
TERBONGKAR
.
.
.
Eros terdiam meneliti dokumen yang baru saja Zayn berikan padanya. Dahi pria itu tampak mengeryit ketika sekali lagi membaca laporan yang ada disana.
Tak ada nama Nora.
Gadis yang selama ini menempati paviliun barat itu tidak ada didalam laporan berisi identitas para koban penculikan. Bahkan sekedar nama panjang gadis itu saja, Eros tidak bisa mengetahuinya.
Satu pikiran menyusup kedalam kepala. Membuat pria dengan iris hitam itu meremat kuat kertas ditangannya. Apa selama ini dia telah ditipu?
Apa sejak awal gadis itu bukanlah salah satu korban penculikan yang seharusnya ia selamatkan?
Yang paling buruk adalah, apakah justru Nora adalah pelaku yang selama ini ia cari?
Eros akan memaki dirinya sendiri jika hal tersebut benar-benar terjadi. Bukan hanya dibodohi, dia bahkan hampir meniduri gadis yang berkemungkinan besar adalah otak dibalik penculikan
"Apa kau yakin tidak ada yang terlewat?" tanya Eros memastikan.
"Tidak ada, Yang Mulia."
Dan Eros tidak mungkin tidak mempercayai kinerja Zayn. Pria itu jelas selalu teliti dalam mengerjakan semua tugas yang diberikan kepadanya. Sejauh yang Eros tahu, Zayn tidak pernah mengecewakan.
"Apa ada informasi tentang gadis bernama Nora?"
Eros menunggu dengan tidak sabar ketika melihat Zayn tampak mengingat sesuatu. Semoga bukan sesuatu yang buruk, bisik pria itu.
"Saya mendengar sesuatu tentangnya."
"Katakan padaku!"
.
.
.
"Tamatlah riwayat kita! Aku bahkan sudah bisa melihat alat pancung yang akan memisahkan kepala dari tubuhku. Ya Dewa... malang sekali nasibku ini. Bahkan aku belum sempat merengguk nikmat surga duniawi tapi sudah harus mati karena tingkah bodoh orang lain." Rea mengigit ibu jarinya. Nampak cemas memikirkan alat pancung didalam imajinasinya.
Sedangkan itu Nora hanya mendengus kesal mendengar celotekan Rea yang tak kunjung selesai. Gadis itu sibuk menggerutu dan terus mengulang kata mati, alat pancung dan surga duniawi berkali-kali.
"Mereka tidak mungkin menghukum kita." ucap Nora saat ia mulai jenuh melihat kecemasan Rea.
"Memang mudah mengatakannya, tapi apa yang kita lakukan benar-benar keterlaluan. Tidak salah lagi, kita pasti akan mati!"
Nora berdecak, "Kalau mau mati, jangan ajak-ajak aku! Mati saja sendiri."
Rea melotot. Menuding Nora dengan wajah memerah.
"Semua ini gara-gara kamu!" tuduhnya, "Aku tidak akan berada dalam posisi sialan ini jika bukan karena kebodohanmu!"
Nora memutar bola matanya dengan malas. Ucapan Rea tidak perlu dipikirkan. Gadis itu sangat-sangat berlebihan.
Lagipula Nora yakin sebesar apapun kesalahannya, Eros tak akan berani membunuhnya. Bukan Nora ingin sombong, tapi Kerajaan Saba memang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kerajaan Sandor.
Sejak dulu, Saba memang terkenal dengan kerajaan yang jarang sekali terlibat konflik perebutan wilayah kekuasaan. Tidak seperti Kerajaan Sandor yang selalu berambisi memperluas wilayah, Saba justru lebih memilih untuk fokus mensejahterahkan rakyat yang sudah mereka miliki.
Tak heran mengapa Hera -- ibu dari Nora, memilih untuk bersembunyi dikerajaan ini. Karena selain kehidupan yang menjanjikan, Saba adalah satu-satunya kerajaan yang tak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun.
Jadi Eros tidak mungkin membahayakan kerajaannya sendiri dengan membunuh Putri Mahkota dari Kerajaan Sandor. Kerajaan yang terkenal dengan rajanya yang bengis.
Nora terkekeh, membayangkan sang ayah yang jauh diseberang sana. Pria tua itu pasti sedang merajuk karena sudah beberapa minggu ini Nora tidak bisa membalas pesan padanya.
