
Chapter 0 - Awal Mula
Chapter 1 - Sasuke
Chapter 2 - Sakura
Chapter 3 - Hinata
Chapter 4 - Itachi
Chapter 5 - Fugaku
Peringatan :
Karakter milik om Masashi Kishimoto
Cerita milik Terasora
***
.
.
.
.
.
.
0. Awal Mula
Gadis bersurai indigo itu tak bisa menahan dirinya lagi untuk tak menangis. Mengapa bisa kecelakaan ini terjadi pada calon suaminya? Mengapa bisa semuanya terjadi secara begitu tiba-tiba padahal pagi tadi mereka masih bercengkrama mesra bersama di flat kecil yang mereka tinggal?
Pintu ruang rawat terbuka dengan paksa dan terburu-buru. Suaranya yang keras membuat Hinata menoleh dan segera mendapati seorang wanita paruh baya beserta suaminya datang.
'Tunggu siapa mereka?' tanya Hinata dalam hati, penasaran.
Hinata belum sempat bertanya, seseorang menahan lengannya dan memintanya bangkit dari sisi ranjang tunangannya.
Hinata mencoba menepis lengan pria berpakaian rapi kantoran itu dengan kuat tapi anehnya tenaganya yang lemah tak berhasil melakukan itu.
"Ikut aku ke luar!"
"Siapa kau? Aku tak mengenalmu. Dan kalian siapa?"
Wanita paruh baya yang tadinya menangis sesenggukkan pun mulai mendongak. Ia menatap wanita dengan rambut panjang berwajah manis itu penuh tanda tanya.
"Justru seharusnya kami yang bertanya, Nona! Siapa kau? Mengapa berada di ruang rawat putra kami," tambah laki-laki paruh baya yang sejak awal sebenarnya penasaran dengan kehadiran wanita muda di ruang rawat Uchiha Itachi.
"Putra?" Hinata mengalihkan pandangannya pada wajah Itachi yang masih tenang pasca operasi yang dialaminya. "Setahuku Itachi sudah tak memiliki keluarga."
"Dia bicara seperti itu padamu?" tanya Uchiha Fugaku dengan kening berkerut kesal.
Hinata menganggukkan kepala. Ia mengatakan yang sejujurnya. "Maaf atas ketidaktahuanku, Uchiha-san."
Setelahnya, Hinata merasa ditipu oleh tunangannya sendiri. Bagaimana bisa ia tak tahu jika Itachi masih memiliki keluarga?
"Ikut aku!" Pemuda tadi kembali menarik lengan Hinata agar beranjak dari ruang rawat itu.
Menyerah karena terus dipaksa, Hinata pun beranjak. Ia ke luar dari ruang rawat Itachi lalu berdiri bersama pemuda yang tak dikenalinya. Wajahnya tampan tapi tak ada keramahan sama sekali yang bisa ia tampilkan.
"Apa maumu?" tanya Hinata. Ia masih shock saat tahu tunangannya masih memiliki orang tua lengkap.
"Aku tahu siapa kau," ungkap pemuda itu. "Kau tunangan Itachi, kakakku."
"Jadi kau adik Itachi?" tanya Hinata walaupun tak begitu kaget karena perawakan pemuda di hadapannya dan tunangannya nyaris serupa. Mungkin pembeda mereka hanya dirambut, tunangannya memiliki surai panjang sedangkan pemuda di hadapannya memiliki rambut lebih pendek.
"Ya, aku Sasuke. Uchiha Sasuke lebih tepatnya!" Sasuke memperkenalkan diri walaupun merasa enggan. "Apa Itachi juga merahasiakan tentang keluarga kami darimu?" tanya pemuda itu lagi.
"Seingatku, aku sudah memberitahumu dan kedua orang tuamu kalau aku tak diberitahu soal keluarga Itachi. Maksudku, Itachi hanya bilang dia sudah tak memiliki keluarga. Dia yatim dan memiliki saudara yaitu adiknya yang tinggal di luar negeri."
"Itachi berengsek itu!" Sasuke memaki dengan wajah dingin. Ekspresinya yang tak terlihat marah justru membuat Hinata memundurkan langkahnya sekali.
"Ya, karena sekarang sudah ketahuan! Aku harus memberitahumu sesuatu," Sasuke merogoh saku jas yang dipakainya. Ia mengambil ponsel dan menunjukkan foto pertunangan kakaknya dengan seorang gadis dari klan Yamanaka.
"Apa maksudnya ini?" Hinata menggigit bibirnya. Apakah Itachinya menumpuk kebohongannya?
"Kalau kau tidak bodoh, kau pasti paham apa maksud dari foto ini! Ini foto pertunangan kakakku dengan wanita yang dijodohkannya sejak 5 tahun yang lalu."
'5 tahun yang lalu? Bahkan hubungan mereka baru berusia 3 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk bertunangan dan akan menikah!' Hinata bicara dalam hati. 'Seberapa banyak sebenarnya kebohongan yang sudah dilakukan oleh Itachi-kun?'
"Setahuku kakakku bukan laki-laki berengsek kecuali ada wanita yang sejak awal menggodanya."
"Apa maksudmu? Aku tak menggoda Itachi-kun! Aku dan Itachi saling mencintai," Hinata merasa pening. Kondisi tubuhnya akhir-akhir ini benar lemah. Mungkin karena cuaca yang sering kali hujan?
Sasuke menyunggingkan senyum meremehkan kemudian memasukkan kembali ponselnya. Pemuda itu beralih memegang sebuah buku cek. "Berapa yang kau mau agar kau segera meninggalkan kakakku?" tanya Sasuke seolah petir di siang bolong untuk Hinata.
'Tunggu sebentar! Memangnya sekaya apa Itachi sampai adiknya ingin membayarnya agar meninggalkan kakaknya?' Hinata menggigit bibirnya. Ia menepis pikirannya dan segera menggelengkan kepala.
Ditunjukkannya cincin yang melingkar di jarinya, lalu Hinata pun menjawab, "Aku tak bisa, kami sebentar lagi akan menikah."
Sasuke menahan tawa. "Kau pikir keluarga besarku tak akan menentang hubungan kalian?" tanyanya. Sasuke mulai menulis di buku ceknya lalu menyobek dengan lihai. "Terima ini dan menjauhlah dari hidup kakakku! Itu lebih baik untukmu," imbuhnya.
Hinata terdiam. Tangannya tak menerima cek yang hendak diberikan Sasuke padanya. "Aku tak butuh uangmu."
"Kau akan menyesal jika menolaknya," Sasuke masih bergeming dengan tangan terulur memegangi selembar cek. "Terimalah dan pergi! Itu lebih baik daripada hidup di bawah naungan keluarga Uchiha!"
'Tunggu, apa maksudnya? Mengapa pemuda di depannya seolah memberitahunya bahwa keluarganya sama sekali tak baik?' tanya Hinata dalam hati.
Pintu ruang rawat Itachi kembali terbuka. Saat Sasuke menoleh, ia mendapati ayahnya berjalan ke luar. "Kau akan menyesal tak segera menerima tawaranku!" Sasuke bergumam lalu meninggalkan Hinata bersama ayahnya.
