
Neo Jakarta, N47. Amor, seorang karyawati Departemen Riset dan Pengembangan Nusantara Innovations yang menangani uji coba produk dan alat-alat baru, mendapat tugas untuk menguji coba purwarupa Agapimeter, alat berteknologi mutakhir yang, jika berhasil lolos fase uji, barangkali akan menggemparkan dunia. Dan Amor berencana akan memanfaatkan alat itu untuk menyelamatkan pernikahannya.
AMOR FATI.
SENSOR motorik bereaksi terhadap kehadiran Amor, memicu lampu ruang tamu menyala. Amor melempar kunci mobil ke mangkok porselen dekoratif yang bertengger di atas lemari pajangan lalu melepaskan sepatu hak yang melekat di kakinya. Satu hembusan panjang napas lega dihela Amor tatkala telapak kakinya bersentuhan dengan dinginnya ubin lantai.
“Welcome home, Amor.”
Suara manis Anisa sang asisten virtual menyambut Amor dari arah ruang tengah. Ia terintegrasi dengan kunci otomatis bersistem sidik jari, yang membuatnya dengan mudah mengenali siapa yang datang.
“Do you want me to turn on the water heater?” Anisa bertanya. Nada bicaranya datar dan tanpa emosi, selayaknya mesin.
Amor berpikir sejenak. Hari sudah larut dan dia lelah, tetapi mandi air panas terdengar surgawi. Sekujur tubuhnya pegal, lengket, dan bau keringat. “Yes. Please.”
“Turning on the water heater.”
Amor meletakkan kotak abu-abu seukuran wadah sepatu di atas meja makan. Dia memejamkan mata sejenak, mengingat-ingat kondisi garasi yang didapatinya tak berpenghuni ketika hendak memarkir mobil otomatisnya. Mobil milik Fatih, hadiah ulang tahun dari Amor pada tahun ketiga pernikahan mereka, tidak ada di sana. Suaminya belum pulang. Entah kerja, entah punya acara apa.
Jam besar lantai di belakang punggung Amor (benda antik warisan eyang buyutnya, dihadiahkan oleh ibunya sewaktu pernikahan dan merupakan aset turun-temurun keluarga) menunjukkan pukul setengah dua pagi. Dipikir-pikir, Amor juga sama saja. Istri macam apa yang meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaan selama lebih dari dua belas jam?
Seakan-akan mereka berdua sudah sama-sama menyerah dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Ini tahun keenam semenjak mereka menikah. Fase bulan madu, yang kata orang-orang berjalan selama enam bulan sampai dua tahun, kini terasa amat jauh di masa lalu.
Kedua mata Amor membuka perlahan. Tatapannya lurus beradu dengan barang yang barusan ditaruhnya di permukaan meja makan yang sama sekali tak menyediakan makanan. Tak ada keranjang berisi buah-buahan, apalagi sisa lauk-pauk sejak pagi. Meja makan itu gersang bagaikan oasis yang kering kerontang.
Diam-diam Amor bersyukur tidak ada orang di rumah. Apa yang dibawanya pulang dari Nusantara Innovations adalah aset super rahasia yang tidak boleh sampai bocor ke pihak lain. Fatih memang bukan orang usil yang selalu ingin tahu apa yang dikerjakan Amor sebagai pemimpin tim uji coba di Departemen Riset dan Pengembangan Nusantara Innovations, namun malam ini Amor belum merancang skenario palsu demi menjelaskan barang-barang yang tak bisa dia ungkapkan.
Tangan Amor menyingkap tutup kotak abu-abu perlahan. Sebuah alat pemindai seukuran raket tenis meja menyambutnya. Di sebelah alat itu terdapat alat lain berbentuk mirip pena lanset, yang umum dipergunakan tenaga kesehatan untuk mengambil sampel darah.
Agapimeter.
Alat pengukur cinta.
Masih purwarupa, memang. Dan justru karena alasan itulah benda ingin jadi sangat penting, nyaris tak ternilai harganya.
Di dunia ini hanya ada dua buah purwarupa Agapimeter. Satu berada dalam brankas berteknologi keamanan mutakhir yang tersimpan pada sebuah sudut ruang kerja Ghifary, CEO muda Nusantara Innovations yang jarak usianya dengan Amor tak sampai menyentuh satu dekade. Ghifary tak pernah suka disapa ‘Pak’ dan sudah berulang kali mengatakan kepada karyawan-karyawannya untuk menggunakan kata sapa ‘Bung’, tapi hasilnya nihil. Tak ada yang berani memanggilnya ‘Bung Ghifary’. Kecuali mungkin anggota Dewan Direksi atau klien-klien besar perusahaan.
Satu lagi berada di hadapan Amor saat ini.