Eros menutup akses dari luar dengan memasang tabir pelindung diseluruh penjuru istana. Kunang-kunang yang biasa Nora gunakan sebagai pengantar pesan tidak bisa menembus tabir pelindung itu.
Nora hanya bisa memperoleh informasi dari Pangeran Charlie. Pun pria itu tidak benar-benar memberinya kebebasan dalam melakukannya. Melalui Pangeran Charlie, Nora hanya bisa berkomunikasi dengan Eliot.
"Sebenarnya sampai kapan kamu akan pura-pura buta?" Rea mendudukan dirinya dikursi. Tenaganya telah habis digunakan untuk mencemaskan nasibnya yang mengenaskan.
"Setelah aku berdiskusi dengan Pangeran Eliot."
Wajah lesu Rea tiba-tiba saja berubah semangat. Gadis itu menegakan punggungnya.
"Pangeran Eliot? Maksudmu dia akan datang kesini? Kapan?!" tanya Rea antusias.
Melihat itu tentu saja Nora berdecih lalu memandang Rea dengan sinis. "Tipe mu memang seperti itu ya? Kamu selalu menyukai laki-laki bermuka nakal."
"Astaga Nora! Saudaramu saja kau kata-katai."
"Ya mau bagaimana lagi? Wajah Pangeran Eliot memang seperti pria pemburu selangkangan."
Rea terbahak. Tapi diam-diam menyetujui ucapan Nora. Jika Pangeran Charlie sudah dianggap sebagai pemain wanita sejati, maka Pangeran Eliot pasti berada satu tingkat diatasnya.
Namanya akan selalu disebut disetiap perbincangan diantara para perempuan. Jangan lupakan rona merah yang muncul dipipi para gadis ketika membicarakan betapa jantannya pria itu diatas ranjang.
Rea menggeleng, mencoba mengusir panas yang merambati wajah. Duh, kenapa dia jadi ikut-ikutan merona hanya karena mengingat sekelibat kabar yang sempat ia dengar.
"Ka-kapan dia akan datang?" tanya Rea yang mendadak menjadi gagap.
"Entahlah. Mungkin beberapa hari lagi dia akan sampai." Nora mengamati wajah Rea dengan seksama.
"Oh berhenti memasang ekspresi seperti itu! Kau membuatku mual."
"Apasih?!" Rea memalingkan wajahnya yang semakin merah. Sialan! Kenapa juga dia harus malu.
Nora tertawa geli. Bukan hal baru lagi ketika ia menemukan perempuan yang tampak mengagumi saudara-saudaranya. Hanya orang buta saja yang tidak jatuh cinta pada paras yang dimiliki Eliot dan Azriel.
Berbeda dengan Azriel yang tampak enggan berurusan dengan perempuan, Eliot justru dengan sangat senang hati memanfaatkan limpahan cinta dari para pemujanya.
Nora sungguh kasihan dengan perempuan malang yang nanti akan menjadi pasangan Eliot. Dia pastinya harus tahan banting menahan suaminya agar tidak membuka resleting celana setiap kali ada perempuan yang menawarkan tubuh padanya.
Ah, lupakan semua itu. Toh nasib Nora juga tidak jauh berbeda. Tak tanggung-tanggung, kelak jika ia benar-benar bersama dengan Eros, Nora justru harus menjaga pria itu dari ibu mertuanya sendiri.
Nora merengut sebal. Apakah tidak ada cara agar Eros lepas dari Felicia?
Wajah sedih Eros beberapa minggu lalu benar-benar mengganggu. Pria itu tampak begitu menyedihkan hingga memantik rasa kasihan. Membuat Nora ingin merengkuhnya, menariknya hingga Eros bisa keluar dari segala huru hara percintaan.
"Apa kau tahu sesuatu mengenai Pangeran Eros dan Ratu Felicia?"
"Kenapa kau menanyakan itu?" Rea bersikap defensif. Tampak sekali kalau dia tidak nyaman membicarakan topik ini.
"Sepertinya aku menyukai Pangeran Eros."
"Jangan!" Rea menjawab dengan panik. "Jangan dia Nora. Cari pria lain saja."
"Kenapa?" Jelas sekali sikap Rea mengundang tanda tanya.
Gadis itu bergerak gelisah ditempat duduknya. Menatap sembarang arah untuk menghindari tatapan Nora.
"Pokoknya jangan!"
"Apa ini ada kaitannya dengan Putri Arabella?" tanya Nora yang membuat Rea langsung menoleh dan menatapnya terbelalak.
