
(WARNING: Death, Trauma, Loss) Tindakan sembrono di satu malam menyebabkan hari-hari Siva yang tenang dan cenderung sepi terancam berubah drastis. Tetapi dengan pandemi berkepanjangan, tempat kerjanya pun menerapkan sistem kerja dari rumah. Siva, yang tak harus bertemu orang lain, mulai berpikir. Mungkin tak ada seorang pun yang perlu tahu. Mungkin dia bisa menyimpan rahasia ini sendiri. Sampai akhir.
(Reposted from my own Wattpad page)
SATU
Otot leher Siva bergerak naik-turun, susah-payah mencoba mengantarkan ludah yang seolah menggumpal di tengah-tengah. Menyumbat kerongkongannya. Matanya nanar menatap Sensitif di antara telunjuk dan jari tengahnya yang mulai terasa kebas. Baik ujung tangan maupun kaki Siva seakan tak merasakan permukaan apa pun yang bersentuhan dengan kulitnya, baik itu lantai kamar mandi atau alat pendeteksi kehamilan yang dibelinya tiga hari silam secara online. Selama dua hari terakhir, hal pertama yang dia lakukan setelah bangun tidur adalah merobek bungkus strip dan berharap skenario tak diinginkan yang sudah dia ketahui dalam benaknya tidak diamini oleh realita.
Satu hal yang, rupanya, tidak dikabulkan semesta.
Hasil yang ditunjukkan alat di tangannya sama persis seperti apa yang dilihatnya kemarin.
Siva menghela napas. Jemarinya sedikit gemetar ketika menyisir ke belakang rambut yang jatuh menutup mata dan menempel kuyup di dahinya yang dibanjiri bulir keringat dingin. Badannya terasa menggigil meski bukan disebabkan oleh hawa dingin ataupun suasana suram dari kamar mandi yang muram. Memang sudah saatnya lampu kamar mandi diganti dengan yang baru. Siva bahkan sudah merencanakan hal itu sejak seminggu lalu, namun kini dia sama sekali tidak bisa memikirkan perkara lain. Dunianya mengerut. Kisut, bagai balon yang dikempesi tiba-tiba. Titik pusatnya adalah strip kecil di genggaman kanannya.
Melemparkan Sensitif ke plastik yang tergolek di atas tangki air kloset, Siva merosot ke lantai kamar mandi. Memejamkan mata. Seakan-akan ingin melarikan diri ke suatu tempat yang menawarkan pemandangan lain. Kegelapan sekalipun.
Detak jantung Siva stakato yang terus menanjak. Pikirannya dipenuhi jeritan panik saling bertumpah-tindih.
Sekarang gimana?
***
DUA
Hembusan angin sore menerobos masuk jendela ruang tengah yang kacanya dibiarkan terbuka lebar untuk pertukaran udara. Rumah ukuran 21 yang ditinggali Siva adalah warisan almarhum ayahnya, yang sejatinya merupakan hadiah pernikahan dari almarhum kakeknya untuk kedua orang tua Siva. Mereka tidak pernah benar-benar tinggal di sana karena pekerjaan ayah dan ibunya menuntut mereka bermukim di kota lain. Bertahun-tahun lamanya rumah itu selalu disewakan kepada orang lain. Paling tidak sampai tiga tahun silam, ketika Siva akhirnya diterima bekerja di Jakarta. Daripada bayar sewa kos dan terus-terusan mempercayakan rumah keluarga di tangan orang lain lebih baik dirawat sendiri, begitu pikir Siva, yang mendapat persetujuan hangat dari orang tuanya.
