
Chapter 6 - Cookies
Chapter 7 - Madara
Chapter 8 - Lebih dari Berciuman
Chapter 9 - Kebutuhan Biologis
Chapter 10 - Ayase
6. Cookies
Akhir minggu ini terasa nyaman untuk Sasuke. Laki-laki itu bisa bersantai di rumah sambil memperhatikan aktifitas Hinata yang sepertinya tak ada habisnya. "Apa saat aku tak ada kau juga membuat cookies?" tanya Sasuke karena merasa diabaikan.
"Kadang," Hinata menjawab sambil berdiri di depan kitchen setnya. Ia tengah mengaduk adonan yang sebentar lagi siap untuk dicetak.
"Baiklah," Sasuke mendesah berat lalu beranjak. Tak ada gunanya ia berada di dapur, Hinata bahkan tak meliriknya sedikit pun.
Sasuke masuk ke dalam kamar lalu mengambil tas kerjanya. Saat ia hendak kembali ke dapur dan duduk di meja makan, Sasuke tak mendapati wanitanya. Ia menghilang dan membiarkan adonannya begitu saja.
"Ke mana Hinata?" Pertanyaan Sasuke segera terjawab saat ia mendengar suara wanita -bukan hanya milik Hinata- makin mendekat.
Melihat sosok reporter wanita berambut pink itu mendekat bersama Hinata, Sasuke justru mendapati pesan di ponselnya.
Sasuke mengecek terlebih dahulu dan mendapati pesan dari Juugo.
[ Teman Sakura-san kembali berkunjung, Sasuke-san. ]
Sasuke mengabaikan pesan masuk itu lalu memandangi tamunya yang mendekat.
"Sasuke, perkenalkan! Dia sahabatku saat SMA," Hinata tersenyum lebar seraya memperkenalkan sahabat wanitanya semasa SMA pada sang suami.
Sasuke manatap Sakura tanpa berkedip. Begitu pun Sakura yang masih tak menyangka akan melihat mantan kekasihnya secara langsung setelah cukup lama tak berjumpa.
"Sasuke. Uchiha Sasuke," Sasuke mengulurkan tangannya. Wajahnya yang dingin tapi tetap tampan paripurna membuat Sakura balik menjabat tangan Sasuke.
Wanita itu pikir untuk mengikuti rencana Sasuke dengan sandiwara tidak saling kenal. "Sakura," balas Sakura. Nadanya tegas segerti biasa. "Haruno Sakura."
Setelah kedua tangan itu saling terlepas, Hinata pun melihat dapurnya. Tepatnya melihat ke arah adonannya. "Aku belum menyelesaikan adonanku. Sasuke, tolong jamu sahabatku!" pinta Hinata sopan.
Sasuke mendelik ke arah Hinata tapi saat mendapati wajah memohon sang istri, ia pun mengalah. "Haruno-san, kita bisa menunggu Hinata sambil menonton tivi," ajak Sasuke lalu berjalan lebih dahulu.
Sakura menatap Hinata yang sudah berada di belakang dapur sambil merengut. "Kau serius akan memasak Hinata?"
"Adonanku tak bisa menunggu lagi, Sakura. Jadi, tunggulah sebentar bersama Sasuke! Meskipun wajahnya agak menyebalkan, dia cukup sopan. Percaya padaku!"
Sakura menahan senyum di bibirnya. "Baiklah," balas Sakura mengakhiri basa-basinya.
Saat sudah berada di ruang tengah, Sakura melihat Sasuke sedang duduk sambil menonton televisi. Wajahnya serius walaupun yang ia tonton acara reality show.
"Hai, Sasuke!" Sakura duduk di samping Sasuke yang langsung menoleh dengan hawa membunuhnya yang kentara. "Aku tak menyangka kau sudah menikah. Apalagi dengan Hinata."
"Kau tahu?" Sasuke tersenyum tipis dan misterius. "Tak ada kebetulan di dunia ini bagiku."
Sakura tertawa kecil. "Ya, kau sangat pekerja keras. Saat kita kuliah pun, kau yang paling rajin. Aku sampai heran karena ada laki-laki serajin dirimu."
"Tak ada yang aneh. Aku hanya harus mendapatkan nilai terbaikku, menjadi yang terbaik adalah tantangan mudah." Sasuke setelahnya diam saat merasakan seseorang mendekat. Saat ia menoleh, Sasuke mendapati Hinata tengah membawa nampan.
"Aku menyeduhkan teh hijau untuk kalian. Ada cookies juga," Setelah meletakkan hidangan di atas meja, Hinata mendudukkan dirinya. Wanita itu melihat jam di ponselnya lalu meletakkannya di sofa begitu saja. "Sekarang pukul 10, aku akan selesai paling lama 30 menit," ujar Hinata lalu menatap Sakura. "Sakura, tak apa kan kutinggal?"
"Tentu," Sakura menjawab sambil menganggukkan kepala.
"Oke, aku akan pergi. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku supaya bisa bergabung bersama kalian." Setelahnya Hinata pergi, ia membawa nampannya dan mulai mencetak adonannya dengan berbagai bentuk yang lucu.
Sesekali Hinata melihat ke depan karena sejujurnya ia penasaran dengan obrolan dua orang yang saling kenal tapi sedang bersandiwara itu seperti apa?
***
"Apa kau mencintai Hinata?" tanya Sakura sambil menikmati ocha miliknya.
Sasuke yang duduk sambil menonton televisi hanya diam.
"Ayolah Sasuke! Aku tahu kau mendengarku. Kau hanya sedang menutupi sesuatu kan?"
Sasuke berdecak kesal. "Tak bisakah kau hanya diam dan menonton tivi seperti yang kulakukan?"
Sakura manggut-manggut. "Kau tahu, Sasuke? Hinata bukan orang yang mudah dibohongi. Dia pintar dengan wajah polosnya itu," ujar Sakura menjelaskan bagaimana Hinata yang sebenarnya. "Aku mengenalnya saat SMA. Dia suka tantangan, tapi dia juga tak suka dengan kebohongan."
Sasuke mendengarkan. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengetahui orang seperti apa Hinata yang sebenarnya.
"Apa dia pernah dibohongi saat SMA sampai kau bicara seperti itu?" tanya Sasuke.
"Dia pernah diselingkuhi pacar pertama. Setelah ketahuan, dia langsung membuangnya dengan mudah. Melupakan perasaan cintanya dan hidup seperti biasa. Dia benar-benar mudah membuang perasaan cinta meskipun pada laki-laki yang dulu memberikannya banyak kenangan manis."