Tak ingin ikut campur, Sasuke masuk ke ruang rawat kakaknya yang masih belum sadarkan diri. Di kursi tunggu di samping ranjang pasien, ibunya duduk dan menggenggam kuat telapak tangan kakaknya.
***
"Jadi kau kekasih Itachi?"
Uchiha Fugaku memiliki aura yang gelap. Hinata lagi-lagi harus menjaga jarak dari pria yang mengajaknya bicara saat ini. "Iya, Uchiha-san."
"Sasuke sudah memberitahumu soal pertunangan Itachi dengan gadis pilihan keluarga kami?" Pertanyaan itu membuat Hinata menganggukkan kepala.
"Kuharap, kau akan meninggalkan putraku. Dia memang berengsek, aku meminta maaf untuk perbuatannya padamu." Fugaku menunduk perlahan. Hinata secara refleks ikut membungkukkan tubuhnya.
"Jangan meminta maaf Uchiha-san! Justru aku yang seharusnya meminta maaf. Aku sungguh tak tahu soal keluarga Itachi. Dia hanya bicara kalau dia hanya memiliki adik yang tinggal di luar negeri. Maafkan aku, Uchiha-san!"
Fugaku menampilkan wajah dinginnya. "Jadi kau akan meninggalkan putraku kan?"
Hinata yang tadinya merasa bersalah mulai menggigit bibirnya. Ia sangat ragu dengan keputusan besar yang harus diambilnya dalam waktu beberapa menit. "Izinkan aku memikirkannya, Uchiha-san! Walaupun Itachi-kun sudah membohongiku. Hubungan kami sudah cukup serius. Beberapa hari lalu, Itachi-kun melamarku."
"Lupakan lamaran palsu itu! Dia tak akan menikahimu. Dia hanya membohongimu karena menginginkan sesuatu darimu."
Hinata mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Kau yang seharusnya lebih tahu dibandingkan aku," Fugaku tersenyum tipis. "Jadi lebih baik, mulai lupakan putraku dan hiduplah tanpa bayang-bayangnya. Kuharap hidupmu dipenuhi kebahagiaan yang lain walaupun bukan bersama Itachi."
"Uchiha-san...."
"Aku hanya tak ingin kau terluka, Nona!" Fugaku setelah beranjak masuk kembali ke ruang rawat putranya. Di dalam sana, Fugaku menghubungi seseorang. "Beri kompensasi untuk wanita simpanan Itachi dan mulai jauhkan hidupnya dari hidup anakku!"
***
1. Sasuke
Petir dan guntur sepertinya hari ini sedang bekerja keras, karena sejak tadi keduanya tak berhenti membuat pesta di langit.
Hinata berada di balik selimut dengan perasaan gelisah sambil sesekali memejamkan mata karena takut saat mendengar bunyi guntur di luar sana.
Sialnya, sedang asyiknya bersembunyi di dalam kamar, Hinata terkejut dengan suara pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka. Di sana, seorang laki-laki menatapnya dengan heran kala mendapati Hinata menutup dirinya seperti ulat bulu dengan selimut tebal.
"Apa yang kau lakukan?" tanya pemuda itu lalu masuk ke dalam. Diperhatikannya Hinata baik-baik dan kembali bertanya, "Apa kau tak merasa sesak, Hyuga Hinata?"
Hinata berdecak sebal. "Tentu saja sesak, tapi aku takut."
"Apa ada ular di rumah ini?" tanya Sasuke membuat Hinata melotot tajam.
"Bukan ular, tapi guntur!" Hinata menutup wajahnya dengan selimut saat mendengar suara guntur yang kembali menggelegar.
Sasuke menghela napasnya. Ia melempar jas yang dipakainya ke kursi rias lalu duduk di bibir ranjang. Perhatian Sasuke kini beralih pada wajah Hinata yang ketakutan. "Kalau kau mau, kau bisa memelukku."
Hinata terlihat geli. Ia langsung menggelengkan kepala. "Yang benar saja!"
Tangan Sasuke segera beralih ke kepala Hinata. Ia menyentuh poninya lalu mengacaknya. "Ya sudah kalau tak mau," katanya lalu kembali beranjak.
Sasuke kali ini masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya dan Hinata bisa menebak kalau pria itu sedang membersihkan diri setelah seharian bekerja di perusahaan keluarganya sebagai eksekutif muda.
Ya, beginilah hidup Hinata sekarang! Setelah mendapatkan diusir dari hidup Itachi oleh keluarganya, Hinata justru terjebak bersama dengan adik laki-laki yang ia cintai.
Uchiha Sasuke.
Meskipun sama dinginnya dengan ayahnya, Uchiha Sasuke sejauh ini berhasil membuat hidupnya yang kesepian lebih berwarna. Tidak, ini bukan warna pelangi, tapi warna abu-abu setelah sebelumnya berwarna gelap gulita, haha!
Memaksakan diri ke luar dari selimut, Hinata pergi dari kamar agar tak perlu melihat si Uchiha -Seenaknya- Sasuke itu hanya dengan handuk lalu memakai pakaiannya.
Percaya atau tidak, tapi setelah membatalkan pertunangannya dengan Uchiha Itachi, Hinata justru menikahi adiknya, Uchiha Sasuke.
***
Sasuke dan Hinata duduk di kursi makan bersama. Mereka duduk berhadapan dengan Sasuke yang tengah menikmati makan malam.
"Jangan menatapku terus menerus! Aku tahu kau terpesona dengan ketampananku," ucapan penuh percaya diri Sasuke hanya bisa membuat Hinata mendengkus.
Wanita itu membuang muka lalu tak lama kemudian menikmati roti dan susunya. Hinata tak makan kare seperti Sasuke karena ia sudah lebih dulu makan malam seorang diri. Ia tak tahu kalau Uchiha Sasuke akan datang ke rumahnya yang berada di pinggiran kota.
"Seharusnya kau mengirimiku pesan jika hendak datang," ujar Hinata dengan nada mengeluh.
Sasuke berdehem pelan. "Aku tak sempat, di luar hujan besar."
'Ckck, alasan saja!' Hinata berdecak lalu membuang mukanya lagi. Saat harus duduk berhadapan dengan Sasuke, selalu mengingatkannya pada Itachi.
Ya, itu tak aneh karena Sasuke adalah adik Itachi. Mereka bersaudara dan setahu Hinata cukup dekat. "Bagaimana kabar Itachi-kun ya?" tanya Hinata tanpa sadar. Ia merindukan pria itu karena sudah cukup lama tak melihatnya secara langsung.
"Kakak dibawa ke Jerman, tapi sampai sekarang tak ada perkembangan terbaru yang kudapatkan," balas Sasuke.
Hinata tersenyum kecil dengan wajah sendu. "Aku harap, Itachi-kun segera sembuh dan bisa kembali kepada kita."
Sasuke tak menjawab. Pria itu hanya fokus menghabiskan makannya. Ada rasa enggan yang ia rasakan saat harus membahas kakaknya yang masih terbaring koma dengan wanita di hadapannya.
"Kapan jadwalmu untuk pergi ke dokter kandungan lagi?" tanya Sasuke saat Hinata sedang menikmati susunya.
Hinata berhenti minum lalu menjawab, "Masih dua minggu lagi. Aku baru memeriksakannya 2 hari yang lalu."