Mereka beruntung keluarga-keluarga yang pernah menyewa rumah warisan tersebut tidak menyisakan masalah berarti. Cat ulang ditambah sedikit poles sana-sini, ganti karpet dan gorden, pasang wallpaper, menggeser furnitur, atau memangkas rerumputan taman yang mulai menjelma jadi semak belukar sudah cukup membuat kediaman standar itu tampak dan terasa baru. Tetapi bagi Siva, unsur terfavorit dari rumah hadiah pernikahan kedua orang tuanya justru desain rumah yang tidak berbagi tembok dengan sekitarnya. Bangunan terletak persis di tengah-tengah petak tanah kosong tak seberapa luas yang berfungsi sebagai taman depan dan halaman belakang, dengan lorong di kanan-kiri yang memungkinkan penghuninya berpindah dari taman depan ke halaman belakang tanpa harus memasuki rumah. Sebatang pohon matoa besar tumbuh menjulang di balik pagar tembok yang menyekat taman dengan jalanan, memberi payung teduh sekaligus rontokan dedaunan kering secara berkala. Siva tak sabar menanti hari dia bisa memanen sendiri matoa yang tumbuh dari pohon itu. Konon, matoa adalah buah langka. Halaman belakang selama ini hanya difungsikan sebagai jemuran, tapi Siva sudah punya rencana menanam beberapa sayur-mayur untuk mengisi waktu luang sekaligus memanfaatkan lahan. Barangkali tomat. Atau umbi-umbian seperti wortel dan bit. Tambahkan rumpun bunga juga di sisi yang lain agar tidak monoton.
"Kamu ajak teman lah buat tinggal di sini, biar nggak sendirian." Ibu sempat mencetuskan ide itu tepat di hari terakhir renovasi. Siva mengiyakan tanpa berkomentar, menghindari konflik tidak penting. Dia sama sekali tidak berminat menindaklanjuti. Siva tak punya banyak teman. Boro-boro sahabat. Tidak satu pun nama di daftar pergaulan Siva yang tak cuma sejengkal itu yang berpotensi menjadi kandidat housemate.
Tahun demi tahun mengalir layaknya sungai yang berderau ke hilir. Tiga lebaran terlewati dan Siva masih tetap memegang tahta sebagai penguasa tunggal rumah ini. Justru posisinya makin tak tergoyahkan. Proses balik nama sertifikat kepemilikan rumah sudah selesai―ayah telah meninggalkan wasiat mempercayakan tempat ini padanya dalam surat yang dititipkan ke pengacara. Siva tak pernah menyangka, ayah yang mengundang decak kagum para tetangga dan kolega karena begitu gesit dan bersemangat di usianya yang memasuki pertengahan enam puluh tahunan akan roboh akibat serangan jantung. Hidup memang acapkali tidak berjalan sesuai mimpi dan prediksi. Ada banyak hal yang meleset dari dugaan.
Siapa sih yang menduga negeri ini, bahkan planet ini, akan diterjang pandemi pada tahun 2020? Manusia memang gemar nostalgia, menghadirkan kembali hal-hal yang mereka anggap klasik dan retro ke masyarakat modern. Tren 90-an merebak kembali di mana-mana. Gaya busana lawas naik lagi ke permukaan. Tapi wabah bukanlah peristiwa bersejarah yang perlu diulang, kan? Apalagi dipertahankan.
Tapi siapa yang menduga semuanya akan jadi begini?
Siapa yang menduga keputusan bodoh Siva hari itu, yang dibuat dalam kondisi terbawa suasana, akan berdampak serius?
Siapa yang menduga Sensitif strip yang dibelinya akan menunjukkan dua garis?
Siapa yang menduga bahwa satu-satunya pihak yang mungkin, mungkin, dapat membantunya memperbaiki situasi ternyata tak pernah ada? Di internet, di aplikasi kencan, semua orang bisa menjadi siapa saja. Menggunakan nama apa saja. Mengarang cerita kehidupan fiktif yang barangkali bersumber dari impian-impian mati dan hasrat-hasrat tak terpenuhi. Siva tahu itu. Sangat tahu. Dia tidak bodoh. Dia biasanya tidak bertindak bodoh. Tidak sembrono. Tapi hari itu dia remas-remas dan buang seluruh kekhawatiran dan kehati-hatiannya ke tong sampah. Untuk sesekali, Siva hanya ingin melepaskan kendali. Dia lelah mengkalkulasi. Ingin merasakan adrenalin, seperti sensasi ngebut tanpa sabuk pengaman.