Agapimeter adalah suatu terobosan teknologi. Nama alat itu dicetuskan langsung oleh Ghifary, gabungan ‘meter' dan ‘agapi’, yang katanya berarti cinta dalam bahasa Yunani. Setelah sekian lama mengalami development hell dan terjebak fase tes nyaris tak berujung dengan beragam jenis binatang seperti tikus, kelinci, sampai anjing (tentunya semua dirahasiakan dari media dan publik supaya tak memicu penentangan oleh kelompok aktivis hewan), kini alat tersebut memasuki tahap uji coba terhadap manusia secara internal di Nusantara Innovations hingga tahun depan. Jika berhasil, dalam artian tak ada anomali atau kendala, maka selanjutnya bisa diujicobakan terbatas kepada publik.
Jantung Amor berdentum heboh. Debarannya terasa dua, atau malah tiga, kali lebih kencang karena dikepung heningnya malam. Amor baru benar-benar menyadari apa yang menjadi tanggung jawabnya. Apa yang dipertaruhkan.
Kenapa beban seberat ini diserahkan kepadanya oleh Manajer Departemen?
Kenapa pula dia menyanggupi?
Kenapa tidak menolak, mengopernya kepada orang lain?
Tapi tentu saja Amor sudah tahu jawabannya.
Dia tidak bisa menolak. Uh, bahkan kalau dipaksa jujur, dia tidak mau menolak. Ada alasan yang membuat Amor harus mencoba menggunakan kemampuan Agapimeter. Alat itu dapat membantu menjawab pertanyaan yang menghantui pikirannya selama beberapa bulan belakangan.
Yang mana, tentu saja, menyangkut Fatih.
Amor curiga suaminya tak lagi tertarik menjadi pasangan hidupnya.
***
JIKA ditanya cara kerja Agapimeter, Amor tak tahu. Itu bukan ranah pekerjaannya. Dia hanya tim uji coba. Tugasnya adalah mencari kelinci percobaan atau menjadi kelinci percobaan.
Seperti saat ini, misalnya.
Dia mengemban tugas mencatat grafik yang ditunjukkan oleh layar yang terpasang pada salah satu sisi pemindai dan membandingkan dengan apa yang sedang dia rasakan. Amor juga wajib mencatat apabila ada gejala fisik yang dialaminya, seperti jantung berdebar, keringat dingin, pusing, dan berbagai hal lain.
Tetapi Amor takkan melapor bahwa dia melibatkan orang luar. Fatih bukan bagian dari Nusantara Innovations. Menjadikannya subjek percobaan termasuk pelanggaran aturan. Kategori berat, pula. Namun selama semua bisa Amor kendalikan, asalkan rahasia ini tetap tersimpan, segalanya akan aman.
Menurut panduan penggunaan, cara aktivasi Agapimeter ada beberapa tahap. Pertama, gunakan pena lanset untuk menyuntik―menusuk?―ujung seluruh jari-jari tangan. Sepuluh-sepuluhnya. Proses ini diperlukan untuk meningkatkan sinkronisasi antara tubuh dengan alat pemindai. Amor membuat profil, memasukkan data-data diri ke dalam pemindai. Alat itu bisa memuat hingga dua profil. Ideal bagi pasangan yang ingin menguji perasaan satu sama lain, yang mana sepertinya memang sasaran pasar utama Agapimeter. Selanjutnya Amor memindai dirinya sendiri dengan alat yang seukuran raket tenis meja itu. Alat perlu digerakkan beberapa kali ke sekujur tubuh hingga status bar yang terpampang pada layar mencapai angka 100 persen dan berwarna hijau.
Selesai. Agapimeter siap dioperasikan.
Mudah sekali.
Penjelasan dalam panduan mengatakan, untuk mengukur kasih sayang dan rasa cinta terhadap makhluk hidup lain, maka alat pemindai perlu diarahkan kepada subjek yang sedang menatap target, baik secara langsung ataupun foto dan video. Artinya, jika Amor ingin mengukur seberapa besar rasa cintanya pada Combro, kucing piaraannya, dia cukup menemukan di mana kucing gembrot yang telah dipeliharanya semenjak belum menikahi Fatih itu sedang bermalas-malasan. Atau Amor juga bisa mengukur rasa sukanya pada Rendra, aktor suara artificial intelligence super populer yang serial dramanya laris manis membanjiri katalog Neoflix Audio, layanan streaming khusus media non-visual. Amor cukup menatap lekat-lekat foto, alias avatar, alias imaji visual Rendra, yang terpampang sebagai wallpaper komputernya.
Amor, yang kini telah jauh lebih segar selepas mandi, memutuskan mencari kucingnya.