"Kau benar, baru 2 hari yang lalu." Sasuke mengulang kalimat Hinata lalu kembali makan sampai habis.
Setelah Sasuke tak mengajaknya bicara, Hinata pun diam dan fokus pada makanan dan minumannya yang berada di atas meja.
"Biar aku saja," Sasuke mengambil alih peralatan makan kotor lalu membawanya ke bak cuci piring.
"Kau memangnya bisa mencuci piring tanpa mesin?" tanya Hinata lalu beranjak ke samping Sasuke. "Hanya sedikit piring dan gelas. Biar aku saja yang mencucinya."
Sasuke menggelengkan kepala. "Duduklah! Aku bisa melakukan ini!"
Namun, baru saja memulai, Sasuke sudah memecahkan gelas.
Hinata menahan kekesalan lalu bergumam, "Sudah kubilang aku saja!"
"Tidak, tidak! Aku bisa melakukan ini!" Sasuke mencoba mencuci gelas lain dan tak sengaja memecahkannya lagi.
Napas Hinata mulai memburu. Saat ia hendak mencoba mengambil alih, Sasuke masih saja berserikeras mencuci piring. Dan kembali, pria itu memecahkannya dengan sangat baik!
"Cukup, Sasuke! Jangan memecahkan lagi! Letakkan piring itu dan aku yang akan mencucinya!" Hinata bicara dengan tegas. Wanita berbadan dua itu membantu Sasuke melepaskan sarung tangannya lalu mendorong tubuhnya kembali ke kursi makan.
Setelah berada di depan bak cuci piring seorang diri, Hinata mulai menunjukkan kelihaiannya. Pertama, ia membersihkan pecahan beling bekas gelas dan piring yang dipecahkan oleh Sasuke. Kedua, ia pun membersihkan bak cuci dan memastikan tak ada serpihan yang tertinggal. Di fase akhir, Hinata pun mulai mencuci piring dengan alami.
Sasuke memperhatikan punggung Hinata lalu mendesah berat. "Maafkan aku. Aku hanya berniat membantu." Sasuke menyesali perbuatannya.
Hinata berdehem. "Tak perlu dipikirkan, aku masih punya banyak gelas dan piring."
Keduanya pun sama-sama terdiam. Hinata mengerjakan pekerjaannya sedangkan Sasuke memandangi punggung Hinata dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Hinata, apa yang akan kau lakukan jika Itachi sudah sembuh nanti?"
"Entahlah, aku mungkin ingin melihatnya secara langsung."
"Bodyguard ayahku akan menahanmu untuk melihat Itachi secara langsung," balas Sasuke.
Hinata menghela napasnya. "Aku sebenarnya tak mengerti," ujar Hinata masih sibuk mencuci piring. "Kenapa ayahmu bisa begitu keras pada kakakmu?"
"Ayah ingin kakakku menjadi penerusnya. Kakakku adalah definisi kesempurnaan yang diharapkan ayahku."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku...." Sasuke menahan diri untuk tidak mengasihani dirinya sendiri. "hanya cadangan saja."
"Kau berpikir seperti itu?" Hinata mendadak mengingat statusnya sekarang. Ia menikah dengan Sasuke, menjadikan Sasuke pengganti kakaknya agar calon cucu Fugaku dan Mikoto tetap memiliki nama Uchiha.
"Memang seperti itu!" Sasuke mendesah dengan berat. Kepalanya berpangku di kedua tangannya yang berada di atas meja sambil sesekali memperhatikan punggung istri sahnya.
"Sasuke, aku tak mengerti!"
"Apanya?" Sasuke mulai mengantuk.
"Mengapa kau harus menggantikan Itachi dan mau menikahiku?"
"Tak ada alasan khusus. Aku melakukan itu karena keinginan ayahku. Aku juga kasihan pada keponakanku jika dia harus lahir di luar pernikahan."
"Tapi anakku akan tercatat sebagai anakmu, Sasuke. Kau tak keberatan dengan itu?"
Sasuke yang nyaris tidur kembali dipaksa berpikir. "Dia keponakanku. Aku tak masalah dengan persoalan administrasi seperti itu."
"Kau terlalu menggampangkan segala sesuatu," Hinata yang marah melepaskan sarung tangannya dengan kasar. Ia beranjak dari dapur lalu duduk sofa di depan televisi.
Guntur dan petir yang sudah beristirahat membuat Hinata berani menyalakan televisi dan mulai menonton film komedi romance yang tengah tayang.
Sementara itu, Sasuke mulai menegapkan tubuhnya. Ia memperhatikan Hinata dan memilih masuk kamar.
Tak lama kemudian, Sasuke membawakan selimut untuk dipakai Hinata. "Jangan sampai ketiduran di sofa! Aku akan tidur duluan di kamar."
Hinata hanya mendongak lalu mengabaikan kepergian Sasuke. Pria itu pun sama saja abainya dengan Hinata. Memang percakapan mereka sering kali diakhiri dengan bersikap abai satu sama lain!
[]
2. Sakura
Hinata membuka pintu rumahnya lalu menyapa sosok perempuan yang dikenalinya dengan baik dengan melambaikan tangan. "Sakura?"
"Hinata, bagaimana kabarmu?" tanya Sakura dan tanpa persetujuan memeluk Hinata dengan hangat. Keduanya teman SMA dan kuliah, mereka sama-sama kuliah jurusan jurnalis sebelum akhirnya Sakura pindah ke luar negeri, mengikuti keluarganya yang pindah.
"Aku baik," Hinata tersenyum. "Bagaimana denganmu, Sakura?"
"Kabarku pun baik, Hinata." Sakura melihat rumah yang ditinggali Hinata lalu bergumam, "Rumahmu cukup jauh dari pusat kota. Apa kau betah tinggal di sini?"
Pertanyaan Sakura adalah hal yang wajar, Hinata pun segera menganggukkan kepala. "Aku betah saja tinggal di sini," Hinata menjawab santai. "Aku justru suka karena di sini tak begitu ramai dengan banyak orang."
Sakura tertawa mendengar ucapan Hinata. "Aku paham maksudmu, Gadis Pemalu."
"Hei, aku sudah akan menjadi ibu!" protes Hinata membuat Sakura mengerutkan kening. Pintu depan rumah segera Hinata tutup dan mereka berpindah ke ruang tengah yang hangat.
"Apa maksudmu kau sedang hamil?" tanya Sakura, menuntut jawaban pada sahabatnya.
Hinata berdehem pelan. Dielusnya perutnya yang sudah membuncit dengan lembut. "Usia kandunganku sudah 5 bulan, Bibi Sakura."
"Ah tidak! Jangan panggil aku Bibi, panggil aku Kakak! Aku ini masih terlalu muda untuk dipanggil Bibi," Sakura mulai mengomel. Kebiasaan wanita tak bisa lepas apalagi sejak ia mulai menjadi reporter.
"Jadi kau sudah menikah, Hinata?" Pertanyaan Sakura membuat Hinata tertawa pelan.
"Ya, aku sudah menikah dua bulan yang lalu." Hinata menjawab sambil membuka lemari es. Ia mengambilkan minuman kaleng untuk sahabatnya yang bersedia berkunjung ke rumahnya yang ada di tempat terpencil.