Kini bumi seolah-olah disentakkan dari bawah kaki Siva. Siapa yang menduga hidupnya akan berubah sejauh ini?
Sebutir air mata yang menggelantung di ujung mata Siva jatuh menuruni pipi kirinya, persis saat alarm tanda persiapan pemeriksaan presensi kantor melengking dari ponsel. Siva menyambar tisu dan duduk di sudut ruang tengah yang beberapa pekan belakangan ini dia jadikan semacam ruang kerja. Sembari menunggu terkoneksi ke ruang Zoom untuk rapat pagi sekaligus pengecekan presensi, Siva menutulkan tisu ke wajah dan sudut-sudut matanya. Beberapa rekan kerjanya cukup jeli untuk mengamati puluhan wajah orang yang muncul pada rapat pagi dan Siva tidak mau memberi alasan untuk menarik perhatian mereka. Dia tidak akan tampil dengan tampang penuh bekas air mata. Sepekan lalu mereka membicarakan betapa kantung mata Pak Hendra—manajer departemen HRGA—bertambah gelap, yang akhirnya diketahui sebabnya tiga hari kemudian: lusinan karyawan di-PHK lantaran program rasionalisasi perusahaan. Hal terakhir yang Siva inginkan adalah rekan-rekan kerjanya mempertanyakan apa yang membuatnya menangis. Apalagi mencari-cari tahu sendiri.
Sebagian besar rapat pagi itu berlangsung tanpa ada kejadian khusus. Menjelang rapat ditutup, bapak Presiden Direktur berdeham, mengambil alih kendali dari Pak Hendra. Otak Siva sudah tidak berminat memproses kata-kata yang diucapkan Pak Presdir. Terserah lah dia mau nyerocos apa. Pandemi semakin parah.. Angka persentase kasus positif COVID-19 melonjak tinggi... Perusahaan merasa perlu memberi jaminan perlindungan kesehatan karyawan.. Sistem WFH akan diperpanjang...
Tunggu.
Siva membuka matanya sedikit lebih lebar. Membenahi duduknya menjadi sedikit lebih tegak. Menajamkan pendengaran.
"...Manajemen telah memutuskan dengan SK Direksi—nanti salinannya akan dikirim ke email masing-masing—bahwa perusahaan kita akan WFH sampai Maret tahun depan."
Tahun depan?
"Bagi yang perlu melakukan pekerjaan dari kantor, alias tidak bisa WFH, harap melapor ke atasan masing-masing untuk instruksi lebih lanjut. Nantinya tetap ada kemungkinan WFH diperpanjang lagi jika kondisi masih belum membaik, tapi..."
Siva tidak lagi menyimak. Roda gigi dalam benaknya berputar bising. Dia tidak akan perlu bepergian ke kantor. Tidak berjumpa rekan-rekan kerjanya. Berbulan-bulan. Pandemi ini bisa menghindarkannya dari bertatap muka dengan teman-temannya, yang toh sejak awal tidak cukup sering meminta waktunya. Pulang kampung pun bukan tindakan bijaksana; di mana-mana orang sudah saling mengingatkan untuk tidak melakukan perjalanan jauh. Yah, meski tak sedikit pula yang cuek bebek seolah-olah mereka adalah makhluk yang paling tidak bisa mati.
Tangan Siva merayap perlahan. Memegangi perutnya yang saat ini masih tidak menandakan petunjuk berarti. Siva menggigit bibir. Butiran keringat dingin kembali bermunculan di pelipisnya. Degup jantungnya bagai akan menjebol tulang-tulang rusuk yang membentengi organ-organnya.
Mungkin, batin Siva, mungkin tidak ada orang lain yang perlu tahu.
Mungkin dia bisa melakukan ini diam-diam.
***
TIGA
Januari.