Combro bergelung di atas selimut yang terhampar di sofa depan televisi. Amor memandangi kucing yang usianya sudah mencapai tujuh tahun itu, menjawil-jawil pelan kaki depannya yang dilipat ke bawah dagu. Tak puas, Amor lantas menyurukkan wajah ke perut Combro yang empuk dan gemuk. Hatinya menghangat. Menatap Combro selalu memberinya ketenangan. Kucing itu hanya menggeliat tanpa terbangun.
Alat pemindai diarahkan ke tubuhnya sendiri, dan grafik sederhana muncul pada layar.
Tertera angka 78.
Dari skala 0 hingga 100.
Panduan Agapimeter menjelaskan bahwa batas atas ‘cinta yang sehat’ adalah 95. Lebih dari itu, subjek ukur disarankan melakukan bimbingan konseling atau berkonsultasi dengan psikolog karena rasa cinta mereka berpotensi tinggi untuk berubah menjadi obsesi yang mungkin membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Angka 30 sampai 50 diterjemahkan sebagai ‘Suka’, dan di bawah itu dinyatakan ‘Netral’. Alias biasa saja. Agapimeter tidak mengukur rasa benci maupun ketidaksukaan, dan angka yang rendah sebaiknya tidak diterjemahkan demikian.
Itu semua tertulis di panduan penggunaan.
“Welcome home, Fatih.”
Suara Anisa memecah hening.
Refleks Amor beranjak berdiri. Suaminya pulang.
***
AMOR berbaring di atas tempat tidur berukuran King, menatap langit-langit. Sorot matanya menerawang jauh, menembus atap, seolah yang berusaha dipandanginya adalah langit malam Neo Jakarta yang bertabur beragam cahaya kecuali bintang. Apabila Amor mengulurkan lengannya ke samping, jemarinya akan bersentuhan dengan Fatih yang tertidur di sana. Lelap. Lengkap disertai dengkuran pelan. Tanpa harus menoleh, Amor sudah tahu: yang menghadap ke arahnya ialah punggung suaminya. Punggung yang sempat terasa seluas semesta dan sehangat perapian itu kini mendingin dan berjarak.
Kapan terakhir kali mereka bersentuhan? Amor tidak ingat.
Dia tidak ingat kapan terakhir kali mereka saling menggenggam tangan, mengacak rambut, mengecup kening atau pipi, apalagi berciuman. Mengingat krisis kemesraan dalam hubungan rumah tangganya memanaskan mata Amor, menyesakkan dadanya. Apakah pernikahan ini masih bisa diselamatkan? Apakah Amor masih punya tempat di hati Fatih? Apakah masih ada asa untuk rumah tangga mereka berdua?
Ingatan Amor terbang ke percakapan yang terjadi kurang lebih satu jam lalu. Usai mendengar sambutan Anisa, buru-buru Amor beranjak ke ruang tamu, bermaksud turut menyambut kedatangan Fatih. Laki-laki berusia 38 tahun itu sedang menyampirkan jaket kulit yang biasa menjadi ciri khas penampilannya ke punggung kursi makan.
“Malem banget kamu pulangnya.”
Amor langsung menyesali kata-kata itu begitu mulutnya terkatup. Ada kesan menyindir di sana. Mestinya Amor bisa mengucapkan sesuatu yang lebih baik. Fatih meraih kaleng soda dari dalam kulkas dan meminum tiga tegukan besar sebelum berbalik menghadap istrinya.
“Syutingnya baru kelar.” Fatih menjawab singkat. Kemudian, seolah tak mau berdosa sendirian, dia menambahkan, “Kamu juga belum lama di rumah, kan?”
Amor tak bisa mengelak. Profesi Fatih selaku sutradara memang sedari awal menyebabkan jadwal kerjanya tidak menentu, apalagi semenjak kebutuhan terhadap sutradara menurun drastis akibat karya seni buatan manusia dianggap terlampau mahal dan kalah praktis dibandingkan buatan artificial intelligence. Proyek-proyek yang digarap Fatih kian sporadis. Fatih tak pernah menolak tawaran apa pun yang menghasilkan uang, tidak peduli seberapa mepet deadline-nya, seberapa aneh konsep yang diajukan. Asalkan ada duitnya. Amor tahu, Fatih kerap menghabiskan hari-harinya berusaha membangun koneksi, menghubungi orang-orang, memperkenalkan diri dan karyanya, meyakinkan mereka bahwa kemampuannya memiliki nilai lebih dibandingkan sutradara-sutradara AI yang menyusun film dari gudang data, atau Creator yang menghasilkan karya dengan metode serupa.
Adalah sebuah kewajaran jika Fatih pulang larut malam. Tapi tidak demikian halnya dengan Amor. Di atas kertas, dia sekadar pegawai kantoran biasa. Jam kerjanya dimulai pukul sembilan pagi dan selesai pukul enam sore. Dia mendapat dua hari libur dalam sepekan, Sabtu dan Minggu. Posisi rumahnya yang masih masuk area kota Neo Jakarta menyebabkan jarak tempuh perjalanan ke kantor pusat Nusantara Innovations hanya setengah jam. Banyak waktu luang untuk kehidupan pribadi, untuk keluarga.