"Dengan siapa? Kenapa tak ada foto pernikahan sejak di ruang tamu tadi?" tanya Sakura, bertambah penasaran benaknya.
"Oh soal itu, aku dan suamiku sepakat menyimpannya di album kenangan. Kami tidak memajangnya sama sekali."
"Kau seharusnya membuat foto pernikahan kalian di figura besar lalu meletakkannya di dinding ruang tamu. Kau benar-benar mengagetkanku dengan berita pernikahan dan kehamilanmu, Hinata," tegur Sakura. "Tahu kau sudah menikah, aku akan pikir dua kali untuk datang ke mari dan menemuimu!"
"Ayolah Sakura, jangan marah!" Hinata mendudukkan dirinya di sofa, di sisi Sakura. "Minum dulu! Kau pasti haus."
Sakura menerima minuman kaleng itu lalu membukanya. Tanpa prasangka sama sekali, Sakura membuka dan langsung menjerit dengan nada tinggi. "AAAAAAHHH...." Isi soda itu mulai ke luar dengan brutal. Sudah jelas sekali ada yang mengocok kaleng soft drink itu dengan kuat dan berulang.
Hinata tertawa melihat sahabatnya yang sudah basah karena soda yang tumpah.
Melihat Hinata yang santai saja saat melihatnya kesusahan membuat Sakura geram. "Aku tahu ini ulah jahilmu, Hyuga!"
Hinata terbahak pelan. "Maafkan aku, aku memang sengaja."
"Kurang ajar! Aku akan membunuhmu! Tidak, aku akan merebut suamimu lalu membunuhmu. Akan kubuang jasadmu di laut tanpa pakaian supaya kau tidak bisa ditemukan sama sekali."
"Astaga, Sakura! Kata-katamu sangat jahat." Hinata menegur.
"Jadi salah siapa aku basah kuyup seperti ini?" Sakura berdiri, menunjukkan pakaian musim panasnya yang basah.
"Maafkan aku," Hinata merengut. Ia jadi menyesal sudah mengerjai Sakura. "Aku akan meminjamkanmu pakaian. Ayo ikut aku ke kamar!"
Sakura mendesah berat lalu mengikuti Hinata. "Hey, aku hanya bercanda! Maafkan aku sudah bicara kurang ajar seperti tadi."
Hinata yang tadinya merengut pun menatap Sakura sambil memegangi pakaian ganti untuknya. Tak lama kemudian keduanya pun tertawa bersama. "Aku tahu, aku juga minta maaf. Bercandaku keterlaluan."
"Ya, kita sama-sama keterlaluan." Sakura tertawa pelan sambil menerima pakaian ganti untuknya. Ia mendapatkan dress bermotif bunga-bunga berwarna navy. "Cantik, tapi aku lebih suka jika berwarna pink."
Hinata tertawa lugas. "Kau akan mendapatkan di toko pakaian, Nona!"
Sakura terkekeh pelan. "Kalau itu aku sangat tahu!" Sakura mengedarkan pandangannya ke seisi kamar lalu menunjuk pintu kamar mandi. "Itu kamar mandinya?"
"Ya," Hinata menganggukkan kepala.
Setelah Sakura masuk ke dalam kamar mandi, Hinata pun beranjak. Ia membersihkan noda dari kaleng soda yang tumpah tadi lalu duduk mengecek ponselnya.
Tak ada pesan dari Sasuke bahwa ia hendak pulang. Itu berarti, ia aman karena mengundang teman dekatnya datang ke rumah.
***
"Jadi, Hinata...." Sakura yang sudah berganti pakaian dengan dress navy itu menatap Hinata penuh tanda tanya, "Siapa suamimu sebenarnya?"
"Dia.... bagaimana aku harus menjelaskannya ya?" Hinata diam sejenak. "Aku sebenarnya harus merahasiakan ini padamu."
"Astaga, kau sangat menyebalkan! Tahu begini, aku tak mau bertemu denganmu. Kau membuang waktuku, Hinata-chan!" Sakura menggerutu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Sakura-chan, kau selalu saja mengancam menggunakan kalimat yang mengerikan! Apakah itu sudah jadi kebiasaanmu eh?"
Sakura langsung memeluk lengan Hinata. Disandarkannya kepalanya yang bersurai pink di pundak Hinata lalu tertawa pelan. "Maafkan aku ya, Hinata. Aku bercanda. Ya Tuhan, lagipula sejak dulu aku seperti ini! Kenapa kau kaget? Apa kau sangat sensitif karena sedang hamil?"
Hinata melepaskan lengan Sakura lalu berdecak sebal. "Kenapa saat hamil, jika aku marah selalu saja disebut karena kehamilan? Menyebalkan sekali."
"Hormon ibu hamil memang cukup unik, Hinata. Kau harus menerima kondisimu."
Hinata mendesah pelan. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa lalu terdiam sejenak. "Sakura, apa kau ingin tahu siapa suamiku?"
"Seharusnya memang kau memberitahuku!"
Hinata tertawa sambil memandangi Sakura. "Dia sangat tampan dan kaya. Kupikir, kau harus merebutnya dariku!"
Sakura langsung tertawa terbahak-bahak. "Hey, yang benar saja! Kau menawarkan suamimu pada sahabatmu sendiri? Kau pasti gila!"
Hinata mengangguk setuju. "Kau benar! Aku sudah gila karena menawarkan suamiku pada sahabatku sendiri."
Melihat wajah Hinata yang serius, Sakura pun lantas berhenti tertawa. "Memangnya setampan apa suamimu sampai kau berpikir, aku harus merebutnya?"
Hinata kembali tertawa. "Aku tahu kau sangat mudah penasaran, Sakura!" Hinata mengejek sahabatnya.
Mengambil ponselnya, Hinata pun menunjukkan sebuah foto. Anehnya, setelah melihat foto itu, Sakura tak tersenyum atau tertawa. Wajahnya begitu serius dengan tatapan yang sulit Hinata pahami.
"Suamiku tampan kan?"
Sakura berdehem. "Kalian benar-benar sudah menikah?" Pertanyaan bernada serius dari mulut Sakura membuat Hinata bergeming.
"Ya," Hinata ingin tahu. "Sepertinya kau dan suamiku sudah saling kenal?"
Sakura memaksakan dirinya untuk tertawa. "Tidak, Hinata. Aku dan suamimu tidak saling kenal. Aku tak mengenal Sasuke."
Hinata menertawakan Sakura dalam hati. 'Jadi benar kalau keduanya saling kenal?'
"Ya, Sakura. Aku percaya padamu. Jadi, kapan-kapan aku akan memperkenalkanmu pada Sasuke. Bagaimana? Kau mau kan?"
Sakura menyadari kesalahannya yang sudah menyebut 'Sasuke' padahal Hinata belum memberitahu nama suaminya. Wanita itu gugup dan akhirnya memilih berbohong dengan menganggukkan kepala. "Ya, aku mau."
Setelahnya kedua sahabat itu saling mengobrol soal masa-masa mereka berpisah jarak.