Gelegar guntur bersahut-sahutan, mengiringi sambaran kilat yang silih berganti membelah langit dengan cahayanya. Ibu jari Siva melayang di atas panel tombol ponsel pintarnya, memikirkan respon apa yang sebaiknya dia ketikkan untuk chat dari ibu yang lagi-lagi menanyakan kesehatannya. Mungkin ada baiknya membicarakan cuaca. Belakangan ini frekuensi hujan semakin sering. Tidak jarang semalam suntuk, membuat banyak orang yang tinggal di titik-titik rawan banjir tak bisa tidur nyenyak karena harus siaga mengamankan barang-barang berharga mereka dan menyusun rencana darurat.
Baik-baik aja, Bu. Tapi akhir-akhir ini sering hujan deres, hawanya dingin terus. Doakan semoga nggak pilek ya, Bu.
Klik Send.
Siva meletakkan ponselnya dan berjalan pelan menuju dapur, tangan kirinya menyusur dinding. Melakukan itu membuatnya merasa sedikit lebih aman. Lebih mampu menjaga keseimbangannya. Akhir-akhir ini bermacam hal mudah menjadi berkali lipat lebih sulit bagi Siva. Berdiri terlalu lama membuatnya ingin terhuyung. Tiap langkah begitu berat—Siva tak pernah bisa dengan baik menentukan di mana harus menumpukan beban badannya. Telapak kakinya sakit. Punggungnya mengerang. Duduk salah. Berbaring salah. Bertumpu pada dua kaki pun sama saja. Saat ini rasanya tak ada posisi yang mengenakkan baginya. Siva tahu kuku kakinya sudah panjang dan kotor karena dia bahkan tak lagi ingat kapan terakhir kali memotongnya. Sekarang dia sudah tak bisa melihat mereka lagi. Satu-satunya yang tampak ketika Siva menundukkan kepala hanyalah gundukan perutnya yang kian membuncit.
Terus terang Siva tak mengerti mengapa dia tak pernah mengambil pilihan menggugurkan kandungannya. Ini bukan perkara mencemaskan keselamatan nyawa. Apalagi takut dosa. Siva sudah terlampau jauh dari titik itu. Barangkali dia tidak suka dengan skenario dalam benaknya. Siva tidak suka membayangkan dirinya harus menapakkan kaki ke tempat-tempat yang mengundang tanda tanya sambil berupaya menyembunyikan wajah. Gusar. Berharap dia tak ikut terekam kamera orang-orang yang sedang menjepret selfie atau merekam vlog atau membuat konten TikTok. Tak berpapasan dengan orang yang mengenalinya. Beberapa bulan silam, imajinasi itu membuatnya bergidik. Kini, setelah fakta adanya nyawa lain yang bernaung dan hidup dalam rahimnya tidak lagi bisa diabaikan, Siva mulai mempertanyakan apakah dia mengambil keputusan yang keliru. Jangan-jangan ada realita alternatif di mana dia tidak harus menjalani semua ini?
Hujan mulai turun. Butirannya dengan berang menggedor-gedor permukaan atap dan jendela persis saat Siva meraih gelas plastik yang tertelungkup di atas dispenser air. Pandangannya mengerling kantong belanja berisi sayur-mayur, telur, dan daging yang masih teronggok di meja dapur sejak pagi tanpa sempat dipindahkan ke tempatnya masing-masing. Siva mengucap syukur dalam hati pada teknologi. Urusan persediaan bahan makanan tidak pernah jadi persoalan. Siva cukup mengirimkan pesan WhatsApp berisi daftar belanjaan kepada penjaja sayur keliling dan menggantungkan kantong di pagar depan, voila! Nantinya kantong itu akan penuh berisi berbagai pesanannya. Masih terngiang di telinga Siva tanggapan enteng bapak tukang sayur saat dia mengajukan usulan meninggalkan uang tunai di kantong untuk membayar belanjaan, "Kirim pakai Go-Pay aja, Neng. Biar gampang. Saya kalau siang nyambi ngojek online."