Mestinya. Idealnya.
Kenyataannya? Hah. Berbalik seratus delapan puluh derajat.
Lembur, lembur, dan lembur.
Walau tak dipungkiri, jam kerja Amor yang memuai tidak karuan juga berbanding lurus dengan nominal gaji bulanan yang dikantonginya.
Amor tak akan pernah mengonfirmasi ini kepada Fatih, namun jauh di lubuk hatinya, tebersit rasa curiga. Barangkali salah satu alasan Fatih berusaha mati-matian mendapatkan proyek yang mendatangkan uang adalah demi melindungi harga dirinya juga. Demi berkontribusi pada finansial mereka biarpun hasilnya jauh di bawah apa yang dibawa Amor.
“Air masih panas kalau kamu kepengin mandi,” ujar Amor, berupaya mengalihkan topik pembicaraan. “Mau makan? Aku bikinin sesuatu.”
Pandangan Fatih melunak. Amor tidak terlalu yakin, tapi sepintas ujung bibir suaminya terlihat melengkung ke atas, membentuk senyuman sekejap. Senyum itu membuat Amor ingin menangis. Tiba-tiba dia disadarkan sebuah fakta menyakitkan: dia pun tidak ingat kapan terakhir kali mereka melempar senyum tulus satu sama lain.
Jangan salah paham, mereka tidak bertengkar. Tidak cekcok, tidak adu teriak. Interaksinya dengan Fatih baik-baik saja, hanya lebih menyerupai dua orang yang bekerja sama menjalankan proyek bernama rumah tangga ketimbang sepasang suami-istri yang menikah atas dasar cinta.
Senyum Fatih melambungkan harapan Amor. Barangkali itulah mengapa terasa jauh lebih mengecewakan tatkala yang terlontar keluar dari bibir suaminya ialah penolakan.
“Nggak usah. Aku udah kenyang. Tadi makan dulu bareng kru.”
Tidak ada ucapan terima kasih untuk tawaran menyiapkan makanan di tengah pagi buta. Tidak juga untuk menyiapkan air panas (meski cukup dilakukan dengan menekan tombol). Entah sengaja, entah lupa. Tak ada bedanya.
Di atas seprai warna biru muda bermotif awan, Amor menghentikan kilas baliknya.
Napas Fatih yang dalam dan beraturan menandakan dia betul-betul pulas. Perlahan-lahan Amor menuruni ranjang, lantas berjingkat menuju kotak penyimpanan Agapimeter yang dia letakkan dalam lemari sepatu, di antara dus-dus alas kaki. Berusaha tak menimbulkan suara, Amor mengambil pemindai beserta pena lanset sebelum menghampiri sisi tempat tidur Fatih.
Posisi kedua tangan Fatih yang menjuntai ke tepi ranjang sungguh mempermudah pekerjaan Amor. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan konfigurasi Agapimeter dan menyimpan data profil Fatih, tak lupa menyeka ujung-ujung jemari suaminya yang sedikit menitikkan darah akibat tusukan pena lanset.
Masih duduk bersimpuh di samping ranjang, Amor memandangi Fatih lekat-lekat. Mulai tampak gurat-gurat halus melintang sepanjang dahi laki-laki itu, sesuatu yang Amor yakin tak ada di sana beberapa tahun silam. Pasti prospek masa depan profesinya yang kian suram sedikit banyak memicu stres. Pekerjaan Fatih yang rawan tergilas teknologi juga dijadikan alasan ayah Amor menentang pernikahan mereka enam tahun lalu, meski akhirnya dia memberikan restu karena terus dibujuk dan didesak ibu Amor. Sampai sekarang pun sikap sang ayah tak kunjung melunak. Amor terjebak di tengah drama klise mertua yang tak menyukai menantu.
Amor meraih sebelah tangan Fatih dan menggenggamnya lembut. Agapimeter akan membantunya mengetahui seberapa besar rasa cinta Fatih terhadapnya. Setelah Amor tahu kebenarannya, dia akan bisa memutuskan apakah sebaiknya kisah mereka diperjuangkan atau dicukupkan.
Menggunakan satu tangannya yang bebas, Amor mengarahkan pemindai ke tubuhnya.
89.
Alis Amor terangkat. Angka ini lebih tinggi dari yang dia sangka. Boleh jadi karena Amor sedang diterjang memori dan nostalgia, atau terbawa suasana, atau menatap wajah suaminya dari jarak begitu dekat setelah sekian lama ternyata sanggup menyebabkan perasaannya membuncah.
Pemindai diputarbalikkan. Alat itu sekarang menghadap Fatih.
Biiiiip!