"Bagai--" Rea menggeleng, "Sebenarnya sudah sejauh mana kamu tahu tentang mereka Nora?"
"Cukup jauh sampai aku tahu kalau mereka masih menjalin hubungan dibelakang raja."
Rea menghela nafas. Tidak ia sangka mereka akan membicarakan topik tabu yang lama telah disembunyikan.
"Aku sebenarnya datang kesini bukan untuk menjadi pelayan, tapi sebagai guru sekaligus pengasuh Putri Arabella." Belum apa-apa, Rea sudah menghela nafas sedih.
"Anak malang itu bahkan belum sempat melihat banyak hal, tapi Dewa sudah lebih dulu membawanya pergi."
"Apa yang terjadi padanya?" Nora duduk disamping ranjang. Menunggu Rea yang tampak enggan melanjutkan cerita.
"Sejak satu tahun yang lalu, satu persatu anak perempuan dari para tabib di Kerajaan Saba diculik tanpa alasan. Karena itu juga jumlah tabib langsung menurun drastis. Para tabib yang tidak ingin anak mereka ikut diculik berbondong-bondong meninggalkan Saba. Itu tahun yang berat untuk kami karena beberapa minggu setelahnya ada wabah yang menyebar secara misterius. Wabah itu menjangkit hampir setengah dari rakyat Saba, dan Putri Arabella adalah salah satunya."
Rea menunduk sedih saat bayangan Putri Arabella yang merintih kesakitan memenuhi kepalanya. Dia telah mengasuh anak itu sejak hari pertama dia dilahirkan ke dunia. Rea sungguh menyayanginya.
"Dan Putri Arabella wafat karena wabah itu?"
Rea mengangguk, " Tubuhnya memang lemah. Dia tidak bisa bertahan lama." Rea menutup wajahnya dengan tangan ketika tidak sanggup menahan tangis.
"Kau terlihat sangat menyayanginya," ucap Nora tersenyum haru melihat sisi lain dari teman masa kecilnya.
"Sangat. Aku sangat menyayanginya. Aku bahkan tidak peduli dengan mulut-mulut jahil yang mengatakan hal buruk tentang anak malang itu."
"Mengatakan bahwa dia bukan putri kandung Raja Henry?"
Rea tidak menjawab. Dia tidak mau membicarakan hal buruk tentang putri yang ia asuh sejak bayi.
"Menurutmu kenapa mereka bisa berpikir seperti itu, Rea?"
"Itu karena dia lahir satu tahun sebelum Ratu Felicia menikah dengan raja." Rea menjawab lirih.
"Apa yang saat itu terjadi? Kenapa Eros membiarkan kekasihnya yang sudah memiliki anak menikah dengan ayahnya?"
"Sudahlah Nora, itu bukan urusan kita. Sebaiknya kita hentikan pembicaraan ini." Rea beranjak dari kursi.
Nora ikut berdiri. Dia tidak akan membiarkan Rea pergi begitu saja. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya.
"Atau mungkin anak itu juga bukan milik Eros?"
"JANGAN SEMBARANGAN NORA!" Rea menatap Nora dengan nafas terengah. Sangat tersinggung mendengar apa yang keluar dari mulutnya.
"Pangeran Eros bahkan tidak tahu jika Ratu sedang mengandung. Tahun itu kondisi kerajaan memang sedang tidak stabil. Beberapa orang menginginkan agar gelar Putra Mahkota diberikan kepada Pangeran Carlos. Mereka pikir seharusnya anak pertamalah yang harus menjadi putra mahkota. Tidak peduli sekalipun dia lahir dari rahim seorang selir."
"Karena konflik itu Pangeran Eros harus diasingkan demi keselamatannya. Aku dengar sejak kecil dia memang sudah beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan. Entahlah aku tidak begitu tahu. Pangeran lalu kembali satu tahun setelahnya. Tepat dihari ibunya meninggal dan kekasihnya menikah dengan ayahnya sendiri."
Rea menghela nafas. Kali ini tatapannya melembut ketika ia menatap Nora.
"Mereka tidak benar-benar selesai Nora. Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri jika nekat berdiri diantara mereka."
"Bagaimana kalau aku bisa membuat Eros melupakan kisah cinta mereka?"
"Lalu apa? Kau akan memanggil mantan kekasih suamimu dengan sebutan ibu? Jangan bercanda Nora!"