[]
3. Hinata
Pintu ruang kerja itu dibuka dan tak lama kemudian seorang pria bertubuh besar masuk sambil memberikan tablet miliknya. "Permisi, Sasuke-san. Saya mendapat laporan bahwa rumah Hinata-san didatangi seseorang."
Sasuke menerima tablet milik Juugo dan mendadak berhenti bernapas selama beberapa detik. Wajah yang dikenali Sasuke ada di depannya. Bagaimana bisa? "Apa dia tamu Hinata?"
"Iya, Nyonya terlihat dekat dengan tamu wanita itu." Juugo menatap bosnya dengan serius. "Apakah saya perlu mencari tahu soal teman Hinata-san?"
"Tidak, biarkan saja." Sasuke sedikit gusar. "Aku akan bertanya langsung pada Hinata saat kembali ke rumah."
Juugo menganggukkan kepala. Setelah laporan tersampaikan, laki-laki bertubuh tinggi, besar, dan tentunya berotot itu pun meninggalkan ruang kerja bosnya.
Dalam diamnya, Sasuke memikirkan Sakura. Kenapa Sakura bisa mengenali Hinata? Apa mereka cukup dekat sampai Sakura diundang Hinata tanpa mempedulikan izinnya sama sekali?
Makin dipikirkan, Sasuke makin tidak tenang melanjutkan pekerjaannya. Tak ingin waktunya terbuang percuma, Sasuke pun beranjak. Ia ke luar dari ruang kerjanya dan segera pulang. "Sui, antar aku pulang!"
Suigetsu yang tadinya tengah bekerja pun melirik Juugo. Ia menghela napas dan segera membereskan meja kerjanya. Tak butuh waktu lama, Suigetsu menyusul Sasuke di depan lift yang sudah terbuka.
***
"Kau tahu berapa lama tamu Hinata di rumahnya?" tanya Sasuke seraya duduk dengan tenang di jok belakang mobil. Suigetsu -salah satu sekertarisnya- kini sedang mengemudikan mobil menuju rumah Hinata yang ada di tempat terkecil, di pinggiran kota.
"Juugo mendapat laporan bahwa tamu ini datang dari pukul 1 siang sampai jam 5 sore."
Sasuke melihat jam tangan mewah di pergelangan tangannya. "Sekarang pukul 6. Kalian tak langsung melaporkannya padaku!" timpal Sasuke membuat Suigetsu gugup.
"Kami menunggu Anda selesai rapat. Maafkan kami, Sasuke-san."
Sasuke mendesah berat. Ucapan Suigetsu tentu saja benar. Ia baru ke luar dari rapat dan hendak mengecek berkas laporan di atas meja kerjanya saat mendapati berita dari Juugo. "Baik. Tindakan kalian tak sepenuhnya salah."
Suigetsu merasa lega. Laki-laki itu mendadak merasa lega.
"Mengenai teman Nona Hinata. Apakah tak lebih baik untuk kita mencaritahu latar belakangnya, Sasuke-san?" tanya Suigetsu memberi usul.
Sasuke menggeleng cepat. "Tak perlu. Biarkan itu jadi urusan Hinata."
Suigetsu menganggukkan kepala. Setelahnya ia hanya fokus menyetir, sedangkan Sasuke hanya duduk diam sambil memperhatikan foto Sakura dan Hinata dengan serius.
"Apakah ini hanya kebetulan?" gumam Sasuke sambil memandangi jalanan di luar.
***
Sasuke baru saja sampai ke rumah saat ia mencium bau spagethi yang cukup menyengat. 'Apa Hinata memasak spagethi?' Tanpa sadar Sasuke bertanya dalam hati.
Baru saja sampai di dapur, Sasuke mendapati istrinya yang hendak makan spagethi seorang diri di atas meja makan.
"Tadaima," sapa Sasuke membuat Hinata menolehkan kepala.
"Okaeri," Meskipun terlihat heran, Hinata menjawab sapaan suaminya yang baru saja pulang. "Kau pulang ke mari lagi?"
"Kenapa kau terdengar tak suka jika aku pulang ke mari?" Sasuke duduk di kursi makan lalu mengambil garpu yang ada di atas piring milik Hinata. Saat Sasuke mulai mencoba spagethi buatan Hinata, pria itu tersenyum puas. "Masakanmu selalu menggugah selera makanku."
Hinata tertawa pelan. "Mau kuambilkan?"
"Tolong!" Sasuke memberi balasan dan akhirnya Hinata beranjak untuk membuatkan spagethi untuk suaminya. Terlihat enak, Sasuke mendadak lupa dengan tujuannya pulang cepat hari ini.
"Silakan," Hinata meletakkan piring berisi spagethi untuk Sasuke lalu duduk kembali di kursi makannya. Saat ia memperhatikan piringnya, Hinata baru sadar kalau piringnya nyaris habis.
"Terima kasih," Sasuke membuat gulungan mi di garpunya lalu mengarahkan ke depan mulut Hinata. "Aaaa...."
Hinata yang hendak marah karena makanannya dihabisi oleh orang lain pun mendadak mengerutkan kening. Sasuke serius ingin menyuapinya?
Hinata menggelengkan kepala. Ia memilih memakan sendiri spagethi-nya walaupun nyaris habis. "Apa kau sangat lapar sampai memakan makanan milik orang lain?" tanya Hinata sewot.
"Maafkan aku, aku tiba-tiba merasa lapar. Sekarang lebih baik kita bergantian. Kau makan milikku, karena aku sudah memakan spagethi-mu, Hinata." Sasuke mencoba tersenyum agar Hinata tak memarahinya lagi. Tangannya pun masih berada di udara, berharap wanitanya segera menerima suapan tangannya.
Hinata mendengkus tapi ia tetap membuka mulutnya yang sudah kosong. Sasuke pun berhasil menyuapi istrinya dengan makanan khas Italia tersebut. "Enak, karena aku yang memasaknya."
Sasuke tertawa mendengar ungkapan rasa percaya diri Hinata yang tinggi. Terus menyuapi, Hinata pun akhirnya meminta Sasuke berhenti dan mereka mulai makan di piring mereka masing-masing.
"Tumben kau pulang jam segini," Hinata mengajak Sasuke bicara setelah makanannya habis.
Sasuke berdehem. "Tak ada pekerjaan lain, jadi aku pulang cepat." Sasuke jelas berbohong. "Dan lagi aku mendapat laporan soal kedatangan seseorang di rumah ini."
Hinata bangkit berdiri. Ia mulai bersiap mencuci piring dengan manual dan menjawab sambil memunggungi suaminya. "Oh ternyata kau benar-benar menyiapkan mata-mata untuk memantauku setiap hari di rumah ini."
Sasuke tak membalas. "Aku hanya memastikan keselamatanmu. Tak ada maksud lain."
"Jika benar tak ada maksud lain, lalu kenapa kau terlihat begitu penasaran karena aku mengundang temanku datang ke mari?"
"Teman?" Sasuke mengulang kata yang diucapkan oleh Hinata.
"Ya, teman. Tentu saja yang kuundang ke kediamanku tak lain adalah temanku. Teman dekatku," Hinata menjelaskan sambil menundukkan kepala.