"Itu hal wajar saat seseorang dikhianati," timpal Sasuke.
"Sasuke kau sepertinya belum mengerti?" Sakura meminum ochanya lagi. "Hinata perempuan, tak biasa untuk perempuan bertingkah dingin setelah pengkhianatan. Apalagi mereka berpacaran selama nyaris 3 tahun. Sejak kelas 1 sampai kelas 3. Mereka sudah terkenal sebagai pasangan serasi di SMA."
"Sepertinya masa SMA kalian begitu menyenangkan," Sasuke mencibir. Ia sedikit iri karena hanya mendapatkan pendidikan formal hingga SD. Setelahnya ia homeschooling dan terpenjara di mansion Uchiha. Barulah saat kuliah, ia dikirim ke US untuk kuliah bisnisnya di dua kampus yang berbeda.
"Oh ya, aku ingat.... Kau harus homeschooling saat SMP dan SMA kan?" Sakura bernada mengejek.
Sasuke tak membalas dan mulai menguap. Obrolannya dengan Sakura membuatnya mengantuk.
"Mengapa kau tak jujur kalau kita saling kenal bahkan kita pernah menjadi kekasih?" tanya Sakura membuat Sasuke menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Laki-laki itu lagi-lagi menguap.
"Apa itu perlu? Aku nyaris tak ingat kalau kau mantanku saat kuliah dulu," ejek Sasuke.
Sakura yang kesal pun beranjak. "Kau tahu, kukira kau sudah berubah! Tapi ternyata pemikiranku salah. Tak mungkin seorang Uchiha Sasuke berubah menjadi baik. Penilaian Hinata benar-benar keliru tentangmu!"
Setelahnya Sakura pergi, wanita itu pergi ke dapur dan melihat pekerjaan Hinata membuat cookies.
***
"Mengapa kau harus membuat cookies saat tahu akan berkunjung? Kau sangat menyebalkan Hinata!" Sakura menggerutu dan Hinata segera tertawa.
"Tunggu sebentar, aku sudah selesai!" Hinata memasukkan adonannya ke dalam oven lalu melepaskan sarung tangannya yang tebal.
"Aaa...." Hinata menyuapi Sakura dengan cookiesnya yang sudah matang lalu menunggu tanggapan dari sahabat SMAnya itu. "Bagaimana?"
Sakura makan dengan pelan karena masih terasa hangat. Setelah menelan, Sakura menunjukkan jempol tangannya. "Enak! Tak diragukan lagi, cookies buatanmu punya nilai jual!"
"Kau mau membelinya?" Hinata menunjukkan toples berisi cookies pada Sakura lalu tersenyum menggoda.
Sakura terkekeh. "Jadi aku akan jadi pelanggan pertamamu?"
"Ya, jika kau mau membeli cookies buatanku ini!" Hinata tersenyum.
"Baiklah! Karena kau sahabat baikku, aku akan menjadi pelanggan pertamamu." Sakura tertawa dan menerima toples berisi cookies dari tangan Hinata. Ia menimangnya lalu memperhatikan Hinata selama beberapa saat dan membungkukkan kepala. "Terima kasih, Hinata-san."
Hinata terkekeh geli. Wanita itu balas membungkukkan kepala dan mereka mulai mengobrol soal pekerjaan Sakura. Hinata yang punya pengalaman serupa tentunya sesekali memberikan pendapatnya.
"Hinata, aku harus pergi! Suigetsu sudah menjemputku," Sasuke menghampiri Hinata dan Sakura yang berada di dapur dengan pakaian formalnya.
"Kau akan ke kantor?"
"Tidak, aku ada urusan di luar." Sasuke menjelaskan dengan singkat. "Kau bisa pergi ke luar dengan Sakura jika mau, tapi kau harus berhati-hati dengan perutmu."
Hinata menegang saat Sasuke menyentuh perut buncitnya. Belum lagi saat Sasuke melumat bibirnya sejenak lalu berbisik. "Aku pergi, istriku."
Hinata yang tegang menatap kepergian Sasuke. Sementara itu, Sakura merasa kesal karena adegan mesra sepasang suami istri itu. 'Sasuke sialan!'
***
7. Madara
"Kau dan Sasuke terlihat mesra sekali tadi," kata Sakura menggoda.
Hinata terkekeh pelan. "Dia jarang seperti itu," Hinata bicara apa adanya.
Sakura yang tadinya tertawa mendadak berhenti. "Maksudmu?"
"Dia tidak semesra itu. Mungkin karena ada kau, sahabatku, maka dari itu Sasuke memperlihatkan kemesraannya," Hinata yang jujur membuat Sakura tersenyum tipis.
"Kau aneh! Lagipula untuk apa Sasuke memperlihatkan kemesraannya begitu saat ada aku?"
"Entahlah, mungkin sekedar pamer. Tak berarti apa-apa." Hinata mengusap perutnya dengan lembut lalu mulai memakan cookies yang menjadi hidangan di atas meja. "Kau tahu kenapa aku rajin membuat cookies akhir-akhir ini?"
"Ya?" Sakura yang tengah melamunkan Sasuke pun membalas.
"Lidahku tak bisa berhenti mengunyah akhir-akhir ini. Kurasa ini karena kehamilanku."
Sakura menoleh. Ia menatap perut Hinata yang agak membesar lalu tersenyum. "Kuharap saat melahirkan nanti, ibu dan anaknya terlahir sehat."
"Tentu, aku juga berharap demikian." Hinata tersenyum tipis sambil mengusap perut buncitnya. "Aku akan menjadi ibu. Apa kau tak iri?"
Sakura terbahak mendengar pertanyaan Hinata. "Yang benar saja! Aku tahu kau justru iri padaku yang masih single dan bebas melakukan apapun yang kumau, kan?"
"Ah dasar Haruno Sialan Sakura!" maki Hinata. "Kau sangat mengerti aku!"
Sakura terkekeh geli. "Aku mungkin akan hamil saat umur 35 tahun," kata Sakura. "Itu pun jika aku sudah punya pasangan kaya, tampan, dan mapan."
"Kau tahu? Tipemu itu sejak dulu tak pernah berubah. Masih saja tinggi! Aku jadi bertanya-tanya, apakah kau pernah berpacaran selama ini? Aku khawatir, jika kriteriamu tak terjangkau, kau akan melajang selamanya."
"Tak masalah untukku melajang selamanya." Sakura membalas. "Daripada menikah dengan pria yang salah apalagi jika dia jelek, miskin, dan pemalas. Aku lebih suka menjadi lajang seumur hidup."