Nora menghela nafas. Posisinya benar-benar sulit. Rea benar. Dia hanya akan menyakiti diri sendiri jika berkeras hati berdiri diantara Eros dan Felicia.
Tapi... wajah sendu Eros kembali memenuhi kepala Nora. Pria itu terlihat sangat membutuhkan pertolongan. Dia seperti seorang anak yang menanti seseorang mengulurkan tangan dan membawanya keluar dari kegelapan.
Nora menggeleng. Mengenyahkan rasa kasihan yang membelit dada.
Dia tidak boleh seperti ini. Dia tidak boleh berbelas kasih kepada seseorang yang sudah dengan keji membunuh ikan-ikan tak berdosa.
"Kamu harus menghentikan perasaan itu."
Nora membalas tatapan Rea. Perasaan yang mana? Rasa kasihan atau kesalnya?
"Lebih baik mulai sekarang kamu batasi interaksimu dengan Pangeran Eros."
Ah, ternyata rasa kasihan yang harus ia hentikan.
"Karena kamu temanku, jadi aku relakan Pangeran Charlie. Kau bisa mulai mencoba untuk menyukainya. Meski bukan putra mahkota tapi dia adalah pria paling tampan di Saba. Kau bisa dengan mudah jatuh hati padanya."
"Cih, kau bilang begitu karena tadi aku bilang Pangeran Eliot akan datang kesini kan? Halah, trik mu itu kampungan sekali Rea." Nora mendengus sebal. Tapi tak urung tetap tersenyum mendapati kepedulian dari Rea.
Sekarang Nora benar-benar akan menghapus Eros dari tujuannya datang ke Saba. Setelah ini, sebisa mungkin Nora akan mnghindarinya. Ia tidak akan membiarkan rasa kasihan itu berkembang lebih dalam.
Sementara itu, dari arah selatan Eros melangkah dengan wajah tegang. Rahangnya mengeras setiap kali mengingat apa yang Zayn laporkan padanya.
"Salah satu dari mereka mendengar obrolan perempuan itu dengan seorang anak kecil. Mereka dengar jika dia mengaku tidak kehilangan indra penglihatan. Perempuan itu tidak buta, Yang Mulia."
Kedua tangan Eros terkepal. Berani-beraninya perempuan itu berbohong dan menipunya habis-habisan.
Kini Eros tahu kenapa perempuan itu sering kali berkeliaran dipagi hari. Mungkin saja dia sedang mencari informasi yang bisa digunakan untuk menyerang Eros dari belakang.
"Saya juga mendapat laporan bahwa beberapa hari yang lalu para penjaga melihat Pangeran Charlie berlarian mengejar perempuan itu. Ku rasa Pangeran Charlie tahu sesuatu tentangnya."
Kenapa? Apa yang mereka sembunyikan dari Eros? Apa Charlie juga pada akhirnya berniat untuk mengkhianatinya?
Sudut bibir pria itu terangkat. Ia tersenyum culas memikirkan bahwa tidak ada orang yang benar-benar bisa ia percaya.
Beberapa langkah lagi Eros akan sampai kepintu kamar yang ditempati oleh perempuan itu. Gerakan tangannya yang akan mendorong pintu langsung berhenti ketika mendengar suara dari dalam sana.
"Kau tenang saja Rea. Setelah ini aku memang akan menjaga jarak dengan Pangeran Eros. Dia sepertinya mulai mencurigaiku."
"Syukurlah kalau kau sudah sadar. Kau memang seharusnya menjauhinya. Berada di dekatnya hanya akan membuat rahasiamu semakin cepat terbongkar."
Eros diam mendengarkan dengan seksama. Rupanya perempuan itu sadar jika Eros mulai mencium bangkai busuk yang dia sembunyikan.
Dan apa katanya? Dia akan menjaga jarak dengan Eros agar rahasianya tetap terjaga?
Jangan bercanda. Eros tidak akan membiarkan perempuan itu bertindak semaunya didalam istananya. Eros akan pastikan perempuan itu mengaku dan bersujud memohon ampun saat Eros mengungkap semua kebohongan yang ia sembunyikan.
Eros tersenyum miring. Jika Nora berniat menjauhinya, maka dengan senang hati Eros akan menempelinya seperti lintah. Akan dia buat Nora mengakui kesalahannya.
Ya. Eros akan memastikannya.
Bersambung...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