Seberkas kilatan terang memecah kegelapan langit diiringi dentum yang begitu keras hingga menggetarkan tanah. Refleks tangan Siva terangkat ke depan dada. Seakan hendak menahan jantung agar tidak melompat keluar. Menelan ludah, Siva mengisi gelas dengan sebelah tangan. Tremor kecil menjalari permukaan kulitnya ketika Siva membawa gelas itu ke bibirnya. Dia tidak suka petir. Satu dari sedikit fenomena alam yang membuatnya gelisah tidak karuan. Hujan deras tidak pernah jadi masalah besar baginya, tapi lain cerita jika sudah berhias petir menggelegar. Memejamkan kedua mata, Siva menghela napas panjang. Menenangkan diri.
Jejakan kecil terasa dari balik perutnya yang melembung. Akhir-akhir ini kandungannya semakin intens beraktivitas. Tidak cuma tendangan-tendangan, melainkan juga gelombang yang menjalar dari atas ke bawah. Siva tahu, dari artikel di internet, bahwa hal itu disebut sebagai kontraksi. Tetapi dia tak pernah benar-benar tahu berapa usia kehamilannya secara tepat. Tidak sekalipun dia mengunjungi spesialis obstetri dan ginekologi. Apa yang dilakukannya hanyalah menggunakan aplikasi kesehatan untuk menanyakan hal-hal mendasar dan membaca-baca beraneka artikel. Siva menduga persalinan sudah di ambang pintu. Entah kapan, dia tak akan mengerti hingga momen itu tiba, tetapi instingnya mengatakan hari itu sudah dekat. Semua tanda-tanda yang dialaminya mengarah ke sana, dan dia telah teramat sangat lelah mengemban beban sebesar ini di tubuhnya.
Siva membalikkan badan. Gelas berisi air masih dalam genggaman, Siva bergerak mengambil langkah pertama untuk kembali ke ruang tengah. Tak ada yang akan menduga bahwa kelingking kaki kanannya—yang berada di titik buta karena penglihatannya terhalang perut—akan terbentur kaki meja dapur.
Semua terjadi beruntun begitu cepat. Nyeri menyeruak bagai ledakan kembang api menjalari Siva dari ujung jari kakinya. Siva melonjak mundur, kaget dan mengumpat kesakitan. Gerakan itu mengentakkan tangannya dan menumpahkan sebagian air dalam gelasnya ke lantai. Siva yang tak punya cukup keseimbangan akibat mendadak tersentak tidak sanggup mempertahankan posisinya di atas permukaan lantai dapur yang licin.
Momen-momen ini terjadi dalam sekejap mata. Namun, bagi Siva rasanya waktu bergerak seperti film stop-motion. Lama sekali. Dia bisa menyadari setiap detil peristiwa. Detik ketika dia menyadari sedang terpeleset. Gelas yang terlepas dari genggamannya. Punggung dan mungkin kepalanya akan terbentur dalam... sedetik lagi? Setengah detik lagi? Seperempat—
Dhug.
Seluruh dunia Siva menggelap.
Entah berapa menit (jam?) berlalu sebelum kedua mata Siva mengerjap terbuka. Benda pertama yang dilihatnya adalah langit-langit yang bukan kamarnya, meski entah kenapa tidak terasa asing. Sebuah segitiga kecoklatan tampak menyodok sudut kanan penglihatannya. Siva berkedip. Sekali. Dua kali.
Oh. Ternyata ujung meja.
Serpihan memori bermunculan di benak Siva ibarat bunga yang bermekaran usai disentuh gerimis. Telinganya perlahan mulai menangkap deru hujan yang rupanya masih belum juga mereda. Rasa sakit yang semula masih teredam oleh syok kembali menghempasnya. Kepalanya berdenyut-denyut tidak keruan. Meringis tertahan, Siva menumpukan berat badannya ke telapak tangan dan mendorong tubuhnya duduk.