Alih-alih grafik dan angka, yang muncul di layar pemindai adalah dua patah kata: SOURCE UNREADABLE.
Oh. Rupanya Agapimeter tidak bisa berfungsi ketika subjek sedang tak sadarkan diri. Amor harus memindai ulang suaminya di waktu terjaga. Memutar-mutar alat yang digenggamnya, Amor berusaha membuat catatan dalam benak agar tidak lupa menuliskan hal ini pada laporan uji coba Agapimeter yang harus dia susun.
***
RASANYA sudah lama sekali sejak terakhir kali Amor benar-benar memperoleh libur akhir pekan tanpa perlu lembur. Sayangnya saking terbiasa tidur sedikit, Amor tak berhasil bergelung di balik selimut lebih lama dari biasanya. Walau baru tidur menjelang subuh, sepasang matanya bergerak membuka beberapa menit mendekati pukul tujuh pagi dan enggan dipejamkan lagi. Amor menengok ke samping. Sosok Fatih tampak terbaring telentang di sana, mulutnya yang sedikit terbuka menunjukkan betapa dia pulas.
Amor beranjak bangun. Lantai kamar yang sedikit dingin terpapar hawa pagi menyambut kulit telapak kakinya. Combro mengeong dan menghambur ke kaki Amor tatkala mendengar langkah majikannya keluar kamar, menagih makanan.
“Good morning, Anisa.”
Tombol standby pada perangkat asisten virtual di ruang tengah mengerjap aktif begitu mendengar sapaan Amor. “Good morning.”
Sebelum menuju dapur, Amor telah menyempatkan menyalakan pemanas air begitu selesai cuci muka dan menyikat gigi. Kini dia berdiri mencubit-cubit dagu di hadapan kulkas pintar yang masih tertutup rapat, mengamati daftar bahan-bahan makanan yang tertera rinci pada layar di pintu. Amor diam-diam menyesali tidak menyempatkan berbelanja kemarin-kemarin. Biar sekarang isi kulkasnya tidak memprihatinkan, Amor lebih suka punya banyak pilihan menu untuk dimasak. Simulasi pada layar pintu mengindikasikan ada dua macam masakan yang bisa diracik Amor menggunakan bahan-bahan tersedia.
“Do you need assistance?” Anisa menawarkan.
“I’m good, thank you.”
Asisten virtual rumah tangga kini memiliki fitur bantuan memasak. Tinggal pilih resep apa yang akan dibuat, dan secara tepat ia akan memberi petunjuk kapan persisnya bumbu-bumbu dimasukkan atau seperti apa sayuran harus dipotong. Bahkan jika seluruh peralatan dapur sudah sinkron dengan asisten virtual, ia bisa menaik-turunkan suhu oven serta kompor sesuai keperluan.
Namun Amor tidak butuh itu. Dia menikmati kebebasan kendali yang dimilikinya saat berada di dapur.
Fatih menampakkan batang hidungnya ketika aroma masakan yang harum mulai menguar, mengisi sudut dan ceruk di seisi rumah. Sembari mengacak-acak rambutnya yang berantakan jadi kian awul-awulan, Fatih berjalan ke arah Amor, yang menunduk di depan oven, berusaha mengangkat loyang panas berisi kue hidangan penutup. Pai apel.
“Kamu masak?” Nada bicara Fatih terdengar sarat keheranan. “Tumben banget.”
Amor berbalik, mendorong pintu oven hingga menutup menggunakan pinggulnya. “Yah, mumpung libur. Kita juga udah lama nggak sarapan bareng-bareng, kan. Kalau hari ini kamu nggak ada acara, mau pergi ke mana gitu, nggak? Berdua.”
Amor meletakkan pai apel panas ke atas konter dapur. Fatih berdiri menyandarkan tubuh di sisi seberang, mengamati istrinya beraktivitas. Ekspresi bersalah sekelebat melintasi wajahnya.
“Sori. Siang ini aku udah terlanjur ada janji futsal.” Dia menyebutkan beberapa nama kawan-kawan lama yang juga sudah dikenal Amor.
“Lho, Danar nggak ikut?”
Danar adalah sahabat lama Fatih sejak kuliah. Nama itu tidak muncul dalam orang-orang yang dirinci sebagai partisipan futsal.
Sambil menunggu jawaban, tangan Amor merayap ke kantong celemek, meraih Agapimeter yang tadi dia simpan di sana. Ini momen ideal yang tak boleh dilewatkan. Mumpung Fatih sedang berada persis di depan matanya, memberikan seluruh perhatian kepadanya.
Memindai.
78.
Oh. Meski telah menyiapkan batinnya untuk beraneka kemungkinan, Amor tak menampik rasa perih yang sedikit menusuknya. Angka itu lebih kecil dibandingkan hasil pindainya sendiri. Rasa cinta Amor pada titik ini lebih besar daripada perasaan Fatih terhadapnya. Itu angka yang sama persis dengan ketika Amor mengukur kasih sayangnya ke Combro.