Sasuke benar-benar penasaran dengan ekspresi yang ada di wajah istrinya. Kalau dipikir-pikir, sering kali Hinata bicara sambil memunggunginya. 'Apa aku harus mengubah kitchen set di rumah ini, agar orang yang mencuci piring tak perlu membelakangi seseorang saat mereka sedang bicara?'
"Teman dekat?" Sasuke tersadar dari lamunannya.
Saat itulah Hinata mendongak dan berdehem. Senyum di wajahnya tampak serius. "Kami teman SMA lalu sempat kuliah di jurusan yang sama."
"Sempat?"
"Sakura pindah bersama keluarganya ke luar negeri. Setelahnya kami tak saling menghubungi sampai Sakura mengumumkan kepulangannya ke Jepang tiga minggu yang lalu padaku."
"Sa-ku-ra?" Sasuke tak salah. Ia mendengar nama Sakura dengan jelas dari mulut istrinya.
"Ya, nama temanku Sakura. Dia seorang reporter. Katanya dia mulai bekerja di stasiun televisi dalam waktu dekat," cerita Hinata lalu mengambil piring kotor di depan meja Sasuke. "Ada apa dengan wajahmu, Sasuke? Kau terlihat tidak nyaman. Apa kau sakit?" Hinata memegang dahi Sasuke menggunakan punggung tangannya.
Sasuke menepis tangan Hinata. "Tidak! Aku sama sekali tak sakit."
Hinata mengangguk dan kembali mencuci piring menggunakan sarung tangannya. "Oh ya.... Kapan-kapan kalian harus bertemu! Sakura sudah mau, jadi kau juga harus mau, Uchiha!"
Sasuke berdecak. Laki-laki itu mulai melepaskan kancing lengan bajunya lalu beranjak dari kursi makan. "Aku akan mandi terlebih dulu."
"Hm," dehem Hinata. Namun, saat pintu kamarnya terbuka lalu tertutup, wanita itu berhenti bergerak mencuci piring.
***
Chapter 4 - Itachi
Hinata selalu memikirkan banyak hal saat ia berada di rumahnya sendirian. Saat Sasuke bekerja dan dirinya hanya menunggu di rumah dengan ketidakpastian. Ia sama sekali tak mencintai Uchiha Sasuke apalagi dengan kondisinya yang sedang hamil anak kakaknya.
Semua hal memang menjadi rumit saat ia mengetahui bahwa tunangannya tak lain adalah anak keluarga konglomerat Uchiha Fugaku. Ya, dan andai saja sejak awal ia tahu ayah Itachi adalah Uchiha Fugaku, ia tentu mungkin akan berpikir ribuan kali untuk menerima romantisme yang disodorkan Itachi saat itu padanya.
Usia Itachi dan Hinata berbeda 5 tahun. Selisih usia yang cukup pas untuk menjalin hubungan dengan seorang pria yang jelas lebih tua darinya.
Diawal perkenalan, Hinata dan Itachi saling bertemu karena mereka tetangga apartemen mungil. Pintu apartemen mereka bahkan berhadap-hadapan.
***
3 tahun yang lalu.
"Kau tinggal di situ?" Laki-laki yang ditemui Hinata di lift membuka suara sambil menahan pintu depan apartemennya yang sudah terbuka.
Hinata menolehkan kepala ke belakang lalu menganggukkan kepala. "Ya. Kau pasti baru tinggal di situ kan? Setahuku, yang tinggal di apartemen itu Sakurazawa-san dengan putranya."
Itachi terdiam. "Maaf aku tak tahu."
"Ya, itu hal wajar." Hinata menyunggingkan senyum manisnya lalu membuka pintu apartemennya yang sudah ia buka. "Aku permisi."
Itachi balas menyunggingkan senyum dan ikut masuk ke dalam apartemennya sendiri.
Setelah menutup pintu apartemennya, Hinata mulai bertanya-tanya soal tetangga apartemennya. "Lumayan tampan juga pria tadi," gumamnya lalu melepaskan tas yang ia pakai.
***
Setelah pertemuan pertama Hinata dan Itachi malam itu, Hinata lagi-lagi bertemu pria itu di beberapa tempat. Entah di mini market, di depan pintu apartemen mereka, atau bahkan di pusat kota.
Baru setelah beberapa minggu, Hinata mengetahui pekerjaan Itachi sebagai gamer profesional. Ia punya kanal channel di aplikasi video dan sering mereview barang-barang seputar kebutuhan gamer.
"Pekerjaanku aneh kan?" tanya Itachi setelah memberitahukan pekerjaannya pada Hinata. Mereka bertemu di mini market dan kini berjalan bersama menuju apartemen mereka.
"Kalau kita tinggal di masa 20 tahun yang lalu, mungkin pekerjaanmu akan disebut aneh. Kalau sekarang, tentu saja tidak. Aku yakin kau menjadikannya pekerjaan karena uang yang dihasilkannya cukup banyak kan?"
Itachi tertawa mendengar respon Hinata. "Bagaimana denganmu, Hinata-san? Apa pekerjaanmu?"
"Aku?" Hinata menunjuk dirinya. "Aku editor di acara gosip," Hinata tak bisa jika tidak menertawakan dirinya sendiri saat mengingat pekerjaannya.
"Kenapa kau tertawa? Kau terdengar tidak senang dengan pekerjaanmu."
Hinata menolehkan kepala lalu berdehem pelan. "Aku awalnya bekerja sebagai reporter acara berita. Tak lama kemudian aku dimutasi ke acara gosip sebagai reporter dan terakhir -tepatnya- sekarang, aku bekerja sebagai editor acara gosip."
"Apa kau tak puas dengan pekerjaanmu, Hinata-san?" tanya Itachi, yang menurut Hinata tak sopan karena mereka baru berkenalan tak terlalu lama tapi sudah bertanya yang macam-macam.
"Aku puas. Tentu saja," Hinata melihat jalanan di depannya yang sepi lalu tersenyum paksa.
***
Awalnya Hinata tak mau terlalu dekat dengan Itachi karena menurutnya pria itu tak sopan. Namun anehnya, ia sering bertemu Itachi dalam banyak kegiatan. Pria itu sepertinya ada di mana saja, ada di saat ia butuh bantuan lebih tepatnya.
"Hinata-san, kau baik-baik saja?" tanya Itachi sambil membuka pintu apartemennya yang terbuka. Pria itu menemukan Hinata yang ketakutan dengan pakaian tidur yang mini.
"Di dalam sana, aku rasa ada penyusup." Hinata menunjuk pintu apartemennya yang terbuka dan ruangan yang gelap karena hari cukup larut.
Itachi mendadak waspada. Pria itu mengambil pemukul baseball dari dalam apartemennya lalu berjalan masuk ke dalam apartemen Hinata. "Tolong lampunya!" pinta Itachi dan Hinata menurut sambil terus mengikuti pria itu.
Saat lampu mulai dinyalakan, Hinata mendapati ruang apartemennya yang berantakan. Wanita itu menggigil ketakutan tapi tetap menemani Itachi mencari penyusup di apartemennya.
"Hiaaaa...." suara laki-laki terdengar. Penyusup itu hendak memukul Itachi tapi dengan sigap Itachi melayangkan pemukul baseball yang dipeganginya.
DUAGH!