Mata Siva menyapu sekelilingnya. Gelas plastik yang terguling di lantai. Genangan air tumpah. Di bawah telapak tangannya. Di sekitar kakinya. Basah di mana-mana. Siva menatap lekat-lekat cairan kekuningan di antara kedua pahanya. Beberapa garis merah samar tampak mencolok di latar yang pucat. Darah?
Gelombang nyeri itu datang lagi. Lebih kuat dari yang sudah. Menusuk bagian bawah perutnya seperti tombak yang menghujan. Siva bisa merasakan detak jantungnya berangsur memburu. Bunyinya berdentum di telinga. Keringat merebak di dahi dan belakang lehernya. Naluri Siva mengatakan satu kata yang diulang-ulang bak radio rusak. Satu kata yang tak siap dihadapinya. Tidak besok. Tidak pula hari ini. Apalagi sekarang juga.
Lahir.
Lahir.
LAHIR!
Tapi apakah Siva punya pilihan?
***
EMPAT
Lebih kuat lagi. Sekali lagi.
LAGI.
Siva menggigit bibir bawahnya. Merasakan besi di lidahnya. Giginya merobek kulit yang sudah memerah dan sensitif akibat terlalu banyak mendapat tekanan. Matanya terpejam. Dahinya berkerut. Keringat sebesar buliran jagung berkerumun di kening, dahi, bergulir sepanjang rahangnya yang mengeras dan jatuh menetes; menyerah kepada gravitasi. Jemari tangan dan kakinya mencengkeram bedcover yang dia gelar asal-asalan di lantai kamar mandi. Punggung Siva bersandar di bak air rendah yang sudah diisinya dengan air panas hingga nyaris penuh. Tetesan air panas bahkan masih berjatuhan tidak tentu dari keran yang tak tertutup rapat sempurna. Pada mulut bak berserakan tiga handuk bersih yang dikeluarkan Siva dari lemari. Sebagian handuk tampak setengah basah terkena air panas. Satu selimut teronggok tak jauh dari jangkauan lengan Siva; barang yang diambilnya ketika menyadari dalam panik dan kesakitan bahwa dia tak punya cukup handuk untuk proses persalinan. Artikel internet yang iseng-iseng dibacanya tempo hari menginstruksikan agar menyiapkan setidaknya empat handuk bersih. Mana ada orang yang hidup sendirian dan bisa memiliki handuk nganggur sampai empat lembar?
LEBIH KUAT!
Siva mengejan lagi. Beraneka macam makian dalam berbagai bahasa yang diketahuinya bermunculan di benaknya. Merespon seruan insting yang menyuruhnya mengerahkan seluruh jiwa dan raganya demi satu misi: mengantarkan sosok tanpa nama yang sekian bulan lamanya telah tinggal dan hidup bersamanya. Di dalam dirinya.
Sedikit lagi.
Satu dorongan lagi.
Siva menarik napas sepanjang yang dia bisa. Mengambil ancang-ancang. Satu. Dua. Tiga. Kemudian tubuhnya seolah terbelah dua.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHH!!"
Selanjutnya hanya ada keheningan.
Siva membuka mata. Cahaya lampu terlihat lebih menyilaukan dari biasanya. Dia lemas bukan main, namun sekujur badannya berdengung. Supersensitif. Siva bisa mendengar desir gerakan darah mengalir dalam pembuluh di balik kulitnya. Siva meraba-raba handuk di mulut bak dengan tangannya yang lembab dan lengket oleh keringat. Tanpa menoleh, dia mencelupkan handuk yang berhasil diraihnya ke dalam bak air panas. Memeras kelebihan airnya. Tindakan Siva masih digerakkan oleh naluri alih-alih logika bahkan ketika Siva membungkus bayi merah di hadapannya dengan selimut dan mulai membersihkan darah dengan handuk basah.