"Lalu bagaimana dengan kehidupan seksmu?"
"Itu persoalan lain, kau tak perlu tahu, Nyonya!" Sakura tertawa. "Dan ngomong-ngomong soal apakah aku pernah berpacaran? Aku ini pernah! Jadi jangan berpikir macam-macam kalau aku ini masih perawan!"
"Wow, kapan kau berhenti jadi perawan? Kau melakukannya dengan pacarmu?"
"Ya. Dia tampan, pintar, dan kaya. Kami berhubungan selama 2 tahun sebelum akhirnya putus."
"Kenapa kalian putus?" tanya Hinata. Dari ciri-ciri yang disebutkan Sakura, Hinata sudah curiga yang dimaksud oleh sahabatnya tak lain adalah suaminya sendiri.
"Awalnya masalah kecil, lalu kita terus bertengkar, sampai akhirnya dia melepaskanku begitu saja. Laki-laki berengsek itu memang menyebalkan!"
"Bukankah itu berarti kau beruntung karena sudah putus dengan laki-laki berengsek itu?" tanya Hinata lagi. Ia ingin tahu Sasuke orang yang seperti apa.
"Beruntung? Aku justru merasa rugi karena diputuskan olehnya. Apalagi aku harus pindah dari apartemennya yang mewah. Sialan, dia benar-benar kaya!"
Hinata menertawakan Sakura. "Sudah kubilang, turunkan kriteriamu untuk mendapatkan laki-laki!"
"Hinata, hidupku sudah berat! Aku butuh pria kaya."
"Kenapa tidak menjadi sugar baby saja? Usiamu baru 28 tahun."
"Sialan! Kau memang sangat menyebalkan!" Sakura menggerutu dan Hinata mengabaikannya dengan terus tertawa.
"Daripada menjadi sugar baby aku lebih ingin menjadi istri orang kaya. Orang yang saking kayanya sampai tak membutuhkan bantuanku untuk terus bekerja dan membantu perekonomian keluarga."
"Tunggu sebentar, Sakura! Kau sedang menyindirku? Aku kan tidak bekerja dan suamiku memang kaya."
Sakura tersenyum mengejek. "Andai boleh, aku ingin merebut Sasuke darimu! Kau tahu, aku sangat iri padamu!" Sakura terang-terangan bicara.
Hinata terbahak. "Kalau kau bisa! Kau tahu? Sasuke itu sangat mencintaiku!" Hinata membual. "Dia tak akan tergoda padamu sama sekali."
"Yang benar saja! Ah sialan, kau membuatku makin kesal, Uchiha Hinata."
Hinata makin terbahak. Meskipun obrolan mereka sangat konyol, tapi keduanya sama-sama menyembunyikan pesan tersirat di kalimat-kalimat konyol mereka.
***
Sakura ke luar dari rumah Hinata dengan perasaan kesal. Walau pun ia tertawa sepanjang waktu bersama Hinata di rumah minimalisnya, tapi tetap saja ia tak bisa menyembunyikan perasaan iri dan kesal yang ada di dirinya sendiri.
Semua ini karena Sasuke. Uchiha Sasuke, makhluk sempurna yang pernah lepas dari tangannya itu justru menjadikan sahabatnya sebagai istri sekaligus calon ibu dari anaknya.
"Sialan!" maki Sakura sambil memukul kemudi mobilnya. "Padahal Sasuke laki-laki pertamaku, tapi justru Hinata yang memilikinya dan akan memberikannya calon keturunan baru untuk Uchiha."
Melajukan mobilnya ke luar dari halaman rumah Hinata dan Sasuke, Sakura pun segera menuju pusat kota. Setelah ini ia berjanji akan pergi berbelanja dan membuat penampilannya cantik paripurna jika diundang lagi ke rumah Hinata.
"Aku benar-benar ingin merebut suamimu, Hinata," Wanita itu bergumam sambil mencengkram kemudi mobilnya dengan erat. "karena kau sendiri yang menantangku melakukan itu!"
***
Sasuke berjalan memasuki mansion Uchiha sambil merapatkan kancing vest hitam yang dipakainya. Saat melihat pelayan menghampirinya, Sasuke pun bertanya, "Itachi benar-benar pulang?"
"Iya, Sasuke-sama. Itachi-sama pulang bersama istrinya, Ino-sama!"
Sasuke terus berjalan dan pelayan dari mansion Uchiha itu terus mengikutinya. "Lalu bagaimana kondisi Itachi?"
"Itachi-sama sudah bisa mengobrol walaupun masih sedikit tergagap pasca komanya, Sasuke-sama."
Sasuke mengangkat tangan, meminta pelayan berhenti bicara. Ia melihat pintu ganda ruang keluarganya lalu mengatur napas baik-baik. Setahunya, keluarga besarnya sedang menyambut kedatangan Itachi bersama istrinya, Ino.
Membuka pintu ganda, Sasuke dalam sekejap menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang berkumpul di ruangan itu. Sasuke menyapa sambil menundukkan kepala lalu menghampiri kakaknya yang duduk di kursi roda.
"Bagaimana kondisimu, Kakak?" tanya Sasuke. Ia berlutut di depan kursi roda kakaknya.
Itachi memaksakan dirinya untuk tertawa. "Lebih baik daripada mati, mungkin?" Itachi melihat penampilan Sasuke dan sadar bahwa adiknya sudah begitu mirip seperti ayah mereka soal berpenampilan.
"Jangan bicara seperti itu, Itachi-kun!" Ino -istri Itachi- menegur suaminya. "Jangan membicarakan soal kematian lagi!"
Itachi diam, tak merespon ucapan Ino sedikit pun.
"Sasuke, kau datang?" suara pintu ruang keluarga kembali dibuka dan Sasuke menoleh. Ia mendapati pamannya -adik bungsu dari kakeknya- yaitu Uchiha Madara menyapa dengan senyum menyebalkannya.
"Kakek!" Sasuke mendekati Madara lalu memberikan penghormatan dengan menundukkan kepala. "Senang bertemu denganmu lagi! Bagaimana kabarmu?"
Madara menepuk pundak Sasuke dengan keras lalu tertawa pelan. "Kabarku baik, seperti biasanya. Kebetulan aku ada di Jepang, aku ke mari untuk bicara denganmu tentang beberapa bisnisku." Madara berbisik di telinga Sasuke membuat orang-orang yang ada di ruangan itu penasaran.