Barangkali hal ini disebabkan oleh hubungan mereka yang memang terasa berjarak. Amor sudah paham itu. Justru karena itulah dia ingin memperbaiki keadaan, kan? Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Tujuh puluh delapan. Bukan sesuatu yang terlalu parah. Masih ada harapan.
Amor buru-buru kembali melesakkan Agapimeter ke saku celemek, bertepatan dengan Fatih memasuki area di balik konter dapur. Dia menuju wastafel dan mulai mencuci tangan.
“Danar nggak ikut. Dia… sekarang susah banget diajak kumpul. Sejak beli Anisa-droid.”
Anisa-droid, yang juga merupakan produk kebanggaan Nusantara Innovations, ialah asisten virtual yang hadir dalam bentuk robot humanoid. Generasi keduanya belum lama ini dirilis. Harganya selangit, tapi toh nyatanya laku-laku saja. Mereka dipasarkan sebagai pengganti pekerja rumah tangga, sekalipun pada praktiknya, banyak konsumen yang merasa Anisa-droid cocok dijadikan teman hidup. Konon Anisa-droid adalah salah satu faktor sebagian masyarakat mendesak perubahan Undang-Undang Perkawinan. Orang-orang ingin pernikahan dengan artificial intelligence juga turut diakui negara.
“I see.”
Amor mengangkat panci berisi sup ayam ke meja makan. Selanjutnya dia menghampiri penanak nasi, centong siap di tangan. “Mau pakai nasi, nggak?”
“Dikit aja. Biar nggak mual waktu futsal.” Fatih membuka lemari penyimpanan gelas di atas wastafel, mengambil dua mug berdesain kembar. “Aku siapin minum. Kamu pilih air putih atau jus?”
“Air putih. Yang dingin, ya.”
Amor tersentuh. Gestur itu sedikit menghapus kecemasannya tentang hasil pindai Agapimeter yang mentok di 78. Dia melepas celemek dan menggantungnya di samping lemari penyimpanan. Agapimeter dibawanya ke meja makan, diletakkan begitu saja di sisi kiri tubuhnya agar tidak rawan tersenggol.
Mereka sarapan berdua. Suasana terasa tenang nan damai. Sambil menyuapkan sup ke mulut, Amor sibuk mengingat-ingat kapan terakhir kali mereka punya waktu luang untuk sekadar makan bersama. Dada Amor diterpa penasaran. Dia bertanya-tanya apakah aktivitas ini mampu menaikkan skor kasih sayang suaminya. Matanya mengerling Fatih, yang menghabiskan isi piringnya tanpa bicara. Tak ada komentar apalagi pujian tentang kualitas masakan Amor, sekalipun mereka sama-sama tahu rasanya lezat.
Tangan Amor merayapi permukaan meja, menggenggam handel Agapimeter. Dia perlu menarik perhatian suaminya supaya menatapnya.
“Nanti mau futsal di mana?”
Sesuai prediksi, Fatih mengangkat wajah. “Rencananya nyoba lapangan futsal baru di―” kalimatnya terputus ketika melihat benda asing di tangan Amor, “Kamu ngapain, sih?”
Layar menampilkan angka 80. Amor merasakan harapannya merekah.
“Itu apa yang kamu pegang?” Fatih mengganti pertanyaan karena yang sebelumnya tak mendapat jawaban.
“Uh, barang kantor.” Amor mengibaskan tangan, meletakkan kembali pemindai ke tempat semula. ”Semacam scanner, buat cek kondisi badan gitu-gitu.”
Fatih manggut-manggut, tak menuntut penjelasan lebih lanjut. Amor mengembuskan napas lega. Jika ada satu hal yang paling dia syukuri dari suaminya, itu adalah toleransi yang besar akan sifat pekerjaan Amor.
Ting tong.
“You’ve got a guest.” Pengumuman Anisa membelah udara, mengikuti bunyi bel pintu yang membahana tiba-tiba. “Unregistered guest present.”
Sekilas, Amor dan Fatih bertukar pandang. Tatap mata masing-masing seakan menanyakan, “Tamu kamu, bukan?” kepada satu sama lain. Tamu tak terdaftar berarti satu hal: siapa pun yang berdiri di luar sana belum pernah berkunjung ke rumah mereka. Sidik jarinya belum tercatat sebagai kawan, kerabat, ataupun kolega dalam database Anisa. Itulah mengapa pendeteksi sidik jari yang terpasang pada tombol bel tak bisa mengidentifikasi.
Amor mendorong kursinya mundur. “Biar aku yang buka pintu.”