Siva mengelap perlahan noda darah dari kening si bayi. Siapa namanya? Apakah sekarang dia harus memikirkan panggilan untuk bayi ini? Apa artinya dia sudah menjadi seorang ibu? Bohong, kan? Ujung jari tangan Siva menelusuri permukaan kulit bayi yang lunak dan sedikit kisut. Menatap sepasang mata mungil yang terpejam. Dia belum berhenti diliputi ketidakpercayaan. Kecil sekali, batinnya takjub. Mungkin dulu aku juga cuma sebesar ini? Apakah aku juga setenang ini?
Mendadak Siva terkesiap. Satu pikiran melesat bak anak panah di tengah-tengah kabut yang menaungi benaknya. Membuyarkannya dari setengah lamunan.
Tenang...?
Dia baru menyadari bahwa bayi di tangannya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Tidak menangis. Tidak batuk. Tidak merengek. Bahkan sampai detik ini dia tak kunjung melek. Kepanikan Siva kembali meroket. Dia mengerti ada yang salah. Tapi apa yang harus dilakukan? Apa? Untuk pertama kalinya, ada sebuah emosi menyeruak ke lubuk hati Siva. Suatu hal yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Sebuah harapan. Keinginan. Berbaur ketakutan.
Hiduplah.
Ayo. Hiduplah.
Siva menyelipkan tangan yang gemetar ke balik lipatan kain yang menyelimuti dada bayi itu. Sama heningnya. Tak ada naik-turun pernapasan. Tak juga ada denyut jantung yang bisa dirasakan telapak tangannya. Satu-satunya teman Siva di ruangan itu hanyalah kebisuan.
Kebisuan yang, tak lama berselang, pecah oleh isak tangisnya sendiri.
***
LIMA
Matahari pagi mengintip dari sela-sela awan kelabu. Cahaya tipisnya menyinari gerimis yang begitu keras kepala. Enggan mereda walau hujan sudah turun tanpa henti sejak kemarin. Hawa cukup dingin. Pasti nikmat sekali dipakai meringkuk di balik kehangatan selimut. Sayang kemewahan sederhana itu tidak punya kesempatan untuk lewat di benak Siva, yang tengah sibuk menggeledah isi rak dapur. Dia ingin mengambil serokan terbesar yang dimilikinya, yang biasa dia pakai untuk mengangkat gorengan dari wajan. Ujung kepala hingga ujung kaki Siva dirundung pegal. Badannya terasa seberat truk. Tapi saat ini ada banyak hal yang harus dia kerjakan.
Lengan kiri Siva mendekap erat bungkusan kain batik yang ukurannya tak lebih besar dari kotak sepatu. Tangan kanannya menggenggam serok dan satu buntalan kain yang lebih kecil. Menggunakan siku kanannya, Siva membuka pintu menuju halaman belakang. Sekonyong-konyong aroma tanah dan dedaunan basah menyergap hidungnya. Siva memandang nanar ke depan. Ke arah rumpun bunga euphorbia dekat tiang jemuran yang berkilauan diterpa sinar matahari.
Sayup-sayup terdengar bunyi gemuruh mesin cuci dari sudut ruangan yang terletak di sisi yang sama dengan dapur. Bedcover penuh darah bercampur ketuban dan sisa plasenta yang tak bisa dipunguti Siva sedang bergumul dengan larutan deterjen di dalamnya. Di atas bangku plastik di samping mesin cuci teronggok gundukan handuk dan selimut kotor. Mengantri giliran.
Subuh tadi, Siva terbangun oleh kumandang azan dari masjid komplek. Dia mendapati bayi dalam pelukannya—yang sepanjang malam tak dia lepaskan barang sedetik—telah mendingin. Memupus bersih angan-angan kosongnya yang bersikeras memimpikan wajah kecil itu akan menatap balik padanya saat pagi tiba.
Kenapa dia sesedih ini, Siva tak mengerti. Dadanya sesak. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit sekali! Air matanya sudah habis. Kering kerontang. Dikurasnya untuk menangis semalaman. Padahal sejak awal kehadiran anak ini bukanlah hal yang dia inginkan. Padahal dengan begini semuanya akan kembali seperti semula. Tak berubah. Tapi kenapa semua tetap bagaikan mimpi buruk?