Dalam sekali gerakan, Itachi menumbangkan penyusup yang masuk ke dalam apartemennya. Hinata bergidik ngeri, tapi kemudian mendekati penyusup di apartemennya.
Penutup wajahnya yang berwarna hitam segera Itachi buka dan Hinata langsung meringis saat melihat hidung penyusup itu mengeluarkan darah yang cukup banyak.
"Sekarang sudah aman," kata Itachi. "Apa kau menyimpan tali? Aku harus mengikatnya agar dia tak kabur sebelum polisi datang membawanya."
Hinata segera bergerak. Wanita berusia 25 tahun itu mencari keberadaan tali di dapur lalu menyerahkannya pada Itachi.
"Aku sudah menghubungi polisi dan petugas keamanan di apartemen ini," kata Itachi seraya mengikat penyusup. "Menurutku, dia seorang pencuri. Aku menemukan uang di kantong jaketnya."
Hinata mendengarkan dengan seksama seraya menatap uang tunainya yang kini tercecer di samping tubuh pencuri.
"Tunggu di sini sebentar!" Itachi menyerahkan tongkat baseball pada Hinata. "Aku akan mengecek jendela di apartemenmu. Mungkin ia berhasil masuk ke mari karena bisa membobol lewat jendela."
"Tapi apartemen kita ada di lantai 25, Itachi-san."
Itachi mendadak tertawa paksa sambil mengusap lehernya. "Kau benar!" Akhirnya Itachi mengurungkan niatnya dan menemani Hinata sambil memperhatikan pencuri yang masih pingsan karena pukulan kerasnya.
***
Butuh waktu 5 menit sampai penjaga apartemen mendatangi unit apartemennya dan butuh waktu 15 menit sampai polisi datang dan menggelandang pencuri itu dari apartemennya.
"Menurut dugaan kami, pencuri itu masuk lewat jendela. Penjaga apartemen mengenali pelaku sebagai pemilik apartemen yang tinggal di lantai 24."
Hinata menutup mulutnya karena shock. Berarti sejak awal ia memang sudah diincar. "Benar-benar mengerikan," lirih Hinata.
"Apa Hyuga-san dan Uchiha-san bisa ikut kami ke kantor polisi? Kami harus membuat laporan lengkap untuk kasus ini."
Hinata menganggukkan kepala. Itachi yang terlihat ragu pun mengangguk setuju.
***
"Maafkan aku, aku sudah mengganggu waktu istirahat malammu, Itachi-san," Hinata berbicara sambil berjalan bersama Itachi ke luar dari kantor polisi.
"Tak masalah."
"Terima kasih juga karena sudah menolongku."
Itachi tertawa pelan. "Kau sudah berterima kasih padaku sepuluh kali, Hinata-san."
Hinata balas tertawa canggung. "Aku tak sadar, yang pasti aku benar-benar sangat berterima kasih atas bantuanmu."
Itachi berdehem dan mereka pun terus berjalan kaki sampai ke gedung apartemen lagi.
Baru saja berada di depan unit apartemennya, Hinata sudah ditemui oleh pihak pengelola. Mereka memberitahunya soal asuransi dan tentunya permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian penyusupan tadi.
Setelah tak ada lagi yang harus disampaikan, Hinata pun bergegas ke kamarnya. Hari makin menunjukkan waktu pukul 3 dini hari dan ia butuh tidur.
Namun, baru saja masuk ke dalam selimut. Perasaan Hinata tak nyaman. Ia paranoid pada penyusupan tadi. 'Bagaimana jika ada penyusup lain yang datang ke mari?'
Merasa tak tenang, Hinata ke luar dari apartemennya. Ia mengetuk pintu unit apartemen yang ditinggali Itachi dengan bar-bar hingga akhirnya sang pemilik apartemen membukakan pintu.
"Hinata-san?" Itachi menyipitkan matanya yang sudah mengantuk berat.
"Itachi-san, aku tahu aku sangat tak sopan. Tapi bolehkah malam ini saja aku menginap di apartemenmu?" pinta Hinata membuat mata Itachi terbuka lebar lagi.
"Apa kau takut berada di apartemenmu?" Itachi bertanya sambil membiarkan Hinata masuk.
"I-iya sebenarnya...." Hinata malu-malu mengakui.
"Kau bisa tidur di sofa kalau begitu. Maaf, aku sudah sangat mengantuk," Itachi menutup pintu depan unit apartemennya lagi lalu menguap. Pria itu terlihat sangat mengantuk berat.
"Maafkan aku, Itachi-san. Maafkan aku."
"Aku akan membawakan selimut." Itachi masih berbaik hati memberikannya selimut dan juga bantal.
"Terima kasih banyak, Itachi-san."
Itachi tersenyum tipis lalu meninggalkan Hinata di ruang tengahnya sendiri. Laki-laki itu masuk ke dalam kamar apartemennya dan mulai tertidur di balik selimutnya yang tebal.
Sambil memejamkan matanya, Itachi tersenyum lebar. "Aku sudah menjadi hero untukmu, Hinata," katanya tanpa sadar.
***
5. Fugaku
"Apa yang sedang kau lamunkan?" tanya Sasuke sambil berdiri di samping Hinata yang tengah menyemprot kaktus sekulennya.
Hinata mendongak karena porsi tubuh Sasuke yang tinggi lalu menjawab, "Aku sedang mengingat pertemuanku dengan Itachi."
Sasuke tersenyum tipis saat mendengar jawaban Hinata. Meskipun mereka menikah karena paksaan, bukankah tak bijak jika wanita yang sudah menjadi istrinya memikirkan kenangannya bersama pria lain? Tak peduli bahwa itu kakaknya, Sasuke merasa jengkel!
"Kau tahu," Sasuke melihat ke arah jendela. Halaman rumah yang ditinggali Hinata sangat luas dengan banyak ditumbuhi rumput. "Halaman rumah kita begitu kosong."
Hinata mengalihkan perhatiannya. Ia ikut melihat ke depan, di mana halaman rumahnya tampak luas dan berwarna hijau rumput. "Memang? Apa kau baru menyadarinya?"
Sasuke menggeleng. "Aku hanya heran. Kau begitu senang dengan kaktusmu, tapi kau tak berpikir untuk mulai berkebun di halaman rumahmu yang luas?"
"Oh itu...." Hinata meletakkan semprotan yang dipegangnya di atas rak. "Aku tak begitu suka berkebun sebenarnya. Lagipula kaktus ini pemberian Itachi, itu sebabnya aku merawatnya dengan baik."
"Kau baru memberitahuku," Sasuke menahan geramannya saat tahu alasan sebenarnya sang istri begitu getol menjaga kaktus mininya.
"Ini hanya hal kecil," Hinata mengedikkan bahu lalu berjalan menjauhi Sasuke. Wanita itu mengelus perutnya yang membuncit dan mulai bersenandung.
Sasuke terus perhatian pada Hinata, tapi setelah wanita itu menghilang dibalik tembok rumah, ia mengalihkan perhatian ke arah kaktus mini Hinata. "Dia benar-benar mencintaimu, Itachi. Padahal kau laki-laki bajingan."
Sasuke memaki lalu meninggalkan ruang tengah. Saat laki-laki itu hendak menyusul Hinata, Sasuke mendapati ponselnya berbunyi. Suigetsu meneleponnya.