Prediksi Amor, yang muncul di gerbang adalah anggota rombongan futsal Fatih. Suaminya jarang mengajak teman-temannya bertandang, namun bukan tidak mungkin mereka tahu alamat tinggal Fatih. Sehingga betapa bingung dan terkejutnya Amor sewaktu melihat perempuan muda tinggi semampai berdiri manis di depan rumah. Seketika dia menyesal tidak mengecek kamera keamanan lebih dulu agar tahu siapa yang datang.
“Cari siapa, ya?”
Perempuan itu berambut pendek sebatas dagu. Tampilannya kasual, berbalut kaos hitam dan celana panjang denim berpotongan lurus. Sepasang sneakers kuning cerah melekat di kakinya, ransel kecil melingkari bahunya. Wajah ovalnya bebas riasan, dan Amor menaksir usianya tidak lebih tua dari 25 tahun.
“Permisi. Ini betul rumah Mas Fatih?”
Jantung Amor mencelos. Mas Fatih?
“Iya, benar. Ada urusan apa ya, Mbak?”
“Nama saya Layla. Kayaknya ada barang saya yang terbawa pulang Mas Fatih, jadi saya ke sini untuk ambil.”
Penjelasan itu mengalir lancar. Boleh jadi karena berkata jujur, atau justru sudah mempersiapkan alasan tersebut sejak lama.
Kepala Amor langsung bising. Penuh tanda tanya, berhamburan prasangka. Kenapa barang perempuan ini bisa terbawa pulang suaminya? Dia ini siapa? Apa hubungannya dengan Fatih? Amor berjuang menyembunyikan nada ketus maupun kesan curiga dari suaranya sewaktu mempersilakan sang tamu melangkah lebih jauh ke dalam rumah. Sopan santun. Tata krama.
Be cool, Amor. Be cool.
Don’t show, don’t let her know.
“Anu, maaf kalau boleh tanya… Mbak ini saudaranya Mas Fatih, kah?”
Pertanyaan itu sontak menghentikan laju kaki Amor yang tengah memandu perempuan bernama Layla menyeberangi halaman depan menuju teras. Amor memutar tubuh sedemikian cepat, menatap lurus-lurus lawan bicara yang memiliki selisih tinggi badan sekitar tujuh sentimeter di atas puncak kepalanya.
“Bukan,” tegas Amor, menekankan tiap silabel sejelas mungkin. “Saya istrinya.”
Layla sempat menggumamkan permintaan maaf, menyertakan alasan yang terdengar seperti “…soalnya Mas Fatih nggak pernah cerita kalau ternyata sudah menikah”, tetapi Amor tak menggubris. Dia tidak peduli.
***
INTERAKSI antara Fatih dan perempuan muda bernama Layla di ruang tamu tidak berlangsung lama. Desain ruangan yang relatif terbuka membuat Amor bisa tetap mengamati mereka berdua dari area lain sembari berpura-pura membaca buku elektronik. Setelah bertegur sapa dan tertawa-tawa sejenak, Fatih pergi ke arah garasi selama beberapa menit. Dia kembali membawa sebuah tas kanvas yang segera diserahkan pada Layla.
“Mbak, aku pamit pulang dulu!”
Seruan dari ruang tamu itu mengejutkan Amor. Tergeragap bangun, dia menyahut seadanya. “Oh, ya!”
“Nggak usah segitunya juga nggak apa-apa, kok.” Amor mendengar suaminya berujar.
“Mana boleh,” Layla berargumen. “Istrimu kan tuan rumah juga. Nggak sopan dong kalau aku nggak pamitan ke dia.”
Amor, yang sudah setengah jalan menuju ruang tamu, mendadak berpivot ke arah meja makan. Tanpa berpikir, dia menyambar Agapimeter yang masih tergolek di atas permukaan kayu mengilap sebelum menyusul ke gerbang depan. Alat itu dipegangnya di depan dada bak tameng, sisi pemindainya lurus menghadap Fatih yang sedang melepas kepergian tamunya.
Layla melambai-lambaikan tangan dari balik jendela penumpang Autotaxi, layanan taksi otomatis yang dia pesan untuk jemputan. Amor hanya menyunggingkan senyum kecil. Fatih membalas lambaian tangan hingga Autotaxi yang ditumpangi Layla menghilang di tikungan jalan.
“Kamu nggak mau cerita ke aku, perempuan barusan siapa?”
Kalimat itu terlontar keluar dari mulut Amor tepat sedetik setelah mereka kembali ke ruang tengah. Amor benci bagaimana suaranya terkesan menuntut, namun pertahanannya sudah roboh. Hatinya sesak. Kepalanya seakan mau meledak.
Angka 88 yang muncul di layar Agapimeter saat Amor memindai suaminya di gerbang depan gentayangan bak hantu yang mengitari benaknya. Delapan puluh delapan! Yang benar saja. Ia bertingkat-tingkat di atas hasil pengukuran perasaan Fatih terhadap Amor.