Siva melangkah keluar. Tanpa payung. Tanpa alas kaki. Rintik-rintik gerimis yang dingin mengejutkan kulitnya. Permukaan tanah yang lunak terbenam di bawah telapak kakinya, menciptakan jejak yang segera dicerai-beraikan bentuknya oleh hujan. Siva berlutut di samping petak bunga euphorbia yang belum lama ini ditanamnya di samping petak bugenvil. Buntalan kecil yang dia pegang di tangan kanan bersama serokan ditaruhnya di atas tanah dengan hati-hati. Tanpa melepaskan bungkusan kain batik yang sejak tadi didekapnya di lengan kiri, Siva mulai menyeroki tanah.
Menggali lubang.
Sepuluh senti. Lima belas senti. Tangan Siva masih terus bekerja. Sudah berapa lama waktu berlalu? Lengannya sudah pegal. Badan dan bajunya berlumur tanah, tapi Siva tak yakin harus sedalam apa lubang dibuat agar aromanya tidak tercium kucing-kucing liar yang tak jarang numpang bersantai di halaman rumahnya. Mungkin sedikit lagi. Dua kerukan lagi.
Siva menekuri liang yang digalinya. Bagian dasar lubang mulai digenangi gerimis yang terkumpul. Nyeri di dadanya menyeruak lagi. Sudah tidak ada stok tangisan untuk dicurahkan kali ini, dan yang bisa Siva lakukan hanya terdiam dan merasakan batinnya dicabik-cabik belati penyesalan. Apa yang sebenarnya disesalinya pun Siva tidak sepenuhnya paham. Semuanya bertumpuk. Tumpang tindih satu sama lain.
Perlahan Siva membuka bagian atas bungkusan dalam digendongnya. Dia ingin melihat wajah itu untuk terakhir kali. Mata yang tidak sempat menatap dunia. Hidung yang barangkali tak berhasil menghirup udara luar. Sepasang bibir yang belum mengeluarkan suara apa pun. Manusia kecil yang bahkan tak memiliki nama.
"Maaf," bisik Siva parau. Suaranya tercekat di tenggorokan, menolak keluar. Dia mengecup kening dingin di pelukannya dengan bibir bergetar. "Maaf. Maaf. Maaf."
Maaf.
Seribu kali pun rasanya tidak cukup.
Siva merapikan bungkusan itu sebisanya sebelum meletakkannya di dasar liang. Buntalan yang satunya―berisi ari-ari bayi―juga dia masukkan. Mengubur keduanya bersama-sama adalah tindakan paling masuk akal yang dapat dilakukannya sekarang.
Siva menyingsingkan lengan bajunya yang melorot, lantas bergegas menimbun lubang hingga menutup. Ditepuk-tepuknya permukaan tanah agar padat dan rata. Tingginya kini tidak berbeda jauh dibandingkan sekelilingnya. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah tidak ada seorang bayi yang tidur abadi beberapa puluh sentimeter di bawah sana. Bersimpuh di hadapan kuburan kecil yang dibuatnya sendiri, Siva termenung.
Dengan begini, tidak ada yang perlu tahu.
Tidak orang tuanya. Tidak kolega kerjanya. Tidak pula teman-temannya.
Tidak ada yang tahu peristiwa ini kecuali Siva seorang diri. Semuanya bisa kembali ke awal. Tombol reset sudah ditekan.
Jadi kenapa hatinya sesedih ini? Kenapa dia tidak mampu merasa lega? Apa yang salah? Apa yang berbeda?
Aku, Siva tersentak. Tersadar seketika. Aku yang berbeda.
Memang tidak seorang lain pun yang tahu. Tapi pengalaman ini, kepedihan ini, kehilangan ini, akan selalu bersamanya. Memori ini adalah miliknya. Mengikutinya. Menghantuinya.
– Selesai –
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