"Halo," Sasuke menjawab dengan suara berat. Ia harap ada hal serius yang akhirnya membuat Suigetsu harus mengganggunya dengan panggilan telepon.
"Sasuke-san, Fugaku-sama melakukan rapat dewan direksi mendadak pukul 10 nanti!"
Sasuke menggeram marah mendengar berita yang disampaikan Suigetsu. Ayahnya masih saja bertingkah seenaknya. Ia sudah seperti musuh ayahnya sendiri tak peduli sudah banyak hal yang sudah dilakukannya demi sang ayah.
"Aku akan datang," balas Sasuke. "Tapi kau tak perlu memberitahu ayahku soal ini. Dia pasti tak ingin aku datang karena tak menghubungiku sebelumnya."
Suigetsu berdehem pelan. "Baik, Sasuke-san. Apa ada hal lain yang harus aku dan Juugo lakukan?"
"Tidak perlu, lakukan saja pekerjaan kalian seperti biasanya. Sepertinya aku tak bisa benar-benar cuti hari ini," cetus Sasuke lalu mematikan panggilan teleponnya.
"Kau akan pergi?" suara Hinata menginterupsi saat Sasuke selesai dengan teleponnya.
Sasuke berdehem. "Ada rapat direksi yang harus kudatangi. Aku nyaris lupa dengan jadwalnya."
Hinata menganggukkan kepala. Wanita itu pun duduk di sofa dengan kedua tangan memeluk toples camilan. "Apa aku harus membantu menyiapkan pakaianmu, Sasuke?"
Sasuke mendekati Hinata lalu menyomot kue kering milik Hinata. "Kau tak perlu melakukan itu. Aku akan menyiapkan keperluanku sendiri. Kau bisa bersantai sambil makan cookies dengan tenang."
"Baiklah kalau begitu," Hinata tak begitu peduli. Ia justru mengambil remote televisi lalu menyalakannya sementara Sasuke berjalan menuju kamar untuk mengganti pakaian santainya pagi ini dengan pakaian formalnya ke kantor.
***
Fugaku baru saja masuk ke dalam ruang rapat direksi saat ia mendapati wajah putra keduanya di sana. Walaupun agak kaget dengan keberadaan Sasuke di ruangan itu, Fugaku tak menyampaikan apapun dan memulai jalannya rapat.
Rapat direksi hari ini akan membahas persoalan perusahaan Uchiha Entertainment. Tak ada masalah serius, hanya saja beberapa direksi ingin Uchiha Entertainment melepaskan keterkaitannya dari Uchiha Group. Mereka juga ingin Uchiha Entertainment dijual dengan alasan yang mengada-ada.
"Setahuku Uchiha Entertainment sama sekali tak memberikan kerugian selama ini. Mengapa kalian begitu ingin melepaskannya dari Uchiha Group? Apa karena Itachi-nii yang mendirikannya atau karena aku yang menjadi direktur utamanya?" Sasuke selalu berhasil menjaga nada suaranya agar tetap dingin dan menusuk.
"Apa yang dikatakan Sasuke benar! Bukankah alasan kalian terlalu mengada-ada untuk membuang Uchiha Entertainment?" Fugaku membela putranya. Tentunya ia melakukan itu bukan untuk Sasuke, tapi untuk memastikan asetnya yang membuatnya makin bertambah kaya tetap di bawah naungan Uchiha Group.
"Artis dari Uchiha Entertainment bahkan berhasil mendongkrak penjualan seri mobil ekslusif yang diluncurkan saat periode musim panas Uchiha Motors tahun lalu. Mungkin kalian tak membaca laporan yang kubuat dengan seksama sampai melupakan itu?" Sasuke menyindir tajam membuat beberapa direksi menggigit bibir.
"Saranku, jika kalian membutuhkan uang, jual saja saham kalian! Tak perlu membuat masalah baru," Sasuke menatap tajam orang-orang yang diketahuinya bermasalah.
"KIta sudah mendegar pendapat dari direktur utama Uchiha Entertainment langsung. Apa kalian masih ingin melepaskan Uchiha Entertainment?" tanya Fugaku.
Tak ada yang bicara. Semua orang diam dan menunduk.
Setelah rapat direksi berakhir, Fugaku menatap Sasuke dan berbicara dengan nada memerintah. "Ikut aku ke ruangan!"
Sasuke tak membalas. Namun, langkah kakinya mengikuti sang ayah. Mereka naik menggunakan lift ekslusif bersama dan Fugaku segera menepuk pundak Sasuke agar lebih relaks.
"Apa yang kau katakan di depan direksi sudah benar, aku bangga padamu, Sasuke," puji Fugaku sambil menatap lurus ke depan. Ke arah pintu lift yang masih tertutup rapat.
"Kenapa tak ada yang memberitahuku soal rapat direksi kali ini? Apa ayah juga sebenarnya ingin melepaskan UE?"
"Ayah berniat mengurusnya sendiri. Seperti katamu tadi, mereka mungkin hanya membutuhkan uang maka dari itu memaksa agar UE dijual kepada kompetitor." Fugaku menjawab. "Mereka tak bekerja langsung untuk Uchiha Group, maka dari itu mereka bertingkah seenaknya."
Sasuke membenarkan dalam hati. Namun, ia tak mengumandangkannya.
Sesampainya di ruang kerja Fugaku, Sasuke duduk di sofa begitu pun dengan ayahnya. Mereka duduk berdekatan dengan cangkir kopi yang mengepul di atas meja.
"Bagaimana kondisi wanita itu?" tanya Fugaku.
"Dia baik. Dia bisa merawat dirinya dengan baik," balas Sasuke membuat Fugaku berdehem. Menjeda dengan meminum kopinya, Sasuke pun menyeduh kopi seperti yang dilakukan oleh Fugaku. "Apa Ayah merencanakan sesuatu lagi?"
Fugaku menggelengkan kepala. "Ayah harap dia bisa melahirkan cucuku dengan selamat. Lalu, apa jenis kelamin anak Itachi?" tanya Fugaku lagi.
"Laki-laki," Sasuke memberitahu membuat Fugaku tersenyum puas. Cucu pertamanya laki-laki, itu adalah hal hebat dan luar biasa!
"Pastikan kondisinya terus baik, Sasuke. Setelah cucuku lahir, terserahmu jika ingin menceraikannya!" Fugaku beranjak dari sofa yang didudukinya. Ia kembali ke kursi kerjanya.
Sasuke mendengar dan mendesah berat. "Setelah bayinya lahir, aku ingin Hinata yang merawat bayinya."
Fugaku yang baru saja memegang penanya mendongak. Laki-laki tua itu tersenyum mengejek. "Tak perlu terbawa arus dengan mengasihaninya, Sasuke. Ingat! Kau hanya sedang bersandiwara untuk melindunginya!"
Sasuke bangkit berdiri. Pria itu tak merespon dan justru pamit dengan membungkukkan kepalanya dengan rendah.
Saat pintu ganda ruang kerjanya kembali ditutup rapat dari luar, Fugaku melempar penanya dengan keras ke lantai. "Apa sekarang giliran Sasuke yang menginginkan pelacur itu? Ini tak bisa dibiarkan!"
[]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