“Cuma rekan kerja,” jawab Fatih pelan. “Dia model. Masih anak baru, sih. Aku sempat beberapa kali kerja bareng dia. Bikin video klip musik.”
“Tadi katanya ada barang yang ketinggalan di kamu.”
Helaan napas panjang meninggalkan Fatih. “Iya. Semalam aku kan nganterin dia pulang. Salah satu tasnya ternyata ada yang jatuh ke kolong jok.”
“Ngapain kamu anter-anter dia pulang? Dia nggak sanggup pulang sendiri?”
“Kan kamu tahu semalem aku sampai rumah jam berapa.” Fatih beralasan. ”Syuting baru kelar pas udah malem banget. Masa aku biarin cewek sendirian selarut itu, kan bahaya.”
“Tapi kenapa harus kamu yang anter dia pulang? Emang nggak ada orang lain?”
Amor sadar volume suaranya merayap naik. Tetapi dia sudah masa bodoh. Tangannya yang masih memegang Agapimeter memutar-mutar gagang alat itu dengan gusar. Pikirannya kusut.
Delapan puluh delapan, delapan puluh delapan, delapan puluh delapan…
“Kamu lebih suka dia dibandingkan aku, kan? Kamu lebih tertarik sama model tinggi langsing itu daripada aku?”
Oh Tuhan. Ternyata hal yang menyakitkan akan menjadi berjuta-juta kali lipat lebih pahit sesudah diucapkan daripada sekadar dipikirkan.
Fatih terbelalak. Dia menatap Amor tak percaya. “Hah? Kamu bikin kesimpulan kayak gitu dari mana, sih? Aku tuh nggak ada apa-apa sama dia! Beneran sebatas rekan kerja!”
“Terus kenapa cewek model itu bilang kalau dia nggak tahu kamu udah nikah? Kamu berlagak masih bujangan di lokasi syuting?”
Pandangan Amor berangsur buram. Terhalang air mata yang, pelan tapi pasti, menggenangi pelupuk matanya. Lehernya tercekat. Sakit, sakit, semuanya sakit. Tenggorokannya, dadanya, kepalanya.
Fatih mengangkat kedua tangan, menunjukkan gestur menyerah. “Oke. Sorry. Aku ngaku salah. Aku memang nggak pernah ngomong tentang status pernikahan, tapi bukan karena aku pengin nutup-nutupin. Aku cuma berpikir itu bukan sesuatu yang harus digembar-gemborkan ke orang lain.”
Walau pendapat itu tidak sepenuhnya keliru, yang tertangkap oleh telinga Amor justru sebuah kesimpulan berbeda. Tidak pernah membahas pernikahan juga dapat dimaknai bahwa Fatih tidak sekalipun menyinggung eksistensi Amor, istrinya, dengan kolega-koleganya.
Seolah Amor tak ada dalam hidup Fatih.
Tangan Amor kian sibuk memainkan handel Agapimeter dalam genggaman. Dia tak menyadari sisi pemindai kini menghadap tubuhnya. Layar berkedip, menampilkan angka 92.
“Apa kamu malu punya istri kayak aku?” terka Amor parau. “Asal kamu tahu aja ya, orang-orang normal tuh sesekali bahas keluarganya! Cerita kalau mereka hari ini harus jemput istri, beli kado ulang tahun suami, antar anak ke dokter, apa kek! Apa aku segitu memalukannya buat kamu sampai-sampai nggak pernah muncul di percakapan?”
“Kamu jangan seenaknya berprasangka buruk―”
93.
“Kamu nggak pernah ada di rumah, Fat.” Air mata Amor berlinangan deras. Dia bisa merasakan histeria menjalari sekujur tubuhnya. “Mau aku pulang cepat, pulang malam, pulang lembur hari Sabtu atau Minggu, rumah kita pasti kosong.”
“Aku tuh mati-matian cari kerjaan—”
“Rasanya kayak kamu sengaja menghindari aku.”
95.
“—karena sebagai laki-laki aku nggak bisa membiarkan kamu kerja keras sendirian—”
“Kalau kamu seharian di luar rumah, kamu bisa bebas dekat sama perempuan mana pun karena nggak ada satu pun dari mereka yang tahu kamu udah nikah. Sempurna banget.”
“—dan perasaanku ke Layla itu sebatas kekaguman aja, nggak lebih—”
“BERHENTI BOHONGIN AKU!!!”
Amor meraung, melemparkan Agapimeter di tangannya ke arah Fatih. Sebelum benda itu menghantam dahi suaminya dan jatuh ke lantai diiringi bunyi prakkkk keras yang membuatnya padam, layarnya sempat menunjukkan angka 96.
***
(SELESAI)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