Setelah menyelesaikan ucapannya, Madara memundurkan posisi berdirinya sedangkan Sasuke mengangguk kecil dengan hormat.
Madara menepuk pundak Sasuke lalu beralih menghampiri cucu laki-lakinya yang lain. Itachi yang berada di kursi roda membuat Madara tersenyum sendu. "Kau sudah membaik, Itachi?"
"Kakek.... aku sudah membaik. Terima kasih sudah datang ke mari."
Mereka memang datang ke mansion Uchiha karena undangan resmi dari Uchiha Fugaku. Mereka akan mengadakan pesta sambutan untuk kedatangan dan kesehatan Uchiha Itachi yang akhirnya kembali hidup pasca koma-nya selama 2 bulan.
Sasuke duduk di sofa, di samping sepupu tertuanya Obito lalu mendengarnya mulai bertanya.
"Sasuke," Obito mendekatinya. Duduk terlalu dekat hingga membuat Sasuke tak nyaman. "Apa kau merasa takut setelah kakakmu kembali dari mautnya?"
Sasuke tertawa pelan. "Apa wajahku terlihat sedang ketakutan? Atau aku sedang merasa senang karena kakakku sudah sembuh setelah bangun dari komanya?"
Obito mendesah berat. Wajah kesalnya tak bisa ia sembunyikan. Andaikan kakek Madara tidak ada di sana, ia sangat bersedia menampar Uchiha paling muda di depannya ini. "Kau makin pintar menggunakan ekspresi wajahmu. Apa kau yakin kau ini Uchiha?"
Sasuke tersenyum menggoda. "Ya, mungkin. Apalagi aku sering mendengar jika Uchiha sepertiku berwajah dingin dan kaku."
"Tidak, tidak! Kau tidak seperti itu, Sasuke! Kau sangat pintar bersandiwara. Oh, kau mirip ayahmu, Fugaku-san."
"Ada apa denganku?" suara Fugaku terdengar menggelegar membuat seisi ruangan menoleh ke arah Sasuke dan Obito yang sedang mengobrol.
"Ah, Paman! Tidak. Aku hanya bicara pada Sasuke dan mengatakan bahwa Sasuke sekarang begitu mirip denganmu. Meskipun semua orang tahu, wajah cantiknya menurun dari Bibi Mikoto."
Tawa renyah terdengar mengisi seisi ruangan. Sasuke menunjukkan kekesalannya jadi ia segera pamit ke luar dari ruang keluarga.
"Uchiha Sialan Obito," maki Sasuke sambil berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai 3. Ia baru saja ke luar dari lift dan kembali teringat pada Madara yang mengajaknya bertemu.
"Ck," Berdecak kesal, Sasuke kembali memasuki lift. Ia tentunya tak ingin melewatkan kesempatan di mana kakeknya mengajaknya berbisnis! Hanya orang bodoh yang melewatkan kesempatan emas itu! Dan setahunya orang itu adalah Uchiha Itachi, kakak laki-lakinya yang tolol!
[]
8.
"Kau bisa ikut aku ke penthouseku?" tanya Madara sambil merangkul tubuh bugar salah satu cucu kesayangannya. Walaupun bukan cucu kandung melainkan cucu dari kakak laki-lakinya yang sudah meninggal, tetap saja Madara menganggap semua cucu kakak-kakaknya juga cucunya juga. Belum lagi, Madara sampai berusia senja tak ada keinginan menikah lagi setelah mantan istrinya meninggal dua puluh tahun yang lalu.
"Aku bisa, Kek," Sasuke menganggukkan kepala dan Madara merasa senang mendengarnya.
"Kalau begitu, aku akan menunggumu di mobil. Kau pasti ingin mengobrol dulu dengan kakakmu kan?" tebak Madara membuat Sasuke berdehem. "Jangan terlalu lama, Sasuke!"
"Baik, Ojiisan!" Sasuke memperhatikan kepergian Madara lalu menghampiri kakaknya yang sedang duduk sendirian. "Itachi-nii," panggil Sasuke dan Itachi mendongak sambil tersenyum tipis.
"Kau sudah harus pergi?" tanya Itachi. Wajahnya sedih karena adiknya tak mau berdiam lebih lama bersamanya.
"Ya, aku ada perlu dengan Madara-jiisan."
"Baiklah," Itachi menganggukkan kepala. "Kau pasti sibuk. Segera pergi!"
Sasuke bergeming. Ia menatap kakaknya yang terlihat begitu lemah di kursi rodanya selama beberapa saat lalu menganggukkan kepala. "Aku pergi dulu, Itachi-nii."
Itachi berdehem kecil dan mulai memperhatikan kepergian Sasuke. Satu persatu orang yang diundang pergi, mereka tentunya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bahkan ibu dan ayahnya pun harus segera pergi ke bandara beberapa saat yang lalu. Hanya dirinya, si penyakitan yang berdiam di mansion dengan ketidakberdayaannya.
"Menyedihkan!" Itachi mengejek dirinya sendiri.
***
Sasuke baru saja ke luar dari ruang keluarga saat ia berpapasan dengan Ino. Kakak ipar yang berusia sebaya dengannya itu lantas bertanya, "Kau sudah hendak pergi, Sasuke?"
"Ya, aku ada perlu dengan Madara Jiisan."
"Madara Jiisan tadi bukannya sudah pergi?"
Sasuke berdehem. "Aku juga harus pergi. Kalau begitu, aku pamit, Ino!" Sasuke berjalan meninggalkan Ino lalu menuju mobil Madara. Supir kakeknya segera membukakan pintu mobil di jok belakang sambil menundukkan kepala.
"Terima kasih," Sasuke berbasa-basi lalu masuk dan duduk di samping Madara. Setelah supir mobil itu kembali dan duduk di belakang kemudi, mobil pun mulai melaju dengan kecepatan konstan.
"Kudengar selain Itachi yang sudah menikah, kau juga sudah menikahi seorang gadis, Sasuke?" Madara bertanya dan Sasuke bergeming sambil memaksakan senyum di wajahnya.
"Kau pasti bertanya-tanya dari mana aku tahu padahal ayahmu sangat bekerja keras untuk menutupi pernikahanmu kan?" Madara tersenyum lebar. "Aku mengetahuinya dari kakak iparmu. Ino terlihat gusar dan dia menceritakan soal kehamilan istrimu."
Sasuke masih bergeming. Menilai situasi yang ada dan tak terburu-buru merespon kakeknya. Madara bukan laki-laki sembarang. Meskipun tak pernah ikut campur dengan Uchiha Group, tapi pria inilah pemilik saham paling besar dari Uchiha Group. Soal bisnis, Madara bisa disebut sebagai raja di atas raja!
"Ino bilang dia cemburu pada istrimu yang sudah hamil anak Uchiha. Apalagi rumornya sang jabang anak laki-laki."
Sasuke mengangguk singkat. 'Padahal aku baru memberitahu ayah, tapi Madara pun bahkan sudah mendengar jenis kelamin Hinata. Luar biasa!' keluh Sasuke dalam hati.
"Tapi jika aku menantu Uchiha, aku tentunya akan merasa gelisah jika tahu adik iparku sudah hamil anak laki-laki. Kegelisahan Ino memang beralasan!" komentar Madara.
Sasuke tersenyum tipis. "Jika kondisi Itachi-nii sudah membaik, kurasa Ino-nee akan segera memberikan cucu untuk Uchiha juga, Jiisan."
Madara tertawa mendengar ucapan Sasuke. "Kau tahu, Sasuke? Kakak iparmu bilang ia akan melakukan inseminasi dengan sperma Itachi. Jadi, wanita itu tak butuh menunggu lama lagi!"
Sasuke tersenyum tipis. "Aku tak mengerti dengannya, Madara Jiisan."
"Dia butuh kedudukannya jelas, begitulah para wanita penjilat." Madara tertawa terbahak-bahak. "Pilihan Fugaku benar-benar luar biasa. Dia bahkan tak ragu bicara seperti itu padaku! Kau tahu, Sasuke? Saat aku mendengarnya, aku merasa hidup Itachi pasti akan menderita. Itachi-kun yang malang."
"Kakek tak perlu khawatir, Ino sepertinya mencintai Itachi. Mereka bahkan sudah bertunangan lama sebelum akhirnya menikah."
"Kau pasti senang memiliki kakak ipar yang cantik jelita seperti Ino."
"Ya dan selain dia cantik. Ino juga setia," Sasuke memuji meskipun yang dikatakannya hanyalah kebohongan belaka.
Madara yang paham maksud Sasuke hanya tertawa pelan. Keduanya pun setelahnya membicarakan soal perusahaan entertainment milik Uchiha Group yang saat ini dipegang penuh oleh Sasuke.
"Aku berniat membeli saham di UE, tapi akhir-akhir ini aku mendengar isu kalau UE akan diakuisisi oleh kompetitor."
"Itu hanya rumor, Madara Jiisan," Sasuke membual. "Dan jika Madara Jiisan ingin menanam saham di UE, aku bisa membantumu dengan membicarakan pada beberapa orang dari dewan direksi."
"Kau bisa mengurusnya untukku?" Madara menatap Sasuke serius. Cucunya yang paling muda akhir-akhir ini terlihat begitu cemerlang.
"Beri aku waktu seminggu, aku akan menghubungimu jika semuanya sudah siap."
"Hanya seminggu? Kau akan bertambah sibuk nantinya. Kau yakin?"
Sasuke mengangguk pasti. Ia sudah tahu harus menghubungi siapa untuk mendapatkan saham UE.
***
Sasuke ke luar dari penthouse mewah milik Uchiha Madara sambil membawa beberapa berkas. Berdiri di dalam lift, Sasuke memikirkan tawaran kakeknya untuk mengambil alih perusahaan pria paruh baya itu yang berada di daratan Eropa.
Belum memutuskan apapun, Sasuke pulang dengan beberapa berkas penting kakeknya. Termasuk berkas pembelian saham untuk UE.
Ke luar dari gedung luxury apartment yang ditinggali Uchiha Madara, Sasuke segera disambut oleh Suigetsu.
"Kita ke mana, Sasuke-san?"
"Antar aku ke kantor, aku juga ingin kau menghubungi Ishikawa Izumi lalu atur pertemuan kami secepatnya."
"Dalam rangka apa, Sasuke-san?"
"Saham UE," Sasuke menjawab dengan padat dan jelas.
"Baik, Sasuke-san! Segera akan kuhubungi!" Setelahnya, Suigetsu hanya memfokuskan dirinya untuk menyetir dengan aman ke kantor milik Uchiha Sasuke.
***
"Tadaima," Sasuke masuk ke dalam rumah dan tak mendapati Hinata di ruang tamu atau ruang keluarga. Di dapur dan ruang makan pun tak ada.
"Hinata?" Sasuke memanggil dengan suara nyaring, mencari keberadaan istrinya.
Berjalan menuju kamarnya, Sasuke mendapati wanita hamil itu berdiri di depan cermin sambil mengusap perut buncitnya.
'Apa-apaan dengan cara berpakaiannya ini!' Sasuke memaki dalam hati karena Hinata hanya memakai bra dan short pants saja.
"Astaga, kau mengagetkanku, Sasuke!" Hinata mengambil potongan atasan berbahan knit miliknya yang berada di bibir ranjang lalu melepaskan earphone yang sejak tadi menyumpal kupingnya.
"Aku sudah berteriak memanggilmu! Pantas kau tak dengar, kau menggunakan earphone."
"Ya, maaf. Aku tak dengar!" Hinata memakai cepat atasannya lalu duduk menahan rasa malunya karena ketahuan setengah telanjang di depan Sasuke.
"Temanmu sudah pulang? Aku tak melihat mobilnya di halaman kita."
"Dia sudah pulang dari tadi," balas Hinata. "Lagipula ini sudah pukul 10 malam. Bukankah aneh jika Sakura masih di sini?"
Sasuke bergeming. Ia membenarkan ucapan Hinata.
"Aku juga mengira kau tak akan pulang malam ini," kata Hinata lagi, lalu duduk di sisi ranjang memunggungi Sasuke yang sedang melepaskan kancing kemejanya.
"Semakin kau ingin aku tak pulang ke rumah ini, aku justru makin tertarik untuk pulang, Hinata." Sasuke berbicara dengan nada menggoda membuat Hinata akhirnya melirik ke arahnya.
"Ngomong-ngomong...." Hinata resah apakah harus membahas soal ciuman mereka di depan Sakura atau tidak.
"Ya?"
"Soal tadi pagi."
"Ada apa dengan tadi pagi?" Sasuke sudah bertelanjang dada dan Hinata merasa sungkan dibuatnya.
"Kau! Kau menciumku dengan sengaja di depan Sakura! Aku ... sangat malu, Sasuke!"
Sasuke terbahak mendengar ucapan Hinata. "Kau bukan perawan, Hinata. Tidak perlu membesarkan masalah seperti itu!"
"Ya, aku tahu! Tapi aku kaget! Kau tiba-tiba menciumku, itu benar-benar menjengkelkan, Sasuke-san!"
Sasuke mendekat, "Kau tahu?"
Hinata mengerjapkan matanya karena mendapati dada bidang Sasuke di depannya. 'Kenapa ia malah mendekat? Tak tahu malu sekali!' keluh Hinata dalam hati.
"Apa?" Hinata memberanikan diri menatap wajah serius Sasuke.
"Kita sepasang suami istri. Bahkan seharusnya kita melakukan hal yang lebih dari berciuman! Kau pasti paham maksudku kan, Hinata?"
Hinata memundurkan tubuhnya. Ia gugup saat Sasuke mendekati wajahnya dan bahkan mengelus perutnya lagi.
"Ka-kau pasti bercanda, Uchiha."
Uchiha Sasuke tertawa pelan. Kedua tangannya kini mendorong tubuh Hinata agar berbaring di ranjang. "Kau tahu? Aku sama sekali tak masalah meskipun kau sedang hamil anak kakakku."
"Kau memang tak masalah! Tapi aku masalah dengan itu!" Hinata yang sudah bertambah kesal memukul dada Sasuke dengan keras. Ia mendorong Sasuke dan membuat tubuh pria itu terjatuh di sisi ranjangnya.
Saat Hinata hendak beranjak, Sasuke menahan pergelangan tangannya. "Sasuke lepas!”
“Aku serius dengan ucapanku, Hinata!”
##9
"Apa semua Uchiha selalu bajingan dan berengsek?" maki Hinata sambil memandangi dirinya di kaca kamar mandi.
Wanita berusia 28 tahun yang tengah mengandung itu memandangi berkas merah yang menyebar di tubuhnya.
Bekas merah itu bukan penyakit kulit tapi cupangan yang dihasilkan suami bajingannya, Uchiha Sasuke.
Setelah mencium bibirnya di depan Sakura -mantannya- di pagi hari, Sasuke justru lebih mengerikan di malah hari karena memaksanya berhubungan badan tanpa peduli kondisinya yang sedang hamil anak Itachi, kakaknya sendiri.
Tok, tok, tok....
Ketukan pintu kamar mandi membuat Hinata menolehkan kepalanya ke belakang. Wanita itu buru-buru mematikan keran air yang sejak tadi menyala lalu memakai lagi jubah tidurnya yang berwarna maroon.
Pintu kamar mandi Hinata buka dan Sasuke segera masuk untuk membuang air.
Tak mau mengintip, Hinata menutup pintu kamar mandi dari luar lalu berjalan kembali ke ranjang. Hari masih dini hari dan ia tak bisa pisah ranjang karena Sasuke sudah memperingatkannya.
Mencoba memejamkan matanya, Hinata merasakan langkah kaki seseorang yang sudah pasti adalah Sasuke kembali naik ke ranjang queen size mereka.
"Tak perlu bersikap seperti perawan," kata Sasuke lalu memeluknya dari belakang. "Aku hanya ingin menyalurkan kebutuhan biologisku."
Hinata bergeming sejenak. "Selama 3 bulan kita menikah, ke mana kau menyalurkan kebutuhan biologismu?"
"Aku sudah lama tak melakukannya. Terakhir kali sebelum aku menikahimu, dengan seorang pelacur yang disewa khusus untukku, dari salah satu kenalanku saat kita sedang melakukan perjalanan bisnis."
Hati Hinata terasa diremas saat mendengar pengakuan dari suaminya. "Tapi aku sedang hamil anak Itachi. Itachi kakakmu. Kau benar-benar tak memikirkannya sama sekali."
"Sejak menikahiku, anak ini hanya akan dikenal sebagai anakku. Jadi tak perlu berpikir terlalu jauh. Anggap saja ... aku sedang menengok bayiku."
Tangan Sasuke mengusap perut buncit Hinata dengan lembut. Dalam diamnya, pria itu tengah menikmati bau harum rambut Hinata.
Setelah menahan diri berhari-hari, akhirnya kesempatan mencicipi tubuh istrinya bisa tercapai. Sasuke merasa senang dengan itu. Ia tersenyum lalu mengenduskan ciuman di rambut Hinata.
"Kau tak merasa bersalah pada Itachi? Aku kekasihnya sebelum kecelakaan yang ia alami."
Sasuke tersenyum lalu memindahkan rambut panjang Hinata agar bisa menciumi tengkuk belakangnya. "Aku tak pernah merasa bersalah, jadi tak perlu mengingatkanku terus menerus pada kakakku."
Hinata yang makin geram mulai mengubah posisinya. Ia memukuli dada Sasuke dengan keras. "Dasar berengsek! Aku menyesal menerima pernikahan ini! Aku sangat menyesalinya."
Sasuke membiarkan kemarahan Hinata selama beberapa saat sebelum akhirnya menahan pergelangan tangan Hinata dengan erat di atas kepalanya.
"Tak perlu bertingkah kekanakan, Hinata! Kita hanya melakukan seks. Kau tak perlu membesar-besarkan masalah."
Hinata menggeram marah. "Lepaskan aku!"
"Aku akan melepaskanmu jika kau tak memukuli suamimu ini, Hinata-san!" Sasuke menekan pergelangan tangan Hinata lebih keras membuat istrinya meringis kesakitan.
"Sasuke, lepaskan aku! Kau menyakitiku!"
Sasuke mendesah berat dan akhirnya mengalah. Ia melepaskan cengkraman di pergelangan tangan Hinata lalu bergerak melepaskan tali jubah tidurnya.
"Apa yang kau lakukan? Tidak! Jangan lagi, Bajingan sialan!" Hinata berteriak. Ia tak peduli suaranya akan serak yang pasti ia merasa tak sudi melayani suaminya lagi.
"Kubilang berhenti bertingkah dan membesarkan masalah, Hinata!" Sasuke menyentuh kedua pipi Hinata dengan geramannya lalu menepisnya kasar.
Hinata mulai bergetar ketakutan. 'Apa ia harus membuka kedua kakinya lagi setelah ini?'
***
Sasuke baru saja terbangun dari tidurnya saat ia mendapati Hinata terlelap dengan air mata di pipinya yang sudah mengering.
Kejadian semalam membuat Sasuke tersenyum malu-malu.
"Itachi terlalu beruntung karena menemukanmu lebih dulu, Hinata." Sasuke bicara seraya mengelus pipi istrinya lemah lembut.
