimana kabarnya hari ini. Tapi lagi-lagi aku urungkan, nanti dia berpikir kalau aku ikut campur hidupnya.

“Gue naik dulu.” Aku berpamitan, Bryan meletakkan cangkirnya lalu menatapku.

"Jangan pakai baju kayak gini lagi," katanya.

"Sejak kapan lo concern sama apa yang gue pakai?" tanyaku sinis.

Bryan bergeming kemudian menghela nafas.

"Atau sengaja? Biar gue tertarik?" tuduh Bryan membuatku naik pitam. Kalau ada olimpiade menahan emosi, mungkin aku bisa dapat medali emas.

Rasanya sia-sia berbaik hati membuatkan dia teh.

"Kayaknya lo lebih nyambung ngobrol sama cangkir dari pada sama manusia," ujarku sambil mengetuk cangkir teh Bryan yang sedang dia angkat. Namun ternyata ketukanku terlalu kencang hingga membuat separuh teh panas tumpah ke bajunya.

Bryan nggak berteriak, aku histeris.

“Lo gimana sih.” Aku mulai menuduh sembarangan sembari meraih kitchen towel untuk menyeka baju Bryan.

"Gue?" tanyanya nggak terima.

“Iya lah, kalau lo nggak ngomong sembarangan gue nggak akan kayak gitu.” Aku membela diri.

Bryan tiba-tiba berdiri dari kursinya lalu mendekatiku.

"Sembarangan?" tanyanya dengan nada yang mengintimidasi. Tanpa sadar kakiku mundur hingga membentur tembok.

"Mundur," perintahku, menyikut badannya supaya ada jarak di antara kami. Tapi Bryan nggak terdorong satu inch pun.

"Kenapa? Bukannya lo sengaja numpahin teh di baju gue?"

Aku menelan ludah melihat Bryan mulai membuka semua kancing bajunya memamerkan otot-otot hasil work out-nya. Aku merasa terancam ketika menyadari tatapan tajam Bryan mulai menjelajahi camisole yang aku pakai.

"Bryan Widjaya... gue tahu lo lagi capek dan mulai berhalusinasi," bisikku di telinganya. Aku sengaja membuat jeda sambil mendekatkan wajahku hingga hidung kami bersentuhan meski harus membuatku berjinjit. "Tapi maaf—gue bahkan nggak mengharapkan kehadiran lo di rumah ini," imbuhku.

Aku langsung mendorong Bryan saat dia lengah lalu secepat kilat meninggalkannya.

Duh. Sialan si Samantha!

Gara-gara dia aku hampir ditelan serigala berkulit manusia.


NEXT CHAPTER
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bridal Show-ERGGH!! Chapter 2
10
0
 Previous Chapter click here
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan