
Apa hubungan sahur dan baris-berbaris ala tentara? Ada kok hubungannya. Serius!
Di bagian ini saya akan ceritakan sedikit “aib” keluarga saya yang terjadi setidaknya sejak saya SD hingga 10 tahun yang lalu. Tentang sebuah hubungan antara sahur dan baris-berbaris.
Apa hubungan sahur dan baris-berbaris ala tentara? Ada kok hubungannya. Serius!
Di bagian ini saya akan ceritakan sedikit “aib” keluarga saya yang terjadi setidaknya sejak saya SD hingga 10 tahun yang lalu. Tentang sebuah hubungan antara sahur dan baris-berbaris.
Saya dan ketiga adik saya dibesarkan di lingkungan yang sama dan oleh orang tua yang sama. Tapi seperti orang bilang, tidak ada manusia yang sama persis sekali pun lahir dari orang tua yang sama. Kami pun begitu.
Kami tumbuh menjadi manusia yang berbeda-beda. Mulai dari sifat, bakat, minat, pilihan studi, pilihan profesi, makanan kesukaan, dan bahkan selera musiknya pun beragam. Tapi setidaknya ada satu hal yang agaknya mirip dalam keluarga saya: sikap ketika bangun sahur.
Saya masih ingat awal-awal saya belajar puasa. Waktu itu saya masuk SD di usia 5 tahun karena saya sudah bosan sekolah di TK. Bayangkan saja, selama 3 tahun sekolah di TK (sejak usia saya masih 2 tahun) gurunya jahat sekali, menurut saya sih. Soalnya, saya tidak pernah naik kelas. Selalu saja di TK Nol Kecil. Hehehe
Karena saya bosan di TK yang kebanyakan nyanyi dan menggambar saja (dan saya payah sekali kalau disuruh menggambar!!), akhirnya saya memaksa orang tua saya untuk memasukkan saya sekolah di SD. Akhirnya saya dititipkan di SD dekat rumah saya karena Kepala Sekolahnya adalah teman lama Bapak saya.
Jadi lah saya anak paling lugu dan unyu dalam satu kelas. Teman satu kelas saya biasanya lebih tua satu hingga tiga tahun. Dari SD hingga kuliah S1 selalu saja begitu kejadiannya. Jadi ketika saya kelas 1 SD, teman-teman saya sudah mulai semangat untuk berpuasa. Saya yang masih berusia 5 tahun waktu itu sama sekali belum ada niat puasa dan tidak ada pengalaman karena di tahun sebelumnya belum pernah berpuasa sama sekali.
Tapi saat itu ada semacam peer-pressure karena semua murid di kelas saya berpuasa. Akhirnya di usia saya 5 tahun itu saya bertekad untuk mulai belajar untuk puasa meskipun cuma setengah hari. Awalnya saya masih bersikap manis ketika dibangunkan untuk sahur. Tapi makin lama, makin kesal karena sebenarnya masih mengantuk. Jadi saya bangun tidur dalam keadaan kesal dan berjalan dengan kesal pula menuju kamar mandi untuk cuci muka.
Berjalan dengan kesal yang saya maksud ini adalah berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki ke bumi seperti layaknya tentara yang berbaris tegap. Cuma mata saya sih masih setengah merem.
Kejadian seperti itu berjalan bertahun-tahun, sampai saya lulus SD sepertinya. Bapak dan Ibu saya tetap sabar meskipun hampir setiap waktu sahur melihat anaknya dengan mata setengah terbuka, dengan bibir merengut, dan langkah tegap menghentak berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka.
Kelakuan saya ini rupanya hanya setengah menurun ke anak kedua Bapak saya. Dia tidak separah saya dalam menyikapi kekesalan karena dibangunkan untuk sahur saat sedang lelap tidur. Dia tidak ikutan saya berbaris ala tentara, tapi hanya bibir monyongnya saja yang menghiasi wajahnya setiap kali dibangunkan untuk sahur.
Tapi jangan salah, rupanya langkah tegap menjelang sahur bukan hanya jadi monopoli saya seorang di keluarga kami.
Adik saya yang ketiga dan si Bungsu juga ternyata sama saja. Sama-sama menghentakkan kaki dengan kesal tiap kali dibangunkan sahur di masa kecil mereka. Si Bungsu yang paling heboh baris-berbarisnya, karena bukan hanya menghentakkan kaki dan merengut saja. Tapi dia juga sambil ngomel entah ngomel apa.
Saya yang waktu itu sudah menjelang remaja, hanya ngakak saja melihat kejadian demi kejadian adik-adik saya berbaris menghentak-hentakkan kaki dengan kesal sambil berjalan menuju kamar mandi.
Biasanya Bapak hanya mengelus dada sambil bilang, “persis kayak kakaknya yang sulung.”
Iya. Saya maksudnya! HAHAHA
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