Tak lama, Sasuke merasakan gerakan di mata Hinata. Laki-laki itu menunggu istrinya bangun sambil menyunggingkan senyum terbaiknya.
Hingga saat membuka mata, Sasuke membuat Hinata yang secara refleks memundurkan kepalanya karena jarak wajah mereka terlalu dekat.
"Ssshh," desis Hinata saat merasakan nyeri pada inti tubuhnya.
Sasuke mengerutkan kening. "Ada apa? Apa kau merasa kesakitan?"
Hinata bergeming sejenak berharap nyerinya hilang dengan sendirinya. Saat wanita itu merasa lebih baik, Hinata menggerutu.
"Lihat! Karena perbuatanmu semalam, aku jadi kesakitan!" marah Hinata.
Sasuke hanya bergeming lalu memakai jubah tidurnya. "Aku akan membuatkanmu ocha."
"Tidak! Aku tak butuh ocha buatanmu!" Hinata menahan diri agar tak memaki suaminya dan membuatnya marah. "Pergi! Pergi saja dari rumah ini! Kalau perlu, tak perlu datang sama sekali!"
Sasuke beranjak dan berdehem. "Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan setelah aku membuatkanmu ocha."
Setelah mengatakan keputusannya, Sasuke meninggalkan Hinata untuk menyeduhkan ocha.
Sambil menunggu ocha buatannya siap, Sasuke bersenandung kecil. Pria itu jelas sedang bahagia.
***
Hinata memperhatikan gelas ocha di atas meja makannya dengan tak berselera.
Sementara itu, Sasuke masih memperhatikannya dalam diam. Bibir pria itu tersenyum tipis tanpa penyesalan sedikit pun karena sudah membuat tubuh Hinata memar parah karena kissmark yang dibuatnya dengan brutal.
Suara ponsel Sasuke menolong Hinata. Pria itu mengangkat panggilan lalu beranjak dari kursi makan.
Saat ke luar dari kamarnya lagi, Sasuke sudah membawa tas kerjanya tanpa berteleponan dengan siapapun.
"Aku berangkat," Sasuke mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya di bibir Hinata sementara tangan kanannya membantunya membuat kepala istrinya mendongak.
Lumatan itu begitu menuntut, tapi Sasuke tetap tak mendapatkan balasan dari istrinya.
"Aku pergi," ulang Sasuke sambil menegapkan tubuhnya. Hinata bergeming dan saat Sasuke hendak menciumnya lagi, wanita itu menahannya.
"Pergilah!" pintanya dengan wajah memohon.
Sasuke tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku akan pulang ke mari."
Pesan Sasuke sebelum pergi benar-benar seperti petir di siang bolong bagi Hinata.
Selepas suaminya hilang dibalik pintu depan rumahnya, Hinata pun menangis. Ia terisak keras, merasa benci pada hidupnya.
***
##10
Hinata ingin bilang kalau ia baik-baik saja, tapi nyatanya tidak. Setiap malam panas yang sering berulang membuat Hinata yakin bahwa aura jahat suaminya sangat pekat.
Akhir-akhir ini, Sasuke sangat jarang berada di rumah, bahkan saat di akhir pekan. Katanya ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya.
Meskipun begitu, Hinata selalu mendapati suaminya itu pulang ke rumah mungilnya saat tengah malam lalu memaksanya berhubungan badan. Ini benar-benar menjijikkan! Bukan sekedar tidur di ranjang yang sama, ia juga akhirnya menjadi penghangat ranjang Uchiha Sasuke.
"Hinata," panggil Sasuke dengan pakaian lengkapnya. Pria itu baru saja ke luar dari kamar mereka. "Aku lupa memberitahumu, akan ada pelayan yang datang ke mari mulai hari ini. Ia akan membantumu mengurus pekerjaan rumah."
"Kenapa baru memberitahuku? Lagipula aku tak butuh pelayan, aku sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Setidaknya aku tak ingin terlalu banyak diam."
"Aku tahu, dia tak akan melarangmu melakukan apa yang kau inginkan! Kau bisa tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti biasa. Jangan khawatirkan hal itu!" Sasuke duduk di atas kursi, di hadapan Hinata. Ia melihat sarapan buat istrinya sebentar lalu mulai makan.
"Aku ingin pergi ke luar," suara Hinata terdengar lirih.
Sasuke manggut-manggut. "Pergilah bersama pelayan baru kita! Dia pelayan yang biasa membersihkan apartemenku sebelumnya."
"Oh ... kau sudah mengenalnya."
"Ya," Sasuke membenarkan. "Dan namanya Ayase-san."
Hinata bergeming dan hanya memakan sarapannya lagi. "Ayase-san?"
"Hm," Setelahnya Sasuke mendengar ponselnya berbunyi. Sasuke mengangkatnya dan sumpit yang ia pegang segera diletakkannya di tempatnya.
Hinata memperhatikan wajah Sasuke yang serius dalam diamnya, sebelum akhirnya dia letakkan kembali ponselnya itu.
"Aku harus segera pergi," Sasuke beranjak. Ia mengabaikan makanannya.
Hinata pikir, Sasuke akan segera meninggalkan Hinata. Namun, pria itu mendekatinya dan memangkas jarak di antara wajah mereka.
"Hinata," Sasuke memanggil nama istrinya sebelum melumat mungil sang istri.
Tak seperti di awal-awal kebiasaan ini, kali ini Hinata membalas pagutan sang suami.
Mereka saling berpisah dan Hinata merasa sangat frustrasi dengan dirinya sendiri.
***
Bel rumah berbunyi dan Hinata segera mendekat untuk membukanya.
"Selamat siang," sapa wanita yang jelas lebih tua darinya itu.
Hinata yang masih ingat dengan jelas pesan Sasuke sebelum pergi bekerja pun, bertanya, "Apa kau Ayase-san?"
Wanita itu menganggukkan kepala. "Saya diminta Uchiha-san untuk bekerja di rumah ini. Hanya sampai Uchiha-san pulang ke rumah."
Hinata baru tahu setelah Ayase memberitahukan kepadanya. 'Jadi pelayannya tak akan tinggal di rumah ini,' ujar Hinata dalam hati.
"Kalau begitu, silakan masuk, Ayase-san!"
Ayase tersenyum. Ia masuk ke dalam rumah minimalis itu sambil membawa tas jinjingnya.
"Kau bisa meletakkan tasmu di kamar itu," Hinata mengantar Ayase ke sebuah kamar. Kamar yang akhirnya kosong karena Sasuke memintanya tidur di kamar yang sama.
Ayase melihat kamarnya lalu meletakkan tas jinjingnya di atas ranjang. Setelahnya, wanita itu beranjak ke luar lagi dengan Hinata yang menjelaskan tentang seisi ruangan di rumahnya.
"Uchiha-san, aku boleh bertanya?" tanya Ayase sambil duduk di kursi makan. Hinata baru saja meletakkan ocha di depannya.
"Ya? Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Aku hanya penasaran, apakah Uchiha-san sedang hamil? Maaf, aku hanya memastikan."
Hinata tertawa kecil. "Ya, memang dugaanmu benar. Aku sedang hamil, Ayase-san." Hinata menjeda kalimat selanjutnya, "Apa kau belum diberitahu Sasuke?"
"Sasuke-san?" Ayase tertawa pelan. "Sebenernya aku belum pernah berbicara dengannya. Selama aku bekerja dan bertugas di apartemennya, aku hanya mendapatkan intruksi dari sekertarisnya, Suigetsu-san."
"Kau tidak pernah bicara langsung dengan Sasuke?" Hinata cukup terkejut. "Kupikir kau...." Hinata akhirnya menertawakan dirinya sendiri.
"Uchiha-san orang yang sibuk. Dia juga tak suka jika mengetahui ada orang di kediamannya. Aku selalu pulang sebelum Uchiha-san datang, Suigetsu-san selalu menghubungiku, memastikan aku sudah harus pulang jika Uchiha-san sudah menuju ke unit apartemennya."
Hinata mendengarkan sambil manggut-manggut. Ternyata serumit itu kehidupan Sasuke. "Ngomong-ngomong soal tempat tinggalnya dulu.... Apakah Sasuke sering membawa kekasihnya ke apartemennya?"
Ayase tertawa kecil. "Maaf, tapi aku tak tahu."
"Apa kau pernah melihat barang perempuan di apartemennya?"
Ayase bergeming sebelum menjawab, "Maaf, Hinata-san ... apa tak lebih baik Anda langsung bertanya pada Sasuke-san?" Ayase menunduk.
Sudah jelas bahwa Hinata sedang mengintrogasinya untuk mendapatkan informasi tentang wanita lain dalam hidup suaminya.
Hinata tersenyum simpul. "Ya, kau benar, Ayase-san. Mungkin aku akan bertanya langsung pada Sasuke nanti."
Hinata setelahnya beranjak. "Kau sudah tahu kan pekerjaanmu selama di rumah ini?" tanya Hinata sebelum meninggalkan Ayase.
Wanita itu mengangguk ragu.
Namun saat Hinata sudah melangkah meninggalkan Ayase, Hinata kembali menghampirinya. "Ayase-san, apa pekerjaan yang disuruh Suigetsu-san?"
"Eh?" Ayase terlihat ragu. Namun, wanita itu menjawab, "Aku harus membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, tapi aku tak boleh melarangmu jika kau ingin mengerjakan pekerjaan rumahmu sendiri."
Hinata manggut-manggut, ternyata Ayase sudah diperingatkan sebelumnya. "Apa ada lagi?"
"Suigetsu-san menyuruhku bercocok tanam. Aku mungkin akan melakukannya dengan menanam sayuran di halaman rumahmu, Hinata-san."
"Ya, kau bisa melakukan itu." Hinata tak begitu peduli. "Apa hanya itu, Ayase-san?"
Ayase bergeming. Wajahnya serius tapi kemudian ia menggelengkan kepala. "Hanya itu, Hinata-san."
Hinata mengangguk dan kali ini benar-benar meninggalkan Ayase di meja makan.
Sepeninggalan Hinata, Ayase mendesah berat. "Maafkan aku, Hinata-san. Aku tak mungkin memberitahumu kalau aku juga disuruh Suigetsu-san untuk selalu melaporkan kegiatanmu di rumah ini."
***
Hinata membaca artikel dari tabletnya lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. Wanita itu membaca berita tentang Uchiha Madara yang ternyata paman dari Uchiha Fugaku, mertuanya.
Setelah berhasil menjadikan dirinya sebagai salah satu pemilik pangsa pasar Eropa dengan mendobrak pasar otomotif. Uchiha Madara baru-baru ini diketahui menanam sahamnya di Uchiha Entertainment.
Uchiha Entertainment adalah perusahaan agensi yang menaungi artis seperti Yamada Kyoko, Sawada Tooru, Akashi Yuuji, Hitomi Kanade, dan masih banyak lagi.
Dengan keberadaan Uchiha Madara, saham UE terpantau semakin naik.
Hinata berhenti membaca dan mencari tajuk lain. Ia mencari tajuk soal Itachi, tapi tak ada berita apapun yang ke luar di internet.
Mencari tajuk soal Uchiha Sasuke, Hinata mendapati berita tentang kesuksesan suaminya sebagai direktur utama Uchiha Entertainment.
Makin menggali tentang Sasuke di internet, Hinata merasa muak. Muak dengan pujian yang ditujukan untuk pria bajingan yang sudah menodainya.
"Ck," Hinata berdecak sebal hingga membuat Ayase yang berada di dekatnya mengerutkan kening.
'Apa yang terjadi padanya?' Ayase tak bertanya tapi tetap mendekati majikannya. "Hinata-san?" panggil Ayase.
Hinata yang malas-malasan menoleh. "Iya, Ayase-san?"
"Saya mau pamit pulang."
"Loh, tapi Sasuke belum pulang? Lalu bagaimana juga kau pulang dari sini, Ayase-san? Rumah ini cukup jauh dari pemberhentian bus dan stasiun."
"Saya pulang bersama Suigetsu-san. Kami akan bertemu di jalan depan nanti. Kalau begitu, saya permisi."
Hinata beranjak lalu menganggukkan kepala. Ia mengantar Ayase sampai pintu depan rumah lalu bergeming sambil memperhatikan pelayan rumahnya yang baru.
Menunggu di depan pintu rumahnya yang terbuka, Hinata menunggu selama beberapa menit untuk memastikan Sasuke pulang sesuai tebakannya.
Benar saja, mobil pria itu memasuki pekarangan lalu berhenti.
"Sekarang aku tahu tanda kau pulang ke rumah ini, Sasuke," Hinata bergeming, ia menunggu suaminya turun dari dalam mobil mewahnya.
[]
Dapatkan potongan harga di chapter 11-15 dengan voucher [ sasuhinalover ] bernilai 2000
*tanpa tanda kurung
Terbatas!!!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
